Senin, 05 Mei 2014

Dari Jatinegara, Jakarta

Semua orang bisa terserang demam. Termasuk juga saya.

Petang ini, setelah dirawat begitu tulus oleh seorang teman kos, kondisi saya berangsur-angsur membaik. Suhu badan mulai pulih. Meski masih sedikit pening, tapi secara keseluruhan saya merasa telah cukup sembuh sehingga bisa membuat catatan harian ini.

Malam kemarin adalah saat yang melelahkan. Saya menempuh perjalanan panjang ke Jakarta dengan kereta. Bukan hanya karena penat setelah seharian berkegiatan, saya merasa sedemikian lelah oleh hati yang letih hampa. Sebabnya adalah urusan pribadi yang tentu tidak bisa saya ceritakan di sini. Toh, setiap orang punya persoalannya sendiri yang tidak elok dibagikan pada ruang publik seperti ini.

Terus terang, dalam perjalanan panjang itu, saya jadi mengerti betapa sunyinya batin Wanatabe dalam Norwegian Wood karya Haruki Murakami tatkala mengetahui Naoko memilih mengakhiri hidup. Atau lengangnya perasaan Holden Caulfield dari novel tersohor JD Salinger, The Catcher in The Rye, saat menyusuri jalan-jalan New York, bertemu orang-orang dan teringat lagi pada semua kenangan pahit yang dialaminya. Apakah saya mulai terpengaruh tokoh-tokoh itu, sehingga mencocokkan diri dengan kenyataan mereka dalam cerita rekaan tersebut? Entahlah. Saya merasa, semua orang juga pasti mengalami rasa hampa seperti itu. Termasuk juga saya.

Rasa hampa macam apakah yang saya hadapi? Saya tidak dapat menjelaskan begitu rinci dan pasti. Jujur saja. Tapi rasa hampa itu cukup membuat saya begitu gelisah sehingga bermalam-malam tidak bisa tidur, mengembara di jalanan kota tanpa tujuan, memesan kopi dan menyesapnya dengan batin hambar, naik turun kereta tanpa jelas hendak kemana, membaca pesan-pesan dan surat lama yang pernah saya buat kepada seseorang, selalu melamun dan melamun. Saya tidak peduli untuk merawat diri. Atau makan secara teratur. Atau berhati-hati di kota orang. Saya tidak peduli dengan banyak hal, terkecuali terhadap kegelisahan batin saya sendiri.

Hanya pada beberapa orang saya kisahkan kegelisahan ini. Mereka cukup sabar menemani, meskipun tidak tahu persis masalah apa yang saya alami. Mereka juga tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu bagaimana harus menghadapi anak muda macam saya yang mudah sekali labil pikiran dan perasaannya. Sebelum saya kembali ke Jakarta, hanya satu teman yang saya temui. Dia anak baik yang berkenan memenuhi permintaan saya yang tergagas tiba-tiba: berjalan-jalan keliling kota, melewati wilayah kampus, makan siang bersama, ngopi bareng, dan bertukar cerita juga gagasan masa depan. Saya selalu suka teman ini. Saya hanya suka pada sedikit teman.

Wanatabe mengembara dari kota ke kota setelah kehilangan Naoko. Mungkin saya pun begitu, mengelana ke banyak tempat dalam perasaan gamang setelah mendapatkah kenyataan yang bertentangan dengan dunia fantasi yang selama ini tanpa sadar saya pelihara dan tumbuhkan. Dunia imaji yang hidup memenuhi hari-hari saya, yang kadang menjadi puisi, kadang menjadi lamunan.

Holden Caulfield bertemu orang-orang selama menyusuri kota New York. Orang-orang seperti dua suster di stasiun, sopir taksi yang mengantarkan ke klub malam, pemilik kafe yang angkuh, pelacur, hingga adik perempuannya yang bagi saya terkesan polos dan murni itu. Saya juga, pada hari kemarin dan perjalanan ke Jakarta, berjumpa beberapa orang yang mengingatkan pada kenyataan masa silam: seorang ibu dengan dua anak lelaki kembar yang jadi teman seperjalanan saya, satpam kereta yang ramah, kuli angkut di stasiun Jatinegara, pengamen, tukang ojek, juga dua orang ibu yang berdebat tentang apakah commuter jurusan Jatinegara-Bogor akan berhenti di Stasiun Pasar Senen atau tidak, dan sebagainya.

Orang-orang ini setidaknya bisa melipur gundah hati saya terhadap satu sosok yang begitu dalam mempengaruhi hidup saya. Sosok ini begitu penting bagi diri saya, dan tiba-tiba mencerabut saya pada suatu kenyataan yang tidak saya sangka. Dan saya pun kehilangan dia. Bukan hanya kehilangan dirinya pribadi, tapi juga dunia imaji yang saya bentuk atas dirinya. Barangkali itu sebabnya mengapa perjalanan ke Jakarta kemarin terasa panjang dan melelahkan. Dalam kereta saya berulang memikirkan silamnya ingatan dan gamangnya harapan. Udara malam di luar bagai menyusup ke seisi kereta, mulai membikin saya gigil. Turun di Jatinegara, saya pun merasa terserang demam, dan memang benar demikian.

Dalam kondisi lemas saya pulang ke rumah pondokan, disambut satu kawan yang selanjutnya amat telaten merawat saya. Teman saya ini, persis seperti nelayan di sebuah pantai tatkala menemukan Watanabe terbaring lemah diliputi kepiluan atas rasa kehilangan Naoko. Nelayan ini tulus memberikan makanan yang lantas menyadarkannya bahwa hidup, bagaimanapun, mestilah terus dilanjutkan. Kepedihan adalah keniscayaan. Tapi ia bukan sebab utama untuk mengakhiri hidup yang kaya warna ini. Ada banyak peristiwa dan peran lebih besar yang menanti kita di masa depan. Dan hidup terlalu sayang bila semata-mata diselimuti sedu sedan.

Dengan begitu, saya pun menulis catatan harian ini. Kesehatan saya lebih pulih. Dan batin saya, puji Tuhan, pelan-pelan kembali jernih.

Jakarta, 4 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar