Saya lahir dan besar di sebuah tempat yang mencintai tradisi dan kebudayaannya. Saya pula, saat ini, merantau di kota yang bangga akan kesenian warisan leluhurnya. Tetapi, sebuah perjalanan yang saya lakukan belakangan ini, bukan berhubungan dengan dua wilayah tadi, yaitu Bali dan Yogyakarta, melainkan ke satu kawasan pesisir utara Jawa, membuat saya merenungkan kembali arti tradisi, seni, dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Perenungan yang getir, sebenarnya. Dan hanya Indramayu sajalah yang sanggup menerbitkan kegetiran itu.
Jika bukan karena urusan pekerjaan, saya tidak mungkin terpikir menginjakkan kaki di sana. Misi kami sederhana: merekam sosok seniman setempat, Ki Warsad Darya sang dalang wayang golek cepak, demi tayangan video konten. Semenjak bertolak dari Lempuyangan, saya berpikir bahwa prosesnya tidak akan terlalu sulit. Semua narasumber telah dihubungi, jadwal wawancara sudah ditentukan, begitu juga kawan yang akan berkeliling menemani, yang jauh-jauh hari saya hubungi, menyatakan siap menjemput kami pukul tiga dini hari di Stasiun Jatibarang. Tiga hari kunjungan bakal lancar tentu, begitulah batin saya.
Sebagaimana dijanjikan, kami bertemu Suryana dan Roehan, punggawa Saung Sastra Indramayu, di pintu keluar stasiun. Tidak ada sesiapapun turun di Jatibarang pada waktu yang ganjil seperti itu dan mereka dengan segera mengenali kami. Sedikit bertukar sapa seraya menaikkan barang bawaan, kami lekas menumpangi mobil menuju titik pertama perjalanan kami: pasar besar Kota Indramayu.
Dengan naif, kami berpikir barangkali elok jika sempat merekam denyut warga, dan pasar selalu jadi cerminan yang paling pas. Samar-samar saya seperti bisa mendengar pekik riuh buruh angkut serupa suasana Kumbasari nun di kampung halaman, hingga aroma jeruk yang terinjak-injak di beceknya jalanan. Saya bayangkan pasar yang berdetak, sesak, dan penuh keringat mirip Palmerah yang bersebelahan dengan pondokan saya sekian tahun.
Alih-alih semua itu, pasar yang kami datangi lengang adanya. Los-los berjajar sekenanya beratapkan terpal tenda, barang bertumpuk di atas meja reyot, dan beberapa pedagang asyik saja pada layar ponselnya. Di satu lapak bumbu dapur, bersisian dengan sekeranjang bawang merah, ada sekotak penuh buah tomat: hijau muda dan merah cerah nyaris membusuk. Siapa yang akan membeli tomat-tomat seperti itu, yang bakalan tak laku, dibuang atau bahkan jadi pakan ternak?
Kami memasuki sebuah warung dalam pasar, memesan secangkir kopi, dan menyantap beberapa penganan. Di luar sana, tiga pengamen remaja tengah beristirahat, bersandar pada sebuah meja lapak yang kebetulan tutup. Alat musiknya ketipung dan gitar buntung. Sementara dari kios sebelah, dangdut kaset rekaman mulai diputar keras-keras. Ketika Jepri, teman saya, berceloteh tentang musik irama Pantura, saya hanya terdiam. Suasana muram pasar entah kenapa membangkitkan sebuah idiom lama dari buku yang dahulu pernah saya baca: “Melodi itu mengkhianati dia sepanjang hidupnya.”
Saya lupa buku apa. Kelihatannya non-fiksi tentang burung-burung penyanyi Amerika Latin sepanjang musim kawin. Entahlah. Tetapi, saya kira itu ungkapan tepat adanya.
Melodi itu, yang mendayu dari dangdut, tarling, dan organ tunggal, telah merasuk di hati orang-orang Indramayu. Mereka diperdengarkan setiap saat, beberapa terlantun lirih dan beberapa rancak seronok, amatlah populer menarik perhatian bilamana dipentaskan di panggung-panggung hajatan. Hal yang mengejutkan saya ialah tidak jarang mereka tampil sebagai jeda pertunjukan tradisi lain, katakanlah tari topeng. Kenyataan ini mencengangkan, terutama bagi saya yang sedari kanak menyaksikan topeng sebagai pertunjukan sakral penyempurna ritual nun di Bali sana.
“Sekarang pemerintah mencitrakan Indramayu sebagai Kota Mangga,” kata Suryana seraya menunjuk deretan pohon mangga di sepanjang jalan dan pekarangan rumah. Saya memerhatikan jalanan sepi pukul tujuh pagi, pemotor bersliweran tanpa helm pengaman, ilalang di tepian alih-alih trotoar bagi pedestrian, rumah-rumah tanpa pagar, lalu sebuah kawasan megah islamic centre dekat Bunderan Mangga. “Dulunya kami dikenal sebagai lumbung padi,” Suryana melanjutkan. Saya terlanjur tak minat bertanya apa alasan di sebalik perubahan nama itu.
Dan pelan-pelan saya seperti menemukan jawabannya: kultur agraris agaknya memang telah luntur bagi masyarakat Indramayu. Meskipun beberapa ritual masih dilangsungkan sehubungan masa tanam maupun musim panen, sebut saja mapag sri, ngarod, unjungan, maupun nadran, kelihatannya nilai budaya agraris tidak lagi terlalu merasuk. Di daerah-daerah lainnya, budaya agraris biasanya lekat dengan pemuliaan alam dan hubungan antarmanusia, tecermin lewat makna upacara maupun kesenian yang mengiringinya. Penanaman budaya ini setidaknya sedikit banyak juga berpengaruh pada sikap-sikap dan cara pandang penduduknya.
Bukannya pemuliaan, yang saya temui, meski hanya sekilas dalam tiga hari kunjungan, ialah banalitas kenyataan.
Dengan tak percaya, saya mendengarkan cerita tentang pembiaran rusaknya jalanan sebuah kampung akibat perbedaan pilihan politik atau bagaimana rumah-rumah warga masih digedor preman pendulang suara, hingga narasi-narasi oligarki kekuasaan—sesuatu yang tak terbayangkan terjadi di sebuah wilayah yang hanya dua jam jaraknya dari Ibukota.
Saya hanya bisa melongo mendengar pengakuan bahwa kebanyakan keluarga lebih senang memiliki anak perempuan lantaran bisa ‘dijual’ kawin kontrak daripada anak laki-laki yang katanya tak becus melakukan apapun.
Saya pun tertegun menyimak tingginya angka perceraian lantaran juragan sering kawin ketika musim panen kemudian menceraikannya mana suka—dan tidak banyak pilihan nasib selanjutnya bagi perempuan-perempuan ini selain mungkin melacur di pinggiran Pantura maupun pelosok persawahan Desa Bongas. Atau bahkan, jadi tenaga kerja wanita di luar negeri sana.
Dan saya tersentak ketika seorang kawan bercerita sebuah kasus mengegerkan: seorang ibu tega menenggelamkan anak tirinya yang balita dengan bantuan satu bocah tetangga…dan bocah ini dibayarnya sejumlah tujuhpuluh ribu saja. Betapa murahnya nyawa manusia!
Kabar-kabar permukaan ini membuat saya gelisah memikirkan makna tradisi bagi orang setempat bahkan sampai beberapa hari saya pulang dari Indramayu. Sungguh tak terbayangkan jika saya benar-benar dilahirkan di tempat ini, peruntungan macam apakah yang bisa saya jumpai? Tidak adakah jejak-jejak budaya agraris itu, penghormatan kepada ibu bumi, kasih dan rahmat semesta? Apakah betul Pantura telah menggerus kehidupan di sini dan memperlakukan seni maupun budaya hanya sebatas hiburan, bukan penghayatan, di mana semua yang esensi tergantikan oleh komoditi?
Saya tidak mengerti. Saya hanya memahami bahwa gempuran perubahan adalah niscaya, begitu pun yang terjadi di Bali lewat masifnya pariwisata sejak 1970-an. Namun, berbeda dengan tanah lahir saya, Indramayu sungguh wilayah yang jauh lebih makmur dengan sumber daya alam agraris, bahari, dan mineral yang tidak terkira. Saya pedih melihat betapa pemiskinan terus-menerus dipelihara di mana segalanya dirampok habis-habisan di sana.
Saya tentu terlalu naif jika membayangkan betapa seni sanggup memperhalus budi manusia. Tapi, saya masih mempercayainya. Meskipun seni adalah sebuah wujud sublimasi atas pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas, yang tidak semua orang sanggup meraihnya, saya masih meyakini bahwa penghayatan terhadapnya yang dilakukan terus menerus akan mampu mengajak kita menimbang segala nilai hidup.
Bali dan Yogyakarta beruntung menjadi tempat persinggahan sekaligus pertemuan. Budaya yang mereka miliki, meskipun kadang sengaja dicitrakan, sedikit banyak sanggup membangkitkan nostalgia serta kerinduan untuk selalu ‘pulang’ kembali.
Sedangkan Indramayu, agaknya cuma bisa menerima takdir sebagai perlintasan. Dia tak akan menjadi pusat perhatian, tenggelam dalam bayang-bayang Ibukota. Orang-orang hanya akan sepintas lewat, di jalur Pantura, di pesisir Laut Jawa, dan dengan demikian Indramayu seakan selamanya bernasib ditinggalkan.
Ketika kami menelusuri jalanan kampung tengah malam sepulang menyaksikan sandiwara sekitar Indramayu Barat, Roehan dengan bersemangat memutar tarling nan rancak buat menghalau kantuk. Saya hanya bisa menerawang ke kegelapan di luar sana, kembali memikirkan kalimat dalam buku tadi: “Melodi itu mengkhianati dia sepanjang hidupnya.”
Yogyakarta, 6 Desember 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar