Rabu, 03 Agustus 2016

Dari Pesan Kemarin Hari

Tulisan ini dibuat dengan merangkum beberapa balasan surat kepada satu-dua orang kawan, yang kepada mereka saya mengungkapkan sedikit hal perihal puisi, hidup, dan penciptaan.
 
Terima kasih untuk kiriman naskah puisi darimu. Sudah aku unduh dan baca. Sangat menyenangkan. Menyimak sebagian puisi kamu, aku jadi teringat pada penyair kesukaanku, Sitor Situmorang. Perkenankan aku cerita sedikit tentang dia, sebelum kita masuk ke bahasan atas karya dikau ya.
 
Hampir semua penyair di Indonesia menulis puisi di usianya yang belia, termasuk Sitor di antaranya. Sajak pertamanya, Kaliurang, ditulis sewaktu masih 20 tahunan, dibuat saat dia mengunjungi Yogyakarta serangkaian tugas liputan untuk Harian Waspada yang berkantor di Medan. Ya, Sitor adalah penyair kelahiran Harianboho, nun di tepi Danau Toba, dengan segala mitos tradisinya yang masih lestari sampai sekarang. Sitor yang juga keturunan dari Sisingamangaraja, dengan ayah sebagai pemuka desa ternama, tentu hidup dalam lingkup tradisi yang kuat. Tapi, kita akan terkejut mendapati, betapa ternyata, puisi pertama Sitor ini sama sekali tidak bercerita tentang latar kulturalnya tersebut....Dia melompat, mencoba meraih apa yang kelak akan menginspirasi karya-karya Sitor selanjutnya: universalitas manusia, keterbukaan, kebebasan--hal yang kemudian justru acap menggiringnya pada rasa terasing dari lingkungan, budaya, politik, dan tradisinya sendiri, di mana dia menyebut dirinya sebagai Si Anak Hilang pada beberapa puisi ciptaannya.
 
Jadi, tidak sebagaimana kebanyakan penyair muda, Sitor menuliskan hal yang, bagi pikiran kita, sebenarnya berjarak dengan alam dunianya di masa kanak. Mungkin berbeda juga dengan alam dunia sehari-hari yang selama ini dia lakoni. Dan kukira, dia merupakan salah satu contoh yang baik untuk menegaskan betapa puisi sebenarnya tidak melulu bercerita tentang diri pribadi, kenangan kita, ingatan kita, ataupun pengharapan maupun impian kita. Bila kita perhatikan sajak Kaliurang, yang tersirat adalah sebentuk emosi terpendam atas dunia batin manusia, siapa saja, antara cinta dan perpisahan, antara hidup dan kematian....
 
Aku selalu punya keyakinan begini. Pengalaman seseorang saat pertama kali menulis puisi, janganlah sampai dipengaruhi secara dominan oleh persepsi atas apa itu puisi yang baik dan 'benar', apa itu teori puisi, apa itu estetika, apa itu keindahan, apa itu nilai, dan seterusnya. Pengalaman penciptaan puisi yang pertama merupakan Karunia, keindahan dalam wujudnya tersendiri, yang paling murni, sebab dia tumpah dari curahan batin yang mendalam. Diksi, irama, dan segala rupa polesan bentuk, adalah tahapan selanjutnya yang dipelajari seiring dengan proses kreatif kita. Tidak ada keharusan bahwa mereka yang mau jadi penyair harus 'lulus' dulu pelajaran semantik dan sebangsanya, baru kemudian menulis sajak. Pun penciptaan puisi adalah suatu hal yang misteri, di mana sajak-sajak yang luar biasa seringkali tercipta justru bukan karena konsep-konsep yang melandasinya. Konsep-konsep itu sering muncul belakangan seiring interpretasi pembaca terhadapnya....
 
Hal ini aku temukan setelah membaca karya-karya para penyair di usia muda mereka. Cobalah perhatikan, betapa dahsyatnya karya mereka ketika sebelum memahami benar apa itu Sajak dalam pengertian seutuhnya. Beberapa kemudian berhasil mempertahankan kualitas karyanya, sebutlah Sitor, Rendra, Sapardi dan lain-lainnya, yang kukira karena mereka melakukan usaha merawat 'alam puisi' tersebut. Suatu alam yang murni, kadang sedikit naïf, acap takjub pada sesuatu, atau secara ringan mempertanyakan sesuatu, yang dalam ungkapan Sitor yang terkenal: Penyair pada dasarnya seperti kanak-kanak....
 
Maafkan aku tidak memberikan catatan khusus dari setiap sajak, dan hanya bisa menyampaikan pandangan umum begini. Aku senang mendapati puisi-puisi kamu yang lancar mengalir berbahasa. Tiap larik, seluruh bait, sama sekali tidak bertendensi ingin berlebih. Kupikir, ini adalah suatu awal yang baik, di mana kejernihan kita dalam 'memperlakukan' bahasa sebenarnya mencerminkan juga cara pandang kita atas apa saja. Selama ini aku pun berkeyakinan, justru di tengah alam dunia dan multimedia yang riuh gaduh, kita perlu sebentuk momen penghormatan atas bahasa, yang memberi ruang jeda dari hiruk pikuk, dan siapa tahu, mampu menggiring kita pada kontemplasi: mensublimkan diri di tengah alam ramai.
 
Hanya saja, untuk mencapai 'yang sublim' itu, dibutuhkan suatu kerja tersendiri. Dalam hal ini, kerja kreatif yang bersisian dengan kerja hidup. Artinya begini: secara kreatif, kita baiknya memahami hakikat dari Puisi. Dia mempesona justru dalam bentuk yang padat, makna mendalam, yang pada beberapa bagiannya menyisakan pertanyaan maupun interpretasi kaya ragam. Dia tentu berbeda dengan prosa, yang dituturkan secara meluas, bahasanya bermakna denotatif dan seterusnya...yang dikau bisa periksa lagi dari teori-teori perpuisian yang ada. Yang ingin aku ungkapkan adalah, menulis puisi tidaklah sama dengan menyusun kalimat-kalimat puitik. Tiap kata, benda, emosi, dan peristiwa selalu punya sisi puitiknya tersendiri, namun jika menggabungkan semuanya dalam satu sajak, tanpa disertai ketajaman sublimasi untuk membentuk diksi, pun keberanian (atau acap kenaifan) dalam menyaring kesan melodramatik, aku khawatir dia hanya akan jadi rangkaian larik yang indah, namun tanpa kedalaman makna. Dia lancar, mengalir, akan tetapi hanya tampak sebagai deskripsi permukaan, atas perasaan, kejadian, duka ataupun suka cita.
 
Menulis Puisi, bagiku pribadi, adalah sebuah usaha terus-menerus dalam mengolah kata dan merebut makna.
 
Tapi, dari mana makna bisa kita hadirkan?
 
Di sinilah yang kumaksud dengan kerja hidup. Setiap hari haruslah kita mengasah mata batin kita, menumbuhkan rasa haru, juga kepekaan dalam menyaksikan, menyentuh dan menghirup aneka hal. Di sinilah, antara estetika dan sains, nalar dan naluri kreatif, rasa dan logika, eksperimen dan kebebasan, bertemu dalam suatu karya sajak yang baik: sajak yang bercerita tentang keringat manusia, yang menarik kita pada gairah hidup, yang terseka, tercium, meresap jauh ke batin. Ini tidak bisa didapat hanya dari membaca buku  melainkan diperoleh dengan melakoni kenyataan dengan sungguh-sungguh. Inilah misalnya, apa yang membuat karya penyair besar jadi abadi, melampaui zamannya: sebab dia bicara tentang kita, manusia, sosok pribadi penyendiri yang tak henti mempertanyakan hakikat dirinya di tengah kepungan manusia-manusia lainnya, dalam bahasa murni apa adanya, tiada yang dilebihkan atau dikurangi--suatu takaran genius yang amat jarang terjadi.
 
Pencarian yang kulakukan, termasuk juga proses kreatifku, belum tentu sama dengan penulis-penulis lainnya. Artinya, apa yang aku ungkapkan pun masih bisa diperkaya oleh tuturan dari berbagai penyair. Hanya saja, pesanku ya cuma satu ini: puisi diolah dalam hidup, bukan di atas kertas, apalagi dengan rumus atau teori. Belakangan, kesadaran ini mengemuka dalam diriku, bahwa saat-saat menulis puisi adalah momen di mana kita berhadapan dengan seutuh dan sepenuhnya diri kita, menanggalkan pretensi dan persepsi, membenamkan segala pikiran cerdas menjadi kenaifan yang mendorong segala rasa ingin tahu, dan mengakhirinya dengan kerendah-hatian. Kita bukanlah siapa-siapa pada saat itu. Kita adalah diri kita, yang dengan caranya sendiri ternyata mampu berbicara mewakili nilai yang paling universal dari setiap pribadi manusia.
 
Kedengaran rumit dan sulit? Tidak usah dipikirkan. Anggaplah ini sebentuk curhat dariku. Yang utama bagi kamu, teruslah menulis. Apa yang kamu lakukan ini, yang kamu awali ini, sudah sangat baik. Percayalah. Dan puisi, sebagaimana kesenian lainnya, merupakan segugusan proses, yang pasti akan kian baik jika kita terus mencoba berkarya.
 
Salamku selalu.