Kamis, 17 November 2022

Angin Berhembus dan Kita Mesti Hidup

Le vent se lève! ...Il faut tenter de vivre!

Pukul 02:17 dalam kamar pondokan. Saya terkenang gelombang di pesisir itu. Bentangan begitu luas dari samudera tak bertepi. Suatu sore dengan matahari yang berangsur tenggelam, di sana, di kampung halaman saya. Bisa tercium aroma laut dan melayanglah ingatan saya ketika pada sebuah pagi saat ayah mengajak kami ke pantai itu, dalam gigilnya hari dan mata kanak-kanak saya masih mengantuk belum lama terjaga, hanya untuk menunjukkan titik di kejauhan, di antara bentangan kepulauan Nusa Penida dan dia berkata, "Kamu lihat itu, sekumpulan ikan paus?"

Saya tidak melihatnya. Saya hanya mendengar ceritanya, sekawanan ikan yang meluncur ke permukaan, mengarung dari tepian dunia yang entah, berkelompok atau sendirian, dan napasnya membuncah ke langit seakan mengukuhkan tanda kehadirannya. Ayah adalah anak seorang nelayan dari satu kampung di Klungkung dan besar kemungkinan dia memang pernah menyaksikan mereka semasa mudanya dulu, barangkali sewaktu dia menunggui orang-orang dusun pulang melaut dengan kapal cadik sederhana, di suatu pagi ketika angin laut menghembus mengantarkan pulang perahu-perahu itu. 

Dan besar dugaan dia ingin membagikan pengalaman menyaksikan ikan-ikan besar itu kepada putrinya seakan mereka adalah bagian dari kenangannya yang paling mempribadi, meskipun sayang betapa anaknya tak dapat menyaksikan mereka karena bisa jadi matanya telah rabun sejak belia. 

Saya teringat muara di pesisir yang lain, desa kelahiran ibu saya di lain kabupaten. Itu adalah sebuah sore yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu liburan, dan ayah menunjukkan anak sungai yang jernih airnya. Dia berkata, "Kamu bisa berenang di sana," seraya berjanji akan mengawasi dari sisian. 

Dengan kegembiraan anak-anak yang naif, saya meluncur ke dalam arus. Sekujur tubuh sejuk sekali rasanya. Buih-buih air menyentuh kulit seperti membelai saya penuh sayang. Selangkah demi selangkah kaki saya memijak permadani kerikil di dasar sungai dan kian lama tubuh saya terasa ringan bermain-main dalam aliran anak sungai yang lembut itu. Tanpa sadar saya kian mengarah ke tengah anak sungai itu. Kaki tak lagi berpijak. Anak ini terperosok. Panik, ketakutan. Dia hanya melihat sekungkung warna hijau dan biru, begitu pekat. Napasnya tercekat. Tangannya yang mungil itu menggapai-gapai. Tapi, apakah kehendak alam, kembali lagi kakinya menyentuh bumi, dan dirasainya kerikil-kerikil tadi pada telapaknya, dan kembalilah dia ke tepian, dengan wajah penuh kengerian.

Ayah melihat saya berangsur ke hamparan pasir. Dia tersenyum, termasuk ketika saya ceritakan betapa hampir tenggelam di arus anak sungai tadi. Saya kesal dia tak menunjukkan tanda simpati selain dengan gembira memperlihatkan sebuah botol air kemasan bekas dengan beberapa ekor kepiting di dalamnya. Bisa saja dia tak menanggapi serius cerita saya sebelumnya sebab baginya keturunan warga pesisir  seperti kami sudah sepantasnya bisa berenang. Tapi, saya tidak. Sampai hari ini.

Walaupun begitu, ingatan tentang samudera itu, garis semenanjung di kedua kampung halaman, kerang keong yang ditinggalkan, liang-liang kepiting, dan bekas telapak kaki pada muka pasir yang panas dan kering...tiupan angin laut, semuanya membekas dalam memori. Pagi subuh ini saya terjaga, entah mengapa itulah hal yang terlintas dalam pikiran, seolah-olah ada yang memanggil dari masa silam itu dan mengajak saya menjenguk buat sebentar. Saya membayangkan diri duduk sendirian di pesisir masa kanak itu, dalam tubuh saya yang dewasa sekarang, menyaksikan diri yang kanak-kanak itu bermain dalam dunianya dan tak acuh pada segala kisah tuturan ayah ataupun kenyataan di sekitarnya. 

Ah, angin berhembus. Dan kita mesti hidup.