Kawan saya kelihatannya
sedang gundah soal urusan cinta. Kekasih yang belum lama dikencaninya ternyata
berpaling dan berpacaran dengan seorang teman terdekatnya—sesuatu yang
sebenarnya telah dia duga semenjak mereka menjalani hubungan jarak jauh selama
dua bulan terakhir. Demi menghiburnya, sungguh saya seorang karib yang baik,
kami pun bertemu di sebuah kedai kopi dekat kantor.
“Tadi aku kepikiran mau punya pacar florist saja,” ujarnya setelah menghabiskan dua puding teh hijau, satu menu andalan di kedai sederhana itu. “Tapi, yang cakep juga dong. Selalu pakai kemeja putih, model loose-cut gitu. Tak masalah cewek atau cowok, asalkan pakai kacamata. Looks smart, cute, and gorgeous as well!”
Saya biarkan saja dia melayang dengan imajinasinya sendiri. Tidak baik, betul-betul tidak baik, untuk menyela angan seseorang yang sedang patah hati. Impian dan pengharapan, seberapapun semunya, adalah sobat karib bagi mereka yang kesepian.
“Sebelum ke sini, aku mampir ke cafe di Kota Lama. Tempatnya asyik benar; sulit dipercaya kalau gudang beras zaman kolonial itu bisa disulap dari tempat nongkrong yang asyik. Musiknya juga sedap; lembut dan pas jadi latar bercakap ataupun sekadar melamun—aku kepingin sekali bilang, rugilah studio radio atau rumah-rumah produksi film kalau tak pakai jasa si tukang pilih list lagunya!”
Tampaknya saya tahu café mana yang dia maksudkan. Oh, andai saya tidak sedang men-jomblo, mungkin akan saya ajak juga kekasih untuk main ke situ.
“Duduk sebentar, eh, ada perempuan datang. Kupikir dia pelanggan, tapi ternyata bukan,” lanjut teman saya. “Dia ternyata join dengan manajer café untuk buka stand bunga di situ….”
“Stand bunga! Dalam café!” tanpa tedeng aling-aling, teman saya ini tetiba saja memekik seraya memukul meja. Saya yang sedang menyesap kopi hitam kesukaan hampir-hampir tersedak. Apa istimewanya hal itu hingga bikin dia bereaksi demikian? Rasa-rasanya dorongan buat punya pacar florist tidak akan sampai sehisteris-seeureka seperti itu.
“Aku kepingin buka toko florist bersamanya….”
“Kamu sudah kenalan dengan perempuan itu?”
Cepat sekali gerakannya jika dia sudah mendapat nama dan nomor telepon pribadi gadis tadi. Pun, lekas juga ya dia move on, sesuatu yang saya yakin sebenarnya sulit benar dia lakukan menimbang kawan saya ini tipikal pacar yang manut, pendiam, dan setia. Selama tujuh tahun berteman, saya tahu benar kalau karib ini tidak pernah genit macam-macam. Kemana-mana selalu membawa buku dan headset buat dengarkan musik dari koleksi spotify kesayangannya. Lagu anak 90-an. Classic-rock. Slow-mo emo. Apa saja.
Saya tahu juga kalau banyak orang yang suka dan diam-diam mau menjadikannya kekasih; hanya saja kawan saya ini begitu sopan dan memperlakukan siapapun layaknya teman-teman hang out yang asyik saja. Lain dari itu, dia pendiam sebenarnya. Sosok tertutup. Biasanya, model pribadi yang begini bisa begitu dalam terpuruk jika pilihan hatinya—suatu keputusan yang sebenarnya serba sulit sebab dia mesti membuka sisi-sisi pribadi—kemudian tiba-tiba menjauh dan mengakhiri hubungan.
“Belum. Belum kenalan,” jawabnya singkat. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kartu berwarna merah marun yang cantik. Mirip rupa mawar namun tanpa gambar mawar. Nama yang tertera di sana: Yanuar Ayu.
Saya cuma tersenyum. Mendapatkan kontaknya, walau hanya nomor profesional begitu, saya pikir tidak buruk-buruk benar. Biarlah bunga bersemi pada musimnya, secara alami tanpa sedikitpun tergesa-gegas. “Aku bilang mau pesan bunga buat ulangtahun kamu.”
“Sialan. Masih tahun depan, booking-nya sekarang.”
“Mana dia tahu kalau ulangtahun yang sebenarnya tahun depan?” teman saya mengerdip. Oh, ya, ampun, itu tingkah yang membuat saya jadi ingin menarik poni rambutnya, sesuatu yang sejak kuliah dulu selalu saya lakukan bila sedang gemas terhadapnya.
“Ya, kalau nanti kami jadi dan buka toko florist, kamu kubiarkan dapat tempat di mezzanine, dengan pemandangan terbuka ke bawah di mana kamu bisa menyaksikan kami melayani para pelanggan,” astaga, betapa jauhnya teman saya ini berandai-andai. Sampai melibatkan saya segala.
“Aku tahu kamu sekarang mulai mengurangi kopi. Hanya seminggu sekali, bukan? Jadi, kupikir wangi bunga bisa menggantikan kerinduanmu pada aroma-aroma yang merangsang kreativitas…,” tangannya meliuk-liuk tatkala mengucapkan kalimat yang terakhir ini. Mirip pesulap jalanan yang pernah saya saksikan di pinggiran kota rantauan.
“Terima kasih untuk budi baikmu. Aku hargai sekali,” ujar saya sembari bangkit ke meja pesan untuk membeli kue tambahan. Danish-cheese kelihatannya enak. Nona kasir tersenyum menanyakan tagihan. Open bill, ujar saya sambil menunjuk teman saya yang seketika berpura cemberut.
Selama pertemuan itu, saya sama sekali tidak ingin menanyakan lebih jauh sebab-musabab putusnya dia dengan sang kekasih. Kami sudah cukup riang membincangkan kemungkinan masa depan—suatu perencanaan yang saya tahu bakal mudah menguap. Kami tidak pernah terlalu serius merancang sesuatu; bagi kami, hidup sungguh penuh kejutan. Kadang kami pun ingin sekali menjadikan diri kami ini berantakan agar kami kemudian bisa menyusun ulang kepingan-kepingan kepedihan dengan sepenuh kasih penyesalan. Mirip Sisifus yang dikutuk mengangkat batu ke puncak gunung, kemudian entah karena takdir, kecerobohan, atau kehendak menyiksa diri sendiri, batu besar itu bergulingan sepanjang lereng dan dia mesti membawanya kembali ke atas. Kami ingin melawan kemapanan dan kerutinan di mana diri inilah yang menjadi kelinci percobaan.
“Akhir tahun mau kemana?” saya bertanya saat kami keluar kedai.
“Nonton film yuk. Anti-christ. Tiket terbatas dan aku bisa booking buat kamu….”
Sialan. Mestinya saya tidak bertanya. Film-film Lars von Trier adalah favoritnya dan saya tahu rencana menyaksikannya tidak bakal batal. Saya selalu berpikir ulang sebelum menonton karyanya—bukan karena apa, cemas akan efek depresinya saja.
“Wah, tak bisa lho. Sudah ada janji,” kilah saya.
Teman ini cuma ketawa. Tahu bahwa saya berbohong.
Susahnya punya kawan yang sudah tahu kebiasaan dan gelagat kita.
Tapi, senang pula, sebab kita tak pernah jadi merasa selalu sendiri.
“Tadi aku kepikiran mau punya pacar florist saja,” ujarnya setelah menghabiskan dua puding teh hijau, satu menu andalan di kedai sederhana itu. “Tapi, yang cakep juga dong. Selalu pakai kemeja putih, model loose-cut gitu. Tak masalah cewek atau cowok, asalkan pakai kacamata. Looks smart, cute, and gorgeous as well!”
Saya biarkan saja dia melayang dengan imajinasinya sendiri. Tidak baik, betul-betul tidak baik, untuk menyela angan seseorang yang sedang patah hati. Impian dan pengharapan, seberapapun semunya, adalah sobat karib bagi mereka yang kesepian.
“Sebelum ke sini, aku mampir ke cafe di Kota Lama. Tempatnya asyik benar; sulit dipercaya kalau gudang beras zaman kolonial itu bisa disulap dari tempat nongkrong yang asyik. Musiknya juga sedap; lembut dan pas jadi latar bercakap ataupun sekadar melamun—aku kepingin sekali bilang, rugilah studio radio atau rumah-rumah produksi film kalau tak pakai jasa si tukang pilih list lagunya!”
Tampaknya saya tahu café mana yang dia maksudkan. Oh, andai saya tidak sedang men-jomblo, mungkin akan saya ajak juga kekasih untuk main ke situ.
“Duduk sebentar, eh, ada perempuan datang. Kupikir dia pelanggan, tapi ternyata bukan,” lanjut teman saya. “Dia ternyata join dengan manajer café untuk buka stand bunga di situ….”
“Stand bunga! Dalam café!” tanpa tedeng aling-aling, teman saya ini tetiba saja memekik seraya memukul meja. Saya yang sedang menyesap kopi hitam kesukaan hampir-hampir tersedak. Apa istimewanya hal itu hingga bikin dia bereaksi demikian? Rasa-rasanya dorongan buat punya pacar florist tidak akan sampai sehisteris-seeureka seperti itu.
“Aku kepingin buka toko florist bersamanya….”
“Kamu sudah kenalan dengan perempuan itu?”
Cepat sekali gerakannya jika dia sudah mendapat nama dan nomor telepon pribadi gadis tadi. Pun, lekas juga ya dia move on, sesuatu yang saya yakin sebenarnya sulit benar dia lakukan menimbang kawan saya ini tipikal pacar yang manut, pendiam, dan setia. Selama tujuh tahun berteman, saya tahu benar kalau karib ini tidak pernah genit macam-macam. Kemana-mana selalu membawa buku dan headset buat dengarkan musik dari koleksi spotify kesayangannya. Lagu anak 90-an. Classic-rock. Slow-mo emo. Apa saja.
Saya tahu juga kalau banyak orang yang suka dan diam-diam mau menjadikannya kekasih; hanya saja kawan saya ini begitu sopan dan memperlakukan siapapun layaknya teman-teman hang out yang asyik saja. Lain dari itu, dia pendiam sebenarnya. Sosok tertutup. Biasanya, model pribadi yang begini bisa begitu dalam terpuruk jika pilihan hatinya—suatu keputusan yang sebenarnya serba sulit sebab dia mesti membuka sisi-sisi pribadi—kemudian tiba-tiba menjauh dan mengakhiri hubungan.
“Belum. Belum kenalan,” jawabnya singkat. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kartu berwarna merah marun yang cantik. Mirip rupa mawar namun tanpa gambar mawar. Nama yang tertera di sana: Yanuar Ayu.
Saya cuma tersenyum. Mendapatkan kontaknya, walau hanya nomor profesional begitu, saya pikir tidak buruk-buruk benar. Biarlah bunga bersemi pada musimnya, secara alami tanpa sedikitpun tergesa-gegas. “Aku bilang mau pesan bunga buat ulangtahun kamu.”
“Sialan. Masih tahun depan, booking-nya sekarang.”
“Mana dia tahu kalau ulangtahun yang sebenarnya tahun depan?” teman saya mengerdip. Oh, ya, ampun, itu tingkah yang membuat saya jadi ingin menarik poni rambutnya, sesuatu yang sejak kuliah dulu selalu saya lakukan bila sedang gemas terhadapnya.
“Ya, kalau nanti kami jadi dan buka toko florist, kamu kubiarkan dapat tempat di mezzanine, dengan pemandangan terbuka ke bawah di mana kamu bisa menyaksikan kami melayani para pelanggan,” astaga, betapa jauhnya teman saya ini berandai-andai. Sampai melibatkan saya segala.
“Aku tahu kamu sekarang mulai mengurangi kopi. Hanya seminggu sekali, bukan? Jadi, kupikir wangi bunga bisa menggantikan kerinduanmu pada aroma-aroma yang merangsang kreativitas…,” tangannya meliuk-liuk tatkala mengucapkan kalimat yang terakhir ini. Mirip pesulap jalanan yang pernah saya saksikan di pinggiran kota rantauan.
“Terima kasih untuk budi baikmu. Aku hargai sekali,” ujar saya sembari bangkit ke meja pesan untuk membeli kue tambahan. Danish-cheese kelihatannya enak. Nona kasir tersenyum menanyakan tagihan. Open bill, ujar saya sambil menunjuk teman saya yang seketika berpura cemberut.
Selama pertemuan itu, saya sama sekali tidak ingin menanyakan lebih jauh sebab-musabab putusnya dia dengan sang kekasih. Kami sudah cukup riang membincangkan kemungkinan masa depan—suatu perencanaan yang saya tahu bakal mudah menguap. Kami tidak pernah terlalu serius merancang sesuatu; bagi kami, hidup sungguh penuh kejutan. Kadang kami pun ingin sekali menjadikan diri kami ini berantakan agar kami kemudian bisa menyusun ulang kepingan-kepingan kepedihan dengan sepenuh kasih penyesalan. Mirip Sisifus yang dikutuk mengangkat batu ke puncak gunung, kemudian entah karena takdir, kecerobohan, atau kehendak menyiksa diri sendiri, batu besar itu bergulingan sepanjang lereng dan dia mesti membawanya kembali ke atas. Kami ingin melawan kemapanan dan kerutinan di mana diri inilah yang menjadi kelinci percobaan.
“Akhir tahun mau kemana?” saya bertanya saat kami keluar kedai.
“Nonton film yuk. Anti-christ. Tiket terbatas dan aku bisa booking buat kamu….”
Sialan. Mestinya saya tidak bertanya. Film-film Lars von Trier adalah favoritnya dan saya tahu rencana menyaksikannya tidak bakal batal. Saya selalu berpikir ulang sebelum menonton karyanya—bukan karena apa, cemas akan efek depresinya saja.
“Wah, tak bisa lho. Sudah ada janji,” kilah saya.
Teman ini cuma ketawa. Tahu bahwa saya berbohong.
Susahnya punya kawan yang sudah tahu kebiasaan dan gelagat kita.
Tapi, senang pula, sebab kita tak pernah jadi merasa selalu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar