Minggu, 30 April 2017

Kesan dari Surakarta

Dari aneka kota yang pernah saya datangi, Solo tetap memesona dalam segala rupa yang dapat diresapi: keteduhannya begitu langka dijumpai terutama bagi mereka yang mukim di ibu kota yang gegas berubah, hawa udara yang mengalun perlahan ibarat lantunan bunyi gamelan tari tradisi turun temurun, dan yang utama, walau orang-orang datang dan pergi dengan aneka ingin dan pengharapan, Solo seakan bersitahan diam dalam kenangan demi kenangan.

Di pendopo wisma Taman Budaya Surakarta, saya menyaksikan semua itu sedemikian nyata. Khusus berkunjung untuk bertemu Suprapto Suryodarmo (72), akrab dikenal Mbah Prapto, yang tengah mengajarkan dasar filosofi tari, saya mendapati Solo yang lain, setidak-tidaknya bagi saya yang baru ketika itu bermalam lebih panjang di kota ini dibandingkan kesempatan-kesempatan sebelumnya.

“Apa yang Anda lihat sekarang,” ujar Mbah Prapto seraya memandangi murid-muridnya berlatih di pendopo, beberapa meter dari tempat lesehan kami, “adalah suatu proses sekaligus pertunjukan kesenian.”

Amat lekat saya menatapnya, bagai menginginkan penjelasan lebih lanjut. Namun, seperti halnya percakapan yang berlangsung sebelumnya, beberapa menit yang lalu, saya selalu dikejutkan oleh kelebat pikiran yang muncul seiring dengan tanya permohonan pengertian tambahan—yang kemudian tidak sempat saya lontarkan. Saya pikir, yang dimaksudnya ialah bahwa menari bukan semata soal penampilan di atas panggung sebagai wujud tontonan.

Seketika terbayang dalam ingatan saya, seperti apa penampilan para penari Bali di masa silam, yang dengan lincah meliukan tubuhnya merespon ruang di halaman pura dalam konsep panggung kalangan, seakan dirinya menyatu secara alami dengan sekitarnya, memadu irama bersama gamelan dan tembang, wangi bunga sesaji serta harum dupa, semuanya menautkan penari maupun pemirsanya dalam suasana penuh pukau tiada terucapkan. Mereka mengada tanpa sekat. Tanpa batasan. 

“Coba lihat Suzie,” tambahnya untuk mengarahkan pandangan saya kepada salah satu murid asal Amerika Serikat, “Dia tidak punya kesadaran akan tubuh belakang. Dan saya akan bilang itu kepadanya.” 

Begitulah, Mbah Prapto lantas memberikan peringatan sederhana: Coba sadari sekelilingmu. Kiri, kanan, atas, bawah, depan dan belakang. Sang murid mendengarkan. Dia mencoba bergerak lebih luwes, bukan hanya terpaku pada suatu sisi semata-mata. Ruang adalah tangan terbuka berkesenian yang dapat direspon sebebasnya. Dia ibarat keluasan tiada terbilang dan memungkinkan penari untuk bergerak sesuai dengan ekspresinya yang terdalam. Sempit dan lapangnya suatu ruang bukanlah karena ukurannya, melainkan disebabkan cara pandang seorang penari itu sendiri.

Ketika bergerak, walau kecil dan sederhana, dia sebenarnya sedang berusaha melepas batas-batas yang melekat dalam pribadinya: memori, pengertian, ilusi atas persepsi keindahan, kepatutan, sekaligus ketakutan, sampai tiada yang tersisa kecuali kehendak gerak yang alami tanpa terkungkung aspek fisikal apapun, seturut kebeningan kontemplasi batin yang mesti diasah berkali-kali. 

“Sadarilah saat di mana Anda bisa berhenti,” lanjutnya. 

Saat di mana kita bisa berhenti. Disadari. Saya kembali berpikir dalam hati, ingin memahami ucapan yang terdengar biasa saja itu.  Kesadaran merupakan kunci dari setiap upaya meditatif dan filsafati, yang selama berabad-abad coba direngkuh manusia dengan aneka penjelajahan rasional dan empirik, termasuk kultur kontemplatif sebagaimana yang diajarkan di Timur. Tidak jarang juga, mesti diakui, pencarian itu membawa manusia pada labirin pikiran nan sulit ditelusuri, sehingga kehendak melalui jalan pintas menjadi godaan tak terhindarkan. Sejarah menunjukan betapa kita sering terjebak dalam konsep kesadaran luhur yang sedemikian abstrak dan diterjemahkan ke wujud laku yang justru bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang paling hakiki sekalipun. Kesadaran dan kebijaksanaan merupakan perangkat penting dalam menguji kebenaran, demikian pesan Sang Buddha.

“Dan janganlah percaya kepada apa yang Aku katakan, sebelum kamu mengkajinya dengan kebijaksanaanmu secara cermat dan teliti,” demikian ujaran Sang Buddha dalam Kalama Sutta. Saya tidak yakin bisa menyentuh esensi ini. Yang dapat saya pastikan, dibutuhkan pengalaman amat panjang untuk sampai ke hal tersebut. Permintaan Mbah Prapto selanjutnya bagi saya tidak kalah menarik: bisa berhenti. Digunakannya frasa ini alih-alih: harus berhenti. Dua kata itu, bisa dan harus jelas bermakna beda: satunya menerangkan kemampuan, sementara lainnya menunjukan kemestian yang pasti. Lebih lanjut, bisa berkonotasi pada kesediaan melakukan, narimo, tahu apa yang dimau, bukan sebentuk perintah kepatutan yang tak boleh ditolak.

Bagaimana tubuh bisa berhenti? Tentulah itu berdasar dari kemauan tubuh itu sendiri, yang untuk memahaminya dia mesti didengarkan, dirasakan, dan dihayati sebagai kesatuan antara pikiran, jiwa, dan raga. "Pahami waktumu," tambah sosok yang duduk di sebelah saya itu secara santai, ditujukan kepada saya sekaligus para muridnya. Segalanya mengalir seiring waktu, tidak ada siapapun yang dapat melawannya. Karenanya, turutlah bergerak bersamanya. Melangkah lekas, lalu terhenti. Berbalik segera, kemudian menahan napas. Semuanya dilakukan semestinya secara natural, dan untuk meraih kealamian yang tiada dipaksakan itu dibutuhkan latihan terus menerus. Tujuannya tidak lain untuk memahami diri sendiri, kehendak natural yang meresap dalam diri manusia, seraya melepaskan lapis demi lapis kungkungan dalam apapun wujudnya.  

Tersenyumlah saya saat mendengarkan penjelasan Mbah Prapto atas hal ini. Prinsip tari, yang menggunakan gerak dan tubuh sebagai mediumnya, seketika hadir di hadapan saya sebagai suatu pencapaian seni yang lebih dari sekadar tontonan: dia juga sebentuk proses untuk melatih kepribadian, pencarian atas makna keindahan yang sejati, dan menggiring kita pada misteri penciptaan yang sampai kini masih terselubung tirai, seberapapun peliknya kita hendak menarik ingin terhadapnya.