Sabtu, 24 Mei 2014

Deng di Tanjungpinang

Tidak banyak yang saya tahu tentang namanya, kecuali satu panggilan sederhana: Deng. Dia pria kelahiran Maumere, sebuah kawasan nun di Flores, mungkin sekitar tiga puluh tahun lalu. Pertemuan dengannya cuma sebentar, yakni selama dua jam saja. Itu pun terjadi dalam sebuah angkot yang berkeliling menyusuri Tanjungpinang, kota yang beberapa hari lalu sempat saya kunjungi untuk suatu acara budaya.

Sore itu, selepas hujan yang mengguyur dengan derasnya, saya memutuskan berjalan-jalan sejenak dan melihat suasana kota di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau tersebut. Dari nona muda pegawai hotel, saya mendapat informasi beberapa tempat menarik yang barangkali bisa dikunjungi, di antaranya Tepi Laut, semenanjung pantai dekat Pelabuhan Tanjungpinang. Suasananya konon menyenangkan, penuh lapak kaki lima yang buka waktu petang dan pemandangan laut yang memisahkan pulau-pulau Riau di kejauhan. Maka, segera setelah gerimis reda, saya pun melangkah keluar bermaksud hendak ke sana.

Lintas jalanan betul-betul lengang. Cuma sedikit kendaraan yang lewat. Barangkali orang-orang malas bepergian selepas hujan badai yang deras itu. Kepada ibu penjual rokok pinggir jalan, saya bertanya arah menuju Tepi Laut dan sebaiknya pergi dengan kendaraan apa. Dia menyebutkan satu arah seraya menyetop sebuah angkot untuk saya. Wajahnya tersenyum hangat, mungkin maklum bahwa saya orang pendatang, sama dengan dirinya yang berasal dari Tanah Jawa, tecermin dari logat-logatnya yang masih medhok.

Setelah naik, terus terang, saya terkejut betul. Hanya saya penumpang di sana. Kendaraan itu dilapisi kaca buram, nyaris di semua sisinya. Dan yang paling membikin saya cemas adalah sopirnya: seorang berkulit hitam penuh tattoo dengan sebuah kaus singlet melekat di badan. Persis preman.

Entah bagaimana, saya seketika teringat pada nasihat satu kawan supaya selalu berhati-hati di tempat orang. Lebih-lebih, banyak kasus kekerasan dan pelecehan terjadi di kendaraan umum. Haloo, ini Tanjungpinang, bukan Bali, Depok atau Jakarta. Selama di kota Riau itu, saya belum pernah bepergian sendirian, dan mendapati saya berada pada kendaraan macam itu, jujur, saya merasa was-was bila terjadi sesuatu di jalan.

Saya pun berlagak akrab dengan si sopir ini. Bukan untuk apa-apa, semata supaya saya tidak terkesan angkuh atau jutek (hal yang bikin orang merasa tidak senang sehingga kerap melakukan aksi nekat lantaran jengkel). Ada pesan yang saya pedomani: bukalah pembicaraan dengan orang asing untuk mencairkan suasana, namun tetaplah menjaga jarak dan waspada. Sopir ini menanggapi pertanyaan-pertanyaan saya tentang kota Tanjungpinang secara ringan saja. Namun, matanya tidak henti-hentinya melirik saya lewat kaca spion tengahnya. Saya tahu dan yakin itu.

Kepadanya saya berterus terang untuk beberapa hal saja. Bahwa saya datang ke kota tersebut untuk satu acara dan sore itu ingin melihat-lihat suasana Tanjungpinang. Bahwa saya bekerja untuk sebuah lembaga budaya serta berasal dari Bali. Sama sekali saya tidak menyinggung soal kuliah atau tinggal di Jakarta. Saya kira tidak semua orang di daerah merasa simpatik bila mendengar kata Jakarta.

Yang terjadi berikutnya betul-betul tidak diduga. Terserah Anda apakah percaya kisah ini. Yang jelas, mendengar saya dari Bali, dia langsung bercerita perihal masa lalunya. Tapi kenangan yang dituturkan Deng, panggilan sopir itu, membuat saya makin cemas ngeri. Betapa tidak, dia menuturkan bahwa sekitar lima tahun lalu dirinya lari dari kejaran polisi di Bali karena diketahui terlibat sindikat pengedar narkoba!

Well, saya betul-betul ingin turun dari angkot. Tapi, bagaimana caranya saya bisa kembali ke hotel? Saya berada di jalanan yang asing. Lebih-lebih, konsep angkot di kota ini sangat tidak aman. Mereka menyusuri Tanjungpinang tanpa trayek yang jelas, hanya mengikuti alur-alur yang searah dengan permintaan penumpang. Misalnya, bila tiga orang yang naik sebelumnya ingin pergi ke A, dan tidak melalui B, maka otomatis calon penumpang yang ditemui di tengah jalan untuk menuju ke B, tidaklah bisa turut. Tapi dia bisa ikut angkot lain yang kebetulan melintas B (meskipun kedua angkot itu sama-sama lewat di jalan tempat calon penumpang itu menunggu). Kehawatiran demi kekhawatiran tersebut membuat saya nyaris tidak bisa berpikir solusi yang paling baik lainnya guna 'menyelamatkan diri'.

Deng mengangkat salah satu lengannya yang penuh tattoo. "Kakak bisa lihat gambar di sini? Ada tanda bahwa kami merupakan bagian dari perkumpulan itu..." katanya dalam logat Flores yang sering saya dengar dari para sopir taksi di Denpasar.

"Ooh, begitu?" Saya berusaha menutupi rasa takut. Sedapat mungkin saya tidak terlalu sering mencuri pandang kepadanya. Namun pada tatapan sekilas itu, saya berusaha mendapatkan ciri yang jelas tentangnya, untuk berjaga-jaga bila nanti terjadi sesuatu. Saya tahu, kebanyakan sopir angkot hidup dalam pergaulan 'rawan' yang membentuk karakter dan kepribadiannya. Tapi si Deng ini, saya kira, super duper 'rawan'.

"Tapi, Kakak, kalau boleh saya kembali, saya tidak mau masuk ke pergaulan seperti itu," katanya berulang-ulang dengan nada menyesal. "Dulu saya datang ke Bali untuk bekerja, diterima sebagai pegawai gudang di Discovery Mall di Kuta. Tapi saya ketemu bule, dan diajak kerja bersamanya. Barang-barang (narkoba) seperti itu, Kakak, sedapat mungkin harus dihindari...."

Pria itu bercerita tentang kawannya yang terjaring razia polisi pada suatu malam. "Dia dipukuli sampai mengaku siapa saja yang ikut. Lalu teman lainnya bilang ke saya supaya segera pergi jauh-jauh sebab nama saya sempat disebut. Saya takut sekali Kakak..." tambahnya. Angkot dikemudikannya pelan-pelan, melewati ruko-ruko Tanjungpinang dan rumah kayu penduduk.

Saya lama-lama tertarik juga oleh ceritanya. Selepas operasi penggrebekan yang bocor itu, Deng pergi ke tempat kerja pamannya di Denpasar guna cari lokasi sembunyi. Kebetulan, gudang tempat kerja pamannya punya ruangan bawah tanah yang jarang dibuka. Sang bos sendiri tak kerap datang ke sana. Bagi Deng, kondisi tempat itu cukup aman. Tapi tidak demikian halnya bagi si paman. Supaya tidak ketahuan, Deng dikunci dalam ruang bawah tanah, sama sekali tidak diperkenankan keluar. Ia 'terkurung' dalam tempat itu sampai tiga bulan lamanya.

"Kakak, kulit ini sampai putih, ha-ha-ha..." Dia ketawa lepas seraya menunjukan tangan Floresnya yang legam. "Saya tidak bercukur. Rambut kribo. Badan gemuk 98 kilo...."

Lantaran cemas, si paman pun memulangkan Deng ke Maumere dengan kapal laut. "Saya ini, sing ngelah pipis," lanjutnya dalam bahasa Bali, artinya dia sama sekali tidak punya duit. Mendengar ini, saya terbahak juga. Pria itu pun demikian.

"Terus, bagaimana Abang bisa pulang?" saya bertanya.

"Ya, saya hemat saja. Saya dibekali dua puluh ribu oleh paman. Sepuluh saya pakai untuk ojek setelah sampai Maumere. Ayah ibu sampai tidak kenal saya ini anak siapa. Karena saking putihnya sebab tidak pernah keluar kamar, Kak..."

Kami tertawa-tawa. Tikungan demi tikungan terlewati. Beberapa kali Deng mengklakson orang-orang yang berdiri di tepi kiri jalan, memberi isyarat supaya naik angkutan. Tapi agaknya itu hari sial baginya. "Ini baru habis hujan, Kakak. Orang-orang mungkin sedang malas keluar," keluhnya berkali.

"Lalu, kenapa Abang datang ke Bintan?"

"Ah, itu karena masalah, Kakak. Saya bertengkar dengan preman di sana."

Rupa-rupanya, sejak muda Deng sudah kerja sebagai sopir, termasuk saat di Maumere. Setelah melarikan diri dari Bali, dia sehari-hari mencari penumpang dengan mobil sewaan. Hasilnya tentu tidak seberapa. "Yang penting itu uang bersih," ujarnya.

"Saya tidak suka preman di sana. Setiap hari mereka tarik saya punya duit. Diberi dua ribu, besoknya naik jadi tiga ribu. Diberi sekian, lama-lama naik empat ribu. Ketika sampai lima ribu, saya marah-marah. Saya tidak peduli dia preman mana. Di Bali, orang Laskar pun berani saya lawan...."

Laskar adalah sebutan untuk satu ormas di Bali.

"Saya bilang, ei kalau cuma minta-minta duit begitu, semua orang juga bisa! Lalu dia tantang saya. Kami baku pukul, Kakak. Dia kalah, tidak terima, dan saya dimasukan bui..."

Yang saya herankan adalah, Deng menceritakan itu dengan ringan saja. Mungkin dia sudah anggap saya sebagai sahabat, sebab sejak tadi saya dengarkan kisahnya cukup penuh perhatian. Saya menyela di sana-sini guna mendapat penjelasan. Maksudnya supaya saya mendapat cerita yang menarik sebagai bahan tulisan. Hal inilah yang barangkali ditafsirkannya bahwa saya tertarik pada kisah hidupnya.

"Saya kena hukum tujuh bulan. Tapi berkas pengadilan sama sekali tidak diurus," tuturnya mengenang.

"Karena saya sudah cukup lama di kantor polisi itu, kira-kira dua bulan, saya mulai diperbolehkan duduk-duduk di teras depan. Beberapa kali diawasi, seringnya tidak. Kakak tahu, saya waktu itu pikir-pikir, kalau begini saya bisa kabur sebenarnya. Maka ketika adik saya jenguk, saya bilang minta bekal pada ayah buat pergi ke Batam..."

"Wah, Abang berani?"

"Iya, Kak. Saya lari dari kantor polisi dibantu saudara jauh. Keluarga pura-pura tidak tahu saya berencana kabur, ha-ha-ha...Kemudian saya naik kapal dari Larantuka langsung menuju Batam..."

Di Batam pun lelaki ini bertengkar dengan preman di sana sehingga pindah ke Tanjungpinang. Kalau benar semua ceritanya, saya kira kisah hidup Deng amat menarik juga. Kisah hidup yang keras, dalam arti harfiah dan mendalamnya.

Tanpa terasa saya pun sampai di Tepi Laut. Ternyata pria ini cukup jujur, jauh dari prasangka buruk yang tadi muncul dalam pikiran saya. Malahan dia menjelaskan tempat demi tempat yang bisa dijadikan lokasi nongkrong, seperti warung kopi, mall (tepatnya ruko yang agak besar ukurannya), juga titik aman di pasar Tanjungpinang. Tapi saya putuskan untuk tidak turun. Saya ingin dengar kisah hidupnya.

Di sebuah ruas jalan seputar pasar, angkot berhenti sebentar guna cari penumpang. Beberapa ibu-ibu naik. Juga anak-anak sekolahan. Sesekali perempuan berjilbab. Termasuk pria Arab yang agaknya pegawai di tempat tertentu, dan bapak-bapak Melayu yang murah senyum. Angkot menyusuri jalan-jalan Tanjungpinang: dari Batu Dua ke Batu Tiga. Terus naik sampai di Batu Lapan Atas, sebuah dataran yang cukup tinggi di mana saya bisa melihat rumah-rumah penduduk di kejauhan. Pohon-pohon bakau terhampar. Agaknya ini daerah rawa-rawa.

Bila ada penumpang, kami diam tak bicara. Kalau kembali sepi, kami tertawa-tawa lagi. Deng berkisah betapa dirinya pernah dikejar-kejar pecalang di Denpasar lantaran tak punya KIPEM (Kartu Identitas Pendatang Musiman), membantu abangnya kabur dari tahanan polisi adat Bali itu dengan sepeda gayung, atau cerita tentang istrinya yang pincang. Tanpa terasa sudah banyak juga orang yang turut naik angkot.

"Wah, saya senang ada Kakak. Belum pernah saya dapat penumpang begini banyak, sampai dua kali naik ke Batu Sembilan!"

Batu Sembilan adalah nama kawasan di bukit Tanjungpinang, jarak terjauh dari Pasar dan Pelabuhan. Hanya sedikit angkot yang lewat sini sebab umumnya penumpang tak pernah turun sekitar daerah dekat bandara dan hotel tempat saya menginap itu.

"Kakak tidak usah bayar!" Katanya sesudah mengantar saya kembali ke depan hotel. "Saya sudah dapat banyak penumpang sore ini..."

Tapi toh saya selipkan juga beberapa ongkos buatnya. Saya mendapat sebuah cerita yang luar biasa, tentang seorang Flores yang merantau mengadu nasib di tanah orang. Terbelit sulitnya hidup, namun tetap tulus dan jujur.

"Sampai ketemu lagi, Abang Deng!" Seru saya senang. Dia pun melambai. Tattoo tanda perkumpulan geng di Bali itu terlihat oleh saya. Kini saya tidak bergidik ngeri. Saya ketawa berseri-seri.

Jakarta, 24 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar