Sabtu, 24 Mei 2014

Deng di Tanjungpinang

Tidak banyak yang saya tahu tentang namanya, kecuali satu panggilan sederhana: Deng. Dia pria kelahiran Maumere, sebuah kawasan nun di Flores, mungkin sekitar tiga puluh tahun lalu. Pertemuan dengannya cuma sebentar, yakni selama dua jam saja. Itu pun terjadi dalam sebuah angkot yang berkeliling menyusuri Tanjungpinang, kota yang beberapa hari lalu sempat saya kunjungi untuk suatu acara budaya.

Sore itu, selepas hujan yang mengguyur dengan derasnya, saya memutuskan berjalan-jalan sejenak dan melihat suasana kota di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau tersebut. Dari nona muda pegawai hotel, saya mendapat informasi beberapa tempat menarik yang barangkali bisa dikunjungi, di antaranya Tepi Laut, semenanjung pantai dekat Pelabuhan Tanjungpinang. Suasananya konon menyenangkan, penuh lapak kaki lima yang buka waktu petang dan pemandangan laut yang memisahkan pulau-pulau Riau di kejauhan. Maka, segera setelah gerimis reda, saya pun melangkah keluar bermaksud hendak ke sana.

Lintas jalanan betul-betul lengang. Cuma sedikit kendaraan yang lewat. Barangkali orang-orang malas bepergian selepas hujan badai yang deras itu. Kepada ibu penjual rokok pinggir jalan, saya bertanya arah menuju Tepi Laut dan sebaiknya pergi dengan kendaraan apa. Dia menyebutkan satu arah seraya menyetop sebuah angkot untuk saya. Wajahnya tersenyum hangat, mungkin maklum bahwa saya orang pendatang, sama dengan dirinya yang berasal dari Tanah Jawa, tecermin dari logat-logatnya yang masih medhok.

Setelah naik, terus terang, saya terkejut betul. Hanya saya penumpang di sana. Kendaraan itu dilapisi kaca buram, nyaris di semua sisinya. Dan yang paling membikin saya cemas adalah sopirnya: seorang berkulit hitam penuh tattoo dengan sebuah kaus singlet melekat di badan. Persis preman.

Entah bagaimana, saya seketika teringat pada nasihat satu kawan supaya selalu berhati-hati di tempat orang. Lebih-lebih, banyak kasus kekerasan dan pelecehan terjadi di kendaraan umum. Haloo, ini Tanjungpinang, bukan Bali, Depok atau Jakarta. Selama di kota Riau itu, saya belum pernah bepergian sendirian, dan mendapati saya berada pada kendaraan macam itu, jujur, saya merasa was-was bila terjadi sesuatu di jalan.

Saya pun berlagak akrab dengan si sopir ini. Bukan untuk apa-apa, semata supaya saya tidak terkesan angkuh atau jutek (hal yang bikin orang merasa tidak senang sehingga kerap melakukan aksi nekat lantaran jengkel). Ada pesan yang saya pedomani: bukalah pembicaraan dengan orang asing untuk mencairkan suasana, namun tetaplah menjaga jarak dan waspada. Sopir ini menanggapi pertanyaan-pertanyaan saya tentang kota Tanjungpinang secara ringan saja. Namun, matanya tidak henti-hentinya melirik saya lewat kaca spion tengahnya. Saya tahu dan yakin itu.

Kepadanya saya berterus terang untuk beberapa hal saja. Bahwa saya datang ke kota tersebut untuk satu acara dan sore itu ingin melihat-lihat suasana Tanjungpinang. Bahwa saya bekerja untuk sebuah lembaga budaya serta berasal dari Bali. Sama sekali saya tidak menyinggung soal kuliah atau tinggal di Jakarta. Saya kira tidak semua orang di daerah merasa simpatik bila mendengar kata Jakarta.

Yang terjadi berikutnya betul-betul tidak diduga. Terserah Anda apakah percaya kisah ini. Yang jelas, mendengar saya dari Bali, dia langsung bercerita perihal masa lalunya. Tapi kenangan yang dituturkan Deng, panggilan sopir itu, membuat saya makin cemas ngeri. Betapa tidak, dia menuturkan bahwa sekitar lima tahun lalu dirinya lari dari kejaran polisi di Bali karena diketahui terlibat sindikat pengedar narkoba!

Well, saya betul-betul ingin turun dari angkot. Tapi, bagaimana caranya saya bisa kembali ke hotel? Saya berada di jalanan yang asing. Lebih-lebih, konsep angkot di kota ini sangat tidak aman. Mereka menyusuri Tanjungpinang tanpa trayek yang jelas, hanya mengikuti alur-alur yang searah dengan permintaan penumpang. Misalnya, bila tiga orang yang naik sebelumnya ingin pergi ke A, dan tidak melalui B, maka otomatis calon penumpang yang ditemui di tengah jalan untuk menuju ke B, tidaklah bisa turut. Tapi dia bisa ikut angkot lain yang kebetulan melintas B (meskipun kedua angkot itu sama-sama lewat di jalan tempat calon penumpang itu menunggu). Kehawatiran demi kekhawatiran tersebut membuat saya nyaris tidak bisa berpikir solusi yang paling baik lainnya guna 'menyelamatkan diri'.

Deng mengangkat salah satu lengannya yang penuh tattoo. "Kakak bisa lihat gambar di sini? Ada tanda bahwa kami merupakan bagian dari perkumpulan itu..." katanya dalam logat Flores yang sering saya dengar dari para sopir taksi di Denpasar.

"Ooh, begitu?" Saya berusaha menutupi rasa takut. Sedapat mungkin saya tidak terlalu sering mencuri pandang kepadanya. Namun pada tatapan sekilas itu, saya berusaha mendapatkan ciri yang jelas tentangnya, untuk berjaga-jaga bila nanti terjadi sesuatu. Saya tahu, kebanyakan sopir angkot hidup dalam pergaulan 'rawan' yang membentuk karakter dan kepribadiannya. Tapi si Deng ini, saya kira, super duper 'rawan'.

"Tapi, Kakak, kalau boleh saya kembali, saya tidak mau masuk ke pergaulan seperti itu," katanya berulang-ulang dengan nada menyesal. "Dulu saya datang ke Bali untuk bekerja, diterima sebagai pegawai gudang di Discovery Mall di Kuta. Tapi saya ketemu bule, dan diajak kerja bersamanya. Barang-barang (narkoba) seperti itu, Kakak, sedapat mungkin harus dihindari...."

Pria itu bercerita tentang kawannya yang terjaring razia polisi pada suatu malam. "Dia dipukuli sampai mengaku siapa saja yang ikut. Lalu teman lainnya bilang ke saya supaya segera pergi jauh-jauh sebab nama saya sempat disebut. Saya takut sekali Kakak..." tambahnya. Angkot dikemudikannya pelan-pelan, melewati ruko-ruko Tanjungpinang dan rumah kayu penduduk.

Saya lama-lama tertarik juga oleh ceritanya. Selepas operasi penggrebekan yang bocor itu, Deng pergi ke tempat kerja pamannya di Denpasar guna cari lokasi sembunyi. Kebetulan, gudang tempat kerja pamannya punya ruangan bawah tanah yang jarang dibuka. Sang bos sendiri tak kerap datang ke sana. Bagi Deng, kondisi tempat itu cukup aman. Tapi tidak demikian halnya bagi si paman. Supaya tidak ketahuan, Deng dikunci dalam ruang bawah tanah, sama sekali tidak diperkenankan keluar. Ia 'terkurung' dalam tempat itu sampai tiga bulan lamanya.

"Kakak, kulit ini sampai putih, ha-ha-ha..." Dia ketawa lepas seraya menunjukan tangan Floresnya yang legam. "Saya tidak bercukur. Rambut kribo. Badan gemuk 98 kilo...."

Lantaran cemas, si paman pun memulangkan Deng ke Maumere dengan kapal laut. "Saya ini, sing ngelah pipis," lanjutnya dalam bahasa Bali, artinya dia sama sekali tidak punya duit. Mendengar ini, saya terbahak juga. Pria itu pun demikian.

"Terus, bagaimana Abang bisa pulang?" saya bertanya.

"Ya, saya hemat saja. Saya dibekali dua puluh ribu oleh paman. Sepuluh saya pakai untuk ojek setelah sampai Maumere. Ayah ibu sampai tidak kenal saya ini anak siapa. Karena saking putihnya sebab tidak pernah keluar kamar, Kak..."

Kami tertawa-tawa. Tikungan demi tikungan terlewati. Beberapa kali Deng mengklakson orang-orang yang berdiri di tepi kiri jalan, memberi isyarat supaya naik angkutan. Tapi agaknya itu hari sial baginya. "Ini baru habis hujan, Kakak. Orang-orang mungkin sedang malas keluar," keluhnya berkali.

"Lalu, kenapa Abang datang ke Bintan?"

"Ah, itu karena masalah, Kakak. Saya bertengkar dengan preman di sana."

Rupa-rupanya, sejak muda Deng sudah kerja sebagai sopir, termasuk saat di Maumere. Setelah melarikan diri dari Bali, dia sehari-hari mencari penumpang dengan mobil sewaan. Hasilnya tentu tidak seberapa. "Yang penting itu uang bersih," ujarnya.

"Saya tidak suka preman di sana. Setiap hari mereka tarik saya punya duit. Diberi dua ribu, besoknya naik jadi tiga ribu. Diberi sekian, lama-lama naik empat ribu. Ketika sampai lima ribu, saya marah-marah. Saya tidak peduli dia preman mana. Di Bali, orang Laskar pun berani saya lawan...."

Laskar adalah sebutan untuk satu ormas di Bali.

"Saya bilang, ei kalau cuma minta-minta duit begitu, semua orang juga bisa! Lalu dia tantang saya. Kami baku pukul, Kakak. Dia kalah, tidak terima, dan saya dimasukan bui..."

Yang saya herankan adalah, Deng menceritakan itu dengan ringan saja. Mungkin dia sudah anggap saya sebagai sahabat, sebab sejak tadi saya dengarkan kisahnya cukup penuh perhatian. Saya menyela di sana-sini guna mendapat penjelasan. Maksudnya supaya saya mendapat cerita yang menarik sebagai bahan tulisan. Hal inilah yang barangkali ditafsirkannya bahwa saya tertarik pada kisah hidupnya.

"Saya kena hukum tujuh bulan. Tapi berkas pengadilan sama sekali tidak diurus," tuturnya mengenang.

"Karena saya sudah cukup lama di kantor polisi itu, kira-kira dua bulan, saya mulai diperbolehkan duduk-duduk di teras depan. Beberapa kali diawasi, seringnya tidak. Kakak tahu, saya waktu itu pikir-pikir, kalau begini saya bisa kabur sebenarnya. Maka ketika adik saya jenguk, saya bilang minta bekal pada ayah buat pergi ke Batam..."

"Wah, Abang berani?"

"Iya, Kak. Saya lari dari kantor polisi dibantu saudara jauh. Keluarga pura-pura tidak tahu saya berencana kabur, ha-ha-ha...Kemudian saya naik kapal dari Larantuka langsung menuju Batam..."

Di Batam pun lelaki ini bertengkar dengan preman di sana sehingga pindah ke Tanjungpinang. Kalau benar semua ceritanya, saya kira kisah hidup Deng amat menarik juga. Kisah hidup yang keras, dalam arti harfiah dan mendalamnya.

Tanpa terasa saya pun sampai di Tepi Laut. Ternyata pria ini cukup jujur, jauh dari prasangka buruk yang tadi muncul dalam pikiran saya. Malahan dia menjelaskan tempat demi tempat yang bisa dijadikan lokasi nongkrong, seperti warung kopi, mall (tepatnya ruko yang agak besar ukurannya), juga titik aman di pasar Tanjungpinang. Tapi saya putuskan untuk tidak turun. Saya ingin dengar kisah hidupnya.

Di sebuah ruas jalan seputar pasar, angkot berhenti sebentar guna cari penumpang. Beberapa ibu-ibu naik. Juga anak-anak sekolahan. Sesekali perempuan berjilbab. Termasuk pria Arab yang agaknya pegawai di tempat tertentu, dan bapak-bapak Melayu yang murah senyum. Angkot menyusuri jalan-jalan Tanjungpinang: dari Batu Dua ke Batu Tiga. Terus naik sampai di Batu Lapan Atas, sebuah dataran yang cukup tinggi di mana saya bisa melihat rumah-rumah penduduk di kejauhan. Pohon-pohon bakau terhampar. Agaknya ini daerah rawa-rawa.

Bila ada penumpang, kami diam tak bicara. Kalau kembali sepi, kami tertawa-tawa lagi. Deng berkisah betapa dirinya pernah dikejar-kejar pecalang di Denpasar lantaran tak punya KIPEM (Kartu Identitas Pendatang Musiman), membantu abangnya kabur dari tahanan polisi adat Bali itu dengan sepeda gayung, atau cerita tentang istrinya yang pincang. Tanpa terasa sudah banyak juga orang yang turut naik angkot.

"Wah, saya senang ada Kakak. Belum pernah saya dapat penumpang begini banyak, sampai dua kali naik ke Batu Sembilan!"

Batu Sembilan adalah nama kawasan di bukit Tanjungpinang, jarak terjauh dari Pasar dan Pelabuhan. Hanya sedikit angkot yang lewat sini sebab umumnya penumpang tak pernah turun sekitar daerah dekat bandara dan hotel tempat saya menginap itu.

"Kakak tidak usah bayar!" Katanya sesudah mengantar saya kembali ke depan hotel. "Saya sudah dapat banyak penumpang sore ini..."

Tapi toh saya selipkan juga beberapa ongkos buatnya. Saya mendapat sebuah cerita yang luar biasa, tentang seorang Flores yang merantau mengadu nasib di tanah orang. Terbelit sulitnya hidup, namun tetap tulus dan jujur.

"Sampai ketemu lagi, Abang Deng!" Seru saya senang. Dia pun melambai. Tattoo tanda perkumpulan geng di Bali itu terlihat oleh saya. Kini saya tidak bergidik ngeri. Saya ketawa berseri-seri.

Jakarta, 24 Mei 2014

Sabtu, 17 Mei 2014

Teman Jalan

Kebanyakan teman selalu heran (untuk tidak menyebut 'komplain') atas kebiasaan saya yang satu ini: sering menghilang keluyuran sendiri setiap kali diajak jalan bareng. Kalau ada acara-acara pameran, pertunjukan seni, festival, atau kemana pun, saya memang suka datang bersama satu atau dua kawan. Maksudnya sih supaya tidak sendirian dan mati gaya di tempat orang. Tapi, begitu sampai di lokasi, katanya, saya suka menyelinap entah kemana, lantas baru nongol lagi begitu acara telah akan mulai, atau ketika hendak kembali pulang.

Pernah ada sahabat yang kebingungan mencari-cari saya di sebuah pameran karakter Jepang yang digelar di kawasan Gatot Subroto Jakarta. Kebetulan pula sinyal telepon saya waktu itu sedang gangguan sehingga susah sekali dihubungi. Saat kami jumpa lagi, dia bercerita mangkel betapa dia hanya menghabiskan waktu cuma buat mencari di mana gerangan saya.

"Aku telepon dan sms kamu berkali-kali. Bahkan aku sampai tidak bisa enjoy lagi lihat-lihat pamerannya. Gara-gara kamu!"

Saya tentu tidak dapat bilang apa, dan hanya mampu nyengir minta maaf. Kecemasannya dapatlah dimengerti. Ruang pamerannya luas sekali. Pengunjungnya pun ramai bukan main. Seandainya terjadi sesuatu, tentu dia merasa khawatir juga. Soalnya dialah yang membujuk-bujuk saya supaya mau menemaninya.

Pernah pula saya ikut teman kos belanja bulanan. Sejujurnya, saya agak enggan mendampinginya. Kepinginnya istirahat penuh di rumah. Namun, entah dapat pawisik darimana, saya merasa bahwa kawan ini lagi galau urusan skripsi, dan perlulah ditemani barang sebentar.

Mulanya saya santai saja jalan bersamanya. Sesekali bikin guyon jayus yang ditanggapi sekenanya. Dia sudah maklum betapa banyolan saya sebenarnya tidak sungguh-sungguh lucu. Hah!

Lama kelamaan, saya pun menyelip di rak-rak toko, asyik melihat berbagai hal yang memikat perhatian saya. Lalu telepon berdering. Kawan kos itu memanggil dari seberang:

"Kakak di mana nih? Kok ngilang?" dia panggil saya kakak, sebab saya sekitar tiga tahun lebih tua darinya.

"Lha, kamu yang di mana?" untuk menutupi rasa bersalah, saya malah belagak pilon...

"Aku sudah mau pulang."

Kalimat pendek itu cukup jadi tanda kalau dia sedang ngambek. Kemudian kami janjian di kasir. Dan saya ajak dia main ding-dong di dekat lokasi belanja buat bikin suasana gembira lagi. Terus terang, itu pertama kalinya saya main ding-dong sejak sekitar tujuh tahun lalu. Mungkin.

Lain lagi dengan satu teman yang sering saya ajak untuk ke acara-acara budaya di bilangan Pasar Minggu atau Cikini. Dia hapal dengan kebiasaan saya itu, sehingga bersikap santai aja bila saya pergi. Malah dia sering goda, "Kamu enggak perlu sembunyi-sembunyi kalau janjian sama gebetan deh. Jika kamu enggak mau diketahui teman-teman, aku bisa jaga rahasia kok."

Dia ucap begitu sambil senyum penuh arti. Saya pun cuma bisa ketawa-ketawa saja. Ketawa hambar yang kikuk.

Apakah ini hal baik atau tidak, sebenarnya sering saya merasa bahwa saya hanya perlu teman seperjalanan, yang dapat bertukar cerita bilamana kami menyusuri lintasan macet Jakarta atau lengangnya kereta malam ke Depok. Saya sering tidak tahan untuk berdiam diri sementara lingkungan sekeliling terus berubah. Saya mampu tahan diam di satu tempat cuma jika di sana ada banyak hal baru yang belum pernah saya ketahui. Museum, galeri, ruang pameran, atau festival buku adalah tempat-tempat yang saya sukai. Kedengarannya, saya pun seolah terkesan egois. Hanya memerlukan kehadiran teman di saat tertentu, lantas tak peduli seandainya telah larut asyik dengan diri sendiri.

Adakah manusia memang pula demikian adanya: jenak pada hal baru, tapi tak tahan kesepian dalam setiap keadaan? Atau, manusia memang tidak kuasa menepis sunyi batinnya (hal yang merupakan keniscayaan dari absurdnya dunia), sehingga yang dibutuhkannya adalah kawan seperjalanan, sepanjang hidupnya? Bahwa persahabatan dibutuhkan lantaran tidak tahan pada gelisah cemas sendirian, sehingga selalu ingin membagikan soal-soal perihal dirinya kepada orang lain? Yah, itu mungkin hanya segelintir motif dari hubungan pertemanan. Tentu ada hubungan-hubungan kawan lain yang lebih menarik lainnya.

Kita barangkali tidak tahan sendiri. Tapi toh pada kenyataannya kita akhirnya hidup sendiri pula. Maksudnya, pada beberapa kondisi, kita tidak dapat bergantung pada siapapun. Di situlah sikap kemandirian selalu diuji. Adalah keniscayaan kita, untuk meneruskan hidup dengan dua sifat ini: yang soliter dan solider. Yang sunyi di ruang pribadi, dan yang riuh dalam keinginan saling berbagi.

Ah, saya jadi ingat cerita satu teman kuliah. Di Jakarta, atau juga di kota-kota lainnya, teman jalan itu mutlak dan penting adanya. Kita tidak tahu kan apa yang terjadi dalam kendaraan umum, lintasan menuju rumah dan sebagainya? Tindak kejahatan bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Hal itu pula yang dialami kawan ini. Berikut kisahnya:

Karena merasa berani dan sudah cukup dewasa (hah!), teman saya ini memutuskan pulang kuliah malam sendirian. Lokasi pondokannya persis di belakang kampus. Jalan yang sepi dan remang harus dilewatinya. Saat itu sudah pukul sepuluh. Tidak ada siapapun yang lalu lalang.

Itu adalah lintasan yang menembus hutan kampus. Pemukiman penduduk terletak sekitar 300 meter dari muka jalan. Di sekelilingnya hanya pohon tinggi dan semak-semak.

Nah, ketika melangkah pulang itulah, dia dihampiri seorang pria yang menawarkan ojek.

"Neng, hendak pulang? Ayo sini Abang antarkan," katanya. Jarak antara motor dan dirinya sangat dekat. "Tidak usah bayar," tambah lelaki itu.

Ketika menceritakan pengalaman itu, teman saya ini bahkan masih bergidik ngeri. "Kamu tahu kan Pur, waktu itu pihak keamanan kampus baru saja menangkap pelaku pelecehan dan tindak kejahatan yang suka bikin ulah. Aku langsung takut. Bayangkan, jalannya sepi!"

"Lantas?" saya bertanya.

"Aku pikir, bila detik itu memilih lari, dia pasti bisa mengejar. Lha dia naik motor...Kalau aku teriak, siapa yang mau nolongin?"

"Terus, kamu ngapain?"

"Aku tenangkan diri. Memandang kosong ke depan sebentar, lalu menolehkan kepala sedikit dengan mata hampa. Aku lirik dia, dan nyinden, nyanyi tembang Jawa yang biasanya kami lantunkan sewaktu latihan menari di Solo. Percaya enggak, dia langsung tancap gas dan kabur..."

Jawabannya bikin saya ketawa tepingkal-pingkal. Dia pun begitu.

"Mungkin, dikiranya aku ini cewek jadi-jadian, ha-ha-ha...."

Yah, apa yang dialami kawan saya itu mungkin jadi satu sebab mengapa saya perlu teman jalan di Jakarta.

"Nah, kamu cobalah belajar nyinden dari sekarang, supaya bisa selamat seandainya ketemu kasus begituan," guyonnya.

Oke, itu kiat yang bisa dipertimbangkan.

Jakarta, 17 Mei 2014

Minggu, 11 Mei 2014

Kampung Halaman

Saya menghabiskan masa kecil di rumah tua peninggalan kakek dan nenek, di desa pesisir Klungkung. Nama kampungnya cukup unik, Tegal Besar, yang artinya tanah garapan yang luas sekali. Dulu saya sering bingung, sebab kampung itu tidak benar-benar luas. Hanya lautan di sebelah selatan desalah yang lapang membentang, menghanyutkan saya pada imajinasi tentang pulau-pulau tak bertuan nun di seberang, atau dewa-dewa yang bersemayam pada bukit-bukit Nusa Penida yang lanskapnya dengan jelas dapat disaksikan di kala pagi datang.

Kami bukan berasal dari keluarga berada ataupun berpunya. Seingat saya—dan juga dikuatkan oleh foto-foto kenangan masa silam—kami menempati sebuah bangunan berkamar dua dengan tembok popolan (dari tanah liat yang dipadatkan) dan atap ijuk seadanya, sisa dari kejayaan rumah kuno Bali di waktu lampau. Di seberang bangunan itu ada bale dangin, artinya balai timur di mana segala upacara ritual diselenggarakan. Lantainya tak berubin. Tiang-tiang penyangganya dari kayu biasa. Tak berukir. Ah, saya jadi ingat, betapa pernah pula saya diupacarai di tempat itu. Sebuah upacara yang terbilang penting, otonan nadi, terjadi saat saya berumur sepuluh tahun. Upacara itu memperingati hari lahir saya (otonan), yang ternyata bertepatan dengan hari Purnama. Karena itulah ritual dirayakan cukup besar sebab hari tersebut jarang sekali terjadi.

Kalau dipikir-pikir, rumah tua tersebut punya kenangan cukup mendalam juga. Kakak laki-laki saya pernah diupacarai di sana. Cukup besar pula, sebab ia lahir pada minggu ‘keramat’ bagi orang Bali, yakni wuku Wayang, saat-saat di mana Batara Kala diyakini sedang mencari anak-anak kecil buat dimakan. Mereka yang lahir pada minggu itu harus diruwat, supaya tidak dimangsa Buta Kala, atau, agar sifat-sifat Buta Kala tidak menurun pada dirinya. Waktu kanak-kanak, saya suka meledek kakak karena ia nakal dan kasar persis seperti Buta Kala. Dan dia pun marah. Lantas kami bertengkar seperti dua anak anjing saja.

Adik saya juga tak luput dari upacara-upacara ritual seperti itu, meski dengan bentuk dan tujuan yang berbeda. Berkebalikan dengan saya, si adik ini lahir saat bulan mati, atau Tilem, pada sebuah minggu yang amat dipuja, wuku Wariga, waktu di mana pohon-pohon tumbuh dan berbunga. Jadi, dia mendapatkan satu upacara yang bernuansa lebih riang—begitu pendapat saya tatkala kanak-kanak. Berbeda dari upacara kakak yang penuh ruwatan, caru, pementasan wayang yang sulit dimengerti dan lain sebagainya.

Sebagaimana anak-anak umumnya, masa kecil saya habiskan dengan bersenang-senang. Ke sawah mencari belut. Ke sungai untuk mandi berenang. Ke pantai buat main bola. Atau ke tanah-tanah lapang untuk berburu burung dengan ketapel. Saya sering pergi bersama kakak-kakak sepupu. Saya senang sekali waktu itu.

Apakah dulu saya suka menangis? Saya tidak tahu persis. Memang beberapa kali saya terjatuh di jalan, pelataran bangunan ataupun pekarangan rumah orang. Itu meninggalkan bekas luka di sana sini. Bekas yang masih bisa terlihat sampai sekarang. Tapi menurut cerita Ibu, saya paling sering menangis bila bertengkar dengan kakak (jujur saja, kalau kami berselisih, kakak bisa memukul saya keras sekali, tidak peduli apakah saya anak perempuan atau tidak). Saya juga menangis bila ditinggal ayah bekerja. Saya sangat sayang sekali pada ayah.

Bila malam tiba, saya dan kakak-kakak sepupu suka main petak umpet di rumah tua itu. Ada banyak tempat sembunyi di sana, terutama pada kawasan merajan atau halaman persembahyangannya. Sebelum meninggal, kakek sempat menanam banyak sekali pohon buah yang masih tumbuh sampai kini. Pohon nangka, belimbing, kelapa, sampai cokelat. Ada juga pohon dag-dag, sejenis tanaman kayu berdaun lebar yang dahan-dahan mudanya sering dipetik sebagai campuran makanan babi. Ada juga semak-semak bunga kembang sepatu, pohon kamboja bunga merah dan jahe-jahean maupun kunyit-kunyitan. Yang belakangan ini ditanam oleh Ayah, di mana setiap enam bulan sekali dipanen sebagai bahan bumbu masakan pada hajatan upacara.

Saya senang sembunyi di bawah semak bunga kembang sepatu. Soalnya saya bertubuh pendek, tidak dapat memanjat naik ke dahan pohon buah sebagaimana yang dilakukan kakak dan para sepupu. Lain dari itu, saya juga bisa menyelusup lari kalau si penjaga petak umpet sudah mendekat. Ini curang sebenarnya. Pada permainan kami, seseorang tidak boleh berpindah dari tempat sembunyi yang telah dipilihnya. Tapi saya tidak mau jaga, bagaimanapun juga. Kakak-kakak saya selalu lebih gesit, dan menemukan lokasi sembunyinya benar-benar sulit.

Kadang kami main sampai lupa waktu. Ibu akan datang untuk mengingatkan agar kami segera selesai dan pergi tidur. Itu saat-saat yang menyenangkan, hal yang barangkali tidak dirasakan oleh adik saya di masa kini. Tidak ada saudara yang sebaya dengan adik saya. Tidak ada teman baginya untuk bermain seperti yang saya atau kakak saya alami.

Mengapa saya tiba-tiba menuliskan kenangan masa kecil di rumah tua itu?

Sebabnya lantaran kemarin malam Ibu menelepon dan menanyakan apakah akhir bulan Mei ini saya pulang ke Bali atau tidak. Ada upacara besar yang akan dilangsungkan di sana.

Tanpa terasa, sudah hampir setahun saya tidak menjenguk rumah itu lagi. Entah seperti apa bangunan kamar tempat saya tidur dulu. Atau apakah dapur kami masih bocor atapnya. Atau apakah pohon nangka masih berbuah. Saya tidak tahu. Terus terang, mendengar suara Ibu itu, saya betul-betul kepingin pulang. Tapi saya tidak bisa. Kuliah dan kerjaan di sini belum juga selesai. Pun, saya belum tahu kapan saya benar-benar bisa menengok rumah.

Mungkin apa yang saya tulis ini kedengarannya sentimental ya. Semua orang rantauan pasti juga pernah mengalami perasaan kangen begini. Bahkan, mereka telah jauh dari rumah selama belasan ataupun berpuluh tahun. Seperti tukang ojek langganan saya, yang telah dua puluh lima tahun mengadu nasib di Jakarta, dan berkesempatan mudik ke Klaten hanya pas Lebaran, itu pun kalau kebagian tiket kereta. Sedangkan saya, ah, baru setahun saja sudah melodrama begini.

Jujur saja, ada semacam rasa yang dalam bilamana saya mengingat saat-saat di waktu silam itu. Berkali saya coba untuk tuliskan jadi sajak, esai liris ataupun karya lainnya, tapi tetap itu tak bisa saya lakukan. Entah mengapa. Barangkali, karena pertalian batin yang kuat tidak memungkinkan saya untuk menuangkannya menjadi kisah cerita. Atau mungkin karena saya terlalu perasa saja. Kata sebagian teman, saya terlalu mudah terbawa emosi dan larut pada nuansa yang bikin melankolis. Akibatnya, segala yang terjadi, entah di masa lalu ataupun kini, lebih sebagai peluapan perasaan saja. Minim daya obyektifnya.

Saya hanya dengarkan saja pendapat-pendapat itu. Saya percaya, kelak akan bisa saya tuliskan cerita-cerita tentang masa kecil tersebut. Saya betul-betul ingin menuliskannya. Saya ingin menjadikan hidup orang-orang di sekitar saya abadi. Lewat karya. Lewat kisah rekaan. Lewat puisi.

Boleh jadi, catatan harian ini adalah mulanya. Ya, boleh jadi.

Jakarta, 11 Mei 2014

Kamis, 08 Mei 2014

Black Magic Bali

Bagi Anda yang pernah membaca twitter saya, tulisan ini mungkin sudah kedengaran akrab. Saya tertarik untuk mengisahkannya kembali karena selain isinya yang dijamin unik, juga lantaran memang saya punya kenangan tersendiri terkait fenomena tersebut. Fenomena? Ya, kini saya akan menuturkan perihal satu fenomena masyarakat Bali yang berakar dari kepercayaan turun temurunnya, yaitu kemampuan ilmu hitam, atau bahasa bekennya (saya kira dia lebih kedengaran serem dibandingkan keren): black magic.

Setiap kebudayaan, terutama pada etnis yang masih menyisakan—ataupun mencoba mempertahankan—kepercayaan lokalnya di tengah arus besar keagamaan di dunia, pastilah memiliki keyakinan akan kekuatan-kekuatan gaib. Termasuk juga Bali.  Di sini, ilmu hitam sudah ibarat rahasia umum. Bahkan sewaktu usia saya masih SMP, jauh sebelum siaran reality show ‘Dunia Lain’ ataupun semacamnya, di Bali telah terdapat sebuah tayangan televisi yang secara terang-terangan memunculkan sosok-sosok pelaku ilmu hitam—atau lebih sering disebut ‘leak’. Bayangkan, acara itu pun konon merekam pula proses transformasi seorang penganut ilmu hitam dari sosok manusia menjadi mahluk menyeramkan, dengan muka mengerikan, taring panjang, rambut awut-awutan, dan bertubuh jangkung kurus sebagaimana tokoh calonarang yang Anda ketahui lewat tari barong yang turistik itu. Sejujurnya, saya tidak pernah berani menyaksikan tayangan tersebut. Hanya ayah saya yang doyan jahil itu selalu menceritakannya semata untuk menakut-nakuti anak ingusan macam saya ini. Maksudnya sih bercanda. Tapi imajinasi saya terlalu liar, sehingga penggambaran sosok makhluk itu terbayang sampai bermalam-malam.

Meskipun meyakini praktik ilmu hitam itu benar-benar ada, namun saya kira tidak seluruh orang Bali pernah melihatnya secara langsung. Saya pun jelas tidak terlalu kompeten untuk memaparkannya lebih lanjut. Pertama, saya bukan pelaku ilmu hitam. Kedua, saya memang tak pernah menyaksikan ‘leak’ dalam kenyataan (ya Tuhan, semoga pula saya tidak dipertemukan dengannya). Namun bila Anda benar-benar ingin tahu, satu esai dari Putu Setia, atau yang sekarang dikenal dengan nama pendeta Mpu Jaya Prema Ananda, bisa menjadi referensi yang menarik. Saya bahkan masih terpingkal-pingkal bila mengingat tulisan tentang leak pada buku 'Menggugat Bali' yang dibuatnya. Pasalnya, dia menuliskan peristiwa jenaka perihal kasus pencurian vanili di Tabanan dengan modus penyamaran leak yang akhirnya terbongkar. Saya ketawa membayangkan betapa setelah lari tunggang langgang, leak gadungan itu pun berhasil ditangkap dan dipentung warga.

Barangkali itulah cerita tentang leak paling lucu yang saya ketahui. Percaya atau tidak, sampai sekarang orang Bali ternyata masih meyakini bahwa praktik ilmu hitam ini benar-benar ada, sebagaimana yang dituturkan oleh teman kos saya yang baru pulang dari kampung halamannya nun di pedalaman pulau Bali. Kira-kira beginilah kisahnya.

Katanya—sekali lagi, katanya—ada dua jenis ilmu gaib yang berkembang di Bali. Satunya ialah penengen, atau golongan kanan dengan kemampuan magis menyembuhkan. Kebanyakan penganutnya berprofesi sebagai dukun maupun balian, yang selalu didatangi masyarakat yang ingin mengetahui berbagai hal seputar dunia niskala atau gaib. Golongan kedua ialah 'ekstrimis' kiri, kaum ilmu hitam dengan jurus-jurus mencelakakan orang. Satu di antara jurus itu disebut cetik, yakni ilmu meracun yang ampuh tak tertandingi.

Nah, kebetulan salah satu sepupu teman kos saya ini amat percaya pada kegaiban-kegaiban macam itu. Dia sampai tidak berani makan di warung-warung biasa lantaran cemas dicetik mati. Akibatnya, sepupu yang juga merantau bekerja di Denpasar itu memilih pergi ke restoran cepat saji seperti KF* atau M*D daripada makan di warung pinggir jalan atau yang dibuka oleh orang-orang Bali. Alasannya menurut saya kocak sekali. Katanya: bukankah ilmu para leak itu tercipta jauh sebelum munculnya bisnis waralaba? Maka pastilah ilmu itu tidak akan sampai ke sajian-sajian tersebut….

Oke, itu mungkin alasan yang cukup rasional untuk membantah anggapan perihal guna-guna cetik yang irasional tadi. Namun, tetap saja tindakannya bagi saya terasa tidak rasional betul. Pasalnya, bukankah leak hanya hidup di waktu dulu, tatkala pola masyarakat masih sangat tradisi? Saya jadi ingat geguyon dari almarhum cendikiawan Bali, Usadi Wiryatnaya, bahwa leak hanya muncul di kala gelap dan menari-nari di persimpangan jalan pada tengah malam. Sekarang Bali sudah penuh lampu. Nyaris tidak ada tempat gelap kecuali di hutan yang nun di pelosok gunung sana. Bahkan perempatan jalan pun kini dipenuhi anak muda yang doyan nongkrong sampai pagi. Artinya kurang lebih: leak Bali sudah teralienasi...

Ketika saya ungkapkan pendapat itu, eh, teman kos saya malah membantah kuat-kuat.

"Enggak begitu! Sekarang guna-guna bisa ditempatkan di mana saja, termasuk handphone, kursi, lemari, TV, motor ataupun mobil..."

Saya pun terperangah. Apa betul leak Bali sudah bertransformasi mengikuti kemajuan?

"Contohnya begini," teman saya melanjutkan penuh semangat. "Dua bulan lalu, paman saya tukar tambah mobil baru. Tetangganya suatu hari datang menjenguk untuk melihat kondisi mobil itu. Mereka ngobrol biasa saja, tidak ada masalah apa-apa. Kemudian entah mengapa, setiap kali dikendarai, mobilnya selalu oleng dan sampai pernah bikin celaka!"

"Pamanmu beli mobil bekas kali. Jadi onderdilnya ada yang macet..."

"Bukan! Sudah beberapa kali dibawa ke bengkel, katanya mobil tidak ada masalah. Tidak ada yang rusak."

"Terus?"

"Pamanku datang ke balian untuk minta petunjuk. Dan memang betul, mobil itu sudah diguna-guna!"

"Masa?" saya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut.

"Dan, balian menyebut ciri-ciri pelakunya. Orangnya tinggi, berambut putih. Juga masih kerabat dekat. Jadi, memang benar, tetangga itulah yang melakukannya..."

"Lha, kenapa menyimpulkan begitu? Bukankah balian tidak pernah sebutkan nama pelakunya? Ada banyak orang yang punya ciri-ciri begitu kan?"

Teman kos saya masih juga bersikeras meyakini pendapatnya benar. Kalau sudah begini, saya cuma bisa ehem-ehem saja. Membantah pun tak ada gunanya.

Saya nyaris tidak bisa mempercayai bahwa leak sudah benar-benar bertransformasi secanggih itu. Saya memang meyakini bahwa ada energi yang tidak terpahami di alam raya ini. Apakah itu kuasa Tuhan ataupun daya kekuatan lainnya, saya pun tidak dapat memastikannya. Daya rasional kita masih belum bisa menjelaskan segala hal. Namun, bukan berarti saya juga mempercayai tahayul gaib seperti ini. Berpegang pada tahayul adalah hal yang sangat tidak rasional. Namun berpedoman sepenuhnya pada rasionalitas juga adalah tahayul baru.

Ilmu gaib adalah bagian dari memori kolektif orang Bali. Ia lekat dengan kepercayaan tradisi, yang sekarang diperjuangkan untuk dipertahankan di tengah arus kemodernan dan globalisasi yang menggempur pulau ini. Hal ini, suka atau tidak suka, menimbulkan sikap kontradiksi yang menarik. Contohnya, orang-orang masih berpegang pada penyelesaian irasional untuk masalah yang sebenarnya boleh jadi rasional, sebagaimana kasus guna-guna pada mobil tadi. Tapi itu toh adalah pilihan orang, yang berdasar pada keyakinan masing-masing. Saya percaya, cepat atau lambat, cara berpikir orang Bali tentang dunia gaib dan kemodernan pasti akan berubah.

Masih ada banyak contoh tentang leak yang bisa kita ketahui. Bila Anda datang ke Bali, cobalah untuk tidak hanya mengunjungi daerah-daerah turistiknya, melainkan bergaul dengan masyarakatnya. Tetapi, saya sarankan, jangan langsung menjurus bertanya kepada orang setempat apakah di sana ada leak atau tidak, terutama bila Anda adalah tipe orang yang gampang kagetan kalau pintu kamar hotel Anda tiba-tiba diketuk seseorang di malam buta...

Jakarta, 8 Mei 2014

Rabu, 07 Mei 2014

Geprek, Penyet, Hah!

Kalau bisa diibaratkan, sekitar empat dari tujuh teman saya suka sekali makanan pedas. Memang dulu saya pun doyan dengan sensasi rasanya yang selalu 'menyiksa' tapi ternyata kerap bikin ketagihan itu. Cuma semenjak saya pindah ke Jakarta setahun lalu, pelan-pelan saya mulai mengurangi kegemaran tersebut. Pasalnya, kalau sekali saja salah makan, saya bisa terjangkit sakit perut yang melilit dan membuat lemas berhari-hari. Ungkapan tempo dulu bahwa anak kos tidak boleh sakit masih kuat-kuat saya pedomani. 

Karenanya, bila teman-teman mengajak saya jajan makanan pedas, sedapat mungkin saya hanya memilih menu-menu lain yang 'aman'. Kecuali bila kebetulan di warung makan itu hanya menyajikan santapan macam itu (ketahuilah, teman-teman saya selalu tahu tempat seperti ini), maka saya pun bilang supaya level pedasnya jangan yang sampai bikin gigit lidah. 

Dulu sewaktu pertama kali menginjakan kaki ke Depok untuk seleksi masuk program magister, sahabat saya, sebut saja Dinda, menyambut dengan perayaan makan bersama di sebuah warung penyet sekitar Gang Pepaya-Margonda. Yah, namanya anak ndeso dari pulau Bali yang konon global itu, persepsi saya tentang ayam penyet pun biasa-biasa saja. Cuma lalapan dan ayam goreng dilumuri sambal pedas nanggung rasanya. Di Bali semua penyetan dipenuhi kesan mainstream macam itu.

Namun, setelah disodori menu khas warung tersebut, saya kaget betul. Jujur. Ini tidak bohong.

"Beneran nih? Kok sambelnya batu cabe semua?" saya bertanya.

Teman saya ketawa saja. Begitupun setelah kami makan, yang meskipun sambalnya telah dengan telaten saya sisihkan, ternyata rasa menyengatnya tetap menggigit. Mengucurlah semua keringat. Tetapi teman saya itu masih ketawa-ketawa. Rupanya dia sudah terbiasa makan yang beginian. Kemudian dia berkata,

"Selamat datang di Jakarta yang keras dan pedas!"

Hah! Pingin saya menyahut, tapi alamak, pedasnya ini enggak ketulungan. Puluhan cabe rawit rasanya sedang ikut menari di lidah, merayakan hal yang entah apa.

Setiap kali jumpa dengan Dinda, dia pasti selalu mengajak saya makan di Gang Pepaya lagi. Beberapa kali saya tidak penuhi undangannya. Kalau dihitung-hitung, setelah setahun sejak 'penyambutan' (atau kalau boleh dibilang, penyambitan) itu, saya hanya makan di sana dua kali saja. Kapok. 

Kawan saya lainnya punya selera makan yang cukup ekstrim. Belum lama saya sempat main ke Yogya dan berjumpa Rina, teman yang lama tak saya jumpai. Kami janjian di sebuah kawasan sekitar kota, rencananya untuk main-main sebentar sebelum saya melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Kepadanya saya ceritakan betapa udiknya saya soal kuliner Yogya di era sekarang, termasuk kekecewaan saya ketika menyantap sarapan sop di sebuah kedai pagi hari. "Rasanya bukan rasa ayam," kata saya. "Rasanya seperti rasa bumbu penyedap rasa ayam!"

Rina tergelak dengar komentar tadi. "Kalau begitu, ayo, kita jalan. Aku tunjukan tempat di mana kamu enggak makan menu yang cuma rasa bumbu!"

Sekitar tiga tahun lalu saya pernah datang ke Yogya dan mencicipi sate klatak yang dimasak tanpa bumbu apapun kecuali garam dan rempah tertentu. Saya pastikan dia tidak mengajak pergi mencari menu itu. Dan ternyata memang tidak.

Kami melewati area kampus UGM, lewat jalan-jalan kecil yang memisahkan wilayah-wilayah fakultas. Lintasan cukup lengang karena itu saat liburan. Aktivitas kampus sepi. Katanya, setelah kebijakan baru tentang 'normalisasi' kehidupan kampus, makin sedikit aktivitas kemahasiswaan yang dilakukan pada saat-saat kosong begini. 

Di sekitar kawasan Selokan Mataram (saya baru tahu ada daerah macam itu di Yogya) kami berhenti persis di depan sebuah warung pinggir jalan yang sederhana. Hanya ada beberapa orang yang duduk-duduk di sana. Tampaknya mereka baru selesai makan.

"Biasanya di sini ramai. Mungkin karena baru selesai jam makan siang, jadi cukup sepi sekarang," kata Rina sambil mengambil catatan pesanan. "Di sini cuma ada penyetan," tambahnya.

Ehem. Mendengar kata penyetan, pikiran saya langsung menerawang ke Gang Pepaya yang nun di sana. Saya senyum seringan-ringannya dan bertanya apa level sambelnya bisa disesuaikan. Rina bilang pendek, "Iya."

Tepat saat kami memilih menu, yang punya warung datang ke meja saji di mana telah tergelar di sana berwadah-wadah ayam goreng, tempe tahu goreng, lele goreng, terong goreng, dan semua khas penyetan lainnya. Dia mengambil beberapa buah cabe dari waskom dekat ulekan, menaruhnya sembarang, ditaburi garam, sedikit micin dan sepotong (sangat) kecil bawang putih. Semua itu digerusnya seperti sedang membikin bumbu rujak. Mulanya saya acuh saja. Tapi begitu sepotong ayam di taruh pada ulekan bersama terong dan tempe, aksi yang mengejutkan pun dimulai.

Yah, bagi saya sih mengejutkan. Soalnya semua penyetan itu betul-betul dihancurkan sampai nyaris rata. Lalu semuanya dituang begitu saja di atas nasi yang panas mengepul. Bentuk ayamnya tak keruan lagi. Bercampur dengan terong, tempe dan sambalnya....

Segera saya tatap Rina yang juga memandang saya dengan geli. "Kenapa Pur?"

"Cuma segitu aja?"

"Ya, memang. Tinggal geprek!"

Selama makan, saya masih merasa begitu terpukau dengan cara masak yang simple itu. Ada yang datang pesan lele, yang juga diperlakukan sama oleh penjualnya: digeprek keras-keras sampai bikin meja kami agak goyang doyong (ini agak lebay mungkin. Tapi deskripsinya kurang lebih begitulah...). Pikir saya, bagaimana cara makan lele yang tulang kecilnya sudah bercampur rata begitu. Ayam masih mending di mana tulang bisa disisihkan. Mudah-mudahan yang makan tidak sampai tersedak.

Meskipun saya pakai cabe 5 biji, pedasnya tetap terasa. "Temanku sampai pernah pesan sambal 30 biji cabe. Ibu yang jual sampai heran, dan begitu makanan jadi, dipanggilah siapa nama yang pesan menu itu. Orang-orang lain yang belanja sampai pada ngeliatin. Widih, aku ngerasa malu datang sama kawan yang begitu ke sini, he-he-he..." kisah Rina.

Saya yang kepedasan cuma bisa nyengir dengar cerita itu. 

Satu teman lain yang notabene keturunan Batak juga sama doyan pedas. Biasanya setelah kuliah, teman-teman suka kumpul di warung mie ayam depan FIB. Katanya di sana mie-nya enak dan suasana kampusnya nyaman. Suatu malam datanglah saya dengan kawan-kawan ke sana, sebenarnya untuk coba mie ayamnya saja. Pikir saya, toh ini bukan penyetan, jadi cukup aman untuk perut.

Tapi saya masih kaget saja (dipikir, ternyata saya orangnya gampang kagetan terhadap hal-hal baru dan tak terduga ya). Sementara teman sekelas lain ambil sambal sesendok kecil, ini kawan malahan tanpa ragu tuangkan sambal ke mangkuk. Nyaris seluruh permukaan mie ayam dengan sayur hijau segarnya ditutupi sambal. Saya bengong, tapi tak berani komentar banyak.

Barangkali karena hidup di Indonesia keras maka orang-orangnya suka makan pedas. Tatkala menikmatinya, mungkin terasa semacam peluapan emosi akibat sekian himpitan hidup yang dialami setiap hari. Apakah itu yang membikin orang Indonesia kebal (untuk tidak menyebut bebal) terhadap kritik lantaran sudah biasa dengan urusan macam beginian? Atau bahkan sebaliknya, kadang menjadi sensitif karena diusik hal-hal kecil remeh, persis seperti tersengat cabe rawit namun panasnya kerasa sampai ke ubun-ubun?

Entahlah. Yang jelas, agaknya pedas itu ibarat mengingatkan kita pada rasa sakit, ungkapan syukur sebab tetap sehat pasca menyantapnya (hah!), dan gelisah kangen untuk menikmatinya lagi. 

Jakarta, 7 Mei 2014

Senin, 05 Mei 2014

Denda Bunga

Kali ini saya ingin cerita tentang satu kawan yang punya kebiasaan menarik. Kita bisa sebut dia dengan nama Bunga. Sebab memang kebetulan dia suka bawa diary kuliah yang selalu dicoret-coret motif bunga. Hampir semua halaman dia gambarkan kuntum-kuntum bunga yang saya sendiri tidak tahu itu jenis kembang apa tepatnya. Ternyata begitupun juga dia.

Tapi yang ingin saya kisahkan bukanlah kebiasaannya menggambar bunga. Melainkan keseringannya untuk menunda. Rincinya sebagai berikut.

Kira-kira sebulan lalu saya mengantar Bunga ke perpustakaan kampus untuk meminjam buku. Katanya dia ingin mengerjakan tugas satu mata kuliah dan membutuhkan berjibun literatur. Selain itu, memang ada syarat menyenangkan bagi mahasiswa S2, yakni diperkenankan meminjam sampai 5 judul sekaligus. Ini berbeda dengan S1 yang hanya maksimal 3 buku saja. Terus terang, kadangkala saya pun jadi ‘kalap’ karena aturan ini. Setiap minggu pasti saya datang ke perpus, menyelusup di antara rak, naik turun lantai (bagi anak udik seperti saya, perpustakaan itu cukup luas), lalu meminjam beberapa novel asing, termasuk karya Kawabata yang fenomenal, Rumah Perawan. Tapi, saat itu saya tidak meminjam apapun. Pasalnya, batas peminjaman saya sudah penuh. Alhasil, saya hanya melihat-lihat koleksi susastra di sana sementara Bunga asyik masyuk di bagian Sospol.

Begitu kami bertemu, jujur, saya agak kaget. Bunga telah memilih lima judul buku tentang sosiologi pembangunan yang tebal-tebal halamannya. “Kamu serius mau pinjam ini?” saya bertanya terheran-heran. “Kenapa tidak difotokopi bagian yang diperlukan?” lanjut saya sambil menunjuk jasa fotocopy tak jauh dari loket peminjaman.

Tapi Bunga menggeleng. Alasannya, dia ingin melihat detail demi detail bahasannya. Bila memfotocopy, nanti dia tidak dapat menangkap isi buku secara utuh. Ya, oke, batin saya. Itu pilihannya.

Saya ingatkan padanya bahwa batas waktu pinjam cuma dua minggu. Dan dia pun mengangguk paham.

Tiga minggu kemudian, Bunga menelepon saya untuk mengembalikan dua buku yang dipinjam. “Bagaimana dengan tiga lainnya?” Saya bertanya.

“Aku belum baca.”

“Pasti kamu belum juga memperpanjangnya?” saya menduga. Dan ternyata benar. Dia terlalu sibuk untuk tugas luar kota sehingga tak sempat memperpanjang pinjaman. Bunga bekerja di sebuah lembaga riset yang harus turun lapangan secara berkala. Well, rata-rata teman kampus saya memang beken, suka betul keliling kota demi kota karena tugas kerjaan. Bila kami kumpul di kelas, masing-masing pun cerita tentang pengalamannya. Boleh dibilang, saya termasuk golongan paling cetek karena tidak punya aktivitas keren seperti itu.

“Ya, sudah, nanti aku perpanjang…” ujar saya sambil minta waktu janjian. Bunga tak punya banyak kesempatan. Malam nanti dia harus ke Kupang, lagi-lagi karena urusan kerjaan.

Yang saya herankan—dan sekaligus yang juga sudah saya duga—bahwa Bunga memang tidak dapat menyelesaikan bacaannya. Lebih celaka lagi, dia pun menunda untuk mengembalikan bukunya. Suatu kali, jauh sebelum peristiwa lima buku tebal itu, saya ingatkan dia soal pinjaman perpustakaan. Tapi jawabannya ringan saja, bahwa toh masih belum terlambat. Kenyataannya, seminggu kemudian dia toh minta saya datang ke perpustakaan guna membayarkan denda keterlambatan.

Di status facebook-nya, Bunga pernah meng-update kalimat: “Membayar denda terlambat untuk buku yang tidak dibaca, rasanya sangat….menjengkelkan!”

Oke, pikir saya. Kalau dia tahu rasanya demikian, kenapa Bunga masih mengulang-ulang kesalahannya? Bukankah keledai pun tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?

Kasus yang dialami Bunga barangkali adalah cerminan dari jutaan kebiasaan manusia di dunia. Suka menunda. Menggampangkan segala sesuatu. Kemudian marah oleh sebab-sebab yang sebenarnya bermula dari kesalahan diri sendiri. Telat dan lupa mengembalikan buku ke perpustakaan memang hal sepele. Tapi bagaimana bila kasus ini terjadi tatkala kita terlambat membawa salah satu keluarga yang sakit ke RS? Atau terlambat menyadari bahwa jalan hidup yang kita tempuh adalah keliru?

Menjadi disiplin atau pelupa adalah pilihan pribadi. Personal choice, kata dosen saya. Tapi bila kenyataan ini menjadi pola-pola di masyarakat, maka mungkin diperlukan penelitian lebih lanjut secara sosiologis. Apakah itu mencerminkan kebiasaan mempribadi ataukah cerminan laku masyarakat kita secara umum? Sayangnya saya tidak punya data akurat, misalnya seberapa tingkat keterlambatan mengembalikan buku, membayar pajak atau kebiasaan lainnya antara satu negara atau negara lainnya, untuk membuktikan bahwa kondisi ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, desakan aturan, pendidikan, pembudayaan dan sebagainya.

Yang jelas, ketika saya membayarkan denda buku teman saya itu, pada daftar isiannya berderet-deret nama mahasiswa yang juga telat mengembalikan pinjaman. Setiap hari selalu saja ada. Dan jumlah dendanya, menurut saya, sangat amazing besarnya. Cukup untuk biaya makan di warteg selama seminggu!

Beberapa hari lalu saya bertemu lagi dengannya dan sampaikan berapa hutang denda yang dia punya terhadap saya. Mendengar jumlahnya, dia kaget lalu menggugat bahwa saya tidak sungguh-sungguh serius. Angka seratus ribu baginya tidak masuk akal. “Tidak semua buku itu aku baca, lho!”

“Ya, akupun tak percaya. Tapi, mau bagaimana lagi…” ujar saya sambil tersenyum. Mudah-mudahan dia kapok dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.

Jakarta, 6 Mei 2014

'Curiosity Killed The Cat'

‘Curiosity Killed The Cat’. Pepatah itu pertama kali saya dengar dari seorang teman kuliah ketika kami bersama-sama menunggu commuter pada suatu malam. Waktu itu udara malam terasa cukup gigil pasca sesi kelas yang sebenarnya agak membosankan. Bukan hanya mata ajar itu saja. Semua materi semester ini bagi saya betul-betul menjemukan.

Sudah sejak tadi teman saya ini menyulut sebatang rokok untuk melepas penat yang menderanya seharian. Sudah dua tahun ia ditempatkan di sebuah lembaga yang—dalam bahasa yang sering digunakannya—mengurusi ‘kantong-kantong’ kemiskinan di Indonesia. Tugasnya ialah mengawasi jalannya kebijakan sosial pemerintah. Bila Anda membayangkan dia hanya tenaga administratif kantoran yang kerjanya memeriksa laporan-laporan penyelenggaraan program kebijakan, saya bisa pastikan bahwa itu keliru. Tanggungjawab monitoring yang dilakukannya kerap kali mengharuskan teman saya ini turun ke lapangan, mendatangi lokasi program, melihat langsung capaian dan permasalahannya. Otomatis, dirinya pun jarang masuk kelas. Dan sebagai seorang teman baik (hah!), beberapa kali saya pun membuatkan tandatangan tiruan di daftar absen—tentu atas permintaannya.

Sambil menikmati rokok kesukaannya, teman saya terus menerus menatap layar telepon pintarnya dan menuliskan kalimat demi kalimat tanpa henti. Oke. Saya tahu dia orang sibuk, dengan seabrek kerjaan yang pasti tidak berkeputusan. Jadi saya pun tidak terlalu ambil pusing atas tingkah lakunya yang amat serius itu. Saya pun tetap mencoba melarutkan diri dalam suasana malam itu, mendengarkan musik via headset, melihat para penumpang yang lalu lalang, dan melamunkan hal-hal tertentu. Seorang waria lewat di depan kami. Pakaiannya mini. Dandanannya, bagi saya, terkesan eksentrik kaya warna. Ia mengenakan wig dan membawa sebuah stereo yang disandang begitu gampang pada bahunya. Beberapa pria merasa risih serta memilih menjauh darinya. Tapi waria itu tidak peduli. Ia berjalan dalam lagak yang anggun feminim (bahkan melebihi cara saya berjalan!), lantas duduk di satu sisi peron, dan memutar house-music keras-keras dari stereo portable itu. Jangan Anda kaget dengan pemandangan seperti ini. Jakarta selalu dipenuhi hal-hal yang menakjubkan.

Jujur, saya sering bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi di dalam commuter yang dia naiki. Waria itu tidak bisa masuk ke gerbong perempuan, sebab ada aturan konyol di KRL bahwa yang bisa duduk di dalamnya hanya mereka yang secara biologis adalah ‘benar-benar’ perempuan. Jadi, orang ini harus ikut gerbong laki-laki. Bisa dibayangkan, betapa gelinya kondisi ini?

Commuter tujuan Jakarta Kota singgah di peron stasiun ini. Waria tadi buru-buru mematikan stereo portable-nya, lalu berlari menuju gerbong kereta. Tidak. Dia sebenarnya tidak berlari, menurut saya. Dia melangkah cepat dengan gaya wanita yang begitu anggun, yang sungguh, membikin saya ternganga heran. Tangannya diangkat begitu rupa, di mana permukaan telapaknya menengadah ke atas. Kakinya mengayun kecil-kecil, membuat rok mininya mengembang naik turun. Begitu juga wig cokelat sebahunya. Setelah diperhatikan ternyata ia melihat ada temannya yang naik kereta jurusan itu. Dan dirinya tidak mau ketinggalan.

Baik. Kita kembali ke soal pepatah bahasa inggris tadi.

Setelah menyesap bagian terakhir rokoknya, baru teman saya ini berkata dalam nada datar yang biasanya. “Jadi, sori kalau aku kelihatan agak sibuk malam ini. Ceritanya aku sedang mendamaikan dua temanku yang sedang bertengkar…”

Aku menoleh sedikit. Temanku, seorang perempuan asal Jayapura itu, mulai mengambil batang rokok berikutnya, kemudian bercerita begini:

Di kantor dia punya dua kawan dengan latar agama yang berbeda. Satunya Islam, lainnya ialah Kristen. Sejak dulu keduanya memang suka berselisih paham yang kurang lebih dipicu perbedaan religiusitas ini. Yang agama Islam—mohon maaf, bukan berarti saya hendak menyinggung SARA—suka memuat postingan menyidir ajaran Kristen di Facebook, dan selalu dibaca oleh rekan kantor beragama Kristen tadi. “Karena aku dinilai cukup ateis, maka sering aku jadi penengah di antara mereka,” tambah teman saya. Mendengar itu, saya pun tanda sadar ketawa. Kontradiksi yang menarik. Seorang tekun beragama minta pendapat kepada orang seperti teman saya ini.

“Lalu, biasanya, apa saran Kakak kepada mereka?” saya kerap memanggilnya ‘Kakak’ sebab usianya kira-kira delapan tahun lebih tua dari saya.

“Untuk kali ini, curiosity killed the cat,” tukasnya pendek.

“Artinya?”

“Ya, kamu tahu sifat kucing kan? Suka bermain-main dengan hal baru yang belum diketahuinya betul. Misalnya, kucing itu kepingin memastikan isi sebuah karung. Dan dia terus mencoba masuk ke dalamnya, tanpa menyadari bahwa itu sebenarnya jebakan. Begitu terperangkap, karung ditutup dan diambil orang….”

“Kurang lebih maksudnya, jangan terlalu menurutkan keinginan tanpa mempertimbangkan segala bahaya yang bisa muncul…”

Headset sudah saya lepas sejak ia melontarkan pepatah itu. Well, ini hal baru yang belum pernah saya tahu. “Darimana Kakak bisa simpulkan itu?”

“Ya, karena sudah sejak dulu aku bilang, supaya dia tidak lagi membuka postingan dari teman itu. Sebab toh isinya begitu-begitu saja. Mau kita protes juga pasti tidak akan berdampak banyak dan malahan memicu konflik. Ini kan terkait keyakinan, yang dalam beberapa kasus amat sulit diubah. Daripada kita jadi ikutan sakit oleh hal-hal demikian, lebih baik tidak usah menggubrisnya sama sekali…”

I see…,” sahut saya. “Pendeknya, untuk apa memikirkan pikiran buruk orang..."

Teman saya ini segera mengiyakan. Persoalannya, teman A ini selalu tidak bisa menahan sikap obsesifnya itu. Dan sekarang si A yang entah siapa itu curhat panjang lebar pada teman kuliah saya ini.

Sementara kawan ini mengetik pesan-pesan di telepon, saya pun mulai melamun. Kurang lebih, saya pun punya pengalaman yang serupa. Gemar stalking di media sosial, khususnya pada sebuah akun twitter kenalan saya. Setiap malam, sebelum tidur, saya selalu melihat linimasa juga kutipan favoritnya, mencari keterkaitan pernyataan dalam timeline (meskipun toh itu sebenarnya bukan urusan saya), dan mencoba menelusuri ungkapan-ungkapannya di google. Jelas itu bukan kebiasaan baik, sebab pada kenyataannya, saya akhirnya tidak bisa tidur hanya untuk mencari siapa nama yang dia posting, musik apa yang disukainya, dan sebagainya. Dan sebagainya. Hingga tanpa terasa waktu sudah pukul tiga pagi. Saya pun insomnia. Padahal besoknya (tepatnya beberapa jam lagi) saya harus ikut aktivitas peliputan atau penulisan yang sudah dijanjikan. Pantas saja, saya selalu merasa lelah dan jadi gampang marah.

Kalau mau ditarik ke hal yang lebih luas, misalnya rasa keingintahuan seorang anak terhadap minuman keras, kelompok sebaya tertentu (kadang negatif seperti geng motor atau geng lainnya) juga kebiasaan game-online, ataupun sikap kepribadian orang yang tanpa sengaja menantang bahaya seperti tokoh Dae Su dalam film Old Boy, pepatah tadi tentu sangat relevan. Kita boleh saja ingin keluar dari zona nyaman, tapi untuk memilih ‘jalan lain’ itu ternyata tidak cukup dengan modal keberanian. Harus ada daya nalar dengan menimbang segala baik dan buruknya.

Atau, mungkin tidak segala hal baik dan buruknya, sebab kita bagaimanapun tidak punya kemampuan besar tentang itu. Paling cukup, setidaknya, kita menyadari konsekuensi yang mungkin dihadapi. Mimpi harus dihadapkan pada kenyataan, supaya kita berada dalam alur hidup yang jelas, tidak mengawang-awang dalam lamunan, atau kering tiada imajinasi.

Pepatah itu berhasil membuat saya untuk merenung ulang kebiasaan stalking tadi. Pepatah itu juga memberi pencerahan kecil untuk bagaimana menentukan pilihan hidup.

Sekitar lima menit kemudian, commuter tujuan Tanahabang-Jatinegara pun tiba. Kami naik sama-sama di gerbong perempuan. Teman saya ini nanti turun di Manggarai, lalu ganti kereta ke Jakarta Kota. Kadangkala, saya yang naik jurusan Jakarta Kota, lalu turun di Tebet untuk pindah commuter tujuan akhir Jatinegara. Kami biasa melakukan ini, sebab setidaknya kami membutuhkan teman seperjalanan yang bisa diajak berbagi.

Malam itu, teman saya memang tidak banyak bicara. Saya memilih mendengarkan musik dan melamun lagi. Itu kebiasaan lama yang ternyata amat sulit saya ubah. Hah!

Jakarta, 5 Mei 2014

Dari Jatinegara, Jakarta

Semua orang bisa terserang demam. Termasuk juga saya.

Petang ini, setelah dirawat begitu tulus oleh seorang teman kos, kondisi saya berangsur-angsur membaik. Suhu badan mulai pulih. Meski masih sedikit pening, tapi secara keseluruhan saya merasa telah cukup sembuh sehingga bisa membuat catatan harian ini.

Malam kemarin adalah saat yang melelahkan. Saya menempuh perjalanan panjang ke Jakarta dengan kereta. Bukan hanya karena penat setelah seharian berkegiatan, saya merasa sedemikian lelah oleh hati yang letih hampa. Sebabnya adalah urusan pribadi yang tentu tidak bisa saya ceritakan di sini. Toh, setiap orang punya persoalannya sendiri yang tidak elok dibagikan pada ruang publik seperti ini.

Terus terang, dalam perjalanan panjang itu, saya jadi mengerti betapa sunyinya batin Wanatabe dalam Norwegian Wood karya Haruki Murakami tatkala mengetahui Naoko memilih mengakhiri hidup. Atau lengangnya perasaan Holden Caulfield dari novel tersohor JD Salinger, The Catcher in The Rye, saat menyusuri jalan-jalan New York, bertemu orang-orang dan teringat lagi pada semua kenangan pahit yang dialaminya. Apakah saya mulai terpengaruh tokoh-tokoh itu, sehingga mencocokkan diri dengan kenyataan mereka dalam cerita rekaan tersebut? Entahlah. Saya merasa, semua orang juga pasti mengalami rasa hampa seperti itu. Termasuk juga saya.

Rasa hampa macam apakah yang saya hadapi? Saya tidak dapat menjelaskan begitu rinci dan pasti. Jujur saja. Tapi rasa hampa itu cukup membuat saya begitu gelisah sehingga bermalam-malam tidak bisa tidur, mengembara di jalanan kota tanpa tujuan, memesan kopi dan menyesapnya dengan batin hambar, naik turun kereta tanpa jelas hendak kemana, membaca pesan-pesan dan surat lama yang pernah saya buat kepada seseorang, selalu melamun dan melamun. Saya tidak peduli untuk merawat diri. Atau makan secara teratur. Atau berhati-hati di kota orang. Saya tidak peduli dengan banyak hal, terkecuali terhadap kegelisahan batin saya sendiri.

Hanya pada beberapa orang saya kisahkan kegelisahan ini. Mereka cukup sabar menemani, meskipun tidak tahu persis masalah apa yang saya alami. Mereka juga tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu bagaimana harus menghadapi anak muda macam saya yang mudah sekali labil pikiran dan perasaannya. Sebelum saya kembali ke Jakarta, hanya satu teman yang saya temui. Dia anak baik yang berkenan memenuhi permintaan saya yang tergagas tiba-tiba: berjalan-jalan keliling kota, melewati wilayah kampus, makan siang bersama, ngopi bareng, dan bertukar cerita juga gagasan masa depan. Saya selalu suka teman ini. Saya hanya suka pada sedikit teman.

Wanatabe mengembara dari kota ke kota setelah kehilangan Naoko. Mungkin saya pun begitu, mengelana ke banyak tempat dalam perasaan gamang setelah mendapatkah kenyataan yang bertentangan dengan dunia fantasi yang selama ini tanpa sadar saya pelihara dan tumbuhkan. Dunia imaji yang hidup memenuhi hari-hari saya, yang kadang menjadi puisi, kadang menjadi lamunan.

Holden Caulfield bertemu orang-orang selama menyusuri kota New York. Orang-orang seperti dua suster di stasiun, sopir taksi yang mengantarkan ke klub malam, pemilik kafe yang angkuh, pelacur, hingga adik perempuannya yang bagi saya terkesan polos dan murni itu. Saya juga, pada hari kemarin dan perjalanan ke Jakarta, berjumpa beberapa orang yang mengingatkan pada kenyataan masa silam: seorang ibu dengan dua anak lelaki kembar yang jadi teman seperjalanan saya, satpam kereta yang ramah, kuli angkut di stasiun Jatinegara, pengamen, tukang ojek, juga dua orang ibu yang berdebat tentang apakah commuter jurusan Jatinegara-Bogor akan berhenti di Stasiun Pasar Senen atau tidak, dan sebagainya.

Orang-orang ini setidaknya bisa melipur gundah hati saya terhadap satu sosok yang begitu dalam mempengaruhi hidup saya. Sosok ini begitu penting bagi diri saya, dan tiba-tiba mencerabut saya pada suatu kenyataan yang tidak saya sangka. Dan saya pun kehilangan dia. Bukan hanya kehilangan dirinya pribadi, tapi juga dunia imaji yang saya bentuk atas dirinya. Barangkali itu sebabnya mengapa perjalanan ke Jakarta kemarin terasa panjang dan melelahkan. Dalam kereta saya berulang memikirkan silamnya ingatan dan gamangnya harapan. Udara malam di luar bagai menyusup ke seisi kereta, mulai membikin saya gigil. Turun di Jatinegara, saya pun merasa terserang demam, dan memang benar demikian.

Dalam kondisi lemas saya pulang ke rumah pondokan, disambut satu kawan yang selanjutnya amat telaten merawat saya. Teman saya ini, persis seperti nelayan di sebuah pantai tatkala menemukan Watanabe terbaring lemah diliputi kepiluan atas rasa kehilangan Naoko. Nelayan ini tulus memberikan makanan yang lantas menyadarkannya bahwa hidup, bagaimanapun, mestilah terus dilanjutkan. Kepedihan adalah keniscayaan. Tapi ia bukan sebab utama untuk mengakhiri hidup yang kaya warna ini. Ada banyak peristiwa dan peran lebih besar yang menanti kita di masa depan. Dan hidup terlalu sayang bila semata-mata diselimuti sedu sedan.

Dengan begitu, saya pun menulis catatan harian ini. Kesehatan saya lebih pulih. Dan batin saya, puji Tuhan, pelan-pelan kembali jernih.

Jakarta, 4 Mei 2014

Tentang Kalamata

Mulanya, blog ini dibuat karena keinginan saya untuk mengabadikan kenangan-kenangan tentang kawan, karib lama, kenalan, ataupun orang-orang yang saya jumpai dalam berbagai kesempatan. Tujuannya bukan untuk bernostalgia atas kesan yang saya dapatkan tentang mereka, atau mengungkapkan rasa kekaguman maupun (barangkali) luapan ketidaksukaan yang cenderung emosional-personal itu, melainkan guna memberi arti atas setiap pengalaman yang saya dapatkan.

Saya meyakini, perjumpaan kita dengan seseorang ataupun peristiwa adalah limpah berkah yang patut disyukuri. Setiap kali kita bertemu seseorang, kita sebenarnya tengah menyusun lingkup jejaring yang kelak akan mempengaruhi hidup di masa mendatang. Seringkali kita dihadapkan pada kenyataan tak terduga,bahwa relasi dengan seorang kenalan A ternyata membuka hubungan bersama kawan B, kemudian berlanjut perjumpaan pada si C, dan seterusnya, dan seterusnya. Bila Anda membaca 'The Tipping Point' dari Malcolm Gladwell, mungkin sedikit banyak Anda akan mengerti.

Selain hal tadi, kadangkala kita tanpa sengaja memetik buah pencerahan dari karibnya persahabatan. Hubungan yang intens ataupun pertautan rasa mendalam mampu membuat kita mendapat nilai pertemanan yang luar biasa. Bersama kawan, kita berbagi hidup. Bersama mereka, aneka cerita bahagia, haru maupun pilu pun tercipta.

Maka dari itu blog ini dibuat. Laman sederhana ini diniatkan guna mengisahkan cerita tentang banyak orang. Para pembaca bila mempunyai kisah-kisah menarik perihal sosok yang dipandang memberikan inspirasi, dapat bersumbang tulisan di sini. Apa yang dimuat semata-mata karena keinginan untuk berbagi saja.

Selamat membaca.

purnamarisa
twitter : @purnamarisa ~ email : purnamarisa@gmail.com