Senin, 14 Desember 2015

Bagaimana Pencopet Bekerja?


Naik Kopaja jurusan Tanahabang - Blok M di sekitar pukul dua siang memang jauh lebih melegakan dibandingkan pada jam jam sibuk, sehingga saya bisa memilih duduk di dekat jendela, nomor bangku deretan ketiga. Cuma ada beberapa orang dalam kopaja, salah satunya adalah kernet yang selalu berteriak memekik bilamana melihat pria atau wanita yang dikiranya calon penumpang di pinggir jalan.

Setelah membayar ongkos empat ribu rupiah, saya pun segera memeluk tas ransel bawaan pada pangkuan seraya menyaksikan gedung gedung pencakar langit yang berlintasan di sisi kanan jalanan. Si kernet, seorang pemuda sekitar duapuluhan tahun usianya, berdiri di belakang saya, mungkin sedang menghitung uang pendapatan sebagaimana yang biasa mereka lakukan di waktu jeda sesaat. Di antara bising suara mesin dan deru knalpot berasap timbal, terdengar sopir memanggilnya untuk mengisi air radiator dari botol botol yang terselip di belakang kursi pengemudi. Ia berbahasa Minang, yang kosakatanya masih bisa saya pahami kendati sedikit demi sedikit.

Sementara mobil berguncang guncang akibat pengaspalan jalan yang brengsek pasca pelebaran lajur, pemuda itu menghampiri sopir dengan tangan bergelantungan pada pegangan besi batangan di kap kopaja, kemudian berujar dalam arti kurang lebih begini: "Sepi hari ini, Bang..."

"Kamu macam belum pernah keluar aja. Jam segini mana ada banyak penumpang..." sahut sopir sekenanya. Mobil berjalan pelan pelan, kemudian behenti di bawah jembatan Bendungan Hilir (atau Benhil) untuk menunggu siapa saja, entah pedagang asongan, mahasiswa kampus terdekat, atau orang orang yang sekedar keluyuran untuk naik kopaja. Istirahat sebentar saat pengisian air radiator, si sopir duduk di belakang kemudi sembari menyalakan sebatang rokok, mengumpat pada sesama sopir kopaja nomor 19 yang melintas ngebut menyalipnya.

Tepat pada saat itu, seorang pria yang mungkin berumur menjelang 30 tahun, berkemeja lengan pendek yang tampak tidak baru namun cukup rapi, bercelana panjang dan mengenakan sepatu hitam sopan masuk ke dalam kopaja. Ia duduk di depan saya, dan di depannya lagi, persis setelah kursi si sopir, ada seorang pria lain berkemeja rapi yang memang sudah sejak tadi menumpang angkutan ini. Lalu ada perempuan, separuh baya saya kira, memilih duduk di bagian kiri kopaja, persis di seberang saya. Lantas setelah satu penumpang lain ikut masuk, pria berkemeja lusuh dengan potongan gaya cukup rapi, kendaraan ini pun melaju kembali menyusuri lintasan Jalan Sudirman yang relatif lebih lengang.

Saya tidak pernah mengharapkan adanya orang orang yang rapi dan wangi ikut menumpang dalam kopaja. Kalau boleh dibilang, mereka yang menggunakan angkutan seperti ini paling banter hanya setinggi pegawai kantoran. Lainnya tentu saja hanya warga biasa, yang pergi pulang ke rumah berdesakan dalam penuhnya moda transportasi. Pencuri, pencopet, tukang ngamen, jual koran, ibu rumah tangga, adik adik sekolahan, atau mungkin istri simpanan, semuanya setara dalam kopaja atau angkutan umum sebagainya semacam ini: tergencet dan berkeringat bersama sama. Jadi, seperti lazimnya berada di mana saja, kewaspadaan dan kehati hatian harus dipegang teguh agar sungguh kita selamat sampai tujuan. Barang dan teman gandengan supaya jangan sampai berpindah tangan.  

Kadang kita perlu teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih angkutan. Bilamana hendak dari Sudirman menuju daerah Cikini, misalnya, ada beberapa orang yang hindar menumpang PPD 213 dan bela belain naik KRL meskipun harus menempuh rute sedikit memutar serta transit lama di stasiun Manggarai. Pasalnya, bus besar tua berwarna putih yang penuh di jam pergi maupun pulang kerja itu sudah dimaklumi sebagai sarangnya tukang copet. Bahkan ada yang buat anekdot bahwa angkutan nomor 213 sebenarnya mengindikasikan bahwa penumpang baik baik hanya sejumlah dua per tiganya saja, sedangkan sisanya adalah tukang tilep dompet… 

Pria yang terakhir naik dari jembatan Benhil tidak langsung memilih tempat duduk. Ia seperti menimbang sebentar, sesaat tadi sempat beradu pandang dengan saya, sebelum kemudian dia minta supaya pemuda yang naik pertama tadi agar menggeser membagi tempat. Sempat terpikir dalam batin, bukankah kopaja ini cukup lengang dan ia bisa duduk di bangku mana saja, contohnya di deretan depan ibu ibu di seberang saya. Lagi pula, alih alih mendesak si pemuda supaya mepet ke jendela, ia malahan memberi kode agar dibolehkan 'nyelusup' nyempil di sana.  

Saya perhatikan, pemuda yang pertama kali naik dari Benhil itu kehilatannya sangat sederhana. Ia tidak membawa apapun kecuali sebuah hp yang sedari tadi digunakannya menelepon bertanya arah jalan. Suaranya pun masih medok logat Jawa Pantura. Saat kopaja melewati jembatan Semanggi, ia pun menutup telepon dan menaruhnya pada saku.

Dimulailah adegan yang terjadi begitu cepat dan sama sekali tidak saya duga sangka. Semuanya barangkali berlangsung hanya dalam waktu sepuluh menit saja…atau mungkin kurang dari itu.

Setelah belok kanan melalui kolong lajur lambat dan mengarah kembali ke jalan utama Sudirman menuju Blok M, seorang pria pengamen berpotongan rambut panjang segera naik dan menyanyikan sebuah lagu pop dari band asal Bandung, Peter Pan. Saya cukup suka pada suaranya dan hampir memberi koin recehan, yang sayang tidak jadi lantaran ia turun terburu buru di depan halte SCBD seperti menghindari sesuatu. Bergantianlah kemudian masuk seorang pria pendek berkaos kedodoran, yang bersiteguh menawarkan jasa pijit pada pemuda asal Pantura tadi...(jasa pijit, sodara-sodara, jasa pijit dalam kopaja!)

Saya sama sekali tidak menyadari hal lain yang terjadi di depan sana, kecuali bahwa ada pria dengan tas kerja berdiri tepat di sebelah saya (agaknya dia naik persis bersamaan dengan si tukang ngamen), pria tukang pijit yang bersikeras mengurut lutut di pemuda kendati juga berulang ulang ditolaknya, dan berselang beberapa saat berikutnya kernet tiba tiba mengetuk koin pada besi pegangan penumpang, pertanda bahwa akan ada penumpang yang turun atau naik. Namun, tidak ada seorang pun yang naik. Para lelaki dengan tas kerja, baik yang berdiri di samping saya maupun yang sebelumnya merangsek masuk duduk di depan, serta si tukang pijit, stop berbarengan dari pintu depan maupun belakang.

Mungkin karena sudah seringnya melihat para tukang ngamen, pengemis ataupun pedagang yang bersikukuh minta uang di dalam angkutan, saya jadi tidak terlalu ambil peduli atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam kendaraan di Depok, suatu hari, saya bahkan menjumpai pengemis yang setengah mengancam minta uang sambil membawa bawa silet pada tangannya, berujar bahwa dia baru saja pulang dari penjara dan sedang butuh makan seperti bapak ibu penumpang. Kita bisa saja mengecam tindakan tindakan seperti itu seraya mengeluhkan berbagai hal, seperti kebijakan pemerintah untuk menjalankan ketertiban umum, pemberdayaan bagi masyarakat terpinggirkan, hingga penyediaan angkutan umum yang aman dan subsidi transportasi yang lebih baik. Akan tetapi, kita sama sama tahu kalau hidup di mana pun tentu berat dan susah, bukan? Maka, sambil berharap agar apa yang dikeluhkan tadi terpenuhi dalam waktu segera, saya pun mengambil recehan dan memberikannya pada preman fakir itu seraya berdoa agar janganlah ada di antara saudara, keluarga, atau orang yang saya kenal, mengalami nasib sebagaimana dirinya...

Sebuah teguran dari pria yang duduk persis di depan pemuda Pantura itu membawa pikiran saya kembali pada kopaja tua ini. Ia menanyakan dengan nada prihatin, apakah ada di antara bawaannya yang hilang? 

Seketika kemudian pemuda itu terkejut, menyadari bahwa telepon yang tadi dimasukan dalam saku sudah tidak ada padanya. Dari kursi belakang ini, saya bisa menyaksikan gelagat paniknya, gelisah mencari cari di sekitar bangku sekitarnya. Saya seperti bisa merasakan kecemasannya. Bayangkan dan andaikan, bahwa dia benar benar baru datang ke Jakarta, katakanlah, dari desa nun di Pemalang, Brebes atau Slawi, belum hapal arah jalan dan kini kehilangan sarana paling penting dalam kehidupan manusia modern: alat komunikasi yang menghubungkannya dengan sanak famili dan memberikan petunjuk menuju pulang di tengah kota metropolitan ini...

Pria di depannya berdiri hendak turun dari kopaja dan memberi kode bahwa mungkin teleponnya dicopet salah satu dari tiga orang yang belum lama berhenti. Si pemuda segera ikut melompat, dan saat kendaraan melaju lagi, saya saksikan mereka berbicara sebentar di pinggir jalan. Wajah si pemuda terlihat pucat sekali.

Tidak ada seorang pun dalam kopaja yang berujar cakap. Bahkan juga si sopir dan kernet yang sejak tadi kelihatan cukup akrab. Tidak ada seorangpun yang berkomentar atas kejadian barusan, kecuali saya yang ketika mau stop di Terminal Blok M bertanya setengah berbisik pada kernet, yang lagi lagi mengetukkan koin pada besi pegangan supaya sopir mau meminggirkan mobilnya:

"Abang…tadi itu gerombolan copet ya?"

Alih alih menjawab mengiyakan, kernet itu buru buru mengetuk lagi dan kopaja nomor 19 itu pun melaju ngebut meninggalkan saya.

Senin, 14 September 2015

Bus Malam Menuju Breda

Saya baru kembali tadi pagi dari Paris, menumpang bus malam lintas Eropa, menuju pulang ke pondokan di Belanda. Tidak ada yang mengesankan dari pengalaman itu, selain sedikit kesempatan untuk mengulang renung atas apa yang telah saya temui selama ini.
 
Hidup semua orang sangatlah gaib dan ajaib, dengan nasib takdirnya sendiri-sendiri. Gaib dan ajaib dalam suka. Gaib dan ajaib dalam duka. Pengalaman kita tidak akan pernah sama atau berulang dan kendati lagi-lagi reuni teman lama maka ingatan juga kesan kita terhadapnya sudah tentu berbeda, seiring sejalan pikiran serta perasaan yang terus bertumbuh. Ketika menyusuri boulevard kota Paris, naik turun stasiun metro dan menyeberangi jembatan demi jembatan sungai Seine, saya mendapat pikiran sederhana seperti ini: setiap hari saya terlahir sebagai pribadi baru, dengan pikiran dan impian baru, yang terperangkap terpenjara pada tubuh yang sama. Dunia yang saya hidupi kemudian terasa fana, dan saya seperti makin cemas kehilangan segala hal yang telah dijumpa karenanya.
 
Saya cemas kehilangan semua kenangan atas kebaikan orang-orang. Sungguh, saya cemas. Ada suatu kecenderungan dalam diri saya belakangan ini, terutama disebabkan nasib elok mendapat kesempatan menjejak langkah di tanah jauh Eropa, untuk mengingat-kenangkan kebaikan setiap orang, bahkan yang tidak saya kenal sekalipun. Mungkin, saya yang terlalu sensitif saja, bahwa pengalaman jauh dari rumah telah membuat saya merasa begitu sendirian sehingga segala perhatian dari sekitar terhadap diri saya lantas dimaknai sebagai kenyataan betapa saya masih dikaruniai kebaikan hati manusia. Amat tersentuh batin saya tatkala duduk menunggu teman di halte kota tempat mukim di Belanda dan seorang ibu mendekati dan khawatir bertanya adakah saya sedang tersesat. Juga kebingungan saya sewaktu tidak dapat memintas palang metro Paris yang terhapuskan lantaran bantuan seorang pria yang saya bahkan tidak sempat tanyakan nama atau asal bangsanya. Atau peristiwa-peristiwa kecil lainnya selama menjelajah kota-kota, yang (sedihnya) kini makin samar dalam pikiran saya.
 
Itulah sebabnya mengapa perjalanan saya pulang dengan bus malam itu menjadi momentum yang membekas sampai sekarang. Saya duduk sendiri di bagian depan, rebah bersandar pada kaca jendela yang memantulkan nyala lampu jalanan yang ratusan, ribuan jumlahnya. Dingin hawa malam tidak terasa namun gigil batin saya sangatlah meresap sampai menepis segala mimpi. Enam jam tempuh waktu ke Breda, halte pemberhentian akhir yang saya pilih, saya lalui dengan terjaga.
 
Hampir tidak percaya betapa telah saya penuhi studi selama tiga bulan di Eropa. Ada banyak hal yang saya alami, dan kini saya gamang merunut semua hal itu satu per satu, dari bagian mana dan dari rentang hari yang mana, saya kesulitan menceritakannya bahkan untuk diri saya sendiri. Hanya perasaan haru yang dapat saya raih dan pegang tak biarkan pergi, seperti rasa haru syukur saya karena dipertemukan dengan orang-orang baik itu, dengan pengalaman-pengalaman baik itu, dengan nasib baik yang entah bagaimana saya yakini tidak akan berulang itu.
 
Perasaan haru itu mengalir tak terkendali ketika saya duduk di St. Germain de Pres, di gereja tua yang lengang menjelang kebaktian, dan saya berdoa bagi mereka dalam syukur yang tidak pernah saya resapi sebelumnya.
 
Perasaan haru itu mengalir bersama ketakjuban bahwa saya melangkah di Pont Mirabeau yang mengatas sungai Seine, dalam gerimis kabut awal mula musim gugur, dan saya berjalan di sepanjangnya seraya mendengarkan jejak kaki saya yang menjauhi masa silam, ke dunia seberang depan yang masih misteri.
 
Entah bagaimana mengatakannya. Di detik menit itu saya bagaikan menerima wahyu, kalau bisa dibilang begitu, untuk menggali dunia dalam di hati setiap manusia, mencari mutiara dari setiap perjumpaan dengan siapa saja dan menamainya sebagai kebaikan. Saya harus menemukannya dan menjaganya di manapun dan kapanpun.
 
Saya tahu tulisan ini kedengarannya sentimental, terlalu mempribadi. Tentu Anda tidak akan merasakan apa yang saya rasakan ini, sebab memang semua yang saya resapi itu lebih menggenangi diri saya akibat renung-ulang dalam sunyi sendiri yang sebagaimana seringkali saya lakukan. Namun, saya hanya ingin meyakinkan Anda, bahwa di sebalik ilmu dan pikir nalar manusia, juga kehendak untuk berpegang pada daya kedewasaan yang matang penuh perhitungan, dalam sekian masalah soal yang tidak kunjung terpecahkan dan membuat Anda tidak berdaya melepas diri darinya, yakini serta percayalah bahwa tidak ada siapapun di dunia ini yang sesungguhnya tengah sendiri, terutama jika dia menyadari bahwa tiap-tiap manusia sejatinya menyimpan jiwa kodrati yang tidak bisa disangkalnya dengan cara apapun, yaitu kebaikan alami yang tersimpan dalam batinnya, yang spontan muncul pada kesempatan-kesempatan tidak terduga oleh karena rasa saling percaya satu sama lainnya.
 
Dan kebaikan itu mengemuka dalam hal yang sederhana saja. Dan ia menemani setiap perjalanan kita kemanapun di seluruh belahan dunia.

Rabu, 29 Juli 2015

Yang Terasing Tak Bisa Pulang

Kami, saya dan Yanti, seorang teman SMA dulu, baru saja pulang dari Amsterdam. Kami naik kereta yang sama jurusan Dordrecht, melintasi kota Leiden tempat Yanti tinggal selama tujuh tahun untuk menempuh studi sarjana sampai magister. Ia sedang mencari kerja, dalam beberapa bulan ini, dan karenanya punya cukup waktu senggang untuk menemani saya selama tiga hari ini.

Datang ke Amsterdam sama sekali bukan untuk jalan-jalan. Kami cuma punya waktu sehari di sana, dan digunakan sepenuhnya demi bersilaturahmi dengan seorang kelahiran Bali yang memilih eksil di Belanda, terutama pasca peristiwa 1965 berlangsung. Made Raka, nama pria itu (apakah saya harus menuliskan identitasnya dengan nama sebenarnya?) ditahan paspornya pada tahun 1962 karena tidak bersedia mengingkari jasa dan pemerintahan Soekarno. Istrinya juga serupa. Mereka yang semula mahasiswa utusan Indonesia untuk belajar di Tiongkok dan Rusia, kebanyakan juga bernasib serupa.

"Yanti sudah tujuh tahun di sini. Rencananya ingin kembali ke Indonesia?” Made Raka, yang usianya saya taksir sudah di atas 70 tahun bertanya kepada Yanti pada saat makan siang bersama di apartemennya yang sederhana, beberapa ratus meter dari kediaman Anne Frank yang bersejarah.

"Belum tahu, Pak Made. Saya masih ingin bekerja dulu di sini, mencari pengalaman setelah kuliah…” yang ditanya menjawab sopan sembari menambahkan cerita perihal kegiatan yang sudah dilakukannya selama ini.

"Bagus kalau begitu. Sebaiknya Yanti harus pulang. Indonesia pasti menunggu sumbangsih yang bisa Yanti berikan…”

Kalimat itu mungkin terasa sederhana saja. Namun, bilamana diungkapkan oleh seorang yang eksil, seorang yang dulunya mahasiswa cemerlang peraih beasiswa ke luar negeri, dan sayangnya kemudian tidak diperkenankan pulang oleh negaranya sendiri, bagi saya, itu benar-benar mengharukan. Tidak. Mencengangkan tepatnya.

Made Raka mengungkapkan itu dalam nada biasa saja. Sambil menyendok ayam sisit—sejenis masakan ala Bali—juga sayur tahu buatan istrinya.

Kemudian ia menuangkan teh ke dalam gelas kami masing-masing. Dan bercerita tentang Belanda, negeri yang ia diami selama puluhan tahun.

“Sejak itu, kapan Pak Made berkunjung ke Indonesia?” Akhirnya, rasa ingin tahu yang sudah beberapa lama saya pendam itu keluar juga. Jelas bukan pertanyaan yang baik ditujukan bagi seorang yang lama terusir dari tanah air.

Akan tetapi, di luar dugaan saya, pria itu menjawab santai seperti sedang membincangkan, apakah besok kita jadi jalan-jalan menyusur kanal, atau bagaimana kalau nanti sore pergi membeli buah-buahan untuk bahan jus kesukaannya.

“Saya ke Indonesia di tahun 1983, kalau tidak salah…”

“Wah, dua puluh tahun kemudian?” lagi-lagi saya melontarkan pertanyaan yang tidak perlu. Siapapun yang paham matematika pasti tahu itu.

“Kok dua puluh tahun sih? Kurang dong…” Made Arka menukas sambil mengernyitkan dahinya. Mungkin ia bingung karena merasa peristiwanya terjadi tidak dalam rentang selama itu. Barangkali ia mengingat-ingat bahwa kejadian berlangsung kemarin sore? Boleh sangka demikian.

Beberapa lama berselang, ia mengoreksi kenangannya sendiri. “Yaa, dua puluh tahun…”

“Dan tidak rindu Indonesia lagi?”

Kali ini Yanti menatap saya sekilas, seraya menusukkan tatapan penuh tanya. Saya segera menyadari, niatan untuk membuat candaan dan pencair suasana dengan mengungkapkan kalimat barusan dalam nada ringan, bukanlah hal yang tepat.

Siapa yang akan merindukan negeri lahirnya, bilamana ternyata kemudian ia justru dilarang pulang oleh saudara sebangsanya sendiri? Membuatnya harus tinggal puluhan tahun, beribu mil jauhnya dari kampung halaman serta segala kenangan indah masa kanak yang dipunya. Harapan hidup yang lebih baik? Jangan tanyakan. Hidup baik macam apa yang bisa dipilih oleh seorang eksil, mahasiswa yang baru saja lulus kuliah sarjana yang waktu itu belum punya pengalaman apapun?

Made Raka menyerpih sebuah kerupuk tenggiri—yang dibeli dari toko asia di Belanda—dan membagikannya pada saya sebagai teman makan siang.

“Tentu saja rindu. Meski niatan untuk kembali sudah tidak ada lagi.”


Yanti yang tadi memberitahu hendak lelap sebentar dalam perjalanan dengan kereta, entah mengapa kemudian ikut terjaga dan melamun menyaksikan bangunan, ladang dan kanal yang berlintasan di luar jendela.

Gadis itu nampak lelah. Katanya demam dan pusing yang beberapa hari kemarin dideritanya belum sepenuhnya sembuh. Tadi pagi, sebelum kami ke Amsterdam, ia memberanikan pergi ke dokter dan menyampaikan secara antusias saat ia pulang satu jam kemudian, bahwa dokter yang biasanya hanya menyarankan istirahat dan minum banyak air putih, tadi bersedia melakukan tindakan medis yang sangat lazim di Indonesia: mengukur tekanan darah dan menulis resep obat migrain.

Saya geli sendiri mendengarkan penuturannya. Dokter di sini memang dikenal enggan memberikan obat-obatan. Bahkan ada anekdot yang bilang, dokter di Belanda tidak akan mau memeriksa pasien sebelum memastikan: “Apakah Anda sekarat?” kendati ia menyaksikan si penderita kejang-kejang di hadapannya, he-he-he...

“Pasti tidak mudah ya, Yanti, hidup di Belanda, bertahun-tahun...”

Teman saya itu tersenyum maklum saja, seolah saya ini anak kecil yang lugu polos dengan pertanyaan dan komentar apa adanya, dan sebenarnya tidak perlu ditanggapi serius. “Hidup di mana pun juga tidak mudah...”

Maksudku, kembali saya menjelaskan, untuk orang seperti Pak Made Raka dan istrinya, pastilah sangat traumatik. “Siapa yang bisa membincangkan Indonesia secara hangat dan bahkan menyarankan supaya kamu kembali pulang, sementara hal sebaliknya justru dulu mereka alami?”

“Mereka pasti telah melewati semua kebencian, dendam, putus asa dan rasa pedihnya, sebelum akhirnya bisa sampaikan penyataan itu kepada kita...” lanjut saya sembari melempar pandang keluar.

Pikiran saya melayang tiba-tiba pada pengalaman seminggu yang lalu tatkala mencoba lelap dalam kamar kos yang saya diami selama program pertukaran mahasiswa di musim panas ini. Tetangga di kamar sebelah, seorang pelajar Indonesia, saat itu melakukan kontak video call dengan seorang kenalannya. Suaranya keras sekali, sampai saya bisa mendengar apa saja yang mereka bincangkan.

Gue udah lulus magister di Belanda. Masa mau langsung pulang? Pengalaman kerja enggak punya, prestasi pas-pasan. Gila aja, ada banyak orang lulusan luar negeri yang sama-sama balik ke Indo...Tau enggak, kalau pikir-pikir, rasanya useless kuliah susah-susah di sini karena predikat sarjana universitas luar enggak banyak artinya...”

Diam-diam, sekarang ini, saya sangat berharap, semoga tidak semua mahasiswa muda Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar tanah air punya pikiran seperti tetangga sebelah itu. Saya kira adalah sangat menyedihkan bilamana tidak menemu rasa syukur berhasil mendapat pendidikan baik, sampai ke luar negeri pula, sementara di daerah lain di Indonesia ada anak yang kesusahan masuk sekolah dasar sekalipun. Lain dari itu, jika mereka pulang, masih ada keluarga dan rumah yang bersedia menyambut kedatangannya. Mereka hanya merantau beberapa tahun, bukan menetap di tanah orang tanpa kepastian apakah bisa kembali nantinya.


“Jadi, besok kalian akan ke Pura di Belgia? Bukankah ada odalan Kuningan?”

Made Raka bertanya sewaktu kami berpamitan. Ia mengantar sampai pintu depan apartemennya, bersama istrinya yang halus budi itu. Saya mengiyakan pertanyaannya, sambil menambahkan bahwa akan pergi bersama salah seorang kenalan orang Bali yang lama bekerja di Bandara Schiphol, Amsterdam.

“Yanti belum tahu apakah mau ikut. Karena kondisi belum baik,” teman saya memberi sedikit keterangan.

Lelaki itu tersenyum ramah, layaknya seorang ayah pada dua putrinya yang baru saja mulai dewasa. “Memang sebaiknya istirahat saja. Doa kan bisa darimana saja,” imbuhnya sambil menyalami kami.

“Dan jangan lupa sampaikan salam kami kepada semeton Bali di sana. Salam hangat dari keluarga Bli Raka di Amsterdam...”

Kami menyambut dengan gembira permintaannya yang sederhana itu. Hanya pikiran saya tidak habis-habisnya merenung:

Bilamana ternyata saya, atau anak muda manapun di masa sekarang ini, mengalami nasib sepertinya dahulu, apakah bisa, apakah sanggup, kami mengolah gemuruh batin akibat kenyataan pahit diasingkan, dibuang, dilupakan di tanah orang?

