Minggu, 07 September 2014

Cemas Lepas Landas

Dengan pesawat penerbangan perintis, kita bisa ”melompat” dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara. Penuh tantangan, tetapi juga penuh keindahan, dan romantika rakyat yang ingin terbang.

”Terrain… terrain… terrain…!” bunyi itu terdengar belasan kali saat pesawat yang kami tumpangi lepas landas dari Bandar Udara Banda Neira, Maluku. Di bawah kami terbentang lautan Kepulauan Banda, sementara di depan berdiri kokoh perbukitan. Sesekali pesawat terasa anjlok.

Tangan penumpang berpegangan di samping tempat duduk. Suasana menegang. Pesawat hening sehingga teriakan dari alat enhanced ground proximity warning system (EGPWS) itu terasa makin melengking.

Bunyi dari alat EGPWS itu merupakan peringatan bahwa pesawat terlalu dekat dengan halangan. Jika dalam 30 detik pilot gagal bermanuver, pesawat mengalami kecelakaan. Kali itu, nyawa kami benar-benar bergantung pada kecakapan Kapten Boby A Subagio sebagai pilot.

Selang beberapa detik kemudian, Kapten Boby bermanuver dengan membelokkan pesawat Kalibrasi Model B200GT itu ke kiri, meninggalkan Banda menuju Bandara KS Tubun di Langgur, Tual. Begitu pesawat melesat meninggalkan Banda, Boby berkata, ”Sudah aman.”

Para penumpang antara lain Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dan Direktur Bandara Kementerian Perhubungan Bambang Tjahjono tampak lega. Ruang kabin pun menghangat dengan beragam obrolan.

Bandara terekstrem

Bandara Banda Neira di Pulau Neira itu diapit Pulau Banda Besar dan Pulau Gunung Api. Panjang landasan hanya 900 meter, yang dihadang laut di setiap ujung. Itu menyulitkan. Hal lain adalah turbulensi akibat angin yang menabrak perbukitan dan kondisi pesawat penuh muatan.

Boby sudah menghitung dengan detail dan menyimpulkan, sangat sulit lepas landas di Banda Neira. Dia telah mempersiapkan diri dengan beristirahat sampai 12 jam sebelum penerbangan. Bahkan, kepada Bambang Tjahjono, Boby mengatakan, ”Kalau gagal take-off, ya kita nyebur laut. Ini kemungkinan terburuk.”

Bagi Boby, yang memiliki sekitar 9.000 jam terbang itu, Bandara Banda Neira adalah bandara terekstrem yang pernah dia jelajahi. Dia merasa lolos dari lubang jarum begitu sukses lepas landas dari Banda Neira.

Pilot Aviastar Kapten Amrullah Hasyim mengakui bahwa Bandara Banda Neira adalah salah satu bandara terekstrem yang pernah ia jelajahi. Pilot dengan sekitar 11.200 jam terbang itu menyarankan agar para penerbang pemula sebaiknya menghindari bandara ini.

Bandara Banda Neira memang unik. Keunikannya tersebut lebih karena kondisinya yang rawan bahaya. Bahkan, pesawat dilarang mendarat di atas pukul 09.00 karena cuaca dan anginnya buruk. Wajar jika ada yang memasukkan Bandara Banda Neira sebagai salah satu bandara dengan kondisi terekstrem di dunia sejajar dengan Bandara Tenzing-Hillary di Nepal dan Bandara Courchevel di Perancis.

Pada saat kami hendak lepas landas, Kepala Bandara Banda Neira Baltasar Latupeirissa memastikan kondisi angin dan cuaca tidak membahayakan penerbangan. Dia terlebih dulu berkonsultasi dengan kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika setempat.

Timbang badan dulu

Penerbangan pesawat selalu memosisikan penumpang dalam bahaya. Kedisiplinan menjadi tonggak penangkal bahaya tersebut. Di Papua, Aviastar menimbang satu per satu berat badan penumpang dan barang bawaannya. ”Meskipun kursi yang tersedia untuk 18 orang, jika berat badan mereka melebihi kapasitas, terpaksa harus ada yang mengalah,” kata Commercial Manager Aviastar Mandiri Petrus Budi Prasetyo.

Pilot Kapten Amrullah Hasyim kerap harus bertindak tegas terhadap penumpang yang memaksa membawa barang berlebih. Perlu pendekatan khusus untuk memberi pengertian kepada penumpang. ”Ada juga penumpang yang rela memasukkan anaknya ke dalam kardus, sementara dia menggendong babi di kursi penumpang. Saking sayangnya mereka dengan babi,” kata Amrullah.

Cerita serupa dialami Flight Operation Officer Aviastar Hendra Husain. Ada penumpang yang menggendong babinya di dalam kabin, sementara muatan sudah melebihi kapasitas. Kru pesawat berupaya membujuk dia agar bersedia meninggalkan babi itu. Namun, dia menolak. ”Begini saja, saya bayar satu tiket lagi asal dikasih duduk bersama babi saya,” kata Hendra menirukan penumpang itu.

Kadang kala, penumpang rute perintis di pedalaman itu bermuslihat untuk mendapat tiket gratis, mulai dari mengaku sebagai anggota ”ABRI” sampai mengaku ada anggota keluarganya meninggal. Namun, awak pesawat rata-rata hafal dengan cara-cara itu.

Menghadapi situasi seperti ini, pilot ataupun kru mengajak dialog. Meski akhirnya penerbangan telat 15 menit sampai satu jam, biasanya penumpang mengalah dan menuruti aturan pilot.

Amrullah pernah nyaris jantungan di Bandara Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Saat menyalakan mesin pesawat, tiba-tiba datang seorang warga mendekati propeler. ”Untung ada kru yang kasih tahu dan saya segera mematikan mesin. Rupanya dia orang gila,” ujarnya.

Bandara-bandara kecil di pedalaman Papua mudah diterobos warga karena pagarnya dirusak. Warga biasa berdiri atau duduk-duduk di tepi landasan saat pesawat mendarat atau lepas landas. Ini tantangan tersendiri bagi pilot rute perintis.

Keterhubungan di timur

Selama tiga hari terbang, kami menyinggahi sembilan bandara kecil di wilayah timur Indonesia. Kami berangkat dari Ambon ke Banda Neira, Langgur, Saumlaki, Alor, Larantuka, Maumere, Ende, Waingapu, dan Tambolaka.

Di beberapa bandara, terlihat mencolok perbaikan fasilitas bandara. Di Bandara KS Tubun, Langgur, Kota Tual, warga tengah menikmati sensasi terbang. Mereka juga beramai-ramai mengantar sanak saudara yang akan bepergian. Maklum, bandara ini masih baru, belum genap empat bulan beroperasi.

Bahkan di Bandara Mathilda Batlayeri, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, menara air traffic control baru dibangun. Untuk sementara, pengawasan dilakukan dari lantai atas terminal bandara. Rute-rute penerbangan juga terus bertambah. Geliat pembangunan bandara itu memperterang cahaya keterhubungan wilayah timur Indonesia.

Namun, di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, kami mendapat cerita pahit. Lampu bandara dirusak warga sehingga mengganggu penerbangan dan pendaratan pada malam hari.

Pelaksana Tugas Kepala Bandara Umbu Mehang Kunda Supriyono mengatakan, para vandal itu adalah pencari rumput di sekitar bandara yang sakit hati karena ditegur petugas. Padahal, petugas bandara menegur lantaran keselamatan pencari rumput terancam ketika ada pesawat mendarat atau lepas landas.

Kisah-kisah di atas itu mengawali keterhubungan Nusantara lewat pesawat perintis.
 
Oleh:
(Sumber: Kompas, 7 September 2014)