Sabtu, 31 Desember 2016

Batasan Dua Dunia

Tulisan berikut adalah sedikit pembukaan dari naskah novel yang sedang dituntaskan.

Sebelum orang-orang itu datang, satu per satu atau berdua, beberapa jumlahnya lalu bertambah jadi kerumunan, kukira diriku sedang terbaring di atas selapis permukaan danau es yang baru saja retak. Serpihannya melekat di kulitku, di lengan baju pemuda sebelahku, di kain penutup wajah seorang wanita yang kini terlepas dan menampilkan sebagian parasnya, yang sama sekali tidak kukenali. Juga menerpa bulu mataku, membuat kelopaknya sedemikian berat digerakkan, sehingga seakan lama benar aku terselimut gelap, tanpa mengetahui di mana adanya aku sekarang. Cuma dinginnya sesuatu yang mengalas tubuhku amatlah menusuk, pun terasa keras kaku, dan perlu beberapa lama aku menyadari bahwa tangan kiriku bergeming menanggapi kehendak pikiranku.

Tak ada satu pun di antara kami yang beranjak. Aku tetap diam. Mungkin selama beberapa menit, atau berjam-jam, atau selama separuh usiaku yang sudah lewat. Tidak bisa kuingat lagi tiap kejadian secara rinci. Semua kesadaran akan kenangan itu seketika lindap; diriku kini mengapung di permukaan yang mudah goyah, terancam kedalaman air di bawahnya yang siap menenggelamkan diriku pada keheningannya yang abadi. Betapa rapuhnya hidup kami ini, tanpa daya menghadapi nasib buruk, dan walau bersama-sama seperti ini, kami tahu, bahwa pengalaman mati akhirnya datang menemui secara pribadi. Setelah itu, mungkin kami akan bertemu kembali sebagai ikan-ikan nun di bawah atau hanya makhluk kecil tak bermata yang mencoba menjangkau secercah cahaya, sampai datang orang-orang lain yang terjerembab jauh ke dasar sana. Maka kami akan membentuk suatu kota baru, kehidupan baru, dengan cerita-cerita baru yang tumbuh dari kenangan kami perihal dunia di atas sini, barangkali. Dunia pun dimulai, dengan sebuah keyakinan bahwa apa yang mempertemukan tiap manusia, kiranya itu jua yang memisahkan. Bukan maut, bukan waktu.

Tapi, lapisan es ini sudah retak. Celah menganga di sana-sini dan membuka pintu masuk yang menghubungkan dua alam itu, entah dalam jalinan yang seperti apa, aku tak tahu. Aku ingat pernah memancing ikan-ikan di danau kampung halaman, mendayung sampan sampai jauh dari tepian, ditemani suara-suara angin yang menghembus permukaan air, begitu lembut. Tidak ada siapapun ketika itu kecuali aku dan bayanganku, kenyataan pengalaman dan keteduhan pikiran, juga sentuhan benda terjangkau tangan dan kilasan pohonan nun di garis daratan. Aku yakinkan diri bahwa ketenangan itulah yang akan mewarnai dua alam ini jika lapisan retak es akhirnya memudar—menjadikan peristiwa perpindahan antara dua dunia sebagai pengalaman sureal yang tidak bisa ditemukan di belahan bumi manapun.

Kelopak mata wanita yang terlepas cadarnya itu bergetar sekejap. Sehelai kain masih menutupi belahan pipi kirinya, penuh dengan serpihan es putih, bagai salju, atau mungkin cuma segugusan debu. Sewaktu terpejam, dia seperti tengah larut dalam mimpi. Kalem benar air mukanya, tiada tampak kecemasan maupun kebencian apapun yang acap ikut terserap pada saat kita tidur dan memaksa kita terbangun tiba-tiba seraya berkeringat dingin. Aku pernah mengalami yang seperti itu, dan rasanya sungguh mengerikan. Mengapa bisa kenyataan pahit sampai menyusup dalam khayalan, hingga mengganggu kesempatan istirahat—satu dari sedikit peluang untuk menepis aneka hal buruk yang telah ditemui? Tapi wanita ini, dia seperti malaikat, dengan roman kelembutan yang membayang, walau kutahu dia pun menahan sakit di sekujur tubuhnya. Sebagaimana halnya diriku.

