Senin, 11 Agustus 2014

Karena Hujan Air

Kedengarannya lucu sekali. Kita selama ini ternyata hidup dikelilingi air. Dan itu baru saya sadari ketika hujan lebat begini.

Air mengepung hidup kita. Itu danau air. Ini kopi air. Ini juga hujan air. Kita tersedu bersama air mata. Pohon-pohon tidur dengan air dalam tubuhnya. Menyesap air dari kedalaman bumi.

Air itu menguap, lalu kembali jadi air. Ia mengalir ke muara, lalu datang lagi sebagai embun.

Satu kisah yang saya kenang dari cerita pewayangan: air adalah asal mula hidup. Konon ada manusia bersahabat dengan ikan besar. Tapi saya lupa, entah apa yang dia lakukan, sehingga namanya tercatat dalam kitab-kitab. Dia berteman dengan ikan itu dan menyusuri samudera untuk mencari dunia baru? Dia menyelam bersama ikan itu untuk menemukan mutiara rahasia penciptaan dunia?

Hal yang membuat saya bertanya-tanya, dari manakah asal manusia dan ikan itu? Tercipta begitu saja? Plop! Generatio spontania?

Atau tiba ke bumi dengan mengendarai kereta kencana, yang menurut imajinasi orang sekarang, sebenarnya adalah pesawat luar angkasa dari galaksi nun di luar bimasakti?

Atau mereka ada, karena manusia kehabisan imajinasi lagi dalam menduga-duga muasal dunia, dan aneka isinya?

Orangtua saya, sejak kecil, dikenalkan dengan air. Karena mereka tinggal di pesisir pantai. Ya, keduanya adalah anak nelayan, yang kebetulan punya lahan sawah warisan keluarga turun-temurun. Mereka bisa berenang. Bahkan konon, kakek saya jago sekali berenang, sampai pernah menyelamatkan diri lantaran perahunya terdampar di pantai dekat Kerobokan, Kuta. Kapal nelayannya pecah, dan dia harus berenang melawan amuk laut agar sampai ke daratan.

Ibu dari kakek saya adalah seorang penjual garam tradisional. Dulu mereka punya ladang garam di Tabanan. Tidak seberapa besar, tapi cukup menghasilkan untuk bisa dijual.

Kenangan-kenangan mereka—ayah-ibu saya—amat berdekatan dengan lautan. Hanya ibu yang dulu paling suka bercerita perihal kondisi desanya di masa lalu. Termasuk bagaimana ia berenang menyeberang sungai sambil membawa alat-alat bertani dan sekaligus menggendong adiknya yang masih kecil.

Sedangkan kenangan saya tentang air adalah ketika rumah kami di Denpasar yang saban tahun mengalami banjir. Air depan rumah yang meluap sampai setinggi pinggang. Ayah-ibu pun terpaksa membuat pintu besi yang bisa dipasang ulang, semata-mata agar air tidak menerobos masuk. Maklumlah, rumah kami lebih rendah dibandingkan jalan di depan. Dan karenanya air bisa saja mengalir masuk ke halaman, dan naik sampai ke kamar-kamar.

Bila hujan deras tiba, kami sekeluarga bersiap-siap menyelamatkan barang-barang yang ada. Kakak laki-laki saya menaikkan motor ke teras. Ibu memindahkan mesin jahit dan bahan pakaiannya. Dan ayah memasangkan pintu besi itu di gerbang depan. Air di jalan memang sedikit masuk. Tapi tetap saja, rumah kami tampak seperti rumah kodok (mungkin), yang mengapung di tengah genangan air. Lucu sekali.

Tapi, itu sama sekali bukan kolam tempat saya dan kakak bisa belajar berenang ya. Bahkan, sampai sekarang pun saya tidak bisa berenang. Lucu sekali.

Kadang jika teringat peristiwa itu, kakak laki-laki saya akan berkelakar mengutip primbon yang dulu suka kami baca saat kanak-kanak. Itu primbon yang dimuat pada kalender tradisi Bali, di mana seseorang bisa meramalkan masa depan dengan mencocokkan hari lahir berdasar penanggalan Bali. Saya, konon, akan kena celaka karena air. Saya dan kakak ketawa saja membacanya. Barangkali, saya bakal tertimpa bahaya bila rumah keluarga kami itu diguyur hujan lebat. Sangat lebat dan sampai bikin banjir ke atap. Saya pun tenggelam, karena tak bisa berenang. Yah, itu alasan yang paling mungkin terjadi. Saya kira.

