Rabu, 29 Juli 2015

Yang Terasing Tak Bisa Pulang

Kami, saya dan Yanti, seorang teman SMA dulu, baru saja pulang dari Amsterdam. Kami naik kereta yang sama jurusan Dordrecht, melintasi kota Leiden tempat Yanti tinggal selama tujuh tahun untuk menempuh studi sarjana sampai magister. Ia sedang mencari kerja, dalam beberapa bulan ini, dan karenanya punya cukup waktu senggang untuk menemani saya selama tiga hari ini.

Datang ke Amsterdam sama sekali bukan untuk jalan-jalan. Kami cuma punya waktu sehari di sana, dan digunakan sepenuhnya demi bersilaturahmi dengan seorang kelahiran Bali yang memilih eksil di Belanda, terutama pasca peristiwa 1965 berlangsung. Made Raka, nama pria itu (apakah saya harus menuliskan identitasnya dengan nama sebenarnya?) ditahan paspornya pada tahun 1962 karena tidak bersedia mengingkari jasa dan pemerintahan Soekarno. Istrinya juga serupa. Mereka yang semula mahasiswa utusan Indonesia untuk belajar di Tiongkok dan Rusia, kebanyakan juga bernasib serupa.

"Yanti sudah tujuh tahun di sini. Rencananya ingin kembali ke Indonesia?” Made Raka, yang usianya saya taksir sudah di atas 70 tahun bertanya kepada Yanti pada saat makan siang bersama di apartemennya yang sederhana, beberapa ratus meter dari kediaman Anne Frank yang bersejarah.

"Belum tahu, Pak Made. Saya masih ingin bekerja dulu di sini, mencari pengalaman setelah kuliah…” yang ditanya menjawab sopan sembari menambahkan cerita perihal kegiatan yang sudah dilakukannya selama ini.

"Bagus kalau begitu. Sebaiknya Yanti harus pulang. Indonesia pasti menunggu sumbangsih yang bisa Yanti berikan…”

Kalimat itu mungkin terasa sederhana saja. Namun, bilamana diungkapkan oleh seorang yang eksil, seorang yang dulunya mahasiswa cemerlang peraih beasiswa ke luar negeri, dan sayangnya kemudian tidak diperkenankan pulang oleh negaranya sendiri, bagi saya, itu benar-benar mengharukan. Tidak. Mencengangkan tepatnya.

Made Raka mengungkapkan itu dalam nada biasa saja. Sambil menyendok ayam sisit—sejenis masakan ala Bali—juga sayur tahu buatan istrinya.

Kemudian ia menuangkan teh ke dalam gelas kami masing-masing. Dan bercerita tentang Belanda, negeri yang ia diami selama puluhan tahun.

“Sejak itu, kapan Pak Made berkunjung ke Indonesia?” Akhirnya, rasa ingin tahu yang sudah beberapa lama saya pendam itu keluar juga. Jelas bukan pertanyaan yang baik ditujukan bagi seorang yang lama terusir dari tanah air.

Akan tetapi, di luar dugaan saya, pria itu menjawab santai seperti sedang membincangkan, apakah besok kita jadi jalan-jalan menyusur kanal, atau bagaimana kalau nanti sore pergi membeli buah-buahan untuk bahan jus kesukaannya.

“Saya ke Indonesia di tahun 1983, kalau tidak salah…”

“Wah, dua puluh tahun kemudian?” lagi-lagi saya melontarkan pertanyaan yang tidak perlu. Siapapun yang paham matematika pasti tahu itu.

“Kok dua puluh tahun sih? Kurang dong…” Made Arka menukas sambil mengernyitkan dahinya. Mungkin ia bingung karena merasa peristiwanya terjadi tidak dalam rentang selama itu. Barangkali ia mengingat-ingat bahwa kejadian berlangsung kemarin sore? Boleh sangka demikian.

Beberapa lama berselang, ia mengoreksi kenangannya sendiri. “Yaa, dua puluh tahun…”

“Dan tidak rindu Indonesia lagi?”

Kali ini Yanti menatap saya sekilas, seraya menusukkan tatapan penuh tanya. Saya segera menyadari, niatan untuk membuat candaan dan pencair suasana dengan mengungkapkan kalimat barusan dalam nada ringan, bukanlah hal yang tepat.

Siapa yang akan merindukan negeri lahirnya, bilamana ternyata kemudian ia justru dilarang pulang oleh saudara sebangsanya sendiri? Membuatnya harus tinggal puluhan tahun, beribu mil jauhnya dari kampung halaman serta segala kenangan indah masa kanak yang dipunya. Harapan hidup yang lebih baik? Jangan tanyakan. Hidup baik macam apa yang bisa dipilih oleh seorang eksil, mahasiswa yang baru saja lulus kuliah sarjana yang waktu itu belum punya pengalaman apapun?

Made Raka menyerpih sebuah kerupuk tenggiri—yang dibeli dari toko asia di Belanda—dan membagikannya pada saya sebagai teman makan siang.

“Tentu saja rindu. Meski niatan untuk kembali sudah tidak ada lagi.”


Yanti yang tadi memberitahu hendak lelap sebentar dalam perjalanan dengan kereta, entah mengapa kemudian ikut terjaga dan melamun menyaksikan bangunan, ladang dan kanal yang berlintasan di luar jendela.

Gadis itu nampak lelah. Katanya demam dan pusing yang beberapa hari kemarin dideritanya belum sepenuhnya sembuh. Tadi pagi, sebelum kami ke Amsterdam, ia memberanikan pergi ke dokter dan menyampaikan secara antusias saat ia pulang satu jam kemudian, bahwa dokter yang biasanya hanya menyarankan istirahat dan minum banyak air putih, tadi bersedia melakukan tindakan medis yang sangat lazim di Indonesia: mengukur tekanan darah dan menulis resep obat migrain.

Saya geli sendiri mendengarkan penuturannya. Dokter di sini memang dikenal enggan memberikan obat-obatan. Bahkan ada anekdot yang bilang, dokter di Belanda tidak akan mau memeriksa pasien sebelum memastikan: “Apakah Anda sekarat?” kendati ia menyaksikan si penderita kejang-kejang di hadapannya, he-he-he...

“Pasti tidak mudah ya, Yanti, hidup di Belanda, bertahun-tahun...”

Teman saya itu tersenyum maklum saja, seolah saya ini anak kecil yang lugu polos dengan pertanyaan dan komentar apa adanya, dan sebenarnya tidak perlu ditanggapi serius. “Hidup di mana pun juga tidak mudah...”

Maksudku, kembali saya menjelaskan, untuk orang seperti Pak Made Raka dan istrinya, pastilah sangat traumatik. “Siapa yang bisa membincangkan Indonesia secara hangat dan bahkan menyarankan supaya kamu kembali pulang, sementara hal sebaliknya justru dulu mereka alami?”

“Mereka pasti telah melewati semua kebencian, dendam, putus asa dan rasa pedihnya, sebelum akhirnya bisa sampaikan penyataan itu kepada kita...” lanjut saya sembari melempar pandang keluar.

Pikiran saya melayang tiba-tiba pada pengalaman seminggu yang lalu tatkala mencoba lelap dalam kamar kos yang saya diami selama program pertukaran mahasiswa di musim panas ini. Tetangga di kamar sebelah, seorang pelajar Indonesia, saat itu melakukan kontak video call dengan seorang kenalannya. Suaranya keras sekali, sampai saya bisa mendengar apa saja yang mereka bincangkan.

Gue udah lulus magister di Belanda. Masa mau langsung pulang? Pengalaman kerja enggak punya, prestasi pas-pasan. Gila aja, ada banyak orang lulusan luar negeri yang sama-sama balik ke Indo...Tau enggak, kalau pikir-pikir, rasanya useless kuliah susah-susah di sini karena predikat sarjana universitas luar enggak banyak artinya...”

Diam-diam, sekarang ini, saya sangat berharap, semoga tidak semua mahasiswa muda Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar tanah air punya pikiran seperti tetangga sebelah itu. Saya kira adalah sangat menyedihkan bilamana tidak menemu rasa syukur berhasil mendapat pendidikan baik, sampai ke luar negeri pula, sementara di daerah lain di Indonesia ada anak yang kesusahan masuk sekolah dasar sekalipun. Lain dari itu, jika mereka pulang, masih ada keluarga dan rumah yang bersedia menyambut kedatangannya. Mereka hanya merantau beberapa tahun, bukan menetap di tanah orang tanpa kepastian apakah bisa kembali nantinya.


“Jadi, besok kalian akan ke Pura di Belgia? Bukankah ada odalan Kuningan?”

Made Raka bertanya sewaktu kami berpamitan. Ia mengantar sampai pintu depan apartemennya, bersama istrinya yang halus budi itu. Saya mengiyakan pertanyaannya, sambil menambahkan bahwa akan pergi bersama salah seorang kenalan orang Bali yang lama bekerja di Bandara Schiphol, Amsterdam.

“Yanti belum tahu apakah mau ikut. Karena kondisi belum baik,” teman saya memberi sedikit keterangan.

Lelaki itu tersenyum ramah, layaknya seorang ayah pada dua putrinya yang baru saja mulai dewasa. “Memang sebaiknya istirahat saja. Doa kan bisa darimana saja,” imbuhnya sambil menyalami kami.

“Dan jangan lupa sampaikan salam kami kepada semeton Bali di sana. Salam hangat dari keluarga Bli Raka di Amsterdam...”

Kami menyambut dengan gembira permintaannya yang sederhana itu. Hanya pikiran saya tidak habis-habisnya merenung:

Bilamana ternyata saya, atau anak muda manapun di masa sekarang ini, mengalami nasib sepertinya dahulu, apakah bisa, apakah sanggup, kami mengolah gemuruh batin akibat kenyataan pahit diasingkan, dibuang, dilupakan di tanah orang?

Sungguh saya ragu. Dan, barangkali, hanya waktu yang tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.

Tilburg, Juli 2015

Selasa, 14 Juli 2015

Musim Gugur di Melbourne

Saya tiba di Melbourne tatkala kota metropolitan itu tengah bersiap menghadapi musim dingin.

Turun dari trem tepat di simpang jalan Bourke dan Swanston, sebuah pusat kota yang selalu riuh, selintas tebersit rasa gamang dalam batin. Linglung akibat perjalanan panjang selama 9 jam dari Jakarta? Mungkin. Atau barangkali bingung oleh ketakjuban, menghempas tiba-tiba bagai angin musim gugur yang menghembus dedaunan: Saya akhirnya tiba di negeri yang sejatinya dekat dengan Indonesia, namun jauh dari angan untuk sungguh menjejak kaki di sini.

Menyisihlah saya dari halte dan pedestrian yang dipenuhi lalu lalang orang-orang—entah siapa dan dari mana asal mereka, benar-benar tidak saya ketahui. Tiada seorang pun melirik saya, yang berdiri kikuk di muka jendela toko mode kelas atas, dengan sebuah ransel naik gunung dan koper seadanya. Resleting jaket saya naikkan sampai ke leher sementara wanita muda baru saja lewat penuh percaya diri dengan mantel kancing terbuka. Celana dan sepatu saya seketika seperti lusuh sekali sedangkan nona dan tuan di seberang itu begitu trendi dan rapi. Saya mirip pengungsi yang baru saja melarikan diri, boleh jadi.

Tetapi, kemudian muncul sebuah pikiran bahwa saya tidak boleh terus menerus demikian. Bukankah saya datang kemari untuk memenuhi undangan yang kedengarannya cukup mentereng: mewakili Indonesia dalam pertemuan penulis muda di Australia, Emerging Writers Festival 2015, berlangsung sejak 26 Mei hingga 5 Juni. Saya diterbangkan khusus, dengan tiket yang sudah disiapkan, berikut jadwal seminar dan pembacaan karya yang telah disediakan. Lebih dari itu, saya diberikan kepercayaan oleh komite Bali Emerging Writers Festival, yang selama kurun lima tahun ini secara intens menggelar apresiasi bagi penulis dan kreator muda di segala bidang, guna bertukar gagasan serta pengalaman perihal perkembangan susastra di kalangan generasi muda Indonesia.

Maka, menyisihlah saya dari rasa minder itu, lalu melangkah pasti layaknya seorang utusan dengan mandat yang tidak bisa digugat….menuju toko kaki lima di simpang jalan Swaston, dan bertanya kemana arah menuju penginapan….ha-ha-ha….


Emerging Writers Festival (EWF) 2015 menyajikan berbagai kegiatan yang masing-masing begitu kaya warna. Tiap agenda diselenggarakan tersebar di beberapa titik pusat kota Melbourne, menampilkan para penulis muda dari seluruh benua Australia. Inilah perayaan yang digiatkan oleh sekelompok anak muda, tanpa tujuan mencari laba, semata-mata demi memberi ruang bagi berseminya talenta sastra di Austalia.

Sam Twyford-Moore sebagai direktur festival menggagas acara ini sejak tahun 2011. “Saya tidak pernah belajar khusus tentang event organizer atau semacamnya. Saya hanya punya teman-teman yang berkomitmen bekerjasama sebagai satu tim solid, kemudian kami berupaya dan berupaya agar festival ini bisa terwujud,” ujar Sam ketika saya mengunjungi sekretariatnya di The Wheeler Centre, institusi yang khusus mewadahi serta mendukung kegiatan susastra di kota ini. “Saya tidak pernah menduga bahwa festival menjadi sebesar ini, dengan dukungan yang terus mengalir…” tambahnya.

Sejak mula pertama digelar hingga berlangsung di tahun 2015, EWF telah mengetengahkan ratusan penulis, puluhan program, dengan partisipasi antusias dari warga setempat. Kerjasama dengan Bali Emerging Writers Festival telah berlangsung selama 2 kali, dengan wujud pertukaran penulis muda dari dua negara demi memperkenalkan karya mereka sekaligus berbagi perihal perkembangan sastra oleh generasi muda di tiap negara.

Misalnya, pada BEWF 2014 lalu hadir Luke Ryan, penulis muda Australia yang dikenal lewat karyanya yang komikal dan satir lewat buku pertamanya A Funny Thing Happened on the Way to Chemo. Sementara itu, Ni Ketut Sudiani, penyair dan novelis asal Bali turut berpartisipasi dalam beberapa kesempatan EWF 2014. Adapun Lou Heinrich dan Omar Sakr ialah perwakilan EWF di ajang BEWF 2015, sementara saya akhirnya tiba ke Melbourne sendiri, sebab Penyair M. Aan Mansyur batal terbang karena sesuatu hal….

Apa saja yang saya lakukan selama EWF?

Ha-ha-ha…itu pertanyaan yang sulit dijawab. Pasalnya, saya sungguh mendapatkan banyak sekali pengalaman yang tidak dapat disebutkan satu demi satu. Semuanya menggembirakan, menyenangkan. Selain sebagai panelis di sesi seminar, saya berkesempatan mengisi diskusi di Monash Asia Institute yang merupakan rekanan EWF tahun ini, di samping turut menjadi penyaji dalam program bertajuk Travel Slide Night, berupa presentasi potret perjalanan berikut cerita di sebaliknya yang dituangkan dalam karya.

Sesi-sesi dialog selalu berlangsung hangat. Dalam diskusi di Monash Asia Institute misalnya, bahkan turut hadir Konsul Jenderal RI untuk Melbourne, Ibu Dewi Savitri Wahab, yang menjelaskan peran penting kebudayaan dalam hubungan Indonesia-Australia. Saya juga turut menyampaikan sedikit testimoni, sebelum kemudian dilanjutkan dengan pembacaan karya. Bahkan, Monash Asia Institute secara khusus menampilkan pertunjukan tari topeng Bali yang, terus terang, tampil dengan sangat memukau…


Hampir dua minggu di Melbourne, di samping mengikuti agenda festival, saya telah mencoba menjelajah, bahkan hingga ke daerah pinggiran Melbourne. Panitia Emerging Writers Festival dengan berbaik hati menempatkan saya di Swanston Street, sangat dekat dengan beberapa universitas seperti Melbourne University dan RMIT yang terkenal sebagai institusi seni dengan mahasiswa yang penuh gairah kreatif.

Sebelum kemudian saya menyadari, bahwa ternyata ada cukup banyak komunitas Asia di kota ini. Di simpang jalan Swanston, menyeberanglah gadis dan pemuda Asia, hampir setiap waktu. Selalu ada orang Asia di taman, toko, kafe atau di tempat mana saja yang saya datangi. Ini tentu bukan hal yang mengejutkan bagi sebuah kota besar seperti Melbourne. Orang-orang dengan berbagai latar budaya, bangsa dan sejarahnya, telah lekat membaur, menyilang interaksi dan membentuk nuansa keberagamannya sendiri.

Tetapi, saya pikir, fenomena ini tentu sangat mengejutkan bila terjadi di Melbourne masa silam. Atau di tempat lain yang telah sekian lama menutup diri, sengaja maupun tidak sengaja. Atau bagi sebuah masyarakat yang tiba-tiba dikepung keterbukaan globalitas. Bagi mereka, hadirnya orang asing—bukan hanya orang Asia, ataupun belahan benua lainnya—selalu menimbulkan rasa canggung, kikuk dan serba ragu untuk berkomunikasi serta mengenal lebih jauh. Pada tahapan berikutnya, andaikan rasa canggung itu tidak diatasi, sementara persaingan hidup makin sengit, kompetisi dalam merebut rezeki kian kuat terjadi, dan tiap kelompok bangsa menguatkan identitasnya sendiri, tentu bukan mustahil bila kita mendapati kenyataan memilukan sebagaimana di Myanmar belakangan ini. Atau kasus-kasus kemanusiaan di mana saja di dunia saat ini.

Semua itu tidak akan terjadi—saya yakin—bilamana kecintaan kita pada apapun, bahkan kepada Tuhan, ideologi, dan keyakinan manapun, tidak mengalahkan kecintaan kita pada kemanusiaan.

Sejujurnya, saya agak sedikit deg-degan datang ke Australia, terutama pascaperistiwa yang mengakibatkan terjadinya ketegangan dalam hubungan diplomatik negara ini dengan Indonesia. Saya datang dari Bali, sebuah pulau kecil di Indonesia, yang belakangan ini cukup menjadi perhatian karena penjatuhan hukuman mati bagi dua warga Australia untuk kasus narkotika. Terlepas dari esensi hukum atas pelanggaran yang mereka lakukan, saya adalah salah satu dari sekian banyak warga Indonesia yang tidak setuju dengan kebijakan hukuman mati. Hidup adalah anugerah paling utama dari Tuhan; melebihi kekayaan, kesehatan dan kemuliaan. Manusia dapat menciptakan banyak hal: teknologi yang membantu kita setiap saat, pakaian yang melindungi dari gigil cuaca, ataupun karya lainnya yang bermakna. Akan tetapi, kita tidak bisa mencipta jiwa. Bahkan selembar nyawa seekor lalat pun tidak.

Saya tentu tidak memiliki kapasitas bagaimana jalinan antarbangsa tersebut mesti dirawat, terutama bila menyinggung aspek politik dan kebijakan dua negara. Saya hanya bisa memimpikan, bahwa hubungan dua bangsa ini dilakukan atas dasar kecintaan pada kemanusiaan.

Australia telah melahirkan banyak penulis dengan berbagai penghargaan dan prestasinya, sejalan dengan regenerasi yang terus-menerus bertumbuh, dengan segelintir nama yang saya kenali: Gwen Harwood, Vincent Buckley, James McAuley, A.D. Hope, Patrick White serta banyak nama lain yang tentu punya pencapaian pentingnya masing-masing. Indonesia juga memiliki beberapa nama penulis: Chairil Anwar dalam sajak, Sutan Takdir Alisjahbana yang gagasan dan karyanya menginspirasi hingga kini, juga Pramoedya Ananta Toer yang prosanya sangat saya sukai.

Saya membayangkan, bukan hal yang tak mungkin, bahwa kelak akan muncul juga penulis-penulis yang menyadari dengan sungguh sejarah kebudayaan di dua negara ini, menemukan harta karun pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya, kemudian menjalin persahabatan—dalam karya dan dalam kehidupan senyatanya.

Ya, itulah yang saya bayangkan saat duduk dalam trem yang mengantarkan keliling kota Melbourne, duduk di bangku tepi jalan, singgah di Melbourne Central Station, mengunjungi Victoria Library of State, memasuki Melbourne Museum, bertemu dengan diaspora Indonesia, mengikuti diskusi di Melbourne University, hingga duduk termenung di Federation Square dan membisik doa syukur Katedral St. Paul.

Rasa-rasanya waktu itu, ketika saya memikirkan itu, gigilnya musim gugur Melbourne tidak begitu terasa. Mungkin begitu ya, betapa gemuruh pengharapan ternyata kuasa menghangatkan batin, sepanjang hari, sepanjang waktu.