Dan dia membuka matanya, segaris tipis yang menatap lemah, pertanda masih adanya kehidupan. Lewat pandangannya, kurasakan dia tengah mengeluh, perlahan nian, dan andaikan kami tidak dalam keadaan diam seperti ini, di tengah ratusan manusia lain yang juga sama bergeming, hanya disertai desisan uap yang menghembus udara, aku tidak akan menyadari gerakan sederhana namun menyiratkan suara batinnya yang terpendam itu. Boleh jadi karena dia pun mengetahui kalau dirinya tidak sendirian, wanita itu kemudian beralih menatapku. Sayu dalam senyuman tipis. Ya, sungguh dia malaikat, bagaimana mungkin dia bisa menyiratkan sapaan hangat melalui gerakan bibirnya yang getir itu?

Lakunya itu mengingatkanku pada seorang di masa silam, dalam kesempatan singkat menyelinap dari kerumunan demi mencuri sebuah ciuman. Bagiku waktu seakan terhenti seketika, dan ingin kuulangi terus pengalaman saat menatap matanya yang terpejam menantikan kecupan. Namun, ternyata tidak bisa juga. Selalu ada hal-hal yang bergerak di luar kuasa kita.

Karenanya, ketika senyum getir dari wanita di sebelahku ini terbayang dalam pandangku, aku sedikit terperanjat juga—aku seolah mundur jauh ke masa lalu, tatkala ciuman itu lekat pada bibirku.

Aku balas tatap kebaikan wanita itu dengan pandangan yang meyakinkan bahwa kita akan baik-baik saja. Jika pun kami terjerembab ke kedalaman nun di bawah sana, sudah ada sebuah kota, kehidupan lain, yang tengah menanti. Aku tidak yakin itu surga atau nirwana. Aku hanya percaya, apapun rupa dunia itu, yang jelas kami akan hidup kembali.

Tepat seusai aku lontarkan pikiran ini kepadanya, yang tentu dia pun memahaminya—dalam keadaan seperti ini kami satu sama lain bagai terhubung oleh suatu komunikasi transedental yang tidak terjelaskan—aku mendengar suara-suara yang mendekat. Kerumuman di luar sana, satu atau dua orang, merangsek masuk.

Lantas makin banyak saja gumaman. Beberapa terkejut dan menyebut nama tuhan. Lainnya berjibaku mengeluarkan kami. Desis mesin yang hangus makin jelas di telingaku. Bau anyir mengambang di sekitarku. Wanita di sebelahku, pemuda yang terbujur di dekatku, dan orang-orang lainnya dipindahkan oleh sekumpulan tangan yang tak kukenali punya siapa.

“Bantu yang di sini!” ada yang berteriak minta pertolongan.

“Api akan menyebar!” balas yang lainnya.

“Tandu, mana tandunya?!”

Juga banyak kalimat-kalimat lainnya; baru kali ini aku sadari bahwa kupingku berdenging, kesulitan menangkap bunyi-bunyian. Namun, mataku masih tetap menatap, sehingga dapat kusaksikan apa-apa saja yang mereka lakukan.

Seseorang menunduk meyakinkan kesadaranku baik-baik saja. Sedetik, atau dua detik, dia memegang kedua pipiku, kemudian sigap membopong tubuhku. Aku lihat dia memindahkanku ke sebuah tandu, disambut lebih banyak tangan yang membawa tubuhku keluar dari kereta cepat yang celaka. Tubuhku sekarang terpisah dari kesadaranku. Di sini, aku terbaring sendirian. Orang-orang yang datang segera menyelamatkan para korban. Barang-barang bawaan berceceran di lantai, termasuk berlembar-lembar kertas penuh bercak—sebuah naskah yang baru saja aku baca, sebelum sebuah ledakan bom bunuh diri menyerang kereta yang melaju ini.

Sungguhkah itu diriku? Mengapa rambut yang panjang itu tampak memutih?

Kuingat tadi, usai mencuci tangan dan membasuh muka di kamar kecil di stasiun, di sela pengumuman keberangkatan kereta serta lalu lalang para penumpang, aku menatap wajah yang terbayang pada cermin di hadapanku. Nanar tidak percaya, kulihat di sana diriku. Rambut hitam pekat, persis keadaanku saat dua puluh tahun yang lalu.

Cepat-cepat aku memalingkan muka. Cermin itu bagai selapis jendela bening menuju dinginnya pengalaman masa silam.

Sabtu, 26 November 2016

Memintas Laut

Percakapan saya dengan Darmini, wanita resepsionis hotel tempat menginap, sebenarnya berlangsung tanpa disengaja. Saya yang punya kebiasaan untuk duduk setiap pagi di ruang depan demi membaca koran-koran lokal agaknya diam-diam diperhatikannya dari meja jaga, hingga suatu kali dia menyapa dan menanyakan hal-hal apa saja yang akan saya lakukan selama di Nunukan, Kalimantan Utara ini.
 
Sudah pasti saya menjawab pertanyaan dari wanita separuh baya itu dengan kalimat sama bilamana saya bertemu orang-orang lain di daerah ini, “Oh, saya mendapat tugas untuk menulis tentang kawasan perbatasan. Tentang budayanya, kehidupan masyarakatnya.”
 
Saya tahu, Darmini sebenarnya sudah mengerti maksud kedatangan saya ke kota ini, namun kiranya pertanyaan itu dilontarkan guna lebih mendapatkan penguatan, yang saya yakin akan menimbulkan kesan-kesan tertentu dalam dirinya. Seorang kawan yang acap melakukan penelitian pernah menyampaikan, bahwa orang-orang mengajukan tanya yang normatif hanya demi melihat reaksi yang bersangkutan saja, apakah si orang asing itu sikapnya cukup ramah ataukah justru malah meremehkan. Sebab, sekarang baru saya akui, menjawab pertanyaan yang sama secara berulang-ulang—walau di lain kesempatan—akan membuat siapapun merasa jemu bosan, sehingga sering di luar dugaan akhirnya menyiratkan kesan, “Wah, saya sudah beberapa hari di sini, bolak-balik di depan Anda, kenapa hal yang sama masih ditanyakan?”
 
Hal itulah yang segera teringat dalam pikiran saya, sehingga sedapat mungkin selalu berhati-hati ketika bercakap dengan siapa saja. Kemampuan untuk menahan diri ternyata amatlah dibutuhkan.
 
Dan betul saja, setelah saya menjelaskan secara santun—mohon maaf sekali, sungguh kalimat ini tidak punya maksud untuk meninggikan diri sendiri—Darmini, yang kemudian saya panggil Mbak Min, berbalas bercerita mengenai pengalamannya saat pertama kali datang ke Nunukan. Agaknya Mbak Min memahami, bahwa kehadiran saya, si pengelana asing ini, mirip sekali dengan dirinya dulu: sama sekali tidak tahu apa-apa perihal Nunukan. Saya baru memahami bahwa Mbak Min berasal dari Jember, sangat dekat dengan Bali, dan rela meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja ratusan kilometer jaraknya, nun di perbatasan ini.
 
Wah, ini bahan tulisan yang menarik, demikian batin saya sewaktu Mbak Min mulai bercerita, tentu masih sepotong-sepotong saja, yang mesti dipancing dengan pertanyaan lanjutan dari saya. Maka, koran yang sedari tadi saya baca lantas saya turunkan, diletakkan rapi di pangkuan. Pandangan sepenuhnya saya arahkan kepadanya, yang masih duduk di bangku meja jaga di sebelah saya. Untuk kali pertama, saya merasakan bahwa Mbak Min ramah sekali raut mukanya—dan saya pun menyadari, sudah sejak dulu dia ingin membagikan cerita ini kepada orang lain, yang tecermin dari tatap matanya yang antusias ketika berbicara itu.
 
“Nunukan memang sedikit hiburan, Mbak,” begitu wanita tersebut berujar, mungkin dikiranya saya kesepian sebab sering seorang diri berjalan-jalan sekitar alun-alun. Saya pun cuma tertawa kecil, sama sekali tidak berkomentar apapun. Rasanya, itu tipe ujaran yang tidak membutuhkan penegasan, sebab siapapun tentu tahu bahwa orang-orang dari daerah lain, apalagi yang sudah tinggal di daerah pusat kota besar, akan lekas merasa bosan jika kemudian pindah ke kota kecil seperti ini. “Saya pun begitu dulu, Mbak,” lanjutnya.
 