Lalu ada lagi cerita tentang air yang saya ingat. Suatu kali, saya bersama ayah dan kakak pergi ke sungai dekat kampung halaman di Tabanan. Itu adalah desa tempat lahir ibu saya. Usia saya kala itu masih kecil, sekitar sepuluh tahun, agaknya.

Lazimnya anak-anak kota yang pulang ke desa, kami pun mengunjungi ladang kepunyaan kakek-nenek, dan menutup liburan dengan berendam di sungai. Ya, saya cuma bisa berendam, bukan berenang. Sementara kakak saya, yang usianya empat tahun lebih tua, sudah pandai aneka gaya berenang. Hari itu, dia mengerjai saya habis-habisan dengan memaperkan kepiawiannya menyelam timbul tenggelam di permukaan air.

Saya memang tidak menggubrisnya, dan berjalan asyik sendiri di pinggir sungai. Tapi tanpa saya sadari, ternyata saya menjejak dasar sungai yang mudah amblas. Saya pun tenggelam. Rasanya tenggelam dalam sekali, sebab air berada jauh di atas kepala.

Air di sekeliling saya berwarna biru dan sedikit hijau. Entah darimana saya ingat kata-kata ayah, supaya jangan main di sungai dengan warna begitu. Artinya, itu daerah dalam, yang dasarnya tidak bisa diduga. Tapi saya terlanjur tenggelam. Hanya kaki saya yang secara spontan mencari pijakan. Kira-kira itu berlangsung selama sekian menit, hingga akhirnya kaki saya menemukan satu karang, sedikit tempat keras yang membantu saya bangkit ke permukaan.

Saya terengah-engah. Saya lihat ayah yang tertawa-tawa menyaksikan apa yang saya lakukan tadi. Hampir menangis, saya bilang bahwa tadi saya tenggelam.

Ayah senyum-senyum saja. Jujur, saat itu saya jengkel karena mengira dia sama sekali tak mempercayai pengalaman tadi. Tapi kalau dipikir-pikir, tidak mungkin dia begitu. Ayah selalu memperhatikan kami bermain, dan selalu membantu kalau kami menghadapi hal-hal sulit, dengan caranya sendiri.

Saya sekarang sedang berada di satu tempat, menunggu hujan reda. Tapi, setelah hampir tiga jam, gerimis tak berhenti juga. Apakah di tempat Anda sekarang sedang hujan? Sekarang, di sana?
 

Jumat, 08 Agustus 2014

Sehat Sambil Berhemat

Makanan, bagi mahasiswa rantauan, adalah satu hal yang amat sangat dipertimbangkan. Selain karena soal selera, kapasitas saku dan dompet kerap jadi perhitungan dalam memilih menu. Seringnya—dan ini mungkin kedengaran irasional namun nyata terjadi—seorang anak kos rela memperpanjang waktu puasa karena belum terima kiriman dana. Yah, ini terjadi di mana saja, memang. Bahkan mungkin di kampus-kampus top sekelas Harvard atau Cambridge, atau lain-lainnya. Cuma saya kurang tahu, apakah di sana para pelajar boleh bon di ibu kantin atau warung makan langganan? Hehehe.

Kadangkala ada saja mahasiswa yang tetap ingin mempertahankan gaya hidup sehat meskipun kantong duitnya pas-pasan. Saya sendiri, jujur saja, jarang sekali untuk bisa makan sehat. Soalnya, saya harus keluar jumlah lebih kalau mau makan buah. Begitu juga untuk sayuran dan susu. Wah, itu semua sudah seperti menu mewah saja.

Karena saking inginnya hidup sehat—namun uang bekalnya tak terlalu memadai—seorang kawan kosan memilih jadi vegetarian. Alasannya: bisa ngirit karena tak perlu makan lauk. Sebut saja namanya Putri. Dan sudah hampir setahun ia menekuni ‘aliran pangan’ ini.

Suatu kali, ketika saya sedang duduk di ruang tamu dan berselancar di dunia maya, Putri menghampiri lalu bertanya.

“Kak, udah makan malam?”

“Ya, sudah. Kamu?”

“Belum sih. Ini mau bikin.”

“Wow, masak sendiri ya? Bagus juga tuh.”

Putri senyum-senyum. Dia pun menuju lemari es yang terletak tak jauh dari kursi ruang tamu itu.

“Kak, boleh tanya ga? Mie instan yang sehat itu digoreng atau direbus ya?”

