Minggu, 31 Desember 2017

Kata Kesukaan

Saya hampir saja tersandung di emperan pertokoan sekitar Tugu Tani ketika Sthela, kawan yang setahun tidak dijumpa, melontarkan pertanyaan mengejutkan: “Bisakah kamu sebut satu kata favorit?”

Sekian lama merasa diri sebagai penulis, saya terus terang tidak pernah memikirkan hal sederhana seperti itu. Tiap kata penting adanya, sebagaimana saya percaya bahwa masing-masing di antaranya memang punya memori dengan diri kita pribadi—satu kata bisa membangkitkan jutaan kenangan akan segala pengalaman sepanjang hidup.

“Mengapa hanya satu?” saya balik bertanya sambil menghindari sulur tanaman yang menggantung di lorong jalanan. “Banyak kata yang muncul dalam pikiranku sekarang….”

“Ya, hanya satu,” ujar Sthela tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan langkahnya, gesit sekali melintasi simpangan Jakarta yang riuh. Saya maklum sebab dia suka benar berpetualang—dan beberapa menit lalu kami bahkan berbincang soal rencana menumpang kapal Pelni ke Belawan, Medan, selama tiga hari dua malam. Sumatera Utara adalah kampung halamannya. Oh, saya ingin mengembara sepertinya: naik gunung, menyeberang laut, berkenalan dengan orang-orang baru, sama seperti momen saat saya bersua pertama dengannya di sebuah ruang kebudayaan di Jakarta. “Tidak harus dijawab sekarang. Kamu pikir saja dulu. Jika sudah ketemu, kabari aku,” lanjutnya dengan seulas senyum.

Entah mengapa, adegan jalan kaki di kawasan Tugu Tani itu terngiang lagi dalam pikiran saya sekarang, tepat di saat pergantian tahun kian menjelang. Saya duduk di sebuah kedai kopi langganan yang tidak jauh dari pondokan, tanpa ditemani siapapun. Belakangan begitu enggan untuk jumpa sekadar ngobrol dengan kawan, dan dalam hati saya seperti menyadari bahwa ini akan jadi akhir tahun yang sunyi, terutama bagi saya sendiri.

Pelan-pelan terbayang pula dalam angan, oh, apa sajakah yang telah dilakukan selama satu tahun ini? Waktu seperti berlintasan kembali, tiap detik, tiap bulan yang telah lewat. Saya pandangi pelanggan lain yang duduk tidak jauh dari kursi saya, apakah dia juga sedang merenung ulang kaleidoskop tahun ini?

Saya kian dirundung suatu rasa haru, yang tidak dapat dijelaskan darimana datangnya. Saya telah lalui tahun-tahun rantauan yang penuh warna di Ibukota. Hidup saya baik-baik saja, dengan sekian suka dan dukanya—namun entah mengapa itu membuat saya merasa hampa saat ini. Saya tamatkan program magister di satu kampus terbaik dengan sangat cemerlang; bisa saja lulus cum-laude andai tidak kelebihan masa belajar. Saya bertemu banyak akademisi yang peduli dan membukakan jalan untuk mengenal dunia-dunia luar, bahkan ditawari lanjut studi di lain negeri—yang tidak saya teruskan karena beberapa pertimbangan.

Diam-diam saya berpikir kembali. Apakah ini jalan nasib: rasa-rasanya saya sama sekali tidak pernah kesulitan dengan biaya hidup. Tanggungan kuliah dipenuhi oleh sebuah lembaga donor yang menyediakan anggaran berkecukupan yang bahkan mencakup ongkos pondokan, uang makan bulanan dan pembelian buku. Selalu juga ada tawaran pekerjaan yang membantu isi saku—jadi kontributor majalah gaya hidup, relawan serabutan di acara-acara budaya, jadi tim sekretariat sebuah organisasi permuseuman, atau sesekali dilibatkan penulisan biografi dan penerjemahan. Pun, dalam setahun ada saja kesempatan bepergian serta undangan acara-acara kesenian, entah di dalam maupun luar negeri. Semuanya seperti mudah sekali seakan-akan apa yang saya lakukan bukanlah rantauan melainkan hanya tinggal di sebuah tempat baru yang segala rupa fasilitasnya telah disediakan.