Sungguh saya ragu. Dan, barangkali, hanya waktu yang tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.

Tilburg, Juli 2015

Selasa, 14 Juli 2015

Musim Gugur di Melbourne

Saya tiba di Melbourne tatkala kota metropolitan itu tengah bersiap menghadapi musim dingin.

Turun dari trem tepat di simpang jalan Bourke dan Swanston, sebuah pusat kota yang selalu riuh, selintas tebersit rasa gamang dalam batin. Linglung akibat perjalanan panjang selama 9 jam dari Jakarta? Mungkin. Atau barangkali bingung oleh ketakjuban, menghempas tiba-tiba bagai angin musim gugur yang menghembus dedaunan: Saya akhirnya tiba di negeri yang sejatinya dekat dengan Indonesia, namun jauh dari angan untuk sungguh menjejak kaki di sini.

Menyisihlah saya dari halte dan pedestrian yang dipenuhi lalu lalang orang-orang—entah siapa dan dari mana asal mereka, benar-benar tidak saya ketahui. Tiada seorang pun melirik saya, yang berdiri kikuk di muka jendela toko mode kelas atas, dengan sebuah ransel naik gunung dan koper seadanya. Resleting jaket saya naikkan sampai ke leher sementara wanita muda baru saja lewat penuh percaya diri dengan mantel kancing terbuka. Celana dan sepatu saya seketika seperti lusuh sekali sedangkan nona dan tuan di seberang itu begitu trendi dan rapi. Saya mirip pengungsi yang baru saja melarikan diri, boleh jadi.

Tetapi, kemudian muncul sebuah pikiran bahwa saya tidak boleh terus menerus demikian. Bukankah saya datang kemari untuk memenuhi undangan yang kedengarannya cukup mentereng: mewakili Indonesia dalam pertemuan penulis muda di Australia, Emerging Writers Festival 2015, berlangsung sejak 26 Mei hingga 5 Juni. Saya diterbangkan khusus, dengan tiket yang sudah disiapkan, berikut jadwal seminar dan pembacaan karya yang telah disediakan. Lebih dari itu, saya diberikan kepercayaan oleh komite Bali Emerging Writers Festival, yang selama kurun lima tahun ini secara intens menggelar apresiasi bagi penulis dan kreator muda di segala bidang, guna bertukar gagasan serta pengalaman perihal perkembangan susastra di kalangan generasi muda Indonesia.

Maka, menyisihlah saya dari rasa minder itu, lalu melangkah pasti layaknya seorang utusan dengan mandat yang tidak bisa digugat….menuju toko kaki lima di simpang jalan Swaston, dan bertanya kemana arah menuju penginapan….ha-ha-ha….


Emerging Writers Festival (EWF) 2015 menyajikan berbagai kegiatan yang masing-masing begitu kaya warna. Tiap agenda diselenggarakan tersebar di beberapa titik pusat kota Melbourne, menampilkan para penulis muda dari seluruh benua Australia. Inilah perayaan yang digiatkan oleh sekelompok anak muda, tanpa tujuan mencari laba, semata-mata demi memberi ruang bagi berseminya talenta sastra di Austalia.

Sam Twyford-Moore sebagai direktur festival menggagas acara ini sejak tahun 2011. “Saya tidak pernah belajar khusus tentang event organizer atau semacamnya. Saya hanya punya teman-teman yang berkomitmen bekerjasama sebagai satu tim solid, kemudian kami berupaya dan berupaya agar festival ini bisa terwujud,” ujar Sam ketika saya mengunjungi sekretariatnya di The Wheeler Centre, institusi yang khusus mewadahi serta mendukung kegiatan susastra di kota ini. “Saya tidak pernah menduga bahwa festival menjadi sebesar ini, dengan dukungan yang terus mengalir…” tambahnya.

Sejak mula pertama digelar hingga berlangsung di tahun 2015, EWF telah mengetengahkan ratusan penulis, puluhan program, dengan partisipasi antusias dari warga setempat. Kerjasama dengan Bali Emerging Writers Festival telah berlangsung selama 2 kali, dengan wujud pertukaran penulis muda dari dua negara demi memperkenalkan karya mereka sekaligus berbagi perihal perkembangan sastra oleh generasi muda di tiap negara.

Misalnya, pada BEWF 2014 lalu hadir Luke Ryan, penulis muda Australia yang dikenal lewat karyanya yang komikal dan satir lewat buku pertamanya A Funny Thing Happened on the Way to Chemo. Sementara itu, Ni Ketut Sudiani, penyair dan novelis asal Bali turut berpartisipasi dalam beberapa kesempatan EWF 2014. Adapun Lou Heinrich dan Omar Sakr ialah perwakilan EWF di ajang BEWF 2015, sementara saya akhirnya tiba ke Melbourne sendiri, sebab Penyair M. Aan Mansyur batal terbang karena sesuatu hal….

Apa saja yang saya lakukan selama EWF?

Ha-ha-ha…itu pertanyaan yang sulit dijawab. Pasalnya, saya sungguh mendapatkan banyak sekali pengalaman yang tidak dapat disebutkan satu demi satu. Semuanya menggembirakan, menyenangkan. Selain sebagai panelis di sesi seminar, saya berkesempatan mengisi diskusi di Monash Asia Institute yang merupakan rekanan EWF tahun ini, di samping turut menjadi penyaji dalam program bertajuk Travel Slide Night, berupa presentasi potret perjalanan berikut cerita di sebaliknya yang dituangkan dalam karya.

Sesi-sesi dialog selalu berlangsung hangat. Dalam diskusi di Monash Asia Institute misalnya, bahkan turut hadir Konsul Jenderal RI untuk Melbourne, Ibu Dewi Savitri Wahab, yang menjelaskan peran penting kebudayaan dalam hubungan Indonesia-Australia. Saya juga turut menyampaikan sedikit testimoni, sebelum kemudian dilanjutkan dengan pembacaan karya. Bahkan, Monash Asia Institute secara khusus menampilkan pertunjukan tari topeng Bali yang, terus terang, tampil dengan sangat memukau…


Hampir dua minggu di Melbourne, di samping mengikuti agenda festival, saya telah mencoba menjelajah, bahkan hingga ke daerah pinggiran Melbourne. Panitia Emerging Writers Festival dengan berbaik hati menempatkan saya di Swanston Street, sangat dekat dengan beberapa universitas seperti Melbourne University dan RMIT yang terkenal sebagai institusi seni dengan mahasiswa yang penuh gairah kreatif.

Sebelum kemudian saya menyadari, bahwa ternyata ada cukup banyak komunitas Asia di kota ini. Di simpang jalan Swanston, menyeberanglah gadis dan pemuda Asia, hampir setiap waktu. Selalu ada orang Asia di taman, toko, kafe atau di tempat mana saja yang saya datangi. Ini tentu bukan hal yang mengejutkan bagi sebuah kota besar seperti Melbourne. Orang-orang dengan berbagai latar budaya, bangsa dan sejarahnya, telah lekat membaur, menyilang interaksi dan membentuk nuansa keberagamannya sendiri.

Tetapi, saya pikir, fenomena ini tentu sangat mengejutkan bila terjadi di Melbourne masa silam. Atau di tempat lain yang telah sekian lama menutup diri, sengaja maupun tidak sengaja. Atau bagi sebuah masyarakat yang tiba-tiba dikepung keterbukaan globalitas. Bagi mereka, hadirnya orang asing—bukan hanya orang Asia, ataupun belahan benua lainnya—selalu menimbulkan rasa canggung, kikuk dan serba ragu untuk berkomunikasi serta mengenal lebih jauh. Pada tahapan berikutnya, andaikan rasa canggung itu tidak diatasi, sementara persaingan hidup makin sengit, kompetisi dalam merebut rezeki kian kuat terjadi, dan tiap kelompok bangsa menguatkan identitasnya sendiri, tentu bukan mustahil bila kita mendapati kenyataan memilukan sebagaimana di Myanmar belakangan ini. Atau kasus-kasus kemanusiaan di mana saja di dunia saat ini.

Semua itu tidak akan terjadi—saya yakin—bilamana kecintaan kita pada apapun, bahkan kepada Tuhan, ideologi, dan keyakinan manapun, tidak mengalahkan kecintaan kita pada kemanusiaan.

Sejujurnya, saya agak sedikit deg-degan datang ke Australia, terutama pascaperistiwa yang mengakibatkan terjadinya ketegangan dalam hubungan diplomatik negara ini dengan Indonesia. Saya datang dari Bali, sebuah pulau kecil di Indonesia, yang belakangan ini cukup menjadi perhatian karena penjatuhan hukuman mati bagi dua warga Australia untuk kasus narkotika. Terlepas dari esensi hukum atas pelanggaran yang mereka lakukan, saya adalah salah satu dari sekian banyak warga Indonesia yang tidak setuju dengan kebijakan hukuman mati. Hidup adalah anugerah paling utama dari Tuhan; melebihi kekayaan, kesehatan dan kemuliaan. Manusia dapat menciptakan banyak hal: teknologi yang membantu kita setiap saat, pakaian yang melindungi dari gigil cuaca, ataupun karya lainnya yang bermakna. Akan tetapi, kita tidak bisa mencipta jiwa. Bahkan selembar nyawa seekor lalat pun tidak.

Saya tentu tidak memiliki kapasitas bagaimana jalinan antarbangsa tersebut mesti dirawat, terutama bila menyinggung aspek politik dan kebijakan dua negara. Saya hanya bisa memimpikan, bahwa hubungan dua bangsa ini dilakukan atas dasar kecintaan pada kemanusiaan.

Australia telah melahirkan banyak penulis dengan berbagai penghargaan dan prestasinya, sejalan dengan regenerasi yang terus-menerus bertumbuh, dengan segelintir nama yang saya kenali: Gwen Harwood, Vincent Buckley, James McAuley, A.D. Hope, Patrick White serta banyak nama lain yang tentu punya pencapaian pentingnya masing-masing. Indonesia juga memiliki beberapa nama penulis: Chairil Anwar dalam sajak, Sutan Takdir Alisjahbana yang gagasan dan karyanya menginspirasi hingga kini, juga Pramoedya Ananta Toer yang prosanya sangat saya sukai.

Saya membayangkan, bukan hal yang tak mungkin, bahwa kelak akan muncul juga penulis-penulis yang menyadari dengan sungguh sejarah kebudayaan di dua negara ini, menemukan harta karun pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya, kemudian menjalin persahabatan—dalam karya dan dalam kehidupan senyatanya.

Ya, itulah yang saya bayangkan saat duduk dalam trem yang mengantarkan keliling kota Melbourne, duduk di bangku tepi jalan, singgah di Melbourne Central Station, mengunjungi Victoria Library of State, memasuki Melbourne Museum, bertemu dengan diaspora Indonesia, mengikuti diskusi di Melbourne University, hingga duduk termenung di Federation Square dan membisik doa syukur Katedral St. Paul.

Rasa-rasanya waktu itu, ketika saya memikirkan itu, gigilnya musim gugur Melbourne tidak begitu terasa. Mungkin begitu ya, betapa gemuruh pengharapan ternyata kuasa menghangatkan batin, sepanjang hari, sepanjang waktu. 

Jumat, 27 Maret 2015

Pacu di Jakarta

"Dasar orang metro, gila semua!"
 
Seketika saya terkejut tatkala mendengar gerutu sopir kantor saat kami melintasi jalan Sudirman pada suatu sore yang sibuk. Kami baru pulang setelah seharian bertugas di sekitar kawasan Jakarta Timur. Antrian mengular sejak dua jam sebelumnya, dan meskipun telah bertolak lebih dini, kami bahkan tetap terjebak padatnya lalu lintas hingga pukul lima, yang tidak akan mudah terurai sampai malam nanti. Ruas jalanan Jakarta sedang macet-macetnya.
 
Sopir kantor saya biasanya agak penyabar. Jarang betul dia senewen di jalan. Bahkan rasanya dia selalu bisa mengemudi tenang-tenang saja melewati jalanan Jakarta yang ajegile berantakannya--padahal saya dan atasan kadangkala mudah panik dan waswas terlambat. Sebagai warga Ciledug, sopir ini agaknya mahfum betul dengan kondisi lalu lintas seperti itu. Beda betul dengan saya yang meski sudah dua tahun tinggal di kota ini, tetap juga terheran-heran, kok ya bisa penduduknya tahan macet sampai sekarang.
 
Sore itu, giliran saya yang kagetan. Sebuah metromini tua berwarna oranye tiba-tiba menyalip dari arah kiri, nyaris menyenggol muka depan mobil. Belum sampai di situ. Entah kesurupan apa, sopir metromini nekat saja menyelip-nyelip hingga mepet trotoar dan seenaknya memotong laju kendaraan di sebelahnya. Jadilah ia kemudian nyelonong ke arah kanan dan menerobos lajur transjakarta. Eh, berselang sepuluh meter kemudian, dia tiba-tiba berhenti dan menurunkan penumpang, lantas ngluyur pergi.
 
"Wuih, nyaris banget ya, Pak..." cuma itu yang bisa saya ucapkan. Tidak ada tanggapan dari sopir kantor. Dia tetap pasang tampang mesem bahkan sampai kami tiba di sekretariat.
 
Mengemudi mobil pribadi di Jakarta memang penuh suka duka. Macet jelas jadi masalah paling utama. Karena itulah saya tidak memilih pakai mobil. Di samping belum punya duit untuk beli, toh saya memang belum bisa nyupir sendiri. Lain dari itu, kendati sudah punya SIM C, saya tidak pernah mau pakai motor kalau bepergian di Jakarta. Banyak nian ancamannya. Ranjau pakulah. Begal motorlah. Belum lagi banjir. Belum lagi kulit tangan belang-belang karena terus-terusan pegang kemudi, hehehe....
 
Boleh jadi, metromini dan kopaja adalah angkutan yang paling ditakuti para sopir kantor maupun juru mudi pribadi. Bagaimana tidak. Mereka bisa sesukanya terabas jalan, ngebut, lalu ngerem mendadak sampai berhenti dan cuma mepet sepersekian senti dari kendaraan di depannya. Dan, kernetnya itu lho, yang beberapa kali turun ke jalan dan berteriak-teriak melebihi demonstrasi mahasiswa untuk menuntut mobil-mobil di dekatnya supaya berhenti dan memberi jalan bagi bus sedang berbau timbal yang uzur umurnya itu.
 
Karena itu ya, naik metro atau kopaja bahkan bisa lebih cepat dibanding lainnya.
 
Eh, ada satu lagi yang lebih gesit cekatan di jalan: ojek motor!
 
Sangat mudah menemukan ojek motor. Jalan saja ke muka sebuah gang, perempatan, atau pinggir lampu trafik. Pasti dijumpai Mas-Mas tukang ojek yang lagi mangkal. Atau, bila Anda kebetulan nona-nona, cukup kasi kode ke pengendara motor yang lagi sendiri tapi bawa helm dua buah. Entah ojek atau enggak, dia pasti mau berhenti dan antarkan kemana tujuan, hahaha....
 
Beberapa orang punya ojek langganan. Selain aman karena sudah dikenal dan harganya relatif murah sekaligus bisa utang, barangkali dapat juga untuk tambah teman--meski motif ojek langganan ini jarang betul diterapkan. Tapi, ada baiknya hati-hati untuk pilih ojek langganan. Tampang innocent tukang ojek bukan jaminan ketulusan dan kebaikan pribadinya.
 
Pasalnya teman saya, sebut saja Gea, punya pengalaman kurang menyenangkan soal ojek langganan. Karena halte transjakarta dan kosannya di bilangan Gelora cukup jauh, ia memutuskan cari ojek yang dapat dipercaya.
 
"Tapi aku enggak berani sama tukang ojek itu lagi," cerita Gea suatu kali.
 
"Awalnya biasa-biasa aja. Cuma kemudian aku ngerasa ada yang enggak beres..." tambahnya.
 
Karena jam pulang Gea yang tidak menentu, ia kerap mengirim sms kepada abang-abang ojek supaya mau menunggu di halte yang biasanya dia lewati. Bahkan, kalau Gea kelupaan sms sementara waktu sudah agak petang, si abang sampai tanyakan apakah jadi pakai ojeknya atau tidak.
 
"Aku kira itu hal yang wajar ya. Sampai suatu kali, si tukang ojek itu kirim sms yang agak aneh. Aku sempat dua hari enggak ngojek karena kebetulan diantar sama teman kantor. Eh, dia kemudian tanya, kok enggak pernah sama dia lagi..."
 
"Kan tinggal sebutin aja alasannya, toh?" saya menjawab.
 
"Iya, tapi sejak itu kok ya dia jadi posesif. Kirim-kirim sms untuk tanya aku sudah punya pacar belum, hari ini pergi kemana, sudah makan, sampai berani nawarin jalan!"
 
Sejak itu dia tidak berani pakai ojek itu maupun lewat sekitaran halte. Dia lantas pilih pakai commuter meskipun terpaksa harus memutar.
 
Saya sendiri memang tidak punya ojek langganan. Kebiasaan selama di Jakarta, saya selalu random memilih moda transportasi. Misalnya, kalau ada satu tempat yang berkali mesti dikunjungi dan kebetulan arah ke sana bisa dijangkau dengan beberapa jenis angkutan, saya akan acak menggunakannya. Sehari bisa dengan kopaja, besoknya metromini, lalu naik commuter dan lanjut ojek, APTB atau transjakarta, dan semacamnya. Selain bisa merasakan rute-rute yang beragam, agaknya itu hal yang cukup baik untuk mencegah kejahatan yang muncul karena terus melakukan hal rutin. Bukankah celah kejahatan salah satunya dapat muncul karena pelaku sudah mempelajari pola-pola aktivitas kita?
 
Kalau Anda naik ojek di Jakarta, mungkin baiknya coba tips berikut ini. Pertama, pastikan Anda tahu arah yang dituju. Jangan naik ojek bila Anda betul-betul buta peta. GPS dalam telepon pintar kita bisa sangat membantu dan itu bisa meminimalisir modus lupa jalan yang sering dilakukan ojek maupun sopir taksi.
 
Kedua, jangan ragu untuk berhenti jika ada hal-hal yang tidak beres. Tapi ya, jangan sembarang berhenti juga, contohnya turun di tengah jalan, apalagi itu jalan tol. Menepilah di pinggir jalan, hehehe. Pelajari jalan yang Anda lewati. Catat dalam ingatan, untuk antisipasi hal yang tidak diinginkan.
 
Ketiga, ini kebiasaan sederhana yang kadang luput dilakukan sebagian pengguna ojek: pastikan nomor kendaraan dan tipe motornya. Percuma bila Anda hanya kenalan sama si abang ojek tapi enggak tahu nomor polisinya. Camkan kata Shakespeare: apalah artinya sebuah nama, kalau tidak peka tanda bahaya, hehehe...
 
Meskipun Anda ambil ojek di pangkalan, tetap waspada saja. Pasalnya, tidak semua tukang ojek di sebuah pangkalan saling mengenal satu sama lain. Laiknya sopir taksi, beberapa tukang ojek kadang singgah di sebuah tempat untuk makan siang di warteg atau warung kakilima di dekatnya. Ia tidak sering ke sana, melainkan hanya kebetulan. Jika cuma kebetulan dan abangnya emang baik sih enggak apa. Tapi, bagaimana bila itu modus untuk cari peluang kejahatan?
 
Tidak mengenakan pakaian dan perhiasan ataupun penampilan gadget yang menyolok juga penting diperhatikan. Sama halnya untuk memastikan bahwa Anda tidak membonceng ojek di jam-jam yang tidak lazim, misalnya tengah malam sampai dini hari. Itu waktu rawan masalah sosial atau kriminalitas.
 
Kendati lebih waspada, tidak ada salahnya juga bila Anda memberi tip yang cukup jika si tukang ojek kelihatan baik dan berhati-hati selama berkendara. Tip itu anggaplah sebentuk derma, yang barangkali akan berdampak tidak terduga. Bisa saja si tukang ojek kemudian mengenali kita saat terjadi sesuatu di jalan tempatnya mangkal sehingga akan membantu. Yah, hitung-hitung, untuk menjaga atmosfer pikiran positiflah. Sehingga kita tidak akan merasa terancam dan sampai paranoid di jalanan Jakarta yang tumpah padat itu.
 
Omong-omong soal tip, seorang teman saya dari Belanda yang baru pertama kali datang ke Indonesia sudah tahu benar kiat-kiat seperti itu. Dia merasa naik ojek lebih aman dibandingkan taksi. Lagipula lebih murah untuk kantong euro-nya. Hanya saja, tukang ojek dekat apartemennya lebih cerdik.
 
"Saya beri dia tip lima ribu rupiah untuk ke stasiun Sudirman. Keesokan harinya, dia mengenali saya dan dengan ramah menawarkan ojek sambil bilang, hari ini tambah limaribu lagi ya, hahaha..." candanya curhat soal tukang ojek yang berani pasang tarif sambil berharap dapat tip lagi. Yah, patpat gulipat dong dapatnya...

Sabtu, 10 Januari 2015

Sop Duren

Sebelum pindah rumah pondokan, saya sempatkan jalan-jalan sebentar di kota Depok. Meskipun tidak sampai menjelajah seluruh pelosoknya, setidak-tidaknya itu adalah hari yang terbilang bermakna dan akan penting untuk dikenangkan.

Sekitar pukul tiga siang, kawan kamar sebelah mengirim pesan singkat, “Kak, jadi ya, kita cari sop duren?” Saya yang saat itu masih terkantuk-kantuk karena perjalanan commuter di siang nan terik, hanya bisa membalas mengiyakan dalam kalimat-kalimat pendek. 

“Tapi nanti kita makan sopnya satu berdua ya,” ujar kawan saya, sebut saja Nina, saat kami menyusuri gang depan rumah pondokan untuk menuju Margonda Raya. “Soalnya kemarin aku baru tes kolesterol, dan hasilnya mencengangkan…” 

Saya kira dia hanya bercanda. Apakah yang mencengangkan dari hasil tes kolesterol seorang gadis muda 22 tahun yang badannya kurus kering macam dia? Karenanya saya hanya tertawa-tawa kecil dan sambil lalu bertanya, “Memangnya hasilnya kayak gimana?” 

Nina yang adalah mahasiswi sarjana keperawatan menjelaskan, “Tau enggak Kak, hasil yang aku dapat 201…” 

“Oke, lalu batas normalnya?” 

“200…” 

Tanpa sadar saya nyaris teriak di jalan, “Jadi, karena kelebihan 1 poin, kamu bilang itu hasilnya mencengangkan?!” Ketawa saya tak habis-habis, berderai bersama kalimat-kalimat sanggahan dari kawan yang juga adik kelas saya semasa SMP di Bali itu. 

“Jangan ketawa dulu. Biasanya angka normal tertingginya 180 atau malah 170. Nah, aku udah dapat 201, yang artinya, aku ini berpotensi kena serangan jantung atau masalah-masalah komplikasi kesehatan lainnya…” 

Namun, saya masih juga tertawa-tawa. “Kan angka kolesterol bisa naik turun, tergantung pola makan dan gaya hidup.” 

“Betul sihLagian ya, tampaknya sebelum tes itu pola hidup aku enggak teratur. Habis makan, tidur. Terus bangun, eh, makan lagi. Lanjut tidur panjang sampai sore…” 

Memang Nina sedang liburan selama tiga hari ini. Libur langka di tengah padatnya kewajiban program profesi keperawatan pasca wisuda sarjana, yang mengharuskannya magang di beberapa rumah sakit di Jakarta. 

Tuh bener kan. Hidup kamu persis kucit…” saya jawab jahil, yang dibalas ketawa olehnya. Kucit adalah sebutan anak babi dalam bahasa Bali, panggilan yang sering digunakan bilamana kawan-kawan sudah berkarib erat. Lain dari itu, memang sih, ada juga boneka anak babi yang dipajang khusus di meja belajarnya.  

Kami naik angkot menuju daerah sekitar terminal Depok. “Di sini, sop durennya enak, dan pas untuk harga mahasiswa, hehehe….” 

Memang Nina selalu tahu tempat-tempat jajanan yang ‘bersahabat’ dengan uang saku anak kuliahan.  

Dan harus diakui, sop duren di situ sangat lezat bukan main. Saking enaknya, alih-alih menjaga pola makan, rasanya Nina malahan tandaskan hampir separuh dari segelas sop duren yang kami pesan untuk berdua. Saya senyum-senyum saja dan minta tambah pancake duren yang, ajegile, mantapnya tak terkira hingga menggoda teman saya untuk ikutan mencoba juga. 

“Kucit, hati-hati lho, kolesterol…” saya mengingatkan. Eh, bukannya mengiyakan, ini anak malahan comot bagian terakhir dari pancake duren yang saya pesan.  

Sore itu adalah sore yang menyenangkan bagi saya. Dan barangkali juga untuknya. Sepanjang jalan pulang, kami bahkan masih ketawa-tawa, dengan guyonan demi guyonan yang mengalir terus bersama larutnya waktu. Berkali-kali dia bilang, “Kakak, aku mabok duren…” 

Tadi petang, saat saya berkemas untuk terakhir kali, saya teringat lagi pengalaman-pengalaman sewaktu di rumah pondokan itu. Bersama penghuni lain, kami sering makan bareng, duduk ngerumpi di ruang tamu sembari sama-sama cari sinyal telepon seluler, atau saling tukar film-film hasil download. Kadang kalau ada teman lain yang sakit—dan biasanya itu pasti anak yang mondok tepat di depan kamar Nina—kami beri perhatian juga. Nah, kalau soal beginian, Nina yang paling gesit. Maklumlah, dia baru sarjana perawat, jadi begitu antusias dan bersemangat menerapkan ilmunya, hehehe…. 

