Senin, 14 September 2015

Bus Malam Menuju Breda

Saya baru kembali tadi pagi dari Paris, menumpang bus malam lintas Eropa, menuju pulang ke pondokan di Belanda. Tidak ada yang mengesankan dari pengalaman itu, selain sedikit kesempatan untuk mengulang renung atas apa yang telah saya temui selama ini.
 
Hidup semua orang sangatlah gaib dan ajaib, dengan nasib takdirnya sendiri-sendiri. Gaib dan ajaib dalam suka. Gaib dan ajaib dalam duka. Pengalaman kita tidak akan pernah sama atau berulang dan kendati lagi-lagi reuni teman lama maka ingatan juga kesan kita terhadapnya sudah tentu berbeda, seiring sejalan pikiran serta perasaan yang terus bertumbuh. Ketika menyusuri boulevard kota Paris, naik turun stasiun metro dan menyeberangi jembatan demi jembatan sungai Seine, saya mendapat pikiran sederhana seperti ini: setiap hari saya terlahir sebagai pribadi baru, dengan pikiran dan impian baru, yang terperangkap terpenjara pada tubuh yang sama. Dunia yang saya hidupi kemudian terasa fana, dan saya seperti makin cemas kehilangan segala hal yang telah dijumpa karenanya.
 
Saya cemas kehilangan semua kenangan atas kebaikan orang-orang. Sungguh, saya cemas. Ada suatu kecenderungan dalam diri saya belakangan ini, terutama disebabkan nasib elok mendapat kesempatan menjejak langkah di tanah jauh Eropa, untuk mengingat-kenangkan kebaikan setiap orang, bahkan yang tidak saya kenal sekalipun. Mungkin, saya yang terlalu sensitif saja, bahwa pengalaman jauh dari rumah telah membuat saya merasa begitu sendirian sehingga segala perhatian dari sekitar terhadap diri saya lantas dimaknai sebagai kenyataan betapa saya masih dikaruniai kebaikan hati manusia. Amat tersentuh batin saya tatkala duduk menunggu teman di halte kota tempat mukim di Belanda dan seorang ibu mendekati dan khawatir bertanya adakah saya sedang tersesat. Juga kebingungan saya sewaktu tidak dapat memintas palang metro Paris yang terhapuskan lantaran bantuan seorang pria yang saya bahkan tidak sempat tanyakan nama atau asal bangsanya. Atau peristiwa-peristiwa kecil lainnya selama menjelajah kota-kota, yang (sedihnya) kini makin samar dalam pikiran saya.
 
Itulah sebabnya mengapa perjalanan saya pulang dengan bus malam itu menjadi momentum yang membekas sampai sekarang. Saya duduk sendiri di bagian depan, rebah bersandar pada kaca jendela yang memantulkan nyala lampu jalanan yang ratusan, ribuan jumlahnya. Dingin hawa malam tidak terasa namun gigil batin saya sangatlah meresap sampai menepis segala mimpi. Enam jam tempuh waktu ke Breda, halte pemberhentian akhir yang saya pilih, saya lalui dengan terjaga.
 
Hampir tidak percaya betapa telah saya penuhi studi selama tiga bulan di Eropa. Ada banyak hal yang saya alami, dan kini saya gamang merunut semua hal itu satu per satu, dari bagian mana dan dari rentang hari yang mana, saya kesulitan menceritakannya bahkan untuk diri saya sendiri. Hanya perasaan haru yang dapat saya raih dan pegang tak biarkan pergi, seperti rasa haru syukur saya karena dipertemukan dengan orang-orang baik itu, dengan pengalaman-pengalaman baik itu, dengan nasib baik yang entah bagaimana saya yakini tidak akan berulang itu.
 
Perasaan haru itu mengalir tak terkendali ketika saya duduk di St. Germain de Pres, di gereja tua yang lengang menjelang kebaktian, dan saya berdoa bagi mereka dalam syukur yang tidak pernah saya resapi sebelumnya.
 
Perasaan haru itu mengalir bersama ketakjuban bahwa saya melangkah di Pont Mirabeau yang mengatas sungai Seine, dalam gerimis kabut awal mula musim gugur, dan saya berjalan di sepanjangnya seraya mendengarkan jejak kaki saya yang menjauhi masa silam, ke dunia seberang depan yang masih misteri.
 
Entah bagaimana mengatakannya. Di detik menit itu saya bagaikan menerima wahyu, kalau bisa dibilang begitu, untuk menggali dunia dalam di hati setiap manusia, mencari mutiara dari setiap perjumpaan dengan siapa saja dan menamainya sebagai kebaikan. Saya harus menemukannya dan menjaganya di manapun dan kapanpun.
 
Saya tahu tulisan ini kedengarannya sentimental, terlalu mempribadi. Tentu Anda tidak akan merasakan apa yang saya rasakan ini, sebab memang semua yang saya resapi itu lebih menggenangi diri saya akibat renung-ulang dalam sunyi sendiri yang sebagaimana seringkali saya lakukan. Namun, saya hanya ingin meyakinkan Anda, bahwa di sebalik ilmu dan pikir nalar manusia, juga kehendak untuk berpegang pada daya kedewasaan yang matang penuh perhitungan, dalam sekian masalah soal yang tidak kunjung terpecahkan dan membuat Anda tidak berdaya melepas diri darinya, yakini serta percayalah bahwa tidak ada siapapun di dunia ini yang sesungguhnya tengah sendiri, terutama jika dia menyadari bahwa tiap-tiap manusia sejatinya menyimpan jiwa kodrati yang tidak bisa disangkalnya dengan cara apapun, yaitu kebaikan alami yang tersimpan dalam batinnya, yang spontan muncul pada kesempatan-kesempatan tidak terduga oleh karena rasa saling percaya satu sama lainnya.
 
Dan kebaikan itu mengemuka dalam hal yang sederhana saja. Dan ia menemani setiap perjalanan kita kemanapun di seluruh belahan dunia.