Sabtu, 27 Desember 2014

Wheat People versus Rice People

Americans and Europeans stand out from the rest of the world for our sense of ourselves as individuals. We like to think of ourselves as unique, autonomous, self-motivated, self-made. As the anthropologist Clifford Geertz observed, this is a peculiar idea.
 
People in the rest of the world are more likely to understand themselves as interwoven with other people — as interdependent, not independent. In such social worlds, your goal is to fit in and adjust yourself to others, not to stand out. People imagine themselves as part of a larger whole — threads in a web, not lone horsemen on the frontier. In America, we say that the squeaky wheel gets the grease. In Japan, people say that the nail that stands up gets hammered down.
 
These are broad brush strokes, but the research demonstrating the differences is remarkably robust and it shows that they have far-reaching consequences. The social psychologist Richard E. Nisbett and his colleagues found that these different orientations toward independence and interdependence affected cognitive processing. For example, Americans are more likely to ignore the context, and Asians to attend to it. Show an image of a large fish swimming among other fish and seaweed fronds, and the Americans will remember the single central fish first. That’s what sticks in their minds. Japanese viewers will begin their recall with the background. They’ll also remember more about the seaweed and other objects in the scene.
 
Another social psychologist, Hazel Rose Markus, asked people arriving at San Francisco International Airport to fill out a survey and offered them a handful of pens to use, for example four orange and one green; those of European descent more often chose the one pen that stood out, while the Asians chose the one more like the others.
 
Dr. Markus and her colleagues found that these differences could affect health. Negative affect — feeling bad about yourself — has big, persistent consequences for your body if you are a Westerner. Those effects are less powerful if you are Japanese, possibly because the Japanese are more likely to attribute the feelings to their larger situation and not to blame themselves.
 
There’s some truth to the modernization hypothesis — that as social worlds become wealthier, they also become more individualistic — but it does not explain the persistent interdependent style of Japan, South Korea and Hong Kong.
 
In May, the journal Science published a study, led by a young University of Virginia psychologist, Thomas Talhelm, that ascribed these different orientations to the social worlds created by wheat farming and rice farming. Rice is a finicky crop. Because rice paddies need standing water, they require complex irrigation systems that have to be built and drained each year. One farmer’s water use affects his neighbor’s yield. A community of rice farmers needs to work together in tightly integrated ways.
 
Not wheat farmers. Wheat needs only rainfall, not irrigation. To plant and harvest it takes half as much work as rice does, and substantially less coordination and cooperation. And historically, Europeans have been wheat farmers and Asians have grown rice.
 
The authors of the study in Science argue that over thousands of years, rice- and wheat-growing societies developed distinctive cultures: “You do not need to farm rice yourself to inherit rice culture."

Asked to draw their social networks, wheat-region subjects drew themselves larger than they drew their friends; subjects from rice-growing regions drew their friends larger than themselves. Asked to describe how they’d behave if a friend caused them to lose money in a business, subjects from the rice region punished their friends less than subjects from the wheat region did. Those in the wheat provinces held more patents; those in the rice provinces had a lower rate of divorce.
 
I write this from Silicon Valley, where there is little rice. The local wisdom is that all you need is a garage, a good idea and energy, and you can found a company that will change the world. The bold visions presented by entrepreneurs are breathtaking in their optimism, but they hold little space for elders, for longstanding institutions, and for the deep roots of community and interconnection.
 
Nor is there much rice within the Tea Party. Senator Ted Cruz, Republican of Texas, declared recently that all a man needed was a horse, a gun and the open land, and he could conquer the world.
 
Wheat doesn’t grow everywhere. Start-ups won’t solve all our problems. A lone cowboy isn’t much good in the aftermath of a Hurricane Katrina. As we enter a season in which the values of do-it-yourself individualism are likely to dominate our Congress, it is worth remembering that this way of thinking might just be the product of the way our forefathers grew their food and not a fundamental truth about the way that all humans flourish.
 
Repost from Wheat People vs. Rice People: Why Are Some Cultures More Individualistic Than Others? by T.M. Luhrmann, a professor of anthropology at Stanford and a contributing opinion writer. (For personal and scholar's documentation only).

Rabu, 24 Desember 2014

Sitor yang bukan Penyair

Tahun 2010, saya sempat bertemu dengan Sitor Situmorang. Bagi saya kala itu, ia bukan hanya sosok penyair angkatan ’45 dengan sekian lapis pengalaman sejarahnya, melainkan yang jauh lebih mengharukan: seorang manusia biasa yang nyaris gemetar hadapi usia tua.

Berapa umur Sitor waktu itu? Mungkin sekitar 87 tahun, kalau saya tidak salah. Dan berapa usia saya tatkala mengunjunginya di kediaman budayawan Jean Couteau di Bali itu? Kira-kira 21 tahun. Ya, rentang waktu di antara kami sangatlah jauh. Terlalu jauh, barangkali.

Karena jarak usia itu, kedatangan saya persislah bagai satu anak muda yang miskin asam garam, berhadapan dengan tokoh yang pelan-pelan justru menyisih dari hiruk pikuk keduniaan. Saya dan teman-teman datang hampir setiap hari dalam seminggu ke tempat persinggahan Sitor sebelum berangkat ke Toba dan Belanda: kediaman Jean Couteau di tepi sungai Ayung, yang alir sungainya berabad-abad membasahi tanah Bali. Saya dan teman-teman menyaksikan pribadi Sitor yang begitu manusiawi, bagaikan para cucu yang termangu-mangu menyimak jalan hidupnya selama sekian kurun waktu.

Apa yang Sitor kisahkan kepada kami, pada hari-hari itu? Sayang disayangkan, saya tidak bisa mengingatnya begitu pasti. Saya tahu Sitor bercerita perihal pengalaman masa kecilnya di Harianboho, lalu pengelanaannya di Jakarta, lalu dunia politik, dunia penyair, dunia dalam bui. Hanya kronologisnya benar-benar tidak dapat saya runutkan. Betapa lalainya, saya yang masih belia terlanjur mudah melupakan hal-hal penting seperti itu. Sedangkan Sitor, karena gejala alzheimer, cuma kuasa mengingat masa silamnya secara samar-samar. Maka jadilah, percakapan di antara kami seperti dua orang manusia yang meraba-raba kenangan, tanpa pernah tahu apakah kenangan itu sungguh terjadi, atau tidak sama sekali. Apakah kenangan itu betul demikian jalan urutannya, ataukah ada yang terlewatkan tak tercatat.

Betapa absurdnya, pertemuan kami itu.

Setiap kali kami tiba, Sitor yang kebetulan sedang duduk di teras rumah atau berjalan-jalan di sekitar rindang halaman, akan menyambut kami dengan pandangan yang itu juga: mengernyit sedikit, dirundung ragu, sebelum lanjut bertanya, kadang dalam nada sedikit tinggi bagaikan menginterogasi “Anda siapa? Mau apa?”

Istrinya, Barbara, beberapa kali memberikan pandangan ramah yang sedih, lantas menyambut jawab: “Pengalaman masa lalu Sitor begitu sulit. Dipenjara dalam kamar gelap. Itu membuat dirinya trauma. Ia pun sering awas terhadap orang tak dikenal. Dia tak mudah mengingat nama-nama, dan siapa mereka.”

Beberapa menit kemudian, setelah Barbara menjelaskan maksud kedatangan kami, anak muda dari Komunitas Sahaja yang ditemani penyair Warih Wisatsana, wajah Sitor masih belum menampakkan keteduhan. Entahlah apa yang dipikirkannya. Saya tidak tahu. Kami pun duduk mengelilingi meja makan, menghadap pohon-pohon jati dan kayu di tepian sungai. Kalau sudah begitu, Sitor akan duduk dan mengaduk cangkir teh-nya tanpa henti. Diam beberapa lama. Diam hening yang dalam.

Kadang pertemuan kami mulai dengan pembacaan puisi, yang ditanggapi Sitor dalam raut wajah biasa-biasa saja. Hening dan diam. Kadang kami minta Sitor membacakan sajak karangannya, yang dijawabnya: “Ya, kalian pilihkan judul yang mana.”

Dan apakah Sitor masih bisa mengingat pengalamannya saat mencipta sajak-sajak tersebut? Hanya beberapa saja. Yang paling kuat adalah kisah tentang gadis dari Milano, Italia, serta sesuatu tentang vespa. Sempat kami curiga, mungkin perempuan itu adalah mantan kekasih Sitor, sebab setiap ia bercerita tentang pengalaman menulis sajak, kerap kali alur pikirannya justru kembali pada sosok gadis tersebut. Atau baris kenangan perihal Leo, putra semata wayangnya bersama Barbara, yang digambarkannya dalam sajak lain mengenai sungai Amsterdam dan perahu kertas si bocah yang hanyut dalam arus.

Sitor tidak pernah mau menerusterangkan makna karyanya. Tidak boleh, tambahnya. Penyair pantang menjelas-jelaskan puisinya.

Berapa banyak sajak dan kenangan yang kami bincangkan? Ah, saya tidak tahu lagi. Pembicaraan selama berhari-hari itu ibarat melarung bersama alir sungai Ayung, disamarkan suara burung liar, penyap dalam laku waktu menuju gelap.

Betapa absurdnya pertemuan kami itu. Sama seperti ketakterdugaan kabar berpulangnya Sitor Situmorang. Rasa absurd yang membangkitkan ingatan saya terhadapnya. Serupa larik puisi karya sang penyair, melampaui kelindan nasib dan sejarah, lalu muncul di hadapan saya sebagai sajak-sajak, sebagai cerita hidup bersahaja. Ya, begitulah. Kenangan saya mengenai dirinya jauh dari kesan kepenyairan yang dipuja, dikagumi. Melainkan manusia dalam kesunyian usia tua, yang mengaduk cangkir tehnya tanpa sudah, yang menyiangi rumput liar di pot-pot bunga, yang duduk bercerita masa lalu, sembari sesekali, entah dicekat pikiran ragu yang mana, ia jeda bertanya, “Anda siapa? Dan mau apa?”***

Jakarta, 24 Desember 2014

Selasa, 23 Desember 2014

Sesuatu tentang Gump dan Kembang Tahu

Nonton Forrest Gump sambil makan kembang tahu mungkin rasanya ‘sesuatu’.

Karena tidak ada yang saya niat kerjakan sore tadi, saya sekadar mengutak-atik isi laptop. Pindahkan foto. Edit beberapa potret. Hapus koleksi musik, dan rapikan folder rekaman wawancara yang sampai sekarang malas saya turunkan. Hingga ketemulah saya dengan film Forrest Gump yang sudah beberapa lama saya simpan.

Ada rasa yang lain kalau kita saksikan sebuah tayangan film untuk ke sekian kalinya. Lebih-lebih Forrest Gump yang saya punya tidak ada transkrip alih-bahasanya. Murni English. Dan menyaksikan film itu saat kali yang kedua, saya mulai terheran-heran, betapa banyaknya kosakata yang dulu saya lewat pahami, dan kini tiba-tiba saya sadari.

Saya jeda sejenak di tengah pemutaran. Leher pegal juga duduk di kursi yang kaku dalam kamar kos seraya menatap layar komputer 11 inchi ini. Maka saya kenakan jaket, mengambil ransel, dan keluar untuk sekadar mencari udara segar.

Niatannya sih hanya istirahat sebentar dan merenggangkan sekujur tubuh dengan berjalan-jalan di sekitar rumah pondokan. Tapi cari angin itu keterusan oleh pikiran hendak menyeberang ke ruas besar Margonda dan mampir sebentar ke satu kios kembang tahu.

Belum pernah sebelumnya saya coba makan kembang tahu. Dalam benak mulanya, kembang tahu itu kira-kira seperti tofu goreng yang biasanya ada pada sapo tahu masakan China. Rupa-rupanya ini berbeda. Kembang tahu ternyata penganan tahu dengan air jahe panas, butiran gula merah, dicampur remahan kacang tanah yang disangrai.

Kembang tahu itu saya bungkus untuk dinikmati di pondokan. Namun, bukannya langsung pulang, saya malahan berjalan ke rute memutar. Keinginan buat merenggangkan tubuh rupanya masih lekat di badan. Bahkan saya masih sempat mampir ke toko 24 jam guna membeli penganan lain serta beberapa minuman manis.

Hal yang celaka adalah, tatkala saya bersiap melanjutkan nonton Forrest Gump (kalau tidak salah di adegan orasi Gump di hadapan demonstran perdamaian di Monumen Washington), kembang tahu itu saya buka dan cicipi, ah, ia kedapatan sudah tak panas lagi. Hambar dingin. Persis wajah Lieutenant Dan pada perayaan tahun baru di sebuah kafe malam.

Yah, mau bagaimana lagi. Pelan-pelan saya habiskan kembang tahu itu. Rasanya memang ‘sesuatu’, menelan penganan yang lumer di mulut sambil mengira-ngira rasa manis, pedas jahe dan hambar kedelai. Juga sambil menonton dengan sabar untuk menunggu adegan-adegan yang dilatari musik-musik oldies Amerika. Lucu betul. Ini kegiatan lucu yang kemudian saya tahu hanya sia-sia saja dilakoni. Tak ada manfaatnya. Kira-kira begitu.

Agaknya motivasi saya menonton kembali Forrest Gump lebih dikarenakan keinginan untuk mendengarkan potongan-potongan musik era 1960an itu. Saya sangat menunggu-nunggu Free Bird-nya Lynyrd Skynyrd ketika Jenny menimbang ragu hendak meloncat dari gedung tinggi. Atau Turn! Turn! Turn! dari The Byrds, yang liriknya begitu saya sukai. Juga The Doors lewat People Are Strange-nya. Cuma saya merasa geli juga, sewaktu menyadari kalau Sloop John B dari grup favorit saya, Beach Boys, hanya disertakan sebentar sebagai siaran radio sebelum Lieutenant Dan menunaikan ‘panggilan alam’-nya di Vietnam. Duh.

Nonton Forrest Gump di kali yang kedua itu membuat saya nostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalu. Yang muncul dalam pikiran saya bukan lagi makna-makna cerita atau arti mendalam dari kutipan-kutipan dialognya, melainkan selintas angan perihal lagu-lagu soundtrack-nya.

Sempat terpikir sesaat, betapa orang-orang penyaksi Forrest Gump tentu teringat-ingat pula pada single yang diputar itu, dan seketika merujuk pada pengalaman mereka di waktu silam. Saya yang lahir di era 1980an—dan notabene belum punya rujuk kenangan apapun tentang masa itu—masih begitu terngiang pada musik-musik tersebut. Dan minimal, musik-musik itu membuat saya berandai-andai akan hal apa saja yang dilakukan anak-anak muda di era tersebut.

Sementara soal kembang tahu, saya belum tahu ia akan jadi kenangan seperti apa. Hanya dulu saya sempat simak cerita kawan masa kecil yang mengenangkan pengalamannya ke Pontianak. Apakah dia pernah makan kembang tahu di sana, yang membuat saya pergi mencarinya ke kios seberang itu? Kelihatannya demikian. Hanya saya kecele untuk kedua kalinya. Sebab setelah saya kontak, kawan tadi ternyata kelupaan adakah pernah cicip kembang tahu atau tidak.

Ah, biarlah. Saya tuntaskan saja kembang tahu dan film Forrest Gump itu. Sambil saya kirim pesan pada teman tersebut: “Nanti aku kabarkan gimana rasanya yah!”

Jakarta, 23 Desember 2014

Selasa, 28 Oktober 2014

Gandrung Musik

Musik punya caranya sendiri untuk mewarnai suasana batin dan hidup semua orang. Oh, bayangkan, setiap waktu dunia kita nyaris tak pernah sepi dari musik, dengan berbagai bentuk dan nadanya. Dering telepon, radio di kendaraan umum, dangdut di rumah-rumah penduduk, sampai gumam calon penumpang yang tengah menunggu angkutan. Oh, bayangkan juga, bagaimana bisa musik menyusup ke lapis kenangan kita—hingga kadangkala membangkitkan memori tertentu bilamana kita mendengarnya lagi, bertahun-tahun kemudian, di suatu tempat yang jauh sekali….
 
Yah, begitu juga ingatan saya tentang musik, bagaikan melintas ruang dan waktu. Tatkala mendengar lantunan dangdut Meggy Z yang dibawakan penyanyi zaman sekarang, pikiran saya seketika terbayang pada ibu di rumah, yang selalu menyetel dangdut setiap pukul dua siang sampai sore—itu acara dangdut di sebuah radio setempat—untuk menemaninya kerja menjahit baju. Usia saya kala itu mungkin sekitar sepuluh tahun, dan sering berada di rumah serta membantunya memasang kancing baju atau semacamnya. Saat-saat itulah, dangdut amat terngiang dalam pikiran saya—sungguh, sampai-sampai saya hapal lirik lagu Bang Jamal Mirdad, Rama Aipama, atau mungkin penyanyi kondang seperti Elvy Sukaesih, hehehe….
 
Lama-lama selera musik saya toh tumbuh juga. Lantaran makin jarang berada di rumah karena aktivitas seni, saya kian jarang dengarkan dangdut lagi. Awal belasan tahun saya mulai dengarkan Enya dan sebangsanya—yang dengan semangat diputarkan oleh kakak kelas di ekskul teater SMP guna mendampingi kami latihan meditasi sebelum memulai olah peran. Sementara satu kawan saya sangat suka irama mendayu Enya sampai sekarang, well, tidak demikian dengan saya. Itu lagu bikin gampang jemu dan mellow—meskipun pada kenyataannya hidup saya sendiri banyak mellow dan romantik heroiknya, hahaha…
 
Entah gimana, saya kepincut sama jazz dalam waktu yang cukup lama. Mungkin sejak SMA hingga beberapa waktu belakangan ini. Suara elok Norah Jones dan Diana Krall begitu saya gandrungi, kerasa dalem-dalem puitik begitu, hehehe….Beberapa album Norah berhasil saya dapatkan, meskipun seringkali dengan cara minta koleksi teman. Kalau Diana Krall, memang saya cari sendiri, karena tanpa sengaja dengar suaranya saat melantunkan Besame Mucho dan Fly Me to the Moon. Memang itu lagu cover sih, bukan bikinan otentiknya—beda dengan Norah yang juga mencipta beberapa single. Tapi, saya tetap suka dengan suaranya.
 
Teman-teman sering bilang, suara saya jazzy banget.  Mungkin karena itu yah, saya suka dengan genre ini. Belakangan saya telusuri edisi lain dari jazz, khususnya Nina Simone. Well yeah! Saya demen kali simak suara kerennya saat nyanyikan ‘I’m Feeling Good.’ Punya jiwa dan rasa!
 
Saya suka pasang headset  bila kemanapun pergi. Bukan kebiasaan baik memang, terutama bila berkendara di jalan-jalan. Akan tetapi, semenjak kuliah di luar kota, saya suka naik angkutan umum alih-alih mengendarai motor di lintasan yang macet. Dan sejak itulah, kebiasaan saya mendengarkan musik di jalan mencapai puncaknya.
 
Musik juga yang mempertemukan saya dengan orang-orang tak dikenal. Pernah suatu kali saya pulang dari kunjungan luar kota, menumpangi kereta jarak jauh ke Jakarta. Lazimnya bepergian sendiri, musik pun saya pasangkan. Waktu itu saya sedang memulai mendengarkan oldies ala Beatles, Carpenters, Beach Boys, dan Pink Floyd (alamak, jadulnya yah….) Tanpa dinyana, bapak-bapak di sebelah saya tiba-tiba ngajak ngobrol: bertanya musik apakah yang saya dengarkan.
 
Tak lama berselang, bapak itu—bernama Alex, di sebuah perusahaan perbankan di Jakarta—menunjukan satu bundel kertas. “Adik mungkin sekarang suka oldies. Saya dulu juga begitu. Bahkan setiap sore saya pasti mampir ke Blok M, di salah satu kios musik lama yang menjual banyak koleksi Beatles dengan harga miring. Saya punya semua album Beatles, berupa vynil, CD, kaset dan lain-lain,” ia bercerita.
 
“Dan, kalau adik punya teman laki, yang ngaku-ngaku penggemar Beatles, coba uji dia, apakah tahu Blackbird Song?” tambahnya sambil membuka-buka bundel kertas itu. “Kalau tidak tahu, jangan jadikan dia pacar….hahaha….”
 
Saya ketawa juga. Soalnya gaya bapak-bapak itu agak unik. Cara ngomongnya blak-blakan. Dia juga cerita soal penemuan ilmu medik yang dia terapkan pada keluarga. “Kalau adik demam, sakit kepala atau keluhan flu, jangan minum paracetamol. Tapi teteskan obat iritasi mata. Ke kedua matamu. Dijamin sembuh…”
 
Soal ini saya enggak mau komentar banyak. Jadi pembicaraan seputar penemuan obat penyembuh demam itu saya hindari. Diam-diam saya berpikir, jangan-jangan selain perihal musik, Pak Alex gandrung juga dengan pengobatan alternatif, hehehe….
 
Setelah mencari-cari halaman yang diinginkan, Pak Alex menunjukannya kepada saya. “Adik, cobalah dengar musik hard-core. Atau progressive-rock. Atau semacamnyalah. Mulai dari The Who, nanti boleh pilih nama-nama band berikut ini…”
 
Ternyata, dia menyimpan sederetan band hard-core yang diketik rapi sekali. Saya baca sekilas, ada nama Deftones, Rammstein, dan sebagainya. Jujur, saya sama sekali tidak tahu nama-nama itu. Saya sama sekali tidak tahu, di mana letak eloknya musik yang memekakkan telinga macam itu.
 
“Jangan kira itu musik aneh. Dengarkan rhythm-nya, atau gebukan drumnya yang seolah enggak tentu arah. Melambangkan kebebasan dan kemerdekaan….”
 
Itulah pertama kalinya saya berkenalan dengan musik rock dan turunannya. Saya tidak tahu seperti apa rinciannya. Saya lebih suka irama dan lantunannya, dan terlalu malas mencari-cari sejarah atau penjelasan genrenya.
 
Rupa-rupanya, ada teman sekelas saya yang juga suka musik begituan (wah, saya baru tahu!) Dia beri kompilasi post-rock dan dream pop, seperti Slowdive, And So I Watch You From Afar, God is Astronaut, hingga Young Marble Giants dan band cadas Rammstein, dengan Das Modell-nya yang menghentak. Dia juga kenalkan saya pada Radiohead (haduh, masa baru sekarang tahunya…), Sigur Ros, juga The Pains Being Pure of Heart. Sayang dia enggak suka Beatles. Padahal bila iya, ada peluanglah dia jadi pacar saya, hehehe…
 
Jadi, mohon maaf Norah Jones, Diana Krall, Nina Simone, dan para seniman bossanova. Sementara kalian saya simpan rapi di arsip laptop. Kini saatnya saya gandrung sebentar dengan aliran musik yang lain.
 
Maka, sambil terkagum-kagum oleh betapa banyaknya musik yang diciptakan, saya sering mahfum mengapa ada banyak orang yang doyan mendengarkannya dalam perjalanan. Alih-alih menggantikan percakapan sosial di angkutan umum, musik bagaikan teman sejati semua orang. Dengan mendengarkannya, manusia mungkin serasa bercakap dengan dirinya sendiri, juga berdialog dengan memori masa lalunya. Barangkali begitu ya.

Selasa, 21 Oktober 2014

Menuju Stasiun Bogor

Tadi sore saya ketiduran di kereta menuju Depok, hingga tanpa sadar stasiun tujuan telah lewat. Padahal rasa-rasanya baru 30 menit yang lalu saya berangkat dari Duri, kemudian terlelap—untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan pulang pergi dengan commuter—lantas tersentak terjaga saat kereta melaju entah di mana. Hari belum sepenuhnya gelap. Masih bisa saya lihat lanskap di luar yang menampilkan pepohonan dan rumah-rumah sederhana semi permanen. Semuanya bagai berkejaran dengan deretan tiang lampu dan pagar-pagar dari kayu. Tanpa perlu sepenuhnya tersadar, segera saya tahu bahwa itu bukan daerah yang biasanya saya lalui bilamana hendak kuliah malam di Depok.

Benarlah. Stasiun yang saya tuju sudah kelewat. Commuter kini hampir sampai di Bogor, sekitar 5 perhentian lebih dari tempat seharusnya saya turun. Andaikan saya berada di daerah yang sungguh asing, bermil-mil jauhnya dari tanah air, tentulah, saya akan cemas khawatir. Alih-alih waspada, saya tetap duduk di kursi, memeluk tas ransel, menundukkan kepala, dan mencoba kembali tidur. Saya tak memilih berhenti di stasiun sebelum Bogor. Saya berpikir mungkin sebaiknya saya perlu jalan-jalan sebentar, meskipun bepergian sendirian.
 
Sudah beberapa hari ini saya berusaha untuk menulis puisi lagi. Satu atau dua sajak sempat terselesaikan, meskipun saya tahu itu bukanlah karya yang bisa dibanggakan. Mereka cuma tulisan biasa-biasa saja, mengenai ikan asin di sebuah pasar, dikontraskan bersama amis nasib tukang becak dan pedagang di sana. Kelihatannya sajak sosial—saya mulai mencari kecenderungan ke arah sana—namun berikutnya saya simpulkan, puisi itu tetap bernada sentimental yang menjengkelkan. Barangkali karena cukup intens mencari sajak itulah, pikiran ini tiba-tiba terlintas tatkala saya sayup tertidur di kereta untuk yang kedua kalinya sore tadi.
 
Kiranya hanya dalam puisi saja, tercipta metafora betapa seseorang sedemikian ingin berkelana jauh. Turut di perjalanan panjang dengan kereta ataupun pelayaran yang entah, serta begitu berhasrat untuk tidak berhenti di titik terakhirnya. Kiranya hanya dalam puisi saja, orang-orang tergambarkan berniat kuat bertualang. Menjelajah hutan dan rimba, memacu kuda di sabana luas, atau menyelam di kedalaman samudera bersama ikan-ikan dari prasejarah. Kiranya hanya dalam puisi saja, kebebasan kehendak itu dapat dirayakan. Dengan amat liar seolah segalanya sangat mungkin terwujud. Sangat mungkin dialami.
 
Akan tetapi, sore tadi, lantaran tidak bisa lelap lagi, saya pun memandangi wajah-wajah penumpang yang letih. Berdiri di kereta, memeluk barang bawaan, dan tangannya berpegangan pada gantungan, seakan-akan itu tumpuan satu-satunya di commuter yang terus melaju ini. Mereka tidak mau bepergian terus menerus. Saya tahu. Mereka sudah payah dengan kerutinan kerja dan hidup. Saya tahu. Dan hal yang mereka inginkan adalah istirahat, sebelum menghadapi kenyataan yang serupa setiap harinya.

Artinya, idiom dalam sajak itu—yang juga sering saya tuangkan pada puisi saya—tidak nyata menjelma pada dunia sekitar saya. Haruskah ini menjadi masalah? Mestikah kita risau perihal ketidaksamaan dengan impian kebebasan dalam sajak dengan kondisi realita ini? Barangkali bagi Anda tidak perlu. Namun, adalah hal penting bagi saya.

Selama beberapa kurun belakangan, saya begitu ingin mempertautkan kesenian—utamanya persajakan saya pribadi—dengan kenyataan sehari-hari. Bolehlah kita membuka lapis metafora baru, namun saya pikir seyogyanya tema yang dihadirkan tidak terlepas dari kesadaran dan pengalaman kita sebagai manusia. Puisi tentang ikan asin tadi, yang sampai sekarang masih coba saya lihat kemungkinannya, adalah satu bagian dari penjelajahan yang hendak saya raih. Lebih dari itu, kata-kata Ahmad Tohari, yang dikutipkan oleh satu kawan di jejaring sosial facebook, masih sangat mengena serta terngiang dalam benak saya: ‘sebagian besar rakyat Indonesia hidup miskin. Dan bila sastra tak mengungkapkannya, celakalah.’

Saya tidak mau menuliskan tentang perdebatan peran sastra di sini. Anda bisa mencarinya dari sumber-sumber yang ada.

Yang jelas, pikiran itu membuat saya terkesan selama sesore tadi, serta bahkan hingga malam ini, sewaktu saya menuliskan catatan berikut. Saya mulai mencoba melihat kenyataan yang mengharukan dari para penumpang commuter. Betapa mereka, yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, dengan bangga memperlihatkan tas merk mewah yang jelas-jelas cuma imitasi. Atau yang tak henti menatap layar telepon genggamnya, yang saya yakin hanya sekedar aktivitas mengisi waktu. Sempat saya intip, salah seorang di sebelah saya bahkan mengirim pesan sapaan yang remeh temeh—hal mana dilakukan pasti demi mengusir rasa jemu.

Ada juga sekelompok ibu membawa bayi dan dengan mudah mendapat tempat duduk di kereta yang penuh. Dugaan nakal saya muncul. Jangan-jangan bayi-bayi itu tak ubahnya para joki three in one yang ditemui di sepanjang jalan Gatot Subroto dan jalan Sudirman Jakarta: bayi-bayi tak dikenal yang bisa dibawa oleh siapa saja agar mereka mendapat tempat duduk dalam commuter. Lalu di stasiun tertentu, seseorang lainnya telah menunggu untuk mengambil bayi-bayi tersebut—sekaligus bayarannya—dari tangan para penumpang.

Bila saya ingin menjawil pipi lucu balita tadi, pikiran lain seketika hinggap. Bahwa saya tidak boleh larut pada keinginan itu, hal mana dapat melemahkan kewaspadaan saya pada lingkungan sekitar. Jangan-jangan para ibu dan bayi itu adalah sindikat copet yang beraksi ketika seorang penumpang lengah lantaran terpikat pipi gembul balita tersebut…

Kalau dirasa-rasa, menyenangkan juga bila sedikit memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk memperhatikan sekeliling. Saya bisa melihat iklan lotion murahan yang tergantung dari langit-langit kereta. Atau sekelompok banci yang duduk sekenanya sembari menggosip pengalaman ngamen dan digoda orang. Atau kondisi kereta tanpa musik latar, kecuali decit rel dan pemberitahuan yang ngadat lagi tak jelas.

Ini sungguh berkah. Meski kelewatan stasiun tujuan, namun saya sama sekali tak masalah. Pengalaman itu, bisalah menjadi sajak. Puisi yang tidak hanya bermain pada imajinasi, melainkan pula mempertautkan dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.

Teberkatilah para penumpang kereta itu. Teberkatilah sore yang lengang sepanjang jalan menuju Stasiun Bogor itu.

Senin, 20 Oktober 2014

Akuarium 'Anti-Mainstream'

Sudah hampir sebulan Elka (bukan nama sebenarnya) terpaksa menjalani malam minggu yang anti-mainstream. Pasalnya, dia selalu saya ajak bepergian wawancara demi sebuah buku yang tengah kami susun. Bilamana tidak sedang liputan, dia pastilah akan nongkrong sampai larut di toko 24 jam dekat kosan, menjelajahi dunia maya dengan fasilitas internet gratis, sampai kemudian saya samperin sambil membawa camilan malam hari. Tampaknya, Elka tak acuh dengan kondisi itu, termasuk ketika keluarga besarnya menanyakan hal klasik bagi para bujangan, ‘kapan nikah?’ tatkala tiba perayaan hari besar.

Karena Elka seorang yang serius dan suka sekali membahas isu-isu strategis yang kontekstual dengan kekinian (hehehe…), saya sampai menduga-duga, barangkali dalam reuni keluarga besar itu Elka sempat membuat focus group discussion tentang urgensi pernikahan bagi generasi muda era sekarang. Pasalnya, setiap kali saya pun menanyakan hal serupa—ampunilah ketidakempatian saya—Elka selalu punya jawaban yang tepat. Mulai dari gugatan atas makna rumah-tangga (jujur, kadang dia pakai teori gender mutakhir guna mendukung opininya), sampai alasan soal biaya nikahan yang bisa jor-joran semata demi gengsi. Ia tambahkan, keluarga pun sudah mahfum soal bujangnya Elka, sehingga konon tak lagi bertanya-tanya soal itu lagi.

Beberapa kali saya sempat posting status di twitter, tentang aktivitas malam minggu anti-mainstream yang saya lakukan tadi. Misalnya: ‘malam minggu anti-mainstream: kirim naskah lomba ke ….’ atau ‘malam minggu anti-mainstream: nonton pembacaan puisi di bawah sinar bulan purnama’ atau…. ‘malam minggu anti-mainstream: lihat latihan silat Perguruan Gombel di Rawadenok, Depok’. Semuanya seketika menuai pesan-pesan SMS dari Elka, yang mempertanyakan alasan-alasan saya mengunggah hal demikian di jejaring sosial.

Teman saya ini kelihatannya sedikit terganggu. Ini jelas lain dari sikap Elka biasanya yang seolah tak peduli dengan hal-hal beginian. Dalam pesannya, dia bahkan ungkapkan:

“Kita harus mengubah pandangan, bahwa malam minggu adalah malam untuk pacaran. Ingat ya, ini sudah bukan zamannya penyanyi Jamal Mirdad!”

(Saat membaca pesan itu, entah bagaimana, saya seketika sayup mendengar lantunan dangdut penyanyi favorit si ibu kos tersebut….)

Saya pun mencoba menenangkan, agar kiranya Elka tidak bersikap begitu ekstrim demikian. Lagipula, apalah salahnya bila mengungkap status seperti tadi, yang jelas tujuannya untuk lucu-lucuan. Namun, ups, jawaban saya malah menimbulkan debat yang lebih mendebarkan.

“Dari dulu, anti-mainstream bukanlah untuk lucu-lucuan. Coba lihat tahun 1950an, flower generation di Amerika. Itu anti-mainstream demi gerakan kesadaran akan nilai universal yang terbukti berpengaruh sebagai sekarang. Atau perjuangan mahasiswa di Perancis tahun 1960an, bermula dari aliran film yang juga anti-mainstream. Terminologi itu serius, Bung. Bermakna sejarah yang sahih…”

“Oke, mungkin aku keliru dengan penggunaan istilah itu. Tapi, Elka, sikapmu tidakkah terlalu serius? Apakah itu betul koreksi atas terminologi, ataukah tidak terkait dengan persoalan pribadi?”

Hanya lima buah tanda “?” yang saya terima sebagai balasan. Tanpa ada kalimat lain. Atau setidak-tidaknya, emoticon yang menggambarkan perasaannya.

Seketika malam itu saya merasa telah jadi satu anak muda alay yang terlanjur buat status enggak penting: hal yang beberapa kali sempat kami kritik sebagai sikap tak acuh yang mencemaskan sebagai akibat dari perkembangan teknologi kini. Ya, perkembangan teknologi dan media sosial yang justru membikin anak remaja asosial dengan lingkungan senyatanya.

Lebih dari itu, Elka bahkan seolah mencap saya sebagai orang yang ahistoris. Abai pada sejarah dan bisa dengan mudah larut pada arus tren yang berkembang, seakan tak punya kesadaran refleksi dari peristiwa-peristiwa di masa silam. Maksud dari peristiwa masa silam ini, bukan hanya soal pengertian anti-mainstream saja, melainkan betapa Elka pun sudah beberapa kali menanggapi status saya yang notabene bernada sama itu.

Akan tetapi, seberapa pentingkah kita harus menanggapi fenomena dan istilah anti-mainstream? Saya tahu, flower generation di Amerika telah memunculkan pengaruh signifikan, bukan hanya dari perspektif memandang masalah di masa itu, melainkan pula meluas menjadi arah hidup di benak anak muda di berbagai negara, yang terimplikasi melalui musik rock, kebiasaan bersuka ria dalam kebebasan, tumbuhnya hippies, dan lainnya. Ide-ide kemerdekaan pun meluncur menjadi gerakan demi gerakan, yang semuanya dimotori oleh anak-anak muda era 1960 dan 1970an.

Yang setidaknya saya sadari, anti-mainstream kala itu bukanlah semata-mata laku personal, namun sekaligus sebentuk kesadaran sosial. Pengertiannya jelas berbeda dengan gaung anti-mainstream yang dicuitkan di jejaring sosial oleh generasi kini. Akibatnya yang mengemuka sekarang: anti-mainstream lebih ke dalam lingkup fashion, gaya hidup. Bahkan ada yang menambahkan, bahwa anti-mainstream adalah menjadi ‘sekadar beda’ dengan lingkungan sekitarnya, persis bagai ‘mengakuariumkan’ hidupnya di tengah komunitas sosial, di mana sisi-sisi lain dari pribadi manusia sengaja ditonjolkan hanya demi mendapat perhatian orang banyak.

Saya pun tahu, setiap manusia itu unik. Mereka punya cara pandang dan cara hidup yang berlainan, serta merupakan hal tak bijak bila kita berkehendak menyamakannya. Tetapi, seberapa perlunya kita menghadirkan seluruh hal unik itu di tengah masyarakat, tempat hidup kita? Dalam konteks lain, hal unik ini dapat hadir pada satu kelompok, mewujud menjadi identitas bersama dan jika tak hati-hati disikapi, mampu mengarah pada chauvinisme yang fundamentalis.

Ada banyak contohnya. Seperti kekerasan atas nama agama, suku bangsa, maupun kesamaan ideologi. Semua itu barangkali berangkat dari pemikiran normatif, dan sayangnya, lantaran tanpa didasari paradigma keterbukaan, malahan menimbulkan fanatisme sempit yang justru ‘anti-mainstream’ dengan nilai keharmonian yang diperjuangkan manusia selama berabad-abad.

Artinya, seteguh apapun anti-mainstream yang dianut, atau sekuat apapun keyakinan yang dipercayai, mereka tetap membutuhkan negoisasi terus menerus guna menyesuaikannya dengan lingkungan yang lebih luas, dalam hal ini, masyarakat. Negoisasinya bukan hanya untuk kompromi atas sejauh mana kita bisa menerapkan sikap-sikap tersebut, tetapi sekaligus demi menjaga dinamika sosial yang terkendali.

Oke. Mungkin tulisan saya jadi terasa terlalu serius dan melebar kemana-mana. Mulanya hanya soal cuitan di twitter, hingga instrospeksi yang jauh mengalir begini.

Bagaimanapun, terpujilah Elka, yang karena pesan singkatnya (dan lima tanda ‘?’ yang mengundang segudang pertanyaan tadi), mampu mendorong saya berpikir seperti ini. Mungkinkah dia telah berhasil mengubah paradigma bahwa SMS yang serba pendek ternyata sanggup mendorong refleksi renung-ulang yang panjang?

Aduh, saya pasti sudah berlebihan sekarang, sengaja mencari-cari ciri anti-mainstream lainnya sebagai bahasan, hehehe…

Minggu, 07 September 2014

Cemas Lepas Landas

Dengan pesawat penerbangan perintis, kita bisa ”melompat” dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara. Penuh tantangan, tetapi juga penuh keindahan, dan romantika rakyat yang ingin terbang.

”Terrain… terrain… terrain…!” bunyi itu terdengar belasan kali saat pesawat yang kami tumpangi lepas landas dari Bandar Udara Banda Neira, Maluku. Di bawah kami terbentang lautan Kepulauan Banda, sementara di depan berdiri kokoh perbukitan. Sesekali pesawat terasa anjlok.

Tangan penumpang berpegangan di samping tempat duduk. Suasana menegang. Pesawat hening sehingga teriakan dari alat enhanced ground proximity warning system (EGPWS) itu terasa makin melengking.

Bunyi dari alat EGPWS itu merupakan peringatan bahwa pesawat terlalu dekat dengan halangan. Jika dalam 30 detik pilot gagal bermanuver, pesawat mengalami kecelakaan. Kali itu, nyawa kami benar-benar bergantung pada kecakapan Kapten Boby A Subagio sebagai pilot.

Selang beberapa detik kemudian, Kapten Boby bermanuver dengan membelokkan pesawat Kalibrasi Model B200GT itu ke kiri, meninggalkan Banda menuju Bandara KS Tubun di Langgur, Tual. Begitu pesawat melesat meninggalkan Banda, Boby berkata, ”Sudah aman.”

Para penumpang antara lain Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dan Direktur Bandara Kementerian Perhubungan Bambang Tjahjono tampak lega. Ruang kabin pun menghangat dengan beragam obrolan.

Bandara terekstrem

Bandara Banda Neira di Pulau Neira itu diapit Pulau Banda Besar dan Pulau Gunung Api. Panjang landasan hanya 900 meter, yang dihadang laut di setiap ujung. Itu menyulitkan. Hal lain adalah turbulensi akibat angin yang menabrak perbukitan dan kondisi pesawat penuh muatan.

Boby sudah menghitung dengan detail dan menyimpulkan, sangat sulit lepas landas di Banda Neira. Dia telah mempersiapkan diri dengan beristirahat sampai 12 jam sebelum penerbangan. Bahkan, kepada Bambang Tjahjono, Boby mengatakan, ”Kalau gagal take-off, ya kita nyebur laut. Ini kemungkinan terburuk.”

Bagi Boby, yang memiliki sekitar 9.000 jam terbang itu, Bandara Banda Neira adalah bandara terekstrem yang pernah dia jelajahi. Dia merasa lolos dari lubang jarum begitu sukses lepas landas dari Banda Neira.

Pilot Aviastar Kapten Amrullah Hasyim mengakui bahwa Bandara Banda Neira adalah salah satu bandara terekstrem yang pernah ia jelajahi. Pilot dengan sekitar 11.200 jam terbang itu menyarankan agar para penerbang pemula sebaiknya menghindari bandara ini.

Bandara Banda Neira memang unik. Keunikannya tersebut lebih karena kondisinya yang rawan bahaya. Bahkan, pesawat dilarang mendarat di atas pukul 09.00 karena cuaca dan anginnya buruk. Wajar jika ada yang memasukkan Bandara Banda Neira sebagai salah satu bandara dengan kondisi terekstrem di dunia sejajar dengan Bandara Tenzing-Hillary di Nepal dan Bandara Courchevel di Perancis.

Pada saat kami hendak lepas landas, Kepala Bandara Banda Neira Baltasar Latupeirissa memastikan kondisi angin dan cuaca tidak membahayakan penerbangan. Dia terlebih dulu berkonsultasi dengan kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika setempat.

Timbang badan dulu

Penerbangan pesawat selalu memosisikan penumpang dalam bahaya. Kedisiplinan menjadi tonggak penangkal bahaya tersebut. Di Papua, Aviastar menimbang satu per satu berat badan penumpang dan barang bawaannya. ”Meskipun kursi yang tersedia untuk 18 orang, jika berat badan mereka melebihi kapasitas, terpaksa harus ada yang mengalah,” kata Commercial Manager Aviastar Mandiri Petrus Budi Prasetyo.

Pilot Kapten Amrullah Hasyim kerap harus bertindak tegas terhadap penumpang yang memaksa membawa barang berlebih. Perlu pendekatan khusus untuk memberi pengertian kepada penumpang. ”Ada juga penumpang yang rela memasukkan anaknya ke dalam kardus, sementara dia menggendong babi di kursi penumpang. Saking sayangnya mereka dengan babi,” kata Amrullah.

Cerita serupa dialami Flight Operation Officer Aviastar Hendra Husain. Ada penumpang yang menggendong babinya di dalam kabin, sementara muatan sudah melebihi kapasitas. Kru pesawat berupaya membujuk dia agar bersedia meninggalkan babi itu. Namun, dia menolak. ”Begini saja, saya bayar satu tiket lagi asal dikasih duduk bersama babi saya,” kata Hendra menirukan penumpang itu.

Kadang kala, penumpang rute perintis di pedalaman itu bermuslihat untuk mendapat tiket gratis, mulai dari mengaku sebagai anggota ”ABRI” sampai mengaku ada anggota keluarganya meninggal. Namun, awak pesawat rata-rata hafal dengan cara-cara itu.

Menghadapi situasi seperti ini, pilot ataupun kru mengajak dialog. Meski akhirnya penerbangan telat 15 menit sampai satu jam, biasanya penumpang mengalah dan menuruti aturan pilot.

Amrullah pernah nyaris jantungan di Bandara Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Saat menyalakan mesin pesawat, tiba-tiba datang seorang warga mendekati propeler. ”Untung ada kru yang kasih tahu dan saya segera mematikan mesin. Rupanya dia orang gila,” ujarnya.

Bandara-bandara kecil di pedalaman Papua mudah diterobos warga karena pagarnya dirusak. Warga biasa berdiri atau duduk-duduk di tepi landasan saat pesawat mendarat atau lepas landas. Ini tantangan tersendiri bagi pilot rute perintis.

Keterhubungan di timur

Selama tiga hari terbang, kami menyinggahi sembilan bandara kecil di wilayah timur Indonesia. Kami berangkat dari Ambon ke Banda Neira, Langgur, Saumlaki, Alor, Larantuka, Maumere, Ende, Waingapu, dan Tambolaka.

Di beberapa bandara, terlihat mencolok perbaikan fasilitas bandara. Di Bandara KS Tubun, Langgur, Kota Tual, warga tengah menikmati sensasi terbang. Mereka juga beramai-ramai mengantar sanak saudara yang akan bepergian. Maklum, bandara ini masih baru, belum genap empat bulan beroperasi.

Bahkan di Bandara Mathilda Batlayeri, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, menara air traffic control baru dibangun. Untuk sementara, pengawasan dilakukan dari lantai atas terminal bandara. Rute-rute penerbangan juga terus bertambah. Geliat pembangunan bandara itu memperterang cahaya keterhubungan wilayah timur Indonesia.

Namun, di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, kami mendapat cerita pahit. Lampu bandara dirusak warga sehingga mengganggu penerbangan dan pendaratan pada malam hari.

Pelaksana Tugas Kepala Bandara Umbu Mehang Kunda Supriyono mengatakan, para vandal itu adalah pencari rumput di sekitar bandara yang sakit hati karena ditegur petugas. Padahal, petugas bandara menegur lantaran keselamatan pencari rumput terancam ketika ada pesawat mendarat atau lepas landas.

Kisah-kisah di atas itu mengawali keterhubungan Nusantara lewat pesawat perintis.
 
Oleh:
(Sumber: Kompas, 7 September 2014)

Senin, 11 Agustus 2014

Karena Hujan Air

Kedengarannya lucu sekali. Kita selama ini ternyata hidup dikelilingi air. Dan itu baru saya sadari ketika hujan lebat begini.

Air mengepung hidup kita. Itu danau air. Ini kopi air. Ini juga hujan air. Kita tersedu bersama air mata. Pohon-pohon tidur dengan air dalam tubuhnya. Menyesap air dari kedalaman bumi.

Air itu menguap, lalu kembali jadi air. Ia mengalir ke muara, lalu datang lagi sebagai embun.

Satu kisah yang saya kenang dari cerita pewayangan: air adalah asal mula hidup. Konon ada manusia bersahabat dengan ikan besar. Tapi saya lupa, entah apa yang dia lakukan, sehingga namanya tercatat dalam kitab-kitab. Dia berteman dengan ikan itu dan menyusuri samudera untuk mencari dunia baru? Dia menyelam bersama ikan itu untuk menemukan mutiara rahasia penciptaan dunia?

Hal yang membuat saya bertanya-tanya, dari manakah asal manusia dan ikan itu? Tercipta begitu saja? Plop! Generatio spontania?

Atau tiba ke bumi dengan mengendarai kereta kencana, yang menurut imajinasi orang sekarang, sebenarnya adalah pesawat luar angkasa dari galaksi nun di luar bimasakti?

Atau mereka ada, karena manusia kehabisan imajinasi lagi dalam menduga-duga muasal dunia, dan aneka isinya?

Orangtua saya, sejak kecil, dikenalkan dengan air. Karena mereka tinggal di pesisir pantai. Ya, keduanya adalah anak nelayan, yang kebetulan punya lahan sawah warisan keluarga turun-temurun. Mereka bisa berenang. Bahkan konon, kakek saya jago sekali berenang, sampai pernah menyelamatkan diri lantaran perahunya terdampar di pantai dekat Kerobokan, Kuta. Kapal nelayannya pecah, dan dia harus berenang melawan amuk laut agar sampai ke daratan.

Ibu dari kakek saya adalah seorang penjual garam tradisional. Dulu mereka punya ladang garam di Tabanan. Tidak seberapa besar, tapi cukup menghasilkan untuk bisa dijual.

Kenangan-kenangan mereka—ayah-ibu saya—amat berdekatan dengan lautan. Hanya ibu yang dulu paling suka bercerita perihal kondisi desanya di masa lalu. Termasuk bagaimana ia berenang menyeberang sungai sambil membawa alat-alat bertani dan sekaligus menggendong adiknya yang masih kecil.

Sedangkan kenangan saya tentang air adalah ketika rumah kami di Denpasar yang saban tahun mengalami banjir. Air depan rumah yang meluap sampai setinggi pinggang. Ayah-ibu pun terpaksa membuat pintu besi yang bisa dipasang ulang, semata-mata agar air tidak menerobos masuk. Maklumlah, rumah kami lebih rendah dibandingkan jalan di depan. Dan karenanya air bisa saja mengalir masuk ke halaman, dan naik sampai ke kamar-kamar.

Bila hujan deras tiba, kami sekeluarga bersiap-siap menyelamatkan barang-barang yang ada. Kakak laki-laki saya menaikkan motor ke teras. Ibu memindahkan mesin jahit dan bahan pakaiannya. Dan ayah memasangkan pintu besi itu di gerbang depan. Air di jalan memang sedikit masuk. Tapi tetap saja, rumah kami tampak seperti rumah kodok (mungkin), yang mengapung di tengah genangan air. Lucu sekali.

Tapi, itu sama sekali bukan kolam tempat saya dan kakak bisa belajar berenang ya. Bahkan, sampai sekarang pun saya tidak bisa berenang. Lucu sekali.

Kadang jika teringat peristiwa itu, kakak laki-laki saya akan berkelakar mengutip primbon yang dulu suka kami baca saat kanak-kanak. Itu primbon yang dimuat pada kalender tradisi Bali, di mana seseorang bisa meramalkan masa depan dengan mencocokkan hari lahir berdasar penanggalan Bali. Saya, konon, akan kena celaka karena air. Saya dan kakak ketawa saja membacanya. Barangkali, saya bakal tertimpa bahaya bila rumah keluarga kami itu diguyur hujan lebat. Sangat lebat dan sampai bikin banjir ke atap. Saya pun tenggelam, karena tak bisa berenang. Yah, itu alasan yang paling mungkin terjadi. Saya kira.

Lalu ada lagi cerita tentang air yang saya ingat. Suatu kali, saya bersama ayah dan kakak pergi ke sungai dekat kampung halaman di Tabanan. Itu adalah desa tempat lahir ibu saya. Usia saya kala itu masih kecil, sekitar sepuluh tahun, agaknya.

Lazimnya anak-anak kota yang pulang ke desa, kami pun mengunjungi ladang kepunyaan kakek-nenek, dan menutup liburan dengan berendam di sungai. Ya, saya cuma bisa berendam, bukan berenang. Sementara kakak saya, yang usianya empat tahun lebih tua, sudah pandai aneka gaya berenang. Hari itu, dia mengerjai saya habis-habisan dengan memaperkan kepiawiannya menyelam timbul tenggelam di permukaan air.

Saya memang tidak menggubrisnya, dan berjalan asyik sendiri di pinggir sungai. Tapi tanpa saya sadari, ternyata saya menjejak dasar sungai yang mudah amblas. Saya pun tenggelam. Rasanya tenggelam dalam sekali, sebab air berada jauh di atas kepala.

Air di sekeliling saya berwarna biru dan sedikit hijau. Entah darimana saya ingat kata-kata ayah, supaya jangan main di sungai dengan warna begitu. Artinya, itu daerah dalam, yang dasarnya tidak bisa diduga. Tapi saya terlanjur tenggelam. Hanya kaki saya yang secara spontan mencari pijakan. Kira-kira itu berlangsung selama sekian menit, hingga akhirnya kaki saya menemukan satu karang, sedikit tempat keras yang membantu saya bangkit ke permukaan.

Saya terengah-engah. Saya lihat ayah yang tertawa-tawa menyaksikan apa yang saya lakukan tadi. Hampir menangis, saya bilang bahwa tadi saya tenggelam.

Ayah senyum-senyum saja. Jujur, saat itu saya jengkel karena mengira dia sama sekali tak mempercayai pengalaman tadi. Tapi kalau dipikir-pikir, tidak mungkin dia begitu. Ayah selalu memperhatikan kami bermain, dan selalu membantu kalau kami menghadapi hal-hal sulit, dengan caranya sendiri.

Saya sekarang sedang berada di satu tempat, menunggu hujan reda. Tapi, setelah hampir tiga jam, gerimis tak berhenti juga. Apakah di tempat Anda sekarang sedang hujan? Sekarang, di sana?
 

Jumat, 08 Agustus 2014

Sehat Sambil Berhemat

Makanan, bagi mahasiswa rantauan, adalah satu hal yang amat sangat dipertimbangkan. Selain karena soal selera, kapasitas saku dan dompet kerap jadi perhitungan dalam memilih menu. Seringnya—dan ini mungkin kedengaran irasional namun nyata terjadi—seorang anak kos rela memperpanjang waktu puasa karena belum terima kiriman dana. Yah, ini terjadi di mana saja, memang. Bahkan mungkin di kampus-kampus top sekelas Harvard atau Cambridge, atau lain-lainnya. Cuma saya kurang tahu, apakah di sana para pelajar boleh bon di ibu kantin atau warung makan langganan? Hehehe.

Kadangkala ada saja mahasiswa yang tetap ingin mempertahankan gaya hidup sehat meskipun kantong duitnya pas-pasan. Saya sendiri, jujur saja, jarang sekali untuk bisa makan sehat. Soalnya, saya harus keluar jumlah lebih kalau mau makan buah. Begitu juga untuk sayuran dan susu. Wah, itu semua sudah seperti menu mewah saja.

Karena saking inginnya hidup sehat—namun uang bekalnya tak terlalu memadai—seorang kawan kosan memilih jadi vegetarian. Alasannya: bisa ngirit karena tak perlu makan lauk. Sebut saja namanya Putri. Dan sudah hampir setahun ia menekuni ‘aliran pangan’ ini.

Suatu kali, ketika saya sedang duduk di ruang tamu dan berselancar di dunia maya, Putri menghampiri lalu bertanya.

“Kak, udah makan malam?”

“Ya, sudah. Kamu?”

“Belum sih. Ini mau bikin.”

“Wow, masak sendiri ya? Bagus juga tuh.”

Putri senyum-senyum. Dia pun menuju lemari es yang terletak tak jauh dari kursi ruang tamu itu.

“Kak, boleh tanya ga? Mie instan yang sehat itu digoreng atau direbus ya?”

Saya mengalihkan pandang dari layar komputer. Lalu ketawa geli.

“Kalau kamu makannya keseringan atau sebaskom sekalian, ya enggak sehatlah…”

Dia pun tertawa.

“Kakak enggak mau coba jadi vegetarian? Itu sehat lho…”

Putri, mahasiswi jurusan Komunikasi itu sudah berkali-kali membujuk saya untuk jadi vegetarian. Katanya sih, supaya ada teman senasib. Tapi, enggak lah ya. Saya ini sudah kurus. Kalau porsi makan dikurangi dan tak lengkap, habislah sudah isi badan ini.

“Ya, kapan-kapan deh,” jawab saya sekenanya sambil mentengin satu situs citizen journalism yang menayangkan artikel menarik.

“Tadi aku ke supermarket dan beli satu menu vegetarian baru. Kakak mau coba? Kali aja suka dan minat ikutan…”

“Oya?” saya menyahut. “Apa itu?”

“Mie goreng instan yang vegetarian. Ada rasa sate, juga rasa rendang.”

Ketawa saya mleduk lagi. Oke. Jadi sekarang ada mi instan khusus kaum vegetarian, tapi rasa sate?

“Itu menu sehatmu sekarang?”

Putri mengangguk tersenyum. Saya tak habis ketawa. Ini yang aneh siapa ya? Produsen, yang beli produk mie-nya, atau siapa?

Tapi setidak-tidaknya, saya cukup beruntung untuk bisa lanjut kuliah sambil kerja paruh waktu. Selama seminggu, saya bisa mengunjungi beberapa lokasi kerja, satunya adalah lembaga kebudayaan, lainnya kantor kedia jurnalisme warga, sebagai event organizer acara peluncuran buku, juga aktivitas sebagai kontributor majalah yang saya sukai. Kerap juga saya datang ke kegiatan rapat mereka, di mana makan siang ditanggung juga. Kadang di sana ada camilan, atau sekadar kopi gratis.

Pernah satu saat saya menemani atasan untuk rapat di sebuah tempat. Selain mengurusi administrasi kecil-kecilan, saya juga diminta memesan makanan. Semuanya saya lakukan sebisanya, tentu dengan arahan dari si bos. Hingga kemudian tiba waktu menjelang rapat, dia datang bersama satu asisten lain yang membawa sekantung jeruk mandarin.

“Jeruknya ditata yang baik. Tapi jangan dikeluarin semua. Supaya enggak cepat habis.”

“Kenapa begitu, Pak?” saya bertanya. Untuk apa beli jeruk kalau tidak ditujukan untuk peserta rapat?

“Soalnya harganya mahal. Satu jeruk ternyata harganya hampir satu dollar. Sembilan ribu!”

Saya terperangah juga. Tapi saya lirik kantung plastik yang membungkus jeruk-jeruk itu, dan seketika saya mahfum. Lha, dibelinya di toko elite begitu sih. Hanya saja, saya geli, bisa juga bos saya menyesal mengeluarkan uang untuk jeruk-jeruk itu. Kalau yang ini mah namanya: mau sehat dan berhemat, tapi isi dompet malahan tak selamat, hehehe…

Tidak jarang saya bersama satu teman lain sengaja menelisik jadwal-jadwal acara yang mungkin menyediakan makanan secara gratisan. Kegiatan diskusi, pertunjukan seni atau agenda pemutaran film di beberapa lembaga budaya adalah sasaran kami. Apalagi kalau ada festival yang mengagendakan gala dinner atau acara buka puasa bersama, wah, teman saya ini selalu serba tahu. Pernah dia sampai berkata, “Adalah tidak sopan bagi mahasiswa seperti kita, kaum intelektual muda, untuk tidak datang menghadiri undangan-undangan seperti itu….” Tentu saja, kalimat itu diungkapnya sembari bercanda.

Bila saya ingin ke satu agenda budaya, saya pun mengiming-iminginya dengan kemungkinan sajian makan malam yang didapat. Pasalnya saya tidak mau datang sendirian ke sana, dan tentu butuh kawan yang menemani. Syukur-syukurnya dia mau, meski tak jarang saya hanya bisa sendiri. Tapi, tidak semua kedatangan ke acara itu berbuah manis. Sebab saat kami tiba, ternyata ada sekian anak muda yang juga ikut mengantri ambil bagian….

Ya, begitulah mahasiswa. Deritanya bersisian dengan hal lucu yang menimpa hidup sehari-harinya….