Kendati dia pernah coba cek tensi darah saya, dan entah kenapa dia selalu minta diulangi prosesnya. Konon hasilnya tidak jelas jadi perlu dipastikan kembali; hal mana membuat saya menyangsikan pengetahuan keperawatan yang dia punya…. 

Lebih-lebih, Nina pernah cerita, betapa waktu di RSCM dia pernah diminta pasang infus untuk seorang pasien lansia. “Susah banget, Kak. Kulitnya kan udah nggelayut, jadi jarumnya enggak kena pembuluh darahnya…”  

Mendengar itu, saya langsung ilfil. Membayangkannya saja saya merasa…uuh 

Ketika saya telah pergi dari rumah pondokan, adik kelas ini mengirim pesan yang cukup mengharukan. Mungkin benar, atau saya saja yang ge-er, dia begitu sedih karena saya berhenti mondok. “Waktu begitu cepat. Padahal baru saja rasanya kos ramai, ada tanda-tanda kehidupan…” tulisnya.  

Terus terang, saya terharu juga. Sepanjang jalan dengan commuter ke arah Jakarta, sembari menyaksikan hari yang lindap menuju gelap, saya seperti bisa melihat lagi peristiwa kebersamaan kami di rumah sederhana yang letaknya bersebelahan dengan rel kereta menuju Bogor itu. Juga soal pengalaman saya sewaktu pertama kali tiba di sana, hanya dengan sebuah ransel yang memuat baju serta handuk kecil. Bahkan ketika itu, teman saya inilah yang meminjamkan seprai berikut sarung bantalnya buat saya pakai. Dia pula yang merawat saya kalau kedapatan sakit. Atau memberikan saya oleh-oleh bilamana dia berkesempatan pulang ke Bali.  

Sungguh, sungguh. Saya bakal kangen sekali dengan tempat itu. Termasuk kepada teman-teman yang berasal dari beragam latar itu.  

Saya akan kangen pada wangi masakan ibu kos—yang keras pedasnya sangat tidak disukai Nina, dan membuat dia menutup pintu kamar rapat-rapat.  

Saya akan kangen pada percakapan bahasa Mandarin yang dilakukan Evelyn, anak kos yang lain, bersama kawannya (hal yang membuat saya bertanya-tanya, kiranya apa arti ucapan yang mereka ungkapkan?)  

Saya pun akan kangen pada Ira, mahasiswi Fasilkom yang pernah marah-marah supaya saya ikut bersihkan kamar mandi bersama…yang kemudian saya lakukan dalam sukacita (ha-ha-ha…) 

Saya akan kangen pada Ega, mahasiswi lain yang selalu mengurung diri di kamar, dan entah apa yang dilakukannya di sana. Oya, di dalam pondokannya ada poster Muse ukuran besar. Mungkin, dia bersitahan buat tatap wajah para personil grup-band itu, he-he-he… 

Satu lagi, saya akan kangen pada para penjaga warteg, di mana setiap malam, khususnya bila hujan tiba, saya doyan nongkrong di sana untuk memesan teh atau jeruk panas, seraya dengan seenaknya minta ganti-ganti channel teve, seakan sayalah yang punya itu warteg (ha-ha-ha…) Ibu-ibu penjaganya yang berasal dari Brebes kelihatannya senang saja. Malah kami sering ngobrol, dan dari situ saya belajar sedikit bahasa Jawa. Bahkan, jangan salah, alih-alih nonton sinetron, kami kerap pula ngeriung saksikan debat capres-cawapres di televisi....

Teberkatilah mereka semua, bahagia dalam segala suka dukanya.  

Maka, petang tadi, setelah terima pesan singkat mengharukan dari Nina, saya membalas: “Hoit, kucit, kapan nanti kita cari sop duren lagi ya. Habis itu main basket, sampai tangan kita kapalan, ha-ha-ha…”

Sabtu, 03 Januari 2015

Almamater

“Dulu bangunannya enggak seperti ini,” ujar teman saya menjelaskan. “Arsitekturnya masih yang lama, seperti gedung peninggalan kolonial. Sekarang jadi enggak karu-karuan.”
 
Ia membandingkan bentuk sekolah SMA dalam kenangan dan yang kini jadi kenyataan. Gedungnya tidak dicat biru putih tetapi hanya putih secara keseluruhan. Garis dinding bangunan yang sekarang malahan makin terkesan kaku. Adapun halamannya kini dibenahi dengan cetakan paving-paving baru.
 
“Pohon beringin itu, masih serupa dulu,” kemudian ia menambahkan. “Di masa sekolahku, entah kenapa dia selalu jadi tempat pilihan bagi siswa-siswi sekolah yang mula pertama nyatakan cinta.”
 
Kami sedang berjalan-jalan sebentar di pusat kota, sebelum ide berkunjung sebentar ke almamater SMA teman saya itu muncul dan menggoda kami melakukannya. Semacam incognito, mungkin. Sebabnya, teman saya tidak mau dikenali sebagai mantan murid di sana. Katanya ia hanya mau datang dan melihat-lihat, sambil membayangkan kembali kenangan-kenangan yang telah lewat.
 
Ia bercerita betapa sudah lama sekali tidak menengok almamaternya ini. Semua berubah, tambahnya. Dalam hati saya nyeletuk pula, ya bukankah memang begitu galibnya sebuah kota?
 
Kami mencoba masuk lingkungan sekolah lewat jalur samping. Beberapa buruh sedang istirahat, tiduran di mushola sekolah. Halaman dan teras sebelah itu sedang diperbaiki.
 
Tapi, apa mau bilang, sebuah gerbang kecil yang menghubungkan jalan ke halaman dalam ditutup dan digembok. “Kamu kurang beruntung nih,” ia berujar. Saya tersenyum saja.
 
Mungkin bukan saya yang tak beruntung, si pelancong lain kota yang hendak melihat-lihat segala suasana yang mungkin dilihat. Melainkan teman saya, yang berharap bisa melihat kembali semua kenangan yang pernah didapat.
 
Saya mengajaknya mencari sisi masuk yang lain; kami harus melewati ruang guru di muka bangunan baru. Teman saya menggeleng. Ia menolak.
 
Sisa perjalanan siang itu kami jalan berdiam-diam saja. Sesekali saya memancing percakapan dengan menanyakan pengalaman semasa SMA, yang dijawabnya sesekali dengan antusias, dan sesekali secara sekenanya. Saya tersenyum lagi. Mungkin pikirnya, tidak semua ingatan bisa dibagikan; tidak seluruh masa silam penting untuk diceritakan.
 
Dari almamater itu kami melintasi jalan Kartini. Di kanan kiri berdiri beberapa bangunan sekolah lainnya, seperti SD dan SMP. Papan-papan nama dan keterangan gugus pandu pramuka maupun PMR mereka diteduhi pepohonan yang merindang di halaman masing-masing. Seekor kucing hitam menyelusup di sela pagar.
 
“Kamu suka tinggal di sini?” saya pernah bertanya kepadanya.
 
“Apakah ini wawancara ya?”
 
Saya tertawa kecil. Teman ini pernah berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali baginya, pertanyaan tadi terkesan seperti interview kepada seorang warga pengungsi banjir yang tidak mau relokasi pindah rumah.
 
“Bukanlah,” tukas saya segera kemudian. Ia diam lagi, agaknya sedang merenungkan pilihan jawaban yang bisa diungkapkan. Dan benar saja, beberapa menit berikutnya ia memberi kalimat singkat, bahwa dirinya suka tinggal di kota kecil ini.
 
Perihal alasannya, ia tidak menguraikannya lebih jauh. Begitu pun saya tidak mencoba cari tahu lebih mendalam.
 
Sekitar pukul empat sore, tepat sebelum hujan deras mengguyur kota kecil di pesisir Jawa Tengah itu, kami kembali ke rumah. Hujan tidak juga berhenti sampai menjelang Isya. Gang kecil di depan rumah sudah tinggi posisi airnya, tak pelak menggenang sampai ke rumah penduduk.
 
Bocah-bocah tetangga berseru kegirangan. Seorang bahkan sudah telanjang dada dan berenang-renang di limpahan air kotor. Tak ketinggalan adik teman saya: mulanya malu-malu, akhirnya ikut nyemplung juga. Yang lucu, teman saya justru mendukung niatan main air itu seraya berkata, “Mendingan sekalian nyebur. Kalau setengah-setengah, nanti malahan sakit…”
 
Entah darimana ia dapat logika itu.
 
Adapun tempat tinggal teman saya bangunannya sengaja ditinggikan buat mencegah masuknya air banjir. Meski konsekuensinya adalah berubahnya arsitektur rumah sebagaimana yang kemarin hari sempat ia tunjukan lewat foto-foto lama.
 
Saya rekam adegan main air itu dengan kamera. Gang kecil, genangan banjir, rumah tua penduduk, dan musholla sebelah rumah saya ambil gambarnya.
 
Barangkali itu nanti bisa jadi pengingat di masa depan tentang kondisi kampung masa kecil teman saya ini.

Kamis, 01 Januari 2015

Bancal!

Malam pergantian tahun 2014 saya lewatkan dengan tidur lelap tanpa mimpi. Hanya saja tidur itu saya lakukan di Tegal, beratus kilometer jauhnya dari kos di Jakarta maupun Bali, kampung saya sendiri.

Pengalaman tidur saya tidak ada bedanya dibandingkan tidur-tidur lain yang saya lakukan 365 hari sebelumnya, di manapun itu. Kata saudara dan teman, saya selalu bisa tidur lelap yang dalam dan panjang, yang bahkan kalau ada petasan meledak persis di luar kamar, saya tak bakalan terbangunkan.

Karenanya apakah di malam kemarin itu ada sorai sorai pergantian tahun dan suara bising kembang api, saya tidak tahu. Cuma teman yang saya tumpangi menginap yang mengabarkan, bahwa di petang hari sempat mati listrik dan hujan turun deras sekali.

Akan tetapi, pengalaman tatkala saya bangun tidur itulah yang boleh dikata berbeda dengan pengalaman terjaga di 365 pagi sebelumnya, di manapun itu. Yang mula-mula menyergap adalah kegelapan (rupa-rupanya lampu kamar sengaja dimatikan). Sepintas saya dengar suara gesek daun bambu di sebelah rumah, yang sempat saya kira sebagai gerimis dini hari. Mungkin sekitar 2 menit saya tercenung juga, hingga kemudian bersijingkat turun dari ranjang supaya tidak membangunkan kawan yang masih lelap di sebelah saya.

Seisi rumah begitu sunyi. Keluarga kawan saya pun masih tertidur. Tampaknya demikian juga dengan burung-burung peliharaan dalam dua sangkar di ruang tamu. Saya duduk sebentar di situ seraya mengintip jalanan depan rumah yang juga sama sunyi.

Saya putuskan mengambil sandal dan jalan-jalan keluar untuk menghirup hawa pagi pertama tahun baru. Cuaca cukup baik dan sejuk, barangkali diakibatkan hujan kemarin malam. Beruntung tidak turun gerimis sehingga saya bisa menyusuri gang kecil di kampung Pejagan, wilayah Tembok Banjaran, Adiwerna-Tegal.

Ini kampung sederhana sekali. Rumah-rumah berarsitektur kuno dengan tembok yang lusuh kumal, menunjukan keberaniannya bertahan dari badai masa silam. Tidak ada petak halaman. Rumah-rumah berdiri bagai disebar di seluruh penjuru kampung dengan jalan-jalan tikus yang menghubungkannya satu sama lain.

Kata kawan saya, kampung Pejagan dihuni oleh orang pribumi asli di atas tanah hibah kaum Tionghoa yang berdagang di jalan besar sana—sekitar 200 meter dari wilayah pemukiman ini. Sementara kampung sebelah, Pedalangan, diisi oleh warga yang memelihara kambing sebagai bahan menu sate ataupun kurban Lebaran Haji, orang-orang Pejagan tidak punya kekhususan tertentu. “Hanya kampung biasa,” katanya.

Setelah lewat beberapa rumah, ciri khas dari perkampungan segera saya jumpai: orang-orang tua yang duduk-duduk di beranda atau berjalan pulang dari pasar. Seorang nenek lain menggendong keranjang pada punggungnya dan menawarkan, “Ketan, Mbak?”, yang kemudian saya jawab dengan bahasa Jawa yang kaku, “Mboten, Bu.” Saya tidak tahu itu jajanan berupa apa. Saya pun tidak terbiasa makan sedini itu.

Jalanan menuju pasar cukup becek. Saya melewati tanaman-tanaman kembang pagi-sore yang tumbuh liar di pinggiran dan pohon buah silik (itu bahasa Bali sebenarnya, dan saya bingung apa ya bahasa Indonesianya ‘silik’?). Kulit buahnya tumpul saling menyusun, dan di dalamnya penuh daging putih yang menyelimuti biji-biji berwarna hitam. Sewaktu kecil, saya pernah mencuri buah itu saat pulang sekolah, disuruh oleh kakak laki-laki saya yang ‘ngidam’ banget sama buah itu, hehehe…

Sampailah saya di pasar depan. Ini bukan pasar pagi yang menjual buah dan sayur mayur. Kalau pasar yang begitu, jaraknya masih 100 meter ke utara, dan sebentar saya pun hendak ke sana. Pasar depan ini lebih seperti gudang-gudang tua yang digunakan untuk jual beli cemilan dan kripik produksi lokal, usaha parutan kelapa, dan warung makan sate kambing.

Toko-tokonya berpintu lebar dari kayu, persis serupa ruko orang Tionghoa di masa lalu. Ujar teman saya, “Di sepanjang jalan raya Banjaran memang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa. Tidak ada pribumi yang menempati, kecuali kalau mereka bisa bayar biaya sewa.”

Beberapa penjual memilih menggelar dagangannya di trotoar jalan, bukan di dalam toko. Saya menyusurinya pelan-pelan seraya menyaksikan apa saja yang disajikan pada lapak demi lapak. Penjaganya nyaris semua orang-orang tua, para nenek dengan kebaya yang duduk setia menunggui. Mereka mengusir lalat yang hinggap pada sayur dan buah. Ada seorang nenek penjual beras yang sebelah matanya bahkan sudah katarak. Mereka semua, bagi saya, terasa seperti manusia pinggiran yang bertahun-tahun menyambung hidup dari pasar tumpah sepanjang jalan Banjaran dan Adiwerna (kawasan yang tak jauh dari pasar depan dan jalan besar itu).

Aneka hal dijualbelikan di sini. Sembako, bunga sekaran ziarah, berbagai bumbu masakan, ikan asin, minuman dawet, pisau dapur, nanas, pisang, hingga baju anak-anak. Sempat saya kepingin coba nasi bungkus yang dijajakan di atas keranjang. Kelihatannya enak, dan mungkin akan terasa seperti nasi bungkus khas rakyat sebagaimana yang ada di pasar-pasar tradisional manapun. Saya berhenti sebentar, dan pada saat itulah sebuah becak melintas di sebelah saya, dikendalikan oleh bapak tua yang hilang keseimbangan, hingga menggilas kaki kiri saya. Kontan saya menyeru rendah, disambut pekik seorang nenek yang tak jauh dari situ, “Bancal!”

Untung bawaan becak itu tak terlalu banyak. Untung pula jalanan cukup becek sehingga kakinya bisa nyelesek di tanah, membuat gaya tekanannya tak terlalu berat. Saya ketawa-ketawa saja. Saya tidak mengerti arti kata ‘bancal’. Mungkin ada maksudnya. Atau mungkin itu ekspresi spontan saja.

Segera sesudah itu, saya memutuskan tak jadi beli nasi bungkus. Sebuah pikiran hinggap dalam kepala saya: betapa anehnya menjadi seorang asing yang sama sekali tidak mengerti bahasa setempat. Orang-orang Tegal konon jarang berbahasa Indonesia. Adapun bahasa Jawa pun ditolaknya karena merepresentasikan dominasi kaum keraton. Saya seketika merasa kehilangan cara untuk berkomunikasi. Dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan dan menentramkan.

Sepanjang pagi di tahun baru itu saya pun praktis hanya berjalan-jalan saja. Sempat saya mencoba memahami dialog antara penjual dan pembeli, namun sungguh saya gagal mengerti. Dialek dan kosakata mereka terlalu asing. Atau bukan, sayalah yang sungguh benar-benar asing. Saya seorang.

Pasar pagi itu cukup ramai. Meskipun ada bangunan pasar yang berdiri sendiri di samping rel kereta Banjaran, para pedagang tetap saja tumpah ruah hingga ke jalan. Suasananya, andaikan saya tidak risau oleh masalah kebahasaan Tegal yang tak saya pahami, mungkin akan terasa persis seperti pasar-pasar lainnya di Indonesia.

Pasar pagi itu cukup ramai. Orang-orang berbicara satu sama lain. Saling tawar menawar atau mungkin bertukar kabar. Saya tak tahu. Dan saya hanya bisa berdiri tersenyum bilamana ada yang menyodorkan dagangannya, atau berjalan pelan sebiasanya agar tidak terlalu mencuri perhatian.

Pertanda apakah ini, pengalaman yang saya alami di hari pertama tahun baru ini?