Rabu, 07 Mei 2014

Geprek, Penyet, Hah!

Kalau bisa diibaratkan, sekitar empat dari tujuh teman saya suka sekali makanan pedas. Memang dulu saya pun doyan dengan sensasi rasanya yang selalu 'menyiksa' tapi ternyata kerap bikin ketagihan itu. Cuma semenjak saya pindah ke Jakarta setahun lalu, pelan-pelan saya mulai mengurangi kegemaran tersebut. Pasalnya, kalau sekali saja salah makan, saya bisa terjangkit sakit perut yang melilit dan membuat lemas berhari-hari. Ungkapan tempo dulu bahwa anak kos tidak boleh sakit masih kuat-kuat saya pedomani. 

Karenanya, bila teman-teman mengajak saya jajan makanan pedas, sedapat mungkin saya hanya memilih menu-menu lain yang 'aman'. Kecuali bila kebetulan di warung makan itu hanya menyajikan santapan macam itu (ketahuilah, teman-teman saya selalu tahu tempat seperti ini), maka saya pun bilang supaya level pedasnya jangan yang sampai bikin gigit lidah. 

Dulu sewaktu pertama kali menginjakan kaki ke Depok untuk seleksi masuk program magister, sahabat saya, sebut saja Dinda, menyambut dengan perayaan makan bersama di sebuah warung penyet sekitar Gang Pepaya-Margonda. Yah, namanya anak ndeso dari pulau Bali yang konon global itu, persepsi saya tentang ayam penyet pun biasa-biasa saja. Cuma lalapan dan ayam goreng dilumuri sambal pedas nanggung rasanya. Di Bali semua penyetan dipenuhi kesan mainstream macam itu.

Namun, setelah disodori menu khas warung tersebut, saya kaget betul. Jujur. Ini tidak bohong.

"Beneran nih? Kok sambelnya batu cabe semua?" saya bertanya.

Teman saya ketawa saja. Begitupun setelah kami makan, yang meskipun sambalnya telah dengan telaten saya sisihkan, ternyata rasa menyengatnya tetap menggigit. Mengucurlah semua keringat. Tetapi teman saya itu masih ketawa-ketawa. Rupanya dia sudah terbiasa makan yang beginian. Kemudian dia berkata,

"Selamat datang di Jakarta yang keras dan pedas!"

Hah! Pingin saya menyahut, tapi alamak, pedasnya ini enggak ketulungan. Puluhan cabe rawit rasanya sedang ikut menari di lidah, merayakan hal yang entah apa.

Setiap kali jumpa dengan Dinda, dia pasti selalu mengajak saya makan di Gang Pepaya lagi. Beberapa kali saya tidak penuhi undangannya. Kalau dihitung-hitung, setelah setahun sejak 'penyambutan' (atau kalau boleh dibilang, penyambitan) itu, saya hanya makan di sana dua kali saja. Kapok. 

Kawan saya lainnya punya selera makan yang cukup ekstrim. Belum lama saya sempat main ke Yogya dan berjumpa Rina, teman yang lama tak saya jumpai. Kami janjian di sebuah kawasan sekitar kota, rencananya untuk main-main sebentar sebelum saya melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Kepadanya saya ceritakan betapa udiknya saya soal kuliner Yogya di era sekarang, termasuk kekecewaan saya ketika menyantap sarapan sop di sebuah kedai pagi hari. "Rasanya bukan rasa ayam," kata saya. "Rasanya seperti rasa bumbu penyedap rasa ayam!"

Rina tergelak dengar komentar tadi. "Kalau begitu, ayo, kita jalan. Aku tunjukan tempat di mana kamu enggak makan menu yang cuma rasa bumbu!"

Sekitar tiga tahun lalu saya pernah datang ke Yogya dan mencicipi sate klatak yang dimasak tanpa bumbu apapun kecuali garam dan rempah tertentu. Saya pastikan dia tidak mengajak pergi mencari menu itu. Dan ternyata memang tidak.

Kami melewati area kampus UGM, lewat jalan-jalan kecil yang memisahkan wilayah-wilayah fakultas. Lintasan cukup lengang karena itu saat liburan. Aktivitas kampus sepi. Katanya, setelah kebijakan baru tentang 'normalisasi' kehidupan kampus, makin sedikit aktivitas kemahasiswaan yang dilakukan pada saat-saat kosong begini. 

Di sekitar kawasan Selokan Mataram (saya baru tahu ada daerah macam itu di Yogya) kami berhenti persis di depan sebuah warung pinggir jalan yang sederhana. Hanya ada beberapa orang yang duduk-duduk di sana. Tampaknya mereka baru selesai makan.

"Biasanya di sini ramai. Mungkin karena baru selesai jam makan siang, jadi cukup sepi sekarang," kata Rina sambil mengambil catatan pesanan. "Di sini cuma ada penyetan," tambahnya.

Ehem. Mendengar kata penyetan, pikiran saya langsung menerawang ke Gang Pepaya yang nun di sana. Saya senyum seringan-ringannya dan bertanya apa level sambelnya bisa disesuaikan. Rina bilang pendek, "Iya."

Tepat saat kami memilih menu, yang punya warung datang ke meja saji di mana telah tergelar di sana berwadah-wadah ayam goreng, tempe tahu goreng, lele goreng, terong goreng, dan semua khas penyetan lainnya. Dia mengambil beberapa buah cabe dari waskom dekat ulekan, menaruhnya sembarang, ditaburi garam, sedikit micin dan sepotong (sangat) kecil bawang putih. Semua itu digerusnya seperti sedang membikin bumbu rujak. Mulanya saya acuh saja. Tapi begitu sepotong ayam di taruh pada ulekan bersama terong dan tempe, aksi yang mengejutkan pun dimulai.

Yah, bagi saya sih mengejutkan. Soalnya semua penyetan itu betul-betul dihancurkan sampai nyaris rata. Lalu semuanya dituang begitu saja di atas nasi yang panas mengepul. Bentuk ayamnya tak keruan lagi. Bercampur dengan terong, tempe dan sambalnya....

Segera saya tatap Rina yang juga memandang saya dengan geli. "Kenapa Pur?"

"Cuma segitu aja?"

"Ya, memang. Tinggal geprek!"

Selama makan, saya masih merasa begitu terpukau dengan cara masak yang simple itu. Ada yang datang pesan lele, yang juga diperlakukan sama oleh penjualnya: digeprek keras-keras sampai bikin meja kami agak goyang doyong (ini agak lebay mungkin. Tapi deskripsinya kurang lebih begitulah...). Pikir saya, bagaimana cara makan lele yang tulang kecilnya sudah bercampur rata begitu. Ayam masih mending di mana tulang bisa disisihkan. Mudah-mudahan yang makan tidak sampai tersedak.

Meskipun saya pakai cabe 5 biji, pedasnya tetap terasa. "Temanku sampai pernah pesan sambal 30 biji cabe. Ibu yang jual sampai heran, dan begitu makanan jadi, dipanggilah siapa nama yang pesan menu itu. Orang-orang lain yang belanja sampai pada ngeliatin. Widih, aku ngerasa malu datang sama kawan yang begitu ke sini, he-he-he..." kisah Rina.

Saya yang kepedasan cuma bisa nyengir dengar cerita itu. 

Satu teman lain yang notabene keturunan Batak juga sama doyan pedas. Biasanya setelah kuliah, teman-teman suka kumpul di warung mie ayam depan FIB. Katanya di sana mie-nya enak dan suasana kampusnya nyaman. Suatu malam datanglah saya dengan kawan-kawan ke sana, sebenarnya untuk coba mie ayamnya saja. Pikir saya, toh ini bukan penyetan, jadi cukup aman untuk perut.

Tapi saya masih kaget saja (dipikir, ternyata saya orangnya gampang kagetan terhadap hal-hal baru dan tak terduga ya). Sementara teman sekelas lain ambil sambal sesendok kecil, ini kawan malahan tanpa ragu tuangkan sambal ke mangkuk. Nyaris seluruh permukaan mie ayam dengan sayur hijau segarnya ditutupi sambal. Saya bengong, tapi tak berani komentar banyak.

Barangkali karena hidup di Indonesia keras maka orang-orangnya suka makan pedas. Tatkala menikmatinya, mungkin terasa semacam peluapan emosi akibat sekian himpitan hidup yang dialami setiap hari. Apakah itu yang membikin orang Indonesia kebal (untuk tidak menyebut bebal) terhadap kritik lantaran sudah biasa dengan urusan macam beginian? Atau bahkan sebaliknya, kadang menjadi sensitif karena diusik hal-hal kecil remeh, persis seperti tersengat cabe rawit namun panasnya kerasa sampai ke ubun-ubun?

Entahlah. Yang jelas, agaknya pedas itu ibarat mengingatkan kita pada rasa sakit, ungkapan syukur sebab tetap sehat pasca menyantapnya (hah!), dan gelisah kangen untuk menikmatinya lagi. 

Jakarta, 7 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar