Saya hampir saja
tersandung di emperan pertokoan sekitar Tugu Tani ketika Sthela, kawan yang setahun tidak dijumpa, melontarkan pertanyaan mengejutkan: “Bisakah kamu
sebut satu kata favorit?”
Sekian lama
merasa diri sebagai penulis, saya terus terang tidak pernah memikirkan hal
sederhana seperti itu. Tiap kata penting adanya, sebagaimana saya percaya bahwa
masing-masing di antaranya memang punya memori dengan diri kita pribadi—satu
kata bisa membangkitkan jutaan kenangan akan segala pengalaman sepanjang hidup.
“Mengapa hanya
satu?” saya balik bertanya sambil menghindari sulur tanaman yang menggantung di
lorong jalanan. “Banyak kata yang muncul dalam pikiranku sekarang….”
“Ya, hanya satu,”
ujar Sthela tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan langkahnya, gesit sekali
melintasi simpangan Jakarta yang riuh. Saya maklum sebab dia suka benar
berpetualang—dan beberapa menit lalu kami bahkan berbincang soal rencana
menumpang kapal Pelni ke Belawan, Medan, selama tiga hari dua malam. Sumatera
Utara adalah kampung halamannya. Oh, saya ingin mengembara sepertinya: naik
gunung, menyeberang laut, berkenalan dengan orang-orang baru, sama seperti momen
saat saya bersua pertama dengannya di sebuah ruang kebudayaan di Jakarta. “Tidak
harus dijawab sekarang. Kamu pikir saja dulu. Jika sudah ketemu, kabari aku,”
lanjutnya dengan seulas senyum.
Entah mengapa,
adegan jalan kaki di kawasan Tugu Tani itu terngiang lagi dalam pikiran saya
sekarang, tepat di saat pergantian tahun kian menjelang. Saya duduk
di sebuah kedai kopi langganan yang tidak jauh dari pondokan, tanpa ditemani
siapapun. Belakangan begitu enggan untuk jumpa sekadar ngobrol dengan kawan,
dan dalam hati saya seperti menyadari bahwa ini akan jadi akhir tahun yang
sunyi, terutama bagi saya sendiri.
Pelan-pelan
terbayang pula dalam angan, oh, apa sajakah yang telah dilakukan selama satu
tahun ini? Waktu seperti berlintasan kembali, tiap detik, tiap bulan yang telah
lewat. Saya pandangi pelanggan lain yang duduk tidak jauh dari kursi saya,
apakah dia juga sedang merenung ulang kaleidoskop tahun ini?
Saya kian
dirundung suatu rasa haru, yang tidak dapat dijelaskan darimana datangnya. Saya
telah lalui tahun-tahun rantauan yang penuh warna di Ibukota. Hidup saya
baik-baik saja, dengan sekian suka dan dukanya—namun entah mengapa itu membuat
saya merasa hampa saat ini. Saya tamatkan program magister di satu kampus
terbaik dengan sangat cemerlang; bisa saja lulus cum-laude andai tidak kelebihan masa belajar. Saya bertemu banyak
akademisi yang peduli dan membukakan jalan untuk mengenal dunia-dunia luar,
bahkan ditawari lanjut studi di lain negeri—yang tidak saya teruskan karena
beberapa pertimbangan.
Diam-diam saya
berpikir kembali. Apakah ini jalan nasib: rasa-rasanya saya sama sekali tidak
pernah kesulitan dengan biaya hidup. Tanggungan kuliah dipenuhi oleh sebuah lembaga
donor yang menyediakan anggaran berkecukupan yang bahkan mencakup ongkos
pondokan, uang makan bulanan dan pembelian buku. Selalu juga ada tawaran
pekerjaan yang membantu isi saku—jadi kontributor majalah gaya hidup, relawan serabutan
di acara-acara budaya, jadi tim sekretariat sebuah organisasi permuseuman, atau
sesekali dilibatkan penulisan biografi dan penerjemahan. Pun, dalam setahun ada
saja kesempatan bepergian serta undangan acara-acara kesenian, entah di dalam
maupun luar negeri. Semuanya seperti mudah sekali seakan-akan apa yang saya
lakukan bukanlah rantauan melainkan hanya tinggal di sebuah tempat baru yang
segala rupa fasilitasnya telah disediakan.
Karya-karya
mengalir dan diterbitkan. Beberapa juga mendapatkan apresiasi. Dikelilingi
banyak kawan yang tak pernah membuat saya merasa sendiri. Kini, saya memperoleh pekerjaan yang sungguh saya sukai.
Betapa
sempurnanya hidup saya ini.
Dan barangkali,
satu-satunya tragedi yang saya alami adalah ketika menyadari bahwa keseharian
saya ternyata jauh dari tragedi. Saya penuhi lima tahun di Jakarta dengan
ketabahan menghadapi kesunyian, terasing, berikut aneka petualangan (rumah
pondokan saya pernah dirampok orang, tak jarang digoda laki-laki iseng, sampai
menjajal keberanian dengan menempuh rute-rute transportasi umum yang tak saya
kenali) tapi semua itu bukankah memang takdirnya seorang anak rantauan? Siapapun
yang mencari hidup di kota ini pasti pula mengalaminya? Tidak ada yang
istimewa dari kedukaan saya sebab banyak orang menghadapinya, bahkan mungkin ada
yang lebih buruk dari itu.
Ketika saya
kehilangan—entah seseorang, kesempatan baik, atau apa saja—maka hal itu amatlah
terasa di batin. Seperti seorang yang tidak pernah merasa bersyukur, saya
dibayangi melodrama yang berlarut-larut. Oh, ya. Sungguh. Tidak bohong. Kesedihan
yang saya alami ternyata sebagian besar berpusat pada diri sendiri. Betapa
menyedihkan.
Di kedai kopi
ini, menjelang perayaan akhir tahun, saya tuliskan catatan-catatan kecil untuk
nanti bisa dibaca sebagai pengingat hari-hari mendatang—sampai satu kata
terlintas dalam benak saya dan membikin tercenung selama sekian waktu.
“Sthela,”
demikian bunyi pesan singkat saya kepada kawan yang baik itu. “Aku tahu apa
satu kata favoritku.”
Ikhlas. Dia mudah
diucapkan namun sulit dilakukan. Tapi, jika sekalinya bisa, maka batin kita
akan ringan sekali. Kupikir, itu kata
ajaib….
Tidak berapa
lama, teman saya membalas dengan kalimat: Oke.
Tunggu beberapa saat. Kalau seharian ini aku ketemu momen yang mengingatkan aku
soal kata itu, akan kukabari kamu.
Kemarin kita di Perpusnas, seseorang mengucap kata ‘langit’ dan aku langsung
sms kawan yang ucap ‘langit’ sebagai kata favoritnya.
Jawabannya
sederhana saja, namun entah mengapa membuat batin saya begitu hangat. Dia akan
mengingat saya.
“Apa kata
favorit kamu?” saya bertanya.
“Entahlah.
Belakangan aku suka dengan kata keanekaragamanhayati,
he-he-he….”
Saya tersenyum.
Bukankah itu terdiri dari dua kata yang dipersatukan dengan imbuhan? Hanya saja
ini tidak saya ungkapkan. Takut merusak kebahagiaannya menemukan satu kata
favorit.
Yang jelas,
setelah memikirkan semua itu, termasuk berkirim pesan kepada Sthela, saya
sedikit lebih tenang. Akhir tahun, saya tentu masih sendirian dan tidak
melaluinya bersama keluarga, teman atau kerabat lainnya. Mudah-mudahan, dengan
ini, saya jadi punya cukup kesempatan untuk menghayati rasa syukur seraya
merenungkan banyak hal dengan sepenuh kasih yang sebelumnya tidak pernah saya
resapi.