Saya mengalihkan pandang dari layar komputer. Lalu ketawa geli.

“Kalau kamu makannya keseringan atau sebaskom sekalian, ya enggak sehatlah…”

Dia pun tertawa.

“Kakak enggak mau coba jadi vegetarian? Itu sehat lho…”

Putri, mahasiswi jurusan Komunikasi itu sudah berkali-kali membujuk saya untuk jadi vegetarian. Katanya sih, supaya ada teman senasib. Tapi, enggak lah ya. Saya ini sudah kurus. Kalau porsi makan dikurangi dan tak lengkap, habislah sudah isi badan ini.

“Ya, kapan-kapan deh,” jawab saya sekenanya sambil mentengin satu situs citizen journalism yang menayangkan artikel menarik.

“Tadi aku ke supermarket dan beli satu menu vegetarian baru. Kakak mau coba? Kali aja suka dan minat ikutan…”

“Oya?” saya menyahut. “Apa itu?”

“Mie goreng instan yang vegetarian. Ada rasa sate, juga rasa rendang.”

Ketawa saya mleduk lagi. Oke. Jadi sekarang ada mi instan khusus kaum vegetarian, tapi rasa sate?

“Itu menu sehatmu sekarang?”

Putri mengangguk tersenyum. Saya tak habis ketawa. Ini yang aneh siapa ya? Produsen, yang beli produk mie-nya, atau siapa?

Tapi setidak-tidaknya, saya cukup beruntung untuk bisa lanjut kuliah sambil kerja paruh waktu. Selama seminggu, saya bisa mengunjungi beberapa lokasi kerja, satunya adalah lembaga kebudayaan, lainnya kantor kedia jurnalisme warga, sebagai event organizer acara peluncuran buku, juga aktivitas sebagai kontributor majalah yang saya sukai. Kerap juga saya datang ke kegiatan rapat mereka, di mana makan siang ditanggung juga. Kadang di sana ada camilan, atau sekadar kopi gratis.

Pernah satu saat saya menemani atasan untuk rapat di sebuah tempat. Selain mengurusi administrasi kecil-kecilan, saya juga diminta memesan makanan. Semuanya saya lakukan sebisanya, tentu dengan arahan dari si bos. Hingga kemudian tiba waktu menjelang rapat, dia datang bersama satu asisten lain yang membawa sekantung jeruk mandarin.

“Jeruknya ditata yang baik. Tapi jangan dikeluarin semua. Supaya enggak cepat habis.”

“Kenapa begitu, Pak?” saya bertanya. Untuk apa beli jeruk kalau tidak ditujukan untuk peserta rapat?

“Soalnya harganya mahal. Satu jeruk ternyata harganya hampir satu dollar. Sembilan ribu!”

Saya terperangah juga. Tapi saya lirik kantung plastik yang membungkus jeruk-jeruk itu, dan seketika saya mahfum. Lha, dibelinya di toko elite begitu sih. Hanya saja, saya geli, bisa juga bos saya menyesal mengeluarkan uang untuk jeruk-jeruk itu. Kalau yang ini mah namanya: mau sehat dan berhemat, tapi isi dompet malahan tak selamat, hehehe…

Tidak jarang saya bersama satu teman lain sengaja menelisik jadwal-jadwal acara yang mungkin menyediakan makanan secara gratisan. Kegiatan diskusi, pertunjukan seni atau agenda pemutaran film di beberapa lembaga budaya adalah sasaran kami. Apalagi kalau ada festival yang mengagendakan gala dinner atau acara buka puasa bersama, wah, teman saya ini selalu serba tahu. Pernah dia sampai berkata, “Adalah tidak sopan bagi mahasiswa seperti kita, kaum intelektual muda, untuk tidak datang menghadiri undangan-undangan seperti itu….” Tentu saja, kalimat itu diungkapnya sembari bercanda.

Bila saya ingin ke satu agenda budaya, saya pun mengiming-iminginya dengan kemungkinan sajian makan malam yang didapat. Pasalnya saya tidak mau datang sendirian ke sana, dan tentu butuh kawan yang menemani. Syukur-syukurnya dia mau, meski tak jarang saya hanya bisa sendiri. Tapi, tidak semua kedatangan ke acara itu berbuah manis. Sebab saat kami tiba, ternyata ada sekian anak muda yang juga ikut mengantri ambil bagian….

Ya, begitulah mahasiswa. Deritanya bersisian dengan hal lucu yang menimpa hidup sehari-harinya….