Senin, 08 Februari 2021

Putik Rambutan dan Penyu Hijau

Ternyata, lama sekali saya tidak menulis di laman ini.

Nyaris tiga tahun. Waktu yang cukup untuk panennya sebuah pohon rambutan dari benih cangkokan atau masa yang dibutuhkan seekor penyu hijau buat melakoni siklus bertelurnya. Dalam kurun tempo itu, bisalah kita bayangkan tumbuhnya batang, ranting, juga dedaunan, di mana pohonan bakal meninggi dan merimbun, sampai bermunculanlah putik-putik bunga yang menjanjikan ranum manisnya seikat buah. Pun, muncul juga kilasan seekor penyu yang mengelana di lautan luas sana, yang meliuk di kedalaman, yang sebatang kara memenuhi takdir nasibnya sampai bertemu penyu lain pasangannya, terjadilah percintaan berselimut arus lembut di dasar suatu palung, lantas disusul pengembaraan lain kembali ke pantai tempatnya dulu dilahirkan. Betapa indahnya semua itu. Kehidupan yang niscaya.

Dan, apakah persisnya yang sudah saya lakukan selama tiga tahun itu? Ternyata hanya sedikit, boleh dihitung dengan jari saja. Saya tidak jadi pindah ke kampung halaman melainkan pindah di Yogyakarta, tidak menulis banyak kecuali beberapa puisi dan satu prosa yang saya ragukan kualitasnya, memulai lagi hidup mondok seperti sebelum-sebelumnya, dan tidak banyak mendapati kawan-kawan baru. Apalagi kemudian terjadi pandemi, yang membuat saya sama sekali kehilangan kesempatan bepergian dan bertemu teman-teman di lain kota sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Betul-betul, agaknya ini kali pertama dalam hidup saya merasai kesendirian macam begini.

Jika ada yang sering menyebut nama saya belakangan ini, tak lain hanya penjaga kasir di warung-warung kopi. Saya punya beberapa langganan yang saya kunjungi bila hati diselimuti nuansa-nuansa batin tertentu. Misalnya, ada sebuah kedai yang hanya saya datangi saat sedang ingin membaca dan duduk berlama-lama menyaksikan lalu-lalang jalanan. Tempat lainnya untuk sekadar mendengarkan musik pilihan mereka. Lainnya, yang berlokasi agak jauh dari pondokan sekitar Wirobrajan, saya kunjungi khusus ketika hati dirundung gundah yang saya obati dengan bersepeda sekian puluh menit. Sapaan mereka, penjaga kasir ataupun para barista itu umumnya selalu serupa: mereka menanyakan kabar dan kepingin tahu kenapa saya mulai jarang mampir ke warung mereka. Cuma itu. Mereka tak pernah bertanya apakah saya datang sendirian hari itu. Mereka tahu kebiasaan saya, menu yang saya pilih, dan satu kenyataan pasti bahwa saya tak pernah datang bersama siapapun.

Percaya atau tidak, saya melalui semua itu selama setahun lamanya.

Dan entah berlangsung sampai kapan.

Terkadang saya rindu berbicara dengan seseorang, sesosok manusia yang nyata, dan kepadanya cerita-cerita dibagikan. Saya rindu menatap dan bercakap hangat seperti halnya bertahun-tahun yang lalu. Saya kangen mendengar suara-suara penuh rasa dan saya ingin menyentuhkan kedua telapak tangan ini ke jari-jemari manusia yang lain, membiarkannya diam sejenak seakan tiap kerutan dan gerakan samarnya mewakili bahasa-bahasa yang tak sanggup diucapkan—dan kami satu sama lain secara ajaib memahaminya. Dulu memang pernah ada satu nama yang pribadinya saya bayangkan menjadi sandaran jiwa, sampai kemudian saya menyadari kalau itu hanya ilusi. Dan sahabat saya yang lain? Ah, apakah memang begini nasib seorang rantauan dengan kepribadian tertutup, yang dalam jutaan manusia di sekelilingnya hanya berkawan satu dua orang, dan ternyata mereka tak selalu ada di sisimu?

Barangkali ada pula sisi baiknya: belakangan saya makin sering membaca buku. Yang menyenangkan, saya mulai menikmati membaca nonfiksi, oh, ada beberapa di antaranya yang sangat menarik, baik yang bertema sains maupun humaniora—ini pengalaman baru dan positif saya kira, sebab dalam waktu yang lama sebelumnya saya hanya memberi minat pada karya-karya fiksi semata. Sempat terpikir mungkin ada baiknya kalau satu dua unggahan di laman ini didedikasikan untuk buku-buku yang saya sukai, karena ya, Anda tahu kan kalau ingatan kita serba terbatas dan mencatat kehadiran mereka dalam sebuah ulasan yang personal tentu akan bermanfaat penting bagi proses pembacaan kita yang terus-menerus bertumbuh itu.

Semua hal itulah yang saya lakukan di kala pandemi ini. Bersepeda, membaca, bertukar sapa sesekali, dan mencoba mengakrabi kota yang kini saya diami. Saya tidak terlalu banyak berharap untuk karir yang digeluti saat ini, terus terang. Mungkin kedengarannya cukup egois, bahwa setelah sekian carut-marut urusan pekerjaan yang dihadapi, saya berpikir bahwa yang terpenting saat ini ialah merawat pikiran dan batin tetap sehat. Aneka peristiwa bergulir setiap harinya dan untuk dapat terus bertahan hidup di dalamnya seseorang mestilah lentur luwes, seperti ranting-ranting muda pohon rambutan yang menyerap cahaya matahari, bertumbuh perlahan menjangkau musim semi; atau seekor penyu yang mengasah gesitnya gerakan di  tentangan arus samudera nan asing, yang membekali dirinya dengan memori-memori penting selama hidupnya, terkhusus ingatan abadi tentang pantai tempatnya lahir yang menjadi titik penting dalam siklus nasibnya sampai bertahun-tahun selanjutnya. Ya, kejadian datang pergi silih berganti, selebihnya kita sebagai manusia mesti punya cara buat melaluinya.

Sebelum tulisan ini menjadi tausiyah, izinkan saya menutupnya. Dari sekian banyak kata yang tertulis ini, sejatinya saya hanya ingin mengucap salam buat teman-teman yang lama tidak saya jumpai. Sebuah lambaian dari sini, di sebalik jendela sebuah kedai kopi dengan pemandangan lintasan ramai jalanan di luar sana. Sabbe satta bhavantu sukhitatta.

Yogyakarta, 8 Februari 2021.