Karya-karya mengalir dan diterbitkan. Beberapa juga mendapatkan apresiasi. Dikelilingi banyak kawan yang tak pernah membuat saya merasa sendiri. Kini, saya memperoleh pekerjaan yang sungguh saya sukai.

Betapa sempurnanya hidup saya ini.

Dan barangkali, satu-satunya tragedi yang saya alami adalah ketika menyadari bahwa keseharian saya ternyata jauh dari tragedi. Saya penuhi lima tahun di Jakarta dengan ketabahan menghadapi kesunyian, terasing, berikut aneka petualangan (rumah pondokan saya pernah dirampok orang, tak jarang digoda laki-laki iseng, sampai menjajal keberanian dengan menempuh rute-rute transportasi umum yang tak saya kenali) tapi semua itu bukankah memang takdirnya seorang anak rantauan? Siapapun yang mencari hidup di kota ini pasti pula mengalaminya? Tidak ada yang istimewa dari kedukaan saya sebab banyak orang menghadapinya, bahkan mungkin ada yang lebih buruk dari itu.

Ketika saya kehilangan—entah seseorang, kesempatan baik, atau apa saja—maka hal itu amatlah terasa di batin. Seperti seorang yang tidak pernah merasa bersyukur, saya dibayangi melodrama yang berlarut-larut. Oh, ya. Sungguh. Tidak bohong. Kesedihan yang saya alami ternyata sebagian besar berpusat pada diri sendiri. Betapa menyedihkan.

Di kedai kopi ini, menjelang perayaan akhir tahun, saya tuliskan catatan-catatan kecil untuk nanti bisa dibaca sebagai pengingat hari-hari mendatang—sampai satu kata terlintas dalam benak saya dan membikin tercenung selama sekian waktu.

“Sthela,” demikian bunyi pesan singkat saya kepada kawan yang baik itu. “Aku tahu apa satu kata favoritku.”

Ikhlas. Dia mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Tapi, jika sekalinya bisa, maka batin kita akan ringan sekali. Kupikir, itu kata ajaib….

Tidak berapa lama, teman saya membalas dengan kalimat: Oke. Tunggu beberapa saat. Kalau seharian ini aku ketemu momen yang mengingatkan aku soal kata itu, akan kukabari kamu. Kemarin kita di Perpusnas, seseorang mengucap kata ‘langit’ dan aku langsung sms kawan yang ucap ‘langit’ sebagai kata favoritnya.

Jawabannya sederhana saja, namun entah mengapa membuat batin saya begitu hangat. Dia akan mengingat saya.

“Apa kata favorit kamu?” saya bertanya.

“Entahlah. Belakangan aku suka dengan kata keanekaragamanhayati, he-he-he….”

Saya tersenyum. Bukankah itu terdiri dari dua kata yang dipersatukan dengan imbuhan? Hanya saja ini tidak saya ungkapkan. Takut merusak kebahagiaannya menemukan satu kata favorit.

Yang jelas, setelah memikirkan semua itu, termasuk berkirim pesan kepada Sthela, saya sedikit lebih tenang. Akhir tahun, saya tentu masih sendirian dan tidak melaluinya bersama keluarga, teman atau kerabat lainnya. Mudah-mudahan, dengan ini, saya jadi punya cukup kesempatan untuk menghayati rasa syukur seraya merenungkan banyak hal dengan sepenuh kasih yang sebelumnya tidak pernah saya resapi.

Selamat Tahun Baru.

Selasa, 26 Desember 2017

Buka Toko Kembang

Kawan saya kelihatannya sedang gundah soal urusan cinta. Kekasih yang belum lama dikencaninya ternyata berpaling dan berpacaran dengan seorang teman terdekatnya—sesuatu yang sebenarnya telah dia duga semenjak mereka menjalani hubungan jarak jauh selama dua bulan terakhir. Demi menghiburnya, sungguh saya seorang karib yang baik, kami pun bertemu di sebuah kedai kopi dekat kantor.

“Tadi aku kepikiran mau punya pacar florist saja,” ujarnya setelah menghabiskan dua puding teh hijau, satu menu andalan di kedai sederhana itu. “Tapi, yang cakep juga dong. Selalu pakai kemeja putih, model loose-cut gitu. Tak masalah cewek atau cowok, asalkan pakai kacamata. Looks smart, cute, and gorgeous as well!

Saya biarkan saja dia melayang dengan imajinasinya sendiri. Tidak baik, betul-betul tidak baik, untuk menyela angan seseorang yang sedang patah hati. Impian dan pengharapan, seberapapun semunya, adalah sobat karib bagi mereka yang kesepian.

“Sebelum ke sini, aku mampir ke cafe di Kota Lama. Tempatnya asyik benar; sulit dipercaya kalau gudang beras zaman kolonial itu bisa disulap dari tempat nongkrong yang asyik. Musiknya juga sedap; lembut dan pas jadi latar bercakap ataupun sekadar melamun—aku kepingin sekali bilang, rugilah studio radio atau rumah-rumah produksi film kalau tak pakai jasa si tukang pilih list lagunya!”

Tampaknya saya tahu café mana yang dia maksudkan. Oh, andai saya tidak sedang men-jomblo, mungkin akan saya ajak juga kekasih untuk main ke situ.

“Duduk sebentar, eh, ada perempuan datang. Kupikir dia pelanggan, tapi ternyata bukan,” lanjut teman saya. “Dia ternyata join dengan manajer café untuk buka stand bunga di situ….”

“Stand bunga! Dalam café!” tanpa tedeng aling-aling, teman saya ini tetiba saja memekik seraya memukul meja. Saya yang sedang menyesap kopi hitam kesukaan hampir-hampir tersedak. Apa istimewanya hal itu hingga bikin dia bereaksi demikian? Rasa-rasanya dorongan buat punya pacar florist tidak akan sampai sehisteris-seeureka seperti itu.

“Aku kepingin buka toko florist bersamanya….”

“Kamu sudah kenalan dengan perempuan itu?”

Cepat sekali gerakannya jika dia sudah mendapat nama dan nomor telepon pribadi gadis tadi. Pun, lekas juga ya dia move on, sesuatu yang saya yakin sebenarnya sulit benar dia lakukan menimbang kawan saya ini tipikal pacar yang manut, pendiam, dan setia. Selama tujuh tahun berteman, saya tahu benar kalau karib ini tidak pernah genit macam-macam. Kemana-mana selalu membawa buku dan headset buat dengarkan musik dari koleksi spotify kesayangannya. Lagu anak 90-an. Classic-rock. Slow-mo emo. Apa saja.

Saya tahu juga kalau banyak orang yang suka dan diam-diam mau menjadikannya kekasih; hanya saja kawan saya ini begitu sopan dan memperlakukan siapapun layaknya teman-teman hang out yang asyik saja. Lain dari itu, dia pendiam sebenarnya. Sosok tertutup. Biasanya, model pribadi yang begini bisa begitu dalam terpuruk jika pilihan hatinya—suatu keputusan yang sebenarnya serba sulit sebab dia mesti membuka sisi-sisi pribadi—kemudian tiba-tiba menjauh dan mengakhiri hubungan.

“Belum. Belum kenalan,” jawabnya singkat. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kartu berwarna merah marun yang cantik. Mirip rupa mawar namun tanpa gambar mawar. Nama yang tertera di sana: Yanuar Ayu.

Saya cuma tersenyum. Mendapatkan kontaknya, walau hanya nomor profesional begitu, saya pikir tidak buruk-buruk benar. Biarlah bunga bersemi pada musimnya, secara alami tanpa sedikitpun tergesa-gegas. “Aku bilang mau pesan bunga buat ulangtahun kamu.”

“Sialan. Masih tahun depan, booking-nya sekarang.”

“Mana dia tahu kalau ulangtahun yang sebenarnya tahun depan?” teman saya mengerdip. Oh, ya, ampun, itu tingkah yang membuat saya jadi ingin menarik poni rambutnya, sesuatu yang sejak kuliah dulu selalu saya lakukan bila sedang gemas terhadapnya.

“Ya, kalau nanti kami jadi dan buka toko florist, kamu kubiarkan dapat tempat di mezzanine, dengan pemandangan terbuka ke bawah di mana kamu bisa menyaksikan kami melayani para pelanggan,” astaga, betapa jauhnya teman saya ini berandai-andai. Sampai melibatkan saya segala.

“Aku tahu kamu sekarang mulai mengurangi kopi. Hanya seminggu sekali, bukan? Jadi, kupikir wangi bunga bisa menggantikan kerinduanmu pada aroma-aroma yang merangsang kreativitas…,” tangannya meliuk-liuk tatkala mengucapkan kalimat yang terakhir ini. Mirip pesulap jalanan yang pernah saya saksikan di pinggiran kota rantauan.

“Terima kasih untuk budi baikmu. Aku hargai sekali,” ujar saya sembari bangkit ke meja pesan untuk membeli kue tambahan. Danish-cheese kelihatannya enak. Nona kasir tersenyum menanyakan tagihan. Open bill, ujar saya sambil menunjuk teman saya yang seketika berpura cemberut.

Selama pertemuan itu, saya sama sekali tidak ingin menanyakan lebih jauh sebab-musabab putusnya dia dengan sang kekasih. Kami sudah cukup riang membincangkan kemungkinan masa depan—suatu perencanaan yang saya tahu bakal mudah menguap. Kami tidak pernah terlalu serius merancang sesuatu; bagi kami, hidup sungguh penuh kejutan. Kadang kami pun ingin sekali menjadikan diri kami ini berantakan agar kami kemudian bisa menyusun ulang kepingan-kepingan kepedihan dengan sepenuh kasih penyesalan. Mirip Sisifus yang dikutuk mengangkat batu ke puncak gunung, kemudian entah karena takdir, kecerobohan, atau kehendak menyiksa diri sendiri, batu besar itu bergulingan sepanjang lereng dan dia mesti membawanya kembali ke atas. Kami ingin melawan kemapanan dan kerutinan di mana diri inilah yang menjadi kelinci percobaan.

“Akhir tahun mau kemana?” saya bertanya saat kami keluar kedai.

“Nonton film yuk. Anti-christ. Tiket terbatas dan aku bisa booking buat kamu….”

Sialan. Mestinya saya tidak bertanya. Film-film Lars von Trier adalah favoritnya dan saya tahu rencana menyaksikannya tidak bakal batal. Saya selalu berpikir ulang sebelum menonton karyanya—bukan karena apa, cemas akan efek depresinya saja.

“Wah, tak bisa lho. Sudah ada janji,” kilah saya.

Teman ini cuma ketawa. Tahu bahwa saya berbohong.

Susahnya punya kawan yang sudah tahu kebiasaan dan gelagat kita.

Tapi, senang pula, sebab kita tak pernah jadi merasa selalu sendiri. 

Jumat, 22 Desember 2017

Pemukiman di Pinggiran

Keluarga saya tidak punya tradisi apapun yang selalu mereka lakukan di hari-hari menjelang pergantian tahun seperti ini. 

Kami adalah penduduk pinggiran Kota Denpasar dan saya sedari kecil dibesarkan dalam kebiasaan orang-orang setempat yang lekat dengan agama dan budayanya itu; tahun baru mungkin kurang terlalu disambut antusias dibandingkan datangnya perayaan piodalan besar tertentu. Tapi, semenjak saya, satu-satunya anak yang merantau sekian lamanya ke lain pulau, beberapa kali menyempatkan pulang di akhir tahun demi menjenguk kedua orangtua yang kian sepuh, agaknya keluarga kami jadi punya satu tradisi baru yang penting untuk dilakoni: menanti kedatangan saya dengan segenap rasa kangen dari seluruh sanak famili.

Tentu saja ada hujan di penghujung tahun ini. Saya sudah menginap selama dua malam di kamar masa kecil yang wangi dan susunan benda-benda di dalamnya nyaris tidak berubah. Memang ada haru ketika merebahkan diri di ranjang pada malam-malam pertama, memandangi langit-langit kamar dari anyaman bambu, hiasan dinding hadiah ulang tahun saya yang keduabelas dari kakak sulung, hingga merasakan dingin debu serta titik rembesan air di tepian tempat tidur. Begitu pula pada keesokan pagi saat terbangun dan mendapati Ibu saya sedang membuat sesaji kopi yang dihaturkan di pelinggih persembahyangan, saya bagai seketika berada dalam suatu alam dunia yang berbeda—begitu takjub seolah sebelumnya saya tidak pernah hidup di lingkungan keluarga seperti ini.

Pelan-pelan tumbuh juga dorongan dalam diri saya untuk kembali membaur dengan mereka. Agak ganjil memang, saya yang bertahun-tahun merantau ini tiba-tiba menjadi seorang nan asing: kami saling mengenal satu sama lain namun tidak sepenuhnya memahami kabar masing-masing.

“Kamu apakah sudah tahu kalau Bu Made, tetangga kita, sudah tak punya suami?” Ibu berkata setelah melayani pelanggan jahitannya sore itu. Dia belum menutup usaha jahit rumahan yang dilakukannya sejak lima belas tahun lalu; saya masih ingat bentuk mesin jahit pertama dalam keluarga kami, merk ‘Singer’ yang mula-mula digunakan dengan kayuhan kaki dan belakangan memakai mesin dinamo sederhana yang bising suaranya bukan main. Kini sudah ada mesin jahit baru yang lebih canggih dengan tombol nyala otomatis. Ibu sempat memamerkannya kepada saya di hari pertama kepulangan saya, sekitar lima tahun lalu, dengan kebanggaan yang mengharukan.

Melihat reaksi saya yang kebingungan, Ibu memperjelas, “Bu Made yang dua rumah ke utara. Gerbangnya menghadap sisi timur. Masa lupa?”

“Oh ya. Depan rumahnya Bu Sri? Yang di muka rumahnya Komang pernah jatuh terluka?” Ajaib sekali. Ingatan saya melayang ke peristiwa duabelas tahun yang silam sewaktu adik saya menangis selepas didorong jatuh oleh anak-anak tetangga. Ada sedikit darah di belakang kepalanya.

Ibu saya mengangguk. “Kan suaminya tukang ojek.”

“Anak-anaknya masih kecil, bukan?” saya mengingat-ingat nama mereka. Tapi, luput.

“Yang besar sekarang sudah SMA. Sekolah tata boga. Hamil di luar nikah.”

Saya menghela napas. Lingkungan tempat kami tinggal ini bukanlah kawasan yang berada. Tiap rumah berhimpitan, nyaris tanpa halaman. Kalau pun ada pekarangan, itu paling cukup sebagai tempat parkir satu atau dua sepeda motor. Gang pemukiman pun kecil sekali dan tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Dulu persis depan rumah saya bahkan ada pos siskamling yang bentuknya nyaris mirip gubuk sawah dan di sanalah para pemuda sering berkumpul untuk minum miras dan magenjekan, yakni menyanyikan lagu berbahasa daerah dengan tempo ritmis yang khas itu—hampir mirip paduan akapela.

Pernah juga tetangga saya yang lain, remaja tanggung yang suka keluyuran malam hari—saat itu saya sudah masuk SMP, barangkali—dijemput tiga polisi karena kasus penodaan terhadap seorang dara yang tinggal tak jauh dari sini.

“Suaminya Bu Made kenapa?” saya bertanya kepada Ibu yang sekarang duduk di lantai sambil menyisihkan sisa benang dari pakaian orderan.

“Sakit, katanya. Pulang-pulang badannya lemas, dan meninggal di rumah.”

“Belum sempat dilarikan ke rumah sakit?”

“Tidak sempat. Keburu lampus,” Ibu membisik. “Seluruh warga di sini sampai panik. Ini di depan rumah orang-orang berkumpul. Ambulan tidak bisa masuk, Pak Made mesti ditandu. Tapi, kan berat badannya….”

Yang terpikir oleh saya adalah bagaimana keadaan istri dan anak bungsunya yang kata Ibu putus sekolah di SMP. Seingat saya, Bu Made terbilang belia benar usianya dan kelihatannya dia menikah di umur yang muda sekali; pasangan itu beberapa kali berselisih di dalam rumah dan suara jeritan si istri terdengar juga sampai ke kamar saya yang menghadap muka gang. Dari ucapan sang istri, saya menangkap kata-kata tentang baju, besoknya dia memekikkan sesuatu tentang rambut, dan di hari lain saya yakin dia mengucap hal-hal seputar kunci. Apakah hubungan benda-benda itu dengan adu mulut di antara mereka, saya sungguh tidak mengerti. Betapa pikiran saya yang kanak-kanak tidak bisa juga memahami persoalan yang diperdebatkan orang-orang dewasa.

Keesokan petangnya saya sengaja lewat rumah Bu Made untuk singgah ke warung kelontong yang berjarak tujuh nomor ke arah utara. Saya seperti ingin menautkan diri ke dalam lingkungan pemukiman masa kecil saya ini walaupun saya sadari bahwa itu akan sulit sekali bagi seorang yang telah lama berkelana, tinggal di kota besar, dan bertemu dengan sekian rupa perilaku manusia. Pengalaman pulang ini bisalah dianggap sebagai sebentuk nostalgia, mungkin. Tapi, tidakkah membangkitkan kenangan-kenangan masa silam itu hanya akan menimbulkan kehampaan dalam hati: saya rupanya telah begitu jauh berjarak dari alam hidup yang semasa kanak seakan menjadi napas sehari-hari yang tak dapat diluputkan.

Ada lampu yang menyala di teras belakang rumah itu. Bilamana hendak bepergian, biasanya pulang ke kampung halaman demi suatu keperluan, kebanyakan warga di sini seringkali menyalakan lampu teras agar bangunan tidak terkesan terlalu gelap di malam hari. Maling acap kali menyatroni rumah kosong dan gelap—dan dalam logika saya kini, tidakkah dengan melihat rumah yang lampunya menyala kala siang maka maling akan mengetahui pondokan mana saja yang tidak berpenghuni?

Tetapi, bukankah kemarin malam Ibu bercerita bahwa rumah itu tak lagi didiami karena pemiliknya pindah ke desa asalnya di Karangasem, di kaki Gunung Agung sana? Saya mengingat-ingat penuturan Ibu bahwa mereka pulang kampung sekitar enam atau tujuh bulan lalu.

Saya berhenti sejenak di muka pintu, hati diliputi rasa ingin tahu. Halamannya yang sempit sama sekali tidak ditumbuhi pohonan apapun; di suatu sudut hanya ada pot-pot bunga dengan tanaman yang mengering layu. Sementara itu, jendelanya rapat-rapat tertutup tirai dan undakan terasnya seperti bertabur debu, betul-betul mengesankan bahwa rumah Bu Made tidak ada lagi yang merawatnya. Konon, rumah itu sedang dijual meski sampai sekarang tidak juga ada pembeli. Pandangan saya lurus ke lorong teras belakang rumah; dalam kenangan, entah mengapa, terjalin lagi pengalaman semasa kanak ketika saya berlarian di atas tanah sawah gersang sebelum berganti bangunan pemukiman dengan rumah itu adalah salah satunya.

Kuncup kenangan saya membuka, bagai terhampar di depan mata keberadaan satu rumah lain yang dibangun oleh pendatang baru dan berlokasi persis di belakang sana. Keluarga saya boleh dibilang adalah penghuni lingkungan mula pertama sehingga tentu saya sedikit banyak tahu pula rumah mana dan siapa saja yang tiba dan bermukim di kemudian hari—dan ada sesuatu yang saya ingat mengenai rumah yang saya bayangkan sekarang ini.

Karena letaknya yang lebih tinggi dibandingkan pondokan kami, ayah saya seringkali menitipkan sepeda motornya di rumah itu jika lingkungan kami tergenang banjir. Setiap tiba perayaan Galungan, ibu saya akan mengirimkan sajian makanan ayam khas Bali kepada pemiliknya. Ibu selalu memasak menu itu secara terpisah dengan perangkat berbeda dari olahan babi yang selalu dihidangkan setiap kali piodalan besar datang. Siapa nama si empunya rumah, saya mencoba menggali dalam ingatan. Sesuatu tentang Putu, saya yakin. Tapi, Putu yang manakah? Mengapa ada terlalu banyak nama-nama yang serupa untuk kisah manusia yang beraneka?

Lain dari itu, saya samar-samar seperti kembali ke suatu malam ketika ayah saya bergegas keluar menuju pondok inapan sepeda motor tersebut. Di gang kecil pemukiman kami sudah ramai juga. Saya kepingin ikut bergabung namun ditahan oleh pelukan ibu. Dikecupnya kening saya secara lembut lalu dipanggilnya kakak saya, “Temani adikmu tidur.”

Belakangan, setelah saya tumbuh lebih besar, saya mengetahui dari cerita kakak bahwa malam itu begitu naas bagi keluarga yang tinggal di atas sana. Suaminya dituduh mencuri di lingkungan pemukiman lain—konon dia dipukuli warga sampai tak bernyawa. Dan istri yang ditinggalkan, yang tengah mengandung anak kedua, menangis sejadinya. Rumah itu, yang mereka diami tak berapa lama, pun ditinggalkan.

Kedua kaki saya yang mengajak tubuh ini kembali pulang setelah memintas kenangan demi kenangan itu terasa sedemikian lemas menjejak tanah. Hari sepenuhnya gelap, hujan mulai menitik lagi. Sungguh saya bagai oleng, terhuyung. Ini pengalaman nostalgia yang tidak saya harapkan.

Seseorang menyapa saya di tikungan gang: wanita separuh baya dengan keranjang besar disunggi di kepala. “Lho, kamu sudah pulang?” Dia adalah seorang tetangga saya yang lain, buruh angkut barang di Pasar Kumbasari, salah seorang kawan terdekat ibu saya. Mereka sering saya lihat sedang tertawa-tawa di teras rumah kami. Sapaannya saya balas dalam percakapan bahasa Bali yang kaku. Dan kami berpisah.

Ternyata tidak ada satu pun lampu yang menyala di rumah saya. Kelihatannya ayah dan ibu saya belum pulang dari ritual puja doa di salah satu pura. Jari saya menekan saklar. Teras sedikit lebih terang. Pandangan saya menghampar ke kejauhan: beranda di rumah-rumah lain juga benderang. 

Minggu, 30 April 2017

Kesan dari Surakarta

Dari aneka kota yang pernah saya datangi, Solo tetap memesona dalam segala rupa yang dapat diresapi: keteduhannya begitu langka dijumpai terutama bagi mereka yang mukim di ibu kota yang gegas berubah, hawa udara yang mengalun perlahan ibarat lantunan bunyi gamelan tari tradisi turun temurun, dan yang utama, walau orang-orang datang dan pergi dengan aneka ingin dan pengharapan, Solo seakan bersitahan diam dalam kenangan demi kenangan.

Di pendopo wisma Taman Budaya Surakarta, saya menyaksikan semua itu sedemikian nyata. Khusus berkunjung untuk bertemu Suprapto Suryodarmo (72), akrab dikenal Mbah Prapto, yang tengah mengajarkan dasar filosofi tari, saya mendapati Solo yang lain, setidak-tidaknya bagi saya yang baru ketika itu bermalam lebih panjang di kota ini dibandingkan kesempatan-kesempatan sebelumnya.

“Apa yang Anda lihat sekarang,” ujar Mbah Prapto seraya memandangi murid-muridnya berlatih di pendopo, beberapa meter dari tempat lesehan kami, “adalah suatu proses sekaligus pertunjukan kesenian.”

Amat lekat saya menatapnya, bagai menginginkan penjelasan lebih lanjut. Namun, seperti halnya percakapan yang berlangsung sebelumnya, beberapa menit yang lalu, saya selalu dikejutkan oleh kelebat pikiran yang muncul seiring dengan tanya permohonan pengertian tambahan—yang kemudian tidak sempat saya lontarkan. Saya pikir, yang dimaksudnya ialah bahwa menari bukan semata soal penampilan di atas panggung sebagai wujud tontonan.

Seketika terbayang dalam ingatan saya, seperti apa penampilan para penari Bali di masa silam, yang dengan lincah meliukan tubuhnya merespon ruang di halaman pura dalam konsep panggung kalangan, seakan dirinya menyatu secara alami dengan sekitarnya, memadu irama bersama gamelan dan tembang, wangi bunga sesaji serta harum dupa, semuanya menautkan penari maupun pemirsanya dalam suasana penuh pukau tiada terucapkan. Mereka mengada tanpa sekat. Tanpa batasan. 

“Coba lihat Suzie,” tambahnya untuk mengarahkan pandangan saya kepada salah satu murid asal Amerika Serikat, “Dia tidak punya kesadaran akan tubuh belakang. Dan saya akan bilang itu kepadanya.” 

Begitulah, Mbah Prapto lantas memberikan peringatan sederhana: Coba sadari sekelilingmu. Kiri, kanan, atas, bawah, depan dan belakang. Sang murid mendengarkan. Dia mencoba bergerak lebih luwes, bukan hanya terpaku pada suatu sisi semata-mata. Ruang adalah tangan terbuka berkesenian yang dapat direspon sebebasnya. Dia ibarat keluasan tiada terbilang dan memungkinkan penari untuk bergerak sesuai dengan ekspresinya yang terdalam. Sempit dan lapangnya suatu ruang bukanlah karena ukurannya, melainkan disebabkan cara pandang seorang penari itu sendiri.

Ketika bergerak, walau kecil dan sederhana, dia sebenarnya sedang berusaha melepas batas-batas yang melekat dalam pribadinya: memori, pengertian, ilusi atas persepsi keindahan, kepatutan, sekaligus ketakutan, sampai tiada yang tersisa kecuali kehendak gerak yang alami tanpa terkungkung aspek fisikal apapun, seturut kebeningan kontemplasi batin yang mesti diasah berkali-kali. 

“Sadarilah saat di mana Anda bisa berhenti,” lanjutnya. 

Saat di mana kita bisa berhenti. Disadari. Saya kembali berpikir dalam hati, ingin memahami ucapan yang terdengar biasa saja itu.  Kesadaran merupakan kunci dari setiap upaya meditatif dan filsafati, yang selama berabad-abad coba direngkuh manusia dengan aneka penjelajahan rasional dan empirik, termasuk kultur kontemplatif sebagaimana yang diajarkan di Timur. Tidak jarang juga, mesti diakui, pencarian itu membawa manusia pada labirin pikiran nan sulit ditelusuri, sehingga kehendak melalui jalan pintas menjadi godaan tak terhindarkan. Sejarah menunjukan betapa kita sering terjebak dalam konsep kesadaran luhur yang sedemikian abstrak dan diterjemahkan ke wujud laku yang justru bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang paling hakiki sekalipun. Kesadaran dan kebijaksanaan merupakan perangkat penting dalam menguji kebenaran, demikian pesan Sang Buddha.

“Dan janganlah percaya kepada apa yang Aku katakan, sebelum kamu mengkajinya dengan kebijaksanaanmu secara cermat dan teliti,” demikian ujaran Sang Buddha dalam Kalama Sutta. Saya tidak yakin bisa menyentuh esensi ini. Yang dapat saya pastikan, dibutuhkan pengalaman amat panjang untuk sampai ke hal tersebut. Permintaan Mbah Prapto selanjutnya bagi saya tidak kalah menarik: bisa berhenti. Digunakannya frasa ini alih-alih: harus berhenti. Dua kata itu, bisa dan harus jelas bermakna beda: satunya menerangkan kemampuan, sementara lainnya menunjukan kemestian yang pasti. Lebih lanjut, bisa berkonotasi pada kesediaan melakukan, narimo, tahu apa yang dimau, bukan sebentuk perintah kepatutan yang tak boleh ditolak.

Bagaimana tubuh bisa berhenti? Tentulah itu berdasar dari kemauan tubuh itu sendiri, yang untuk memahaminya dia mesti didengarkan, dirasakan, dan dihayati sebagai kesatuan antara pikiran, jiwa, dan raga. "Pahami waktumu," tambah sosok yang duduk di sebelah saya itu secara santai, ditujukan kepada saya sekaligus para muridnya. Segalanya mengalir seiring waktu, tidak ada siapapun yang dapat melawannya. Karenanya, turutlah bergerak bersamanya. Melangkah lekas, lalu terhenti. Berbalik segera, kemudian menahan napas. Semuanya dilakukan semestinya secara natural, dan untuk meraih kealamian yang tiada dipaksakan itu dibutuhkan latihan terus menerus. Tujuannya tidak lain untuk memahami diri sendiri, kehendak natural yang meresap dalam diri manusia, seraya melepaskan lapis demi lapis kungkungan dalam apapun wujudnya.  

Tersenyumlah saya saat mendengarkan penjelasan Mbah Prapto atas hal ini. Prinsip tari, yang menggunakan gerak dan tubuh sebagai mediumnya, seketika hadir di hadapan saya sebagai suatu pencapaian seni yang lebih dari sekadar tontonan: dia juga sebentuk proses untuk melatih kepribadian, pencarian atas makna keindahan yang sejati, dan menggiring kita pada misteri penciptaan yang sampai kini masih terselubung tirai, seberapapun peliknya kita hendak menarik ingin terhadapnya.