‘Curiosity Killed The Cat’. Pepatah itu
pertama kali saya dengar dari seorang teman kuliah ketika kami bersama-sama
menunggu commuter pada suatu malam. Waktu
itu udara malam terasa cukup gigil pasca sesi kelas yang sebenarnya agak
membosankan. Bukan hanya mata ajar itu saja. Semua materi semester ini bagi
saya betul-betul menjemukan.
Sudah sejak tadi teman saya ini
menyulut sebatang rokok untuk melepas penat yang menderanya seharian. Sudah dua
tahun ia ditempatkan di sebuah lembaga yang—dalam bahasa yang sering
digunakannya—mengurusi ‘kantong-kantong’ kemiskinan di Indonesia. Tugasnya ialah
mengawasi jalannya kebijakan sosial pemerintah. Bila Anda membayangkan dia
hanya tenaga administratif kantoran yang kerjanya memeriksa laporan-laporan penyelenggaraan
program kebijakan, saya bisa pastikan bahwa itu keliru. Tanggungjawab monitoring yang dilakukannya kerap kali
mengharuskan teman saya ini turun ke lapangan, mendatangi lokasi program,
melihat langsung capaian dan permasalahannya. Otomatis, dirinya pun jarang
masuk kelas. Dan sebagai seorang teman baik (hah!), beberapa kali saya pun
membuatkan tandatangan tiruan di daftar absen—tentu atas permintaannya.
Sambil menikmati rokok kesukaannya,
teman saya terus menerus menatap layar telepon pintarnya dan menuliskan kalimat
demi kalimat tanpa henti. Oke. Saya tahu dia orang sibuk, dengan seabrek kerjaan yang pasti tidak
berkeputusan. Jadi saya pun tidak terlalu ambil pusing atas tingkah lakunya
yang amat serius itu. Saya pun tetap mencoba melarutkan diri dalam suasana
malam itu, mendengarkan musik via headset,
melihat para penumpang yang lalu lalang, dan melamunkan hal-hal tertentu.
Seorang waria lewat di depan kami. Pakaiannya mini. Dandanannya, bagi saya,
terkesan eksentrik kaya warna. Ia mengenakan wig dan membawa sebuah stereo yang
disandang begitu gampang pada bahunya. Beberapa pria merasa risih serta memilih
menjauh darinya. Tapi waria itu tidak peduli. Ia berjalan dalam lagak yang
anggun feminim (bahkan melebihi cara saya berjalan!), lantas duduk di satu
sisi peron, dan memutar house-music
keras-keras dari stereo portable itu.
Jangan Anda kaget dengan pemandangan seperti ini. Jakarta selalu dipenuhi
hal-hal yang menakjubkan.
Jujur, saya sering bertanya-tanya,
apa gerangan yang terjadi di dalam commuter
yang dia naiki. Waria itu tidak bisa masuk ke gerbong perempuan, sebab ada
aturan konyol di KRL bahwa yang bisa duduk di dalamnya hanya mereka yang secara
biologis adalah ‘benar-benar’ perempuan. Jadi, orang ini harus ikut gerbong
laki-laki. Bisa dibayangkan, betapa gelinya kondisi ini?
Commuter
tujuan Jakarta Kota singgah di peron stasiun ini. Waria tadi buru-buru
mematikan stereo portable-nya, lalu
berlari menuju gerbong kereta. Tidak. Dia sebenarnya tidak berlari, menurut
saya. Dia melangkah cepat dengan gaya wanita yang begitu anggun, yang sungguh,
membikin saya ternganga heran. Tangannya diangkat begitu rupa, di mana
permukaan telapaknya menengadah ke atas. Kakinya mengayun kecil-kecil, membuat
rok mininya mengembang naik turun. Begitu juga wig cokelat sebahunya. Setelah
diperhatikan ternyata ia melihat ada temannya yang naik kereta jurusan itu. Dan
dirinya tidak mau ketinggalan.
Baik. Kita kembali ke soal pepatah
bahasa inggris tadi.
Setelah menyesap bagian terakhir
rokoknya, baru teman saya ini berkata dalam nada datar yang biasanya. “Jadi,
sori kalau aku kelihatan agak sibuk malam ini. Ceritanya aku sedang mendamaikan
dua temanku yang sedang bertengkar…”
Aku menoleh sedikit. Temanku,
seorang perempuan asal Jayapura itu, mulai mengambil batang rokok berikutnya,
kemudian bercerita begini:
Di kantor dia punya dua kawan dengan
latar agama yang berbeda. Satunya Islam, lainnya ialah Kristen. Sejak dulu
keduanya memang suka berselisih paham yang kurang lebih dipicu perbedaan
religiusitas ini. Yang agama Islam—mohon maaf, bukan berarti saya hendak
menyinggung SARA—suka memuat postingan menyidir ajaran Kristen di Facebook, dan selalu dibaca oleh rekan
kantor beragama Kristen tadi. “Karena aku dinilai cukup ateis, maka sering aku
jadi penengah di antara mereka,” tambah teman saya. Mendengar itu, saya pun
tanda sadar ketawa. Kontradiksi yang menarik. Seorang tekun beragama minta
pendapat kepada orang seperti teman saya ini.
“Lalu, biasanya, apa saran Kakak
kepada mereka?” saya kerap memanggilnya ‘Kakak’ sebab usianya kira-kira delapan
tahun lebih tua dari saya.
“Untuk kali ini, curiosity killed the cat,” tukasnya
pendek.
“Artinya?”
“Ya, kamu tahu sifat kucing kan? Suka
bermain-main dengan hal baru yang belum diketahuinya betul. Misalnya, kucing
itu kepingin memastikan isi sebuah karung. Dan dia terus mencoba masuk ke
dalamnya, tanpa menyadari bahwa itu sebenarnya jebakan. Begitu terperangkap,
karung ditutup dan diambil orang….”
“Kurang lebih maksudnya, jangan
terlalu menurutkan keinginan tanpa mempertimbangkan segala bahaya yang bisa
muncul…”
Headset
sudah saya lepas sejak ia melontarkan pepatah itu. Well, ini hal baru yang belum pernah saya tahu. “Darimana Kakak
bisa simpulkan itu?”
“Ya, karena sudah sejak dulu aku
bilang, supaya dia tidak lagi membuka postingan dari teman itu. Sebab toh
isinya begitu-begitu saja. Mau kita protes juga pasti tidak akan berdampak
banyak dan malahan memicu konflik. Ini kan terkait keyakinan, yang dalam
beberapa kasus amat sulit diubah. Daripada kita jadi ikutan sakit oleh hal-hal
demikian, lebih baik tidak usah menggubrisnya sama sekali…”
“I
see…,” sahut saya. “Pendeknya, untuk apa memikirkan pikiran buruk orang..."
Teman saya ini segera mengiyakan. Persoalannya,
teman A ini selalu tidak bisa menahan sikap obsesifnya itu. Dan sekarang si A
yang entah siapa itu curhat panjang lebar pada teman kuliah saya ini.
Sementara kawan ini mengetik
pesan-pesan di telepon, saya pun mulai melamun. Kurang lebih, saya pun punya
pengalaman yang serupa. Gemar stalking
di media sosial, khususnya pada sebuah akun twitter kenalan saya. Setiap malam,
sebelum tidur, saya selalu melihat linimasa juga kutipan favoritnya, mencari
keterkaitan pernyataan dalam timeline
(meskipun toh itu sebenarnya bukan urusan saya), dan mencoba menelusuri
ungkapan-ungkapannya di google. Jelas
itu bukan kebiasaan baik, sebab pada kenyataannya, saya akhirnya tidak bisa
tidur hanya untuk mencari siapa nama yang dia posting, musik apa yang disukainya, dan sebagainya. Dan sebagainya.
Hingga tanpa terasa waktu sudah pukul tiga pagi. Saya pun insomnia. Padahal besoknya
(tepatnya beberapa jam lagi) saya harus ikut aktivitas peliputan atau penulisan
yang sudah dijanjikan. Pantas saja, saya selalu merasa lelah dan jadi gampang
marah.
Kalau mau ditarik ke hal yang lebih
luas, misalnya rasa keingintahuan seorang anak terhadap minuman keras, kelompok
sebaya tertentu (kadang negatif seperti geng motor atau geng lainnya) juga
kebiasaan game-online, ataupun sikap kepribadian orang yang tanpa sengaja
menantang bahaya seperti tokoh Dae Su dalam film Old Boy, pepatah tadi tentu sangat relevan. Kita boleh saja ingin
keluar dari zona nyaman, tapi untuk memilih ‘jalan lain’ itu ternyata tidak
cukup dengan modal keberanian. Harus ada daya nalar dengan menimbang segala
baik dan buruknya.
Atau, mungkin tidak segala hal baik
dan buruknya, sebab kita bagaimanapun tidak punya kemampuan besar tentang itu.
Paling cukup, setidaknya, kita menyadari konsekuensi yang mungkin dihadapi. Mimpi
harus dihadapkan pada kenyataan, supaya kita berada dalam alur hidup yang
jelas, tidak mengawang-awang dalam lamunan, atau kering tiada imajinasi.
Pepatah itu berhasil membuat saya
untuk merenung ulang kebiasaan stalking tadi.
Pepatah itu juga memberi pencerahan kecil untuk bagaimana menentukan pilihan
hidup.
Sekitar lima menit kemudian, commuter tujuan Tanahabang-Jatinegara
pun tiba. Kami naik sama-sama di gerbong perempuan. Teman saya ini nanti turun
di Manggarai, lalu ganti kereta ke Jakarta Kota. Kadangkala, saya yang naik
jurusan Jakarta Kota, lalu turun di Tebet untuk pindah commuter tujuan akhir Jatinegara. Kami biasa melakukan ini, sebab
setidaknya kami membutuhkan teman seperjalanan yang bisa diajak berbagi.
Malam itu, teman saya memang tidak
banyak bicara. Saya memilih mendengarkan musik dan melamun lagi. Itu kebiasaan
lama yang ternyata amat sulit saya ubah. Hah!
Jakarta, 5 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar