Senin, 05 Mei 2014

'Curiosity Killed The Cat'

‘Curiosity Killed The Cat’. Pepatah itu pertama kali saya dengar dari seorang teman kuliah ketika kami bersama-sama menunggu commuter pada suatu malam. Waktu itu udara malam terasa cukup gigil pasca sesi kelas yang sebenarnya agak membosankan. Bukan hanya mata ajar itu saja. Semua materi semester ini bagi saya betul-betul menjemukan.

Sudah sejak tadi teman saya ini menyulut sebatang rokok untuk melepas penat yang menderanya seharian. Sudah dua tahun ia ditempatkan di sebuah lembaga yang—dalam bahasa yang sering digunakannya—mengurusi ‘kantong-kantong’ kemiskinan di Indonesia. Tugasnya ialah mengawasi jalannya kebijakan sosial pemerintah. Bila Anda membayangkan dia hanya tenaga administratif kantoran yang kerjanya memeriksa laporan-laporan penyelenggaraan program kebijakan, saya bisa pastikan bahwa itu keliru. Tanggungjawab monitoring yang dilakukannya kerap kali mengharuskan teman saya ini turun ke lapangan, mendatangi lokasi program, melihat langsung capaian dan permasalahannya. Otomatis, dirinya pun jarang masuk kelas. Dan sebagai seorang teman baik (hah!), beberapa kali saya pun membuatkan tandatangan tiruan di daftar absen—tentu atas permintaannya.

Sambil menikmati rokok kesukaannya, teman saya terus menerus menatap layar telepon pintarnya dan menuliskan kalimat demi kalimat tanpa henti. Oke. Saya tahu dia orang sibuk, dengan seabrek kerjaan yang pasti tidak berkeputusan. Jadi saya pun tidak terlalu ambil pusing atas tingkah lakunya yang amat serius itu. Saya pun tetap mencoba melarutkan diri dalam suasana malam itu, mendengarkan musik via headset, melihat para penumpang yang lalu lalang, dan melamunkan hal-hal tertentu. Seorang waria lewat di depan kami. Pakaiannya mini. Dandanannya, bagi saya, terkesan eksentrik kaya warna. Ia mengenakan wig dan membawa sebuah stereo yang disandang begitu gampang pada bahunya. Beberapa pria merasa risih serta memilih menjauh darinya. Tapi waria itu tidak peduli. Ia berjalan dalam lagak yang anggun feminim (bahkan melebihi cara saya berjalan!), lantas duduk di satu sisi peron, dan memutar house-music keras-keras dari stereo portable itu. Jangan Anda kaget dengan pemandangan seperti ini. Jakarta selalu dipenuhi hal-hal yang menakjubkan.

Jujur, saya sering bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi di dalam commuter yang dia naiki. Waria itu tidak bisa masuk ke gerbong perempuan, sebab ada aturan konyol di KRL bahwa yang bisa duduk di dalamnya hanya mereka yang secara biologis adalah ‘benar-benar’ perempuan. Jadi, orang ini harus ikut gerbong laki-laki. Bisa dibayangkan, betapa gelinya kondisi ini?

Commuter tujuan Jakarta Kota singgah di peron stasiun ini. Waria tadi buru-buru mematikan stereo portable-nya, lalu berlari menuju gerbong kereta. Tidak. Dia sebenarnya tidak berlari, menurut saya. Dia melangkah cepat dengan gaya wanita yang begitu anggun, yang sungguh, membikin saya ternganga heran. Tangannya diangkat begitu rupa, di mana permukaan telapaknya menengadah ke atas. Kakinya mengayun kecil-kecil, membuat rok mininya mengembang naik turun. Begitu juga wig cokelat sebahunya. Setelah diperhatikan ternyata ia melihat ada temannya yang naik kereta jurusan itu. Dan dirinya tidak mau ketinggalan.

Baik. Kita kembali ke soal pepatah bahasa inggris tadi.

Setelah menyesap bagian terakhir rokoknya, baru teman saya ini berkata dalam nada datar yang biasanya. “Jadi, sori kalau aku kelihatan agak sibuk malam ini. Ceritanya aku sedang mendamaikan dua temanku yang sedang bertengkar…”

Aku menoleh sedikit. Temanku, seorang perempuan asal Jayapura itu, mulai mengambil batang rokok berikutnya, kemudian bercerita begini:

Di kantor dia punya dua kawan dengan latar agama yang berbeda. Satunya Islam, lainnya ialah Kristen. Sejak dulu keduanya memang suka berselisih paham yang kurang lebih dipicu perbedaan religiusitas ini. Yang agama Islam—mohon maaf, bukan berarti saya hendak menyinggung SARA—suka memuat postingan menyidir ajaran Kristen di Facebook, dan selalu dibaca oleh rekan kantor beragama Kristen tadi. “Karena aku dinilai cukup ateis, maka sering aku jadi penengah di antara mereka,” tambah teman saya. Mendengar itu, saya pun tanda sadar ketawa. Kontradiksi yang menarik. Seorang tekun beragama minta pendapat kepada orang seperti teman saya ini.

“Lalu, biasanya, apa saran Kakak kepada mereka?” saya kerap memanggilnya ‘Kakak’ sebab usianya kira-kira delapan tahun lebih tua dari saya.

“Untuk kali ini, curiosity killed the cat,” tukasnya pendek.

“Artinya?”

“Ya, kamu tahu sifat kucing kan? Suka bermain-main dengan hal baru yang belum diketahuinya betul. Misalnya, kucing itu kepingin memastikan isi sebuah karung. Dan dia terus mencoba masuk ke dalamnya, tanpa menyadari bahwa itu sebenarnya jebakan. Begitu terperangkap, karung ditutup dan diambil orang….”

“Kurang lebih maksudnya, jangan terlalu menurutkan keinginan tanpa mempertimbangkan segala bahaya yang bisa muncul…”

Headset sudah saya lepas sejak ia melontarkan pepatah itu. Well, ini hal baru yang belum pernah saya tahu. “Darimana Kakak bisa simpulkan itu?”

“Ya, karena sudah sejak dulu aku bilang, supaya dia tidak lagi membuka postingan dari teman itu. Sebab toh isinya begitu-begitu saja. Mau kita protes juga pasti tidak akan berdampak banyak dan malahan memicu konflik. Ini kan terkait keyakinan, yang dalam beberapa kasus amat sulit diubah. Daripada kita jadi ikutan sakit oleh hal-hal demikian, lebih baik tidak usah menggubrisnya sama sekali…”

I see…,” sahut saya. “Pendeknya, untuk apa memikirkan pikiran buruk orang..."

Teman saya ini segera mengiyakan. Persoalannya, teman A ini selalu tidak bisa menahan sikap obsesifnya itu. Dan sekarang si A yang entah siapa itu curhat panjang lebar pada teman kuliah saya ini.

Sementara kawan ini mengetik pesan-pesan di telepon, saya pun mulai melamun. Kurang lebih, saya pun punya pengalaman yang serupa. Gemar stalking di media sosial, khususnya pada sebuah akun twitter kenalan saya. Setiap malam, sebelum tidur, saya selalu melihat linimasa juga kutipan favoritnya, mencari keterkaitan pernyataan dalam timeline (meskipun toh itu sebenarnya bukan urusan saya), dan mencoba menelusuri ungkapan-ungkapannya di google. Jelas itu bukan kebiasaan baik, sebab pada kenyataannya, saya akhirnya tidak bisa tidur hanya untuk mencari siapa nama yang dia posting, musik apa yang disukainya, dan sebagainya. Dan sebagainya. Hingga tanpa terasa waktu sudah pukul tiga pagi. Saya pun insomnia. Padahal besoknya (tepatnya beberapa jam lagi) saya harus ikut aktivitas peliputan atau penulisan yang sudah dijanjikan. Pantas saja, saya selalu merasa lelah dan jadi gampang marah.

Kalau mau ditarik ke hal yang lebih luas, misalnya rasa keingintahuan seorang anak terhadap minuman keras, kelompok sebaya tertentu (kadang negatif seperti geng motor atau geng lainnya) juga kebiasaan game-online, ataupun sikap kepribadian orang yang tanpa sengaja menantang bahaya seperti tokoh Dae Su dalam film Old Boy, pepatah tadi tentu sangat relevan. Kita boleh saja ingin keluar dari zona nyaman, tapi untuk memilih ‘jalan lain’ itu ternyata tidak cukup dengan modal keberanian. Harus ada daya nalar dengan menimbang segala baik dan buruknya.

Atau, mungkin tidak segala hal baik dan buruknya, sebab kita bagaimanapun tidak punya kemampuan besar tentang itu. Paling cukup, setidaknya, kita menyadari konsekuensi yang mungkin dihadapi. Mimpi harus dihadapkan pada kenyataan, supaya kita berada dalam alur hidup yang jelas, tidak mengawang-awang dalam lamunan, atau kering tiada imajinasi.

Pepatah itu berhasil membuat saya untuk merenung ulang kebiasaan stalking tadi. Pepatah itu juga memberi pencerahan kecil untuk bagaimana menentukan pilihan hidup.

Sekitar lima menit kemudian, commuter tujuan Tanahabang-Jatinegara pun tiba. Kami naik sama-sama di gerbong perempuan. Teman saya ini nanti turun di Manggarai, lalu ganti kereta ke Jakarta Kota. Kadangkala, saya yang naik jurusan Jakarta Kota, lalu turun di Tebet untuk pindah commuter tujuan akhir Jatinegara. Kami biasa melakukan ini, sebab setidaknya kami membutuhkan teman seperjalanan yang bisa diajak berbagi.

Malam itu, teman saya memang tidak banyak bicara. Saya memilih mendengarkan musik dan melamun lagi. Itu kebiasaan lama yang ternyata amat sulit saya ubah. Hah!

Jakarta, 5 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar