Sabtu, 27 Desember 2014

Wheat People versus Rice People

Americans and Europeans stand out from the rest of the world for our sense of ourselves as individuals. We like to think of ourselves as unique, autonomous, self-motivated, self-made. As the anthropologist Clifford Geertz observed, this is a peculiar idea.
 
People in the rest of the world are more likely to understand themselves as interwoven with other people — as interdependent, not independent. In such social worlds, your goal is to fit in and adjust yourself to others, not to stand out. People imagine themselves as part of a larger whole — threads in a web, not lone horsemen on the frontier. In America, we say that the squeaky wheel gets the grease. In Japan, people say that the nail that stands up gets hammered down.
 
These are broad brush strokes, but the research demonstrating the differences is remarkably robust and it shows that they have far-reaching consequences. The social psychologist Richard E. Nisbett and his colleagues found that these different orientations toward independence and interdependence affected cognitive processing. For example, Americans are more likely to ignore the context, and Asians to attend to it. Show an image of a large fish swimming among other fish and seaweed fronds, and the Americans will remember the single central fish first. That’s what sticks in their minds. Japanese viewers will begin their recall with the background. They’ll also remember more about the seaweed and other objects in the scene.
 
Another social psychologist, Hazel Rose Markus, asked people arriving at San Francisco International Airport to fill out a survey and offered them a handful of pens to use, for example four orange and one green; those of European descent more often chose the one pen that stood out, while the Asians chose the one more like the others.
 
Dr. Markus and her colleagues found that these differences could affect health. Negative affect — feeling bad about yourself — has big, persistent consequences for your body if you are a Westerner. Those effects are less powerful if you are Japanese, possibly because the Japanese are more likely to attribute the feelings to their larger situation and not to blame themselves.
 
There’s some truth to the modernization hypothesis — that as social worlds become wealthier, they also become more individualistic — but it does not explain the persistent interdependent style of Japan, South Korea and Hong Kong.
 
In May, the journal Science published a study, led by a young University of Virginia psychologist, Thomas Talhelm, that ascribed these different orientations to the social worlds created by wheat farming and rice farming. Rice is a finicky crop. Because rice paddies need standing water, they require complex irrigation systems that have to be built and drained each year. One farmer’s water use affects his neighbor’s yield. A community of rice farmers needs to work together in tightly integrated ways.
 
Not wheat farmers. Wheat needs only rainfall, not irrigation. To plant and harvest it takes half as much work as rice does, and substantially less coordination and cooperation. And historically, Europeans have been wheat farmers and Asians have grown rice.
 
The authors of the study in Science argue that over thousands of years, rice- and wheat-growing societies developed distinctive cultures: “You do not need to farm rice yourself to inherit rice culture."

Asked to draw their social networks, wheat-region subjects drew themselves larger than they drew their friends; subjects from rice-growing regions drew their friends larger than themselves. Asked to describe how they’d behave if a friend caused them to lose money in a business, subjects from the rice region punished their friends less than subjects from the wheat region did. Those in the wheat provinces held more patents; those in the rice provinces had a lower rate of divorce.
 
I write this from Silicon Valley, where there is little rice. The local wisdom is that all you need is a garage, a good idea and energy, and you can found a company that will change the world. The bold visions presented by entrepreneurs are breathtaking in their optimism, but they hold little space for elders, for longstanding institutions, and for the deep roots of community and interconnection.
 
Nor is there much rice within the Tea Party. Senator Ted Cruz, Republican of Texas, declared recently that all a man needed was a horse, a gun and the open land, and he could conquer the world.
 
Wheat doesn’t grow everywhere. Start-ups won’t solve all our problems. A lone cowboy isn’t much good in the aftermath of a Hurricane Katrina. As we enter a season in which the values of do-it-yourself individualism are likely to dominate our Congress, it is worth remembering that this way of thinking might just be the product of the way our forefathers grew their food and not a fundamental truth about the way that all humans flourish.
 
Repost from Wheat People vs. Rice People: Why Are Some Cultures More Individualistic Than Others? by T.M. Luhrmann, a professor of anthropology at Stanford and a contributing opinion writer. (For personal and scholar's documentation only).

Rabu, 24 Desember 2014

Sitor yang bukan Penyair

Tahun 2010, saya sempat bertemu dengan Sitor Situmorang. Bagi saya kala itu, ia bukan hanya sosok penyair angkatan ’45 dengan sekian lapis pengalaman sejarahnya, melainkan yang jauh lebih mengharukan: seorang manusia biasa yang nyaris gemetar hadapi usia tua.

Berapa umur Sitor waktu itu? Mungkin sekitar 87 tahun, kalau saya tidak salah. Dan berapa usia saya tatkala mengunjunginya di kediaman budayawan Jean Couteau di Bali itu? Kira-kira 21 tahun. Ya, rentang waktu di antara kami sangatlah jauh. Terlalu jauh, barangkali.

Karena jarak usia itu, kedatangan saya persislah bagai satu anak muda yang miskin asam garam, berhadapan dengan tokoh yang pelan-pelan justru menyisih dari hiruk pikuk keduniaan. Saya dan teman-teman datang hampir setiap hari dalam seminggu ke tempat persinggahan Sitor sebelum berangkat ke Toba dan Belanda: kediaman Jean Couteau di tepi sungai Ayung, yang alir sungainya berabad-abad membasahi tanah Bali. Saya dan teman-teman menyaksikan pribadi Sitor yang begitu manusiawi, bagaikan para cucu yang termangu-mangu menyimak jalan hidupnya selama sekian kurun waktu.

Apa yang Sitor kisahkan kepada kami, pada hari-hari itu? Sayang disayangkan, saya tidak bisa mengingatnya begitu pasti. Saya tahu Sitor bercerita perihal pengalaman masa kecilnya di Harianboho, lalu pengelanaannya di Jakarta, lalu dunia politik, dunia penyair, dunia dalam bui. Hanya kronologisnya benar-benar tidak dapat saya runutkan. Betapa lalainya, saya yang masih belia terlanjur mudah melupakan hal-hal penting seperti itu. Sedangkan Sitor, karena gejala alzheimer, cuma kuasa mengingat masa silamnya secara samar-samar. Maka jadilah, percakapan di antara kami seperti dua orang manusia yang meraba-raba kenangan, tanpa pernah tahu apakah kenangan itu sungguh terjadi, atau tidak sama sekali. Apakah kenangan itu betul demikian jalan urutannya, ataukah ada yang terlewatkan tak tercatat.

Betapa absurdnya, pertemuan kami itu.

Setiap kali kami tiba, Sitor yang kebetulan sedang duduk di teras rumah atau berjalan-jalan di sekitar rindang halaman, akan menyambut kami dengan pandangan yang itu juga: mengernyit sedikit, dirundung ragu, sebelum lanjut bertanya, kadang dalam nada sedikit tinggi bagaikan menginterogasi “Anda siapa? Mau apa?”

Istrinya, Barbara, beberapa kali memberikan pandangan ramah yang sedih, lantas menyambut jawab: “Pengalaman masa lalu Sitor begitu sulit. Dipenjara dalam kamar gelap. Itu membuat dirinya trauma. Ia pun sering awas terhadap orang tak dikenal. Dia tak mudah mengingat nama-nama, dan siapa mereka.”

Beberapa menit kemudian, setelah Barbara menjelaskan maksud kedatangan kami, anak muda dari Komunitas Sahaja yang ditemani penyair Warih Wisatsana, wajah Sitor masih belum menampakkan keteduhan. Entahlah apa yang dipikirkannya. Saya tidak tahu. Kami pun duduk mengelilingi meja makan, menghadap pohon-pohon jati dan kayu di tepian sungai. Kalau sudah begitu, Sitor akan duduk dan mengaduk cangkir teh-nya tanpa henti. Diam beberapa lama. Diam hening yang dalam.

Kadang pertemuan kami mulai dengan pembacaan puisi, yang ditanggapi Sitor dalam raut wajah biasa-biasa saja. Hening dan diam. Kadang kami minta Sitor membacakan sajak karangannya, yang dijawabnya: “Ya, kalian pilihkan judul yang mana.”

Dan apakah Sitor masih bisa mengingat pengalamannya saat mencipta sajak-sajak tersebut? Hanya beberapa saja. Yang paling kuat adalah kisah tentang gadis dari Milano, Italia, serta sesuatu tentang vespa. Sempat kami curiga, mungkin perempuan itu adalah mantan kekasih Sitor, sebab setiap ia bercerita tentang pengalaman menulis sajak, kerap kali alur pikirannya justru kembali pada sosok gadis tersebut. Atau baris kenangan perihal Leo, putra semata wayangnya bersama Barbara, yang digambarkannya dalam sajak lain mengenai sungai Amsterdam dan perahu kertas si bocah yang hanyut dalam arus.

Sitor tidak pernah mau menerusterangkan makna karyanya. Tidak boleh, tambahnya. Penyair pantang menjelas-jelaskan puisinya.

Berapa banyak sajak dan kenangan yang kami bincangkan? Ah, saya tidak tahu lagi. Pembicaraan selama berhari-hari itu ibarat melarung bersama alir sungai Ayung, disamarkan suara burung liar, penyap dalam laku waktu menuju gelap.

Betapa absurdnya pertemuan kami itu. Sama seperti ketakterdugaan kabar berpulangnya Sitor Situmorang. Rasa absurd yang membangkitkan ingatan saya terhadapnya. Serupa larik puisi karya sang penyair, melampaui kelindan nasib dan sejarah, lalu muncul di hadapan saya sebagai sajak-sajak, sebagai cerita hidup bersahaja. Ya, begitulah. Kenangan saya mengenai dirinya jauh dari kesan kepenyairan yang dipuja, dikagumi. Melainkan manusia dalam kesunyian usia tua, yang mengaduk cangkir tehnya tanpa sudah, yang menyiangi rumput liar di pot-pot bunga, yang duduk bercerita masa lalu, sembari sesekali, entah dicekat pikiran ragu yang mana, ia jeda bertanya, “Anda siapa? Dan mau apa?”***

Jakarta, 24 Desember 2014

Selasa, 23 Desember 2014

Sesuatu tentang Gump dan Kembang Tahu

Nonton Forrest Gump sambil makan kembang tahu mungkin rasanya ‘sesuatu’.

Karena tidak ada yang saya niat kerjakan sore tadi, saya sekadar mengutak-atik isi laptop. Pindahkan foto. Edit beberapa potret. Hapus koleksi musik, dan rapikan folder rekaman wawancara yang sampai sekarang malas saya turunkan. Hingga ketemulah saya dengan film Forrest Gump yang sudah beberapa lama saya simpan.

Ada rasa yang lain kalau kita saksikan sebuah tayangan film untuk ke sekian kalinya. Lebih-lebih Forrest Gump yang saya punya tidak ada transkrip alih-bahasanya. Murni English. Dan menyaksikan film itu saat kali yang kedua, saya mulai terheran-heran, betapa banyaknya kosakata yang dulu saya lewat pahami, dan kini tiba-tiba saya sadari.

Saya jeda sejenak di tengah pemutaran. Leher pegal juga duduk di kursi yang kaku dalam kamar kos seraya menatap layar komputer 11 inchi ini. Maka saya kenakan jaket, mengambil ransel, dan keluar untuk sekadar mencari udara segar.

Niatannya sih hanya istirahat sebentar dan merenggangkan sekujur tubuh dengan berjalan-jalan di sekitar rumah pondokan. Tapi cari angin itu keterusan oleh pikiran hendak menyeberang ke ruas besar Margonda dan mampir sebentar ke satu kios kembang tahu.

Belum pernah sebelumnya saya coba makan kembang tahu. Dalam benak mulanya, kembang tahu itu kira-kira seperti tofu goreng yang biasanya ada pada sapo tahu masakan China. Rupa-rupanya ini berbeda. Kembang tahu ternyata penganan tahu dengan air jahe panas, butiran gula merah, dicampur remahan kacang tanah yang disangrai.

Kembang tahu itu saya bungkus untuk dinikmati di pondokan. Namun, bukannya langsung pulang, saya malahan berjalan ke rute memutar. Keinginan buat merenggangkan tubuh rupanya masih lekat di badan. Bahkan saya masih sempat mampir ke toko 24 jam guna membeli penganan lain serta beberapa minuman manis.

Hal yang celaka adalah, tatkala saya bersiap melanjutkan nonton Forrest Gump (kalau tidak salah di adegan orasi Gump di hadapan demonstran perdamaian di Monumen Washington), kembang tahu itu saya buka dan cicipi, ah, ia kedapatan sudah tak panas lagi. Hambar dingin. Persis wajah Lieutenant Dan pada perayaan tahun baru di sebuah kafe malam.

Yah, mau bagaimana lagi. Pelan-pelan saya habiskan kembang tahu itu. Rasanya memang ‘sesuatu’, menelan penganan yang lumer di mulut sambil mengira-ngira rasa manis, pedas jahe dan hambar kedelai. Juga sambil menonton dengan sabar untuk menunggu adegan-adegan yang dilatari musik-musik oldies Amerika. Lucu betul. Ini kegiatan lucu yang kemudian saya tahu hanya sia-sia saja dilakoni. Tak ada manfaatnya. Kira-kira begitu.

Agaknya motivasi saya menonton kembali Forrest Gump lebih dikarenakan keinginan untuk mendengarkan potongan-potongan musik era 1960an itu. Saya sangat menunggu-nunggu Free Bird-nya Lynyrd Skynyrd ketika Jenny menimbang ragu hendak meloncat dari gedung tinggi. Atau Turn! Turn! Turn! dari The Byrds, yang liriknya begitu saya sukai. Juga The Doors lewat People Are Strange-nya. Cuma saya merasa geli juga, sewaktu menyadari kalau Sloop John B dari grup favorit saya, Beach Boys, hanya disertakan sebentar sebagai siaran radio sebelum Lieutenant Dan menunaikan ‘panggilan alam’-nya di Vietnam. Duh.

Nonton Forrest Gump di kali yang kedua itu membuat saya nostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalu. Yang muncul dalam pikiran saya bukan lagi makna-makna cerita atau arti mendalam dari kutipan-kutipan dialognya, melainkan selintas angan perihal lagu-lagu soundtrack-nya.

Sempat terpikir sesaat, betapa orang-orang penyaksi Forrest Gump tentu teringat-ingat pula pada single yang diputar itu, dan seketika merujuk pada pengalaman mereka di waktu silam. Saya yang lahir di era 1980an—dan notabene belum punya rujuk kenangan apapun tentang masa itu—masih begitu terngiang pada musik-musik tersebut. Dan minimal, musik-musik itu membuat saya berandai-andai akan hal apa saja yang dilakukan anak-anak muda di era tersebut.

Sementara soal kembang tahu, saya belum tahu ia akan jadi kenangan seperti apa. Hanya dulu saya sempat simak cerita kawan masa kecil yang mengenangkan pengalamannya ke Pontianak. Apakah dia pernah makan kembang tahu di sana, yang membuat saya pergi mencarinya ke kios seberang itu? Kelihatannya demikian. Hanya saya kecele untuk kedua kalinya. Sebab setelah saya kontak, kawan tadi ternyata kelupaan adakah pernah cicip kembang tahu atau tidak.

Ah, biarlah. Saya tuntaskan saja kembang tahu dan film Forrest Gump itu. Sambil saya kirim pesan pada teman tersebut: “Nanti aku kabarkan gimana rasanya yah!”

Jakarta, 23 Desember 2014