“Satu-satunya hiburan yang saya dapat dulu adalah ketika kapal-kapal laut dari Surabaya datang. Kapal Tidar dan Dobonsolo.”
 
Saya masih tidak menanggapi, hanya bisa tersenyum dengan pandangan penuh tanya.
 
“Ya, kapal-kapal itu tidak ada lagi sekarang. Tidak sampai Nunukan.”
 
“Ohh?” apa daya, hanya itu yang bisa saya ungkapkan.
 
“Mbak pernah lihat supermarket, kan?”
 
Lagi-lagi saya menyunggingkan senyum.
 
“Kalau Kapal Tidar dan Dobonsolo singgah, mereka itu supermarket di atas laut…”
 
Saya tertawa, tanpa disengaja. Betapalah, bagaimana mungkin ada supermarket di atas laut? Dalam batin saya, itu kapal penumpang, bukan?
 
“Soalnya kapal-kapal itu sering bawa barang-barang kebutuhan sehari-hari, termasuk perlengkapan makan, Mbak. Ada piring, gelas, sendok…juga panci…”
 
“Oh, lalu kenapa itu bisa jadi hiburan?” saya bertanya juga.
 
Kini giliran Mbak Min yang tertawa. Wajahnya kelihatan sumringah sekali, dan dengan ceria melanjutkan, “Ya, zaman itu hubungan ke Jawa susah sekali, termasuk mendapatkan barang-barang dari sana. Saya kangen rumah, Mbak, jadi melihat atau membeli sendok yang dikirim dari Surabaya pun sudah cukup senang….”
 
Segera saja saya tercenung. Sama sekali tak menduga jawabannya seperti itu.
 
Mbak Min tiba di Nunukan tahun 2007, sekitar empat tahun setelah tragedi pemulangan ribuan tenaga kerja Indonesia dari Malaysia. Seorang saudara yang sudah lebih dulu merantau di Nunukan mengajaknya ke sana demi mengubah nasib. Ditinggalkannya rumah di kampung dan bersama suami, yang juga bekerja di penginapan ini, Mbak Min mencari penghidupan sebagai resepsionis hotel. Dia diberikan mess sebagai tempat tinggal, dan menurut pengakuannya, kepulangan terakhir ke Jember adalah sekitar tahun 2010. Lama benar, itu terjadi enam tahun lalu….
 
Menurut pengakuannya, ongkos pulang-pergi ke kampung mahal sekali. Apalagi dia sudah punya dua anak, sehingga mau tidak mau mesti ditanggung juga biaya transportasinya. Mari kita hitung berapa jumlah uang yang harus disiapkan untuk sebuah keluarga (asumsikan bahwa keluarga ini terdiri dari orangtua dan dua anak). Ongkos pesawat dari Nunukan ke Tarakan, katakanlah sekitar Rp 250.000. Ditambah biaya pesawat dari Tarakan menuju Surabaya, sebutlah berkisar Rp 1.500.000. Belum termasuk ongkos bus ke Jember, jatuhlah di angka Rp 200.000. Sisanya Rp 50.000 kita genapkan sebagai pengeluaran makan minum. Untuk satu orang, maka jumlahnya persis dua juta rupiah. Dikalikan empat? Ya, sudah delapan juta, hanya untuk pulang mudik lebaran. Itu belum termasuk oleh-oleh dan biaya kembali ke Nunukan, ya. Bisa-bisa angkanya mencapai 17-18 juta!
 
“Jadi, saya mending tidak pulang lagi, Mbak,” ujar Mbak Min kemudian.
 
Saya hanya bisa terdiam, terlebih dengan menyadari bahwa saya kemari justru sepenuhnya dibiayai, dengan segala fasilitas dan kemudahannya, yang tentu kondisinya jauh lebih baik dibandingkan apa yang sudah diperjuangkan oleh Mbak Min selama merantau di kota ini.
 
“Dulu saya kemari naiknya kapal laut, Mbak,” lanjutnya sambil tersenyum. “Pernah naik kapal laut?”
 
“Paling cuma ferry penyeberangan Jawa-Bali saja, Mbak,” jawab saya tertawa, ingin mencairkan suasana.
 
Dia pun tertawa juga, dan melanjutkan, “Wah, itu ndak ada apa-apanya…Saya kemari naik Kapal Tidar itu, dan sungguh mati saya tidak mau mengulanginya lagi, ha-ha-ha…”
 
Betapa terbuka sekali wanita ini, dia ceritakan semua pengalamannya dengan ringan saja. Pasalnya, menurut pengakuannya, naik Kapal Tidar amatlah tidak menyenangkan. Pertama, dia dan suaminya memesan tiket terusan bus dan kapal laut sekaligus, dengan jurusan Jember-Nunukan. “Aduh, itu kali pertama saya beli tiket kapal, jadi benar-benar tidak paham soal jadwal dan semacamnya. Mbak bisa bayangkan, saya tiba di Tanjung Perak jam setengah satu pagi. Sementara kapalnya berangkat ke Nunukan jam tiga sore….Waduh, saya bingung benar bagaimana mesti gunakan waktu menunggu selama itu. Akhirnya, hanya bisa kenalan ke sesama penumpang sambil menanyakan tujuannya. Pas ada yang mau ke Tarakan, dan saya pun kemana-mana sama dia,” kisahnya, masih dengan riang menertawakan diri sendiri.
 
“Memangnya tidak bisa beli lepasan gitu ya, Mbak?”
 
“Nah, itu dia. Harusnya bisa. Cuma saya ini kan masih baru soal tiket-tiketan. Sementara saudara saya yang di Nunukan bilangnya beli saja tiket langsung. Saya waktu itu pikirnya, ya, boleh juga langsung, daripada nanti repot…”
 
Masalah ternyata belum selesai sampai di situ.
 
“Lagipula, Mbak, saya pikir, naik kapal itu tertib ya, sesuai dengan nomor tiket yang kita punya. Kenyataannya? Wah, acakadut, Mbak….”
 
Begitu kapal diumumkan akan berangkat, para penumpang buru-buru masuk, menyemut dan saling mendorong. “Saya kan tak mengerti kalau ternyata sesudah di dalam kita mesti berebut tempat tidur. Kecolonganlah saya beberapa kali…”
 
Untung kawan baru yang akan ke Tarakan itu memanggilnya dari keriuhan rebut-merebut itu, dan menunjukkan sebuah tempat tidur tanpa kasur, yang bisa dia gunakan.
 
“Pikir saya, yah daripada tidak ada sama sekali, ya sudah terima saja. Ketika itu ongkos naik kapal sekitar Rp. 150.000 dan sewa kasurnya tiga ribu rupiah….”
 
Pengalaman selama dalam perjalanan pun, dalam kesan saya selama mendengarkan penuturannya, agaknya begitu rawan dan ‘berbahaya’. Selama tiga malam mereka mesti berlayar ratusan kilometer, tentu dengan singgah di beberapa pelabuhan, termasuk Pare-Pare. Saya tidak menyangka, kalau orang dan barang benar-benar tumpah ruah di dalamnya, menyatu tanpa peduli dari mana dan mau kemana mereka semua. Penjual makanan, tukang rokok, dan pedagang keliling terus berjalan di antara para penumpang. Pun juga preman dan pemeras calon tenaga kerja, tak luput menagih-nagih uang kepada siapa saja yang ditemuinya, termasuk Mbak Min.
 
“Betul-betul tidak aman, sampai saya tak berani naik ke geladak dan terus saja diam di tempat tidur. Patroli dari awak kapal sama sekali tidak membantu. Saya sampai beberapa kali ditanyai orang, asal dari mana, mau kemana, yang intinya mau minta duit….”
 
Entah bagaimana percakapan kami kemudian mengalir ke soal pengalaman naik kapal yang dialami oleh beberapa kenalan Mbak Min. Di antaranya perihal menu makanan yang disajikan selama pelayaran (Tengg…pukul tujuh pagi kami diberitahu untuk sarapan, yang mengambilnya pun mesti antri, dan menunya, hanya nasi lembek sedikit, sepotong tepung rasa telur dan kuah ikan), serta pengalaman para tenaga kerja yang bersembunyi dari razia aparat selama pelayaran di laut.
 
“Mbak pernah tahu soal TKI kita yang dipulangkan? Mereka sampai tidur rebahan begini di atas speedboat,” Mbak Min menirukan dengan merapatkan tangannya ke tubuh seluruh-lurusnya, “Lalu ditutupi sesuatu supaya tidak ketahuan. Berhimpit-himpitan begitu, dan baru keluar setelah ada kapal penumpang di dekatnya. Mereka melompat naik cepat-cepat agar tidak ketahuan….”
 
Seketika terbayang dalam benak saya mengenai kapal cepat di perairan Batam yang belum lama diberitakan karam. Kapal itu membawa tenaga-tenaga kerja asal Indonesia. Dan, cuma sedikit yang selamat.
 
“Lalu, begitu sampai Nunukan, mereka ditempatkan di penampungan. Awalnya saya pikir penampungan itu seperti ruangan luas yang disekat-sekat untuk sekadar kamar, namun pada kenyataannya, semua orang, ratusan jumlahnya mesti tidur tanpa fasilitas yang memadai,” tutur Mbak Min.
 
“Pernah ke sana?” saya bertanya.
 
“Saya pernah. Tapi saya tidak mau ke sana. Apalagi tinggal, wah, kasihan sekali.”
 
“Masih adakah? Penampungan itu?”
 
“Masih ada, untuk tempat sementara bagi mereka yang belum bisa pulang, Mbak.”
 
“Memang rawan, yang itu…,” tambahnya.
 
Sejurus pandangan kami bertemu. Dalam tatapan sesaat itu, samar-samar saya memahami apa yang ada di dalam pikiran Mbak Min. Apa yang tidak diucapkannya, tentang tempat-tempat penampungan itu.
 
Saya tidak melanjutkan pertanyaan ke arah tersebut, sebab dalam batin, saya tidak ingin mengulas hal-hal yang tentu sensitif mengenai daerah ini. Tiap-tiap perbatasan tentu memiliki masalah-masalah yang hampir sama, apakah mengenai jalur-jalur gelap perdagangan, lintas barang-barang ilegal maupun persoalan-persoalan semacamnya, pun tidak terkecuali juga Nunukan. Topik-topik ini telah menjadi semacam rahasia umum. Sudah diketahui siapa saja, kendati masih saja kesulitan untuk menyelesaikannya secara menyeluruh.
 
Maka, pembicaraan kami hanya berlanjut ke seputar kondisi ramai atau tidaknya Nunukan dari waktu ke waktu, soal penyesuaian bahasa, maupun kesan-kesan lain selama Mbak Min tinggal di sini.
 
Tanpa terasa lebih dari satu jam kami bercakap. Dan saya pikir, sebenarnya saya telah mendapat bahan cerita yang bagus sekali, hingga kemudian saya mohon diri untuk kembali ke kamar menginap, sekarang ini.
 
Saya harap, Mbak Min tidak keberatan kalau kisahnya saya tuliskan.
 
Saya harap, Mbak Min tidak keberatan kalau namanya pun saya samarkan.

Rabu, 03 Agustus 2016

Dari Pesan Kemarin Hari

Tulisan ini dibuat dengan merangkum beberapa balasan surat kepada satu-dua orang kawan, yang kepada mereka saya mengungkapkan sedikit hal perihal puisi, hidup, dan penciptaan.
 
Terima kasih untuk kiriman naskah puisi darimu. Sudah aku unduh dan baca. Sangat menyenangkan. Menyimak sebagian puisi kamu, aku jadi teringat pada penyair kesukaanku, Sitor Situmorang. Perkenankan aku cerita sedikit tentang dia, sebelum kita masuk ke bahasan atas karya dikau ya.
 
Hampir semua penyair di Indonesia menulis puisi di usianya yang belia, termasuk Sitor di antaranya. Sajak pertamanya, Kaliurang, ditulis sewaktu masih 20 tahunan, dibuat saat dia mengunjungi Yogyakarta serangkaian tugas liputan untuk Harian Waspada yang berkantor di Medan. Ya, Sitor adalah penyair kelahiran Harianboho, nun di tepi Danau Toba, dengan segala mitos tradisinya yang masih lestari sampai sekarang. Sitor yang juga keturunan dari Sisingamangaraja, dengan ayah sebagai pemuka desa ternama, tentu hidup dalam lingkup tradisi yang kuat. Tapi, kita akan terkejut mendapati, betapa ternyata, puisi pertama Sitor ini sama sekali tidak bercerita tentang latar kulturalnya tersebut....Dia melompat, mencoba meraih apa yang kelak akan menginspirasi karya-karya Sitor selanjutnya: universalitas manusia, keterbukaan, kebebasan--hal yang kemudian justru acap menggiringnya pada rasa terasing dari lingkungan, budaya, politik, dan tradisinya sendiri, di mana dia menyebut dirinya sebagai Si Anak Hilang pada beberapa puisi ciptaannya.
 
Jadi, tidak sebagaimana kebanyakan penyair muda, Sitor menuliskan hal yang, bagi pikiran kita, sebenarnya berjarak dengan alam dunianya di masa kanak. Mungkin berbeda juga dengan alam dunia sehari-hari yang selama ini dia lakoni. Dan kukira, dia merupakan salah satu contoh yang baik untuk menegaskan betapa puisi sebenarnya tidak melulu bercerita tentang diri pribadi, kenangan kita, ingatan kita, ataupun pengharapan maupun impian kita. Bila kita perhatikan sajak Kaliurang, yang tersirat adalah sebentuk emosi terpendam atas dunia batin manusia, siapa saja, antara cinta dan perpisahan, antara hidup dan kematian....
 
Aku selalu punya keyakinan begini. Pengalaman seseorang saat pertama kali menulis puisi, janganlah sampai dipengaruhi secara dominan oleh persepsi atas apa itu puisi yang baik dan 'benar', apa itu teori puisi, apa itu estetika, apa itu keindahan, apa itu nilai, dan seterusnya. Pengalaman penciptaan puisi yang pertama merupakan Karunia, keindahan dalam wujudnya tersendiri, yang paling murni, sebab dia tumpah dari curahan batin yang mendalam. Diksi, irama, dan segala rupa polesan bentuk, adalah tahapan selanjutnya yang dipelajari seiring dengan proses kreatif kita. Tidak ada keharusan bahwa mereka yang mau jadi penyair harus 'lulus' dulu pelajaran semantik dan sebangsanya, baru kemudian menulis sajak. Pun penciptaan puisi adalah suatu hal yang misteri, di mana sajak-sajak yang luar biasa seringkali tercipta justru bukan karena konsep-konsep yang melandasinya. Konsep-konsep itu sering muncul belakangan seiring interpretasi pembaca terhadapnya....
 
Hal ini aku temukan setelah membaca karya-karya para penyair di usia muda mereka. Cobalah perhatikan, betapa dahsyatnya karya mereka ketika sebelum memahami benar apa itu Sajak dalam pengertian seutuhnya. Beberapa kemudian berhasil mempertahankan kualitas karyanya, sebutlah Sitor, Rendra, Sapardi dan lain-lainnya, yang kukira karena mereka melakukan usaha merawat 'alam puisi' tersebut. Suatu alam yang murni, kadang sedikit naïf, acap takjub pada sesuatu, atau secara ringan mempertanyakan sesuatu, yang dalam ungkapan Sitor yang terkenal: Penyair pada dasarnya seperti kanak-kanak....
 
Maafkan aku tidak memberikan catatan khusus dari setiap sajak, dan hanya bisa menyampaikan pandangan umum begini. Aku senang mendapati puisi-puisi kamu yang lancar mengalir berbahasa. Tiap larik, seluruh bait, sama sekali tidak bertendensi ingin berlebih. Kupikir, ini adalah suatu awal yang baik, di mana kejernihan kita dalam 'memperlakukan' bahasa sebenarnya mencerminkan juga cara pandang kita atas apa saja. Selama ini aku pun berkeyakinan, justru di tengah alam dunia dan multimedia yang riuh gaduh, kita perlu sebentuk momen penghormatan atas bahasa, yang memberi ruang jeda dari hiruk pikuk, dan siapa tahu, mampu menggiring kita pada kontemplasi: mensublimkan diri di tengah alam ramai.
 
Hanya saja, untuk mencapai 'yang sublim' itu, dibutuhkan suatu kerja tersendiri. Dalam hal ini, kerja kreatif yang bersisian dengan kerja hidup. Artinya begini: secara kreatif, kita baiknya memahami hakikat dari Puisi. Dia mempesona justru dalam bentuk yang padat, makna mendalam, yang pada beberapa bagiannya menyisakan pertanyaan maupun interpretasi kaya ragam. Dia tentu berbeda dengan prosa, yang dituturkan secara meluas, bahasanya bermakna denotatif dan seterusnya...yang dikau bisa periksa lagi dari teori-teori perpuisian yang ada. Yang ingin aku ungkapkan adalah, menulis puisi tidaklah sama dengan menyusun kalimat-kalimat puitik. Tiap kata, benda, emosi, dan peristiwa selalu punya sisi puitiknya tersendiri, namun jika menggabungkan semuanya dalam satu sajak, tanpa disertai ketajaman sublimasi untuk membentuk diksi, pun keberanian (atau acap kenaifan) dalam menyaring kesan melodramatik, aku khawatir dia hanya akan jadi rangkaian larik yang indah, namun tanpa kedalaman makna. Dia lancar, mengalir, akan tetapi hanya tampak sebagai deskripsi permukaan, atas perasaan, kejadian, duka ataupun suka cita.
 
Menulis Puisi, bagiku pribadi, adalah sebuah usaha terus-menerus dalam mengolah kata dan merebut makna.
 
Tapi, dari mana makna bisa kita hadirkan?
 
Di sinilah yang kumaksud dengan kerja hidup. Setiap hari haruslah kita mengasah mata batin kita, menumbuhkan rasa haru, juga kepekaan dalam menyaksikan, menyentuh dan menghirup aneka hal. Di sinilah, antara estetika dan sains, nalar dan naluri kreatif, rasa dan logika, eksperimen dan kebebasan, bertemu dalam suatu karya sajak yang baik: sajak yang bercerita tentang keringat manusia, yang menarik kita pada gairah hidup, yang terseka, tercium, meresap jauh ke batin. Ini tidak bisa didapat hanya dari membaca buku  melainkan diperoleh dengan melakoni kenyataan dengan sungguh-sungguh. Inilah misalnya, apa yang membuat karya penyair besar jadi abadi, melampaui zamannya: sebab dia bicara tentang kita, manusia, sosok pribadi penyendiri yang tak henti mempertanyakan hakikat dirinya di tengah kepungan manusia-manusia lainnya, dalam bahasa murni apa adanya, tiada yang dilebihkan atau dikurangi--suatu takaran genius yang amat jarang terjadi.
 
Pencarian yang kulakukan, termasuk juga proses kreatifku, belum tentu sama dengan penulis-penulis lainnya. Artinya, apa yang aku ungkapkan pun masih bisa diperkaya oleh tuturan dari berbagai penyair. Hanya saja, pesanku ya cuma satu ini: puisi diolah dalam hidup, bukan di atas kertas, apalagi dengan rumus atau teori. Belakangan, kesadaran ini mengemuka dalam diriku, bahwa saat-saat menulis puisi adalah momen di mana kita berhadapan dengan seutuh dan sepenuhnya diri kita, menanggalkan pretensi dan persepsi, membenamkan segala pikiran cerdas menjadi kenaifan yang mendorong segala rasa ingin tahu, dan mengakhirinya dengan kerendah-hatian. Kita bukanlah siapa-siapa pada saat itu. Kita adalah diri kita, yang dengan caranya sendiri ternyata mampu berbicara mewakili nilai yang paling universal dari setiap pribadi manusia.
 
Kedengaran rumit dan sulit? Tidak usah dipikirkan. Anggaplah ini sebentuk curhat dariku. Yang utama bagi kamu, teruslah menulis. Apa yang kamu lakukan ini, yang kamu awali ini, sudah sangat baik. Percayalah. Dan puisi, sebagaimana kesenian lainnya, merupakan segugusan proses, yang pasti akan kian baik jika kita terus mencoba berkarya.
 
Salamku selalu.