Senin, 20 Agustus 2018

Suatu Petang di Rawa Belong

Lebih dari lima tahun mukim di Ibukota, saya hanya pindah pondokan sebanyak tiga kali saja. Dan itu tidak terhitung tinggal sejenak di beberapa kota lainnya dengan durasi setidaknya minimal satu bulan berjalan. Tinggal nomaden pada usia muda mungkin bukan suatu hal yang perlu dibanggakan namun kenyataan betapa saya bakal segera pulang ke kampung halaman mau tak mau membikin saya gelisah selama sekian pekan belakangan.

Selepas ashar di sekitaran Rawa Belong. Dengan sebuah ransel yang memberat lantaran dipenuhi buku juga sebuah komputer jinjing, saya berdiri persis di muka toko serba ada bersama dua kawan sekolam seperuntungan, Vy dan Kyas. Pertanyaan yang sama masih terlontar berulang, "Mau ke mana kita?"

Saya sebenarnya mau jalan sendirian saja, tergoda mengelana dengan angkutan umum sebagaimana kebiasaan lama. Tapi, saya mengerti kalau teman baik ini, Vy, masih kepingin menemani. Sudah cukup sering saya bercerita soal kerisauan mau kembali pulang ke kota asal yang ratusan kilometer jauhnya dari Ibukota, dan setiap kali teringat itu dia selalu menunjukan roman wajah murung saja. Waktu kami untuk mengenal satu sama lain memang tidak panjang. Berapa lama persisnya? Dua tahun? Atau kurang dari itu? Entahlah. Saya tidak bisa jelas ingat. Yang tentu, kami sering berselisih. Tak jarang juga saling iseng. Kadang diam-diaman seperti dua bocah yang sedang musuhan. Kemudian baikan. Termasuk kirim pesan maupun humor receh yang hanya cuma tuhan dan kami berdua yang mengerti. He-he-he.

Dia seorang Aquarius yang, yah boleh dibilang, menyenangkan. Sungguh, saya bukan tipikal yang percaya betul pada ramalan bintang-bintang tapi entah mengapa saya selalu ketemu orang-orang yang berulang meyakinkan saya bahwa penafsiran zodiak adalah bekal penting buat mengenal laku sifat manusia. "Aquarius itu aneh," bahkan seorang teman pernah mengeluh. "Dari berapa persen populasikah? Tidak semua kan?" saya heran bertanya. "Nope. Aku ralat. Semua Aquarius itu gila!"

Suatu kali, lantaran dianjurkan teman ini, saya membuka sebuah laman tentang kecocokan tiap horoscope. Temuan mengejutkan yang segera membuat saya membagikan ini kepada kawan Aquarius tadi.

"Katanya kita 99% cocok jika melakukan aktivitas bersama. Juga 90% sesuai untuk percakapan intelektual!" tulis saya antusias dalam pesan singkat.

Tahukah, apa responsnya? Satu emoticon senyuman.

Oke, mungkin dia bukan tipikal yang percaya hal begini. Dan diam-diam saya berharap si kawan bukan seorang yang meyakini ramalan akhir zaman yang ditulis dalam buku-buku religi populer yang sering didiskon besar-besaran di toko buku bekas dekat kampus saya dulu. Haha!

"Mau cari es krim?" seperti sebelumnya, Kyas menawarkan hal-hal yang disukai Vy. Oh, sungguhan, apa saja pasti dia lakukan demi bikin teman karibnya ini gembira. Jangan-jangan kalau lihat orang koprol kayang jungkir balik di jalanan sambil teriak-teriak macam anak hilang bakal buat Vy ketawa, saya jamin, dia akan memenuhinya. Saya tidak menolak maupun mengiyakan idenya ini; saya jarang jajan es krim kecuali kalau sedang bosen banget dan nihil pilihan lain. Eh, keliru ding. Saya hampir tak pernah jajan apapun selain secangkir kopi dan baju preloved di online-shop....

Vy memandang saya ingin minta pendapat. Dan ketika itulah pikiran ini terlintas, "Di mana sekitar sini ada sop duren yang enak?"

Bukan karena apa, saya hanya terkenang pengalaman terakhir mondok di Depok, beberapa tahun lalu, ketika kawan kamar sebelah mengajak cari sop duren dan main-main sebentar sebelum saya akhirnya benar-benar pergi dari itu kosan. Kenangan saat kami mabok duren, bercanda sepanjang jalan, ngerumpi banyak hal, cari penganan lain, oleng limbung menyeberangi jalan Margonda di sore-sore yang ajegile ramainya lantaran kebanyakan ketawa, entah kenapa hidup kembali dalam ingatan saya. Mungkin, saya akan mendapati rasa haru bahagia yang sama jika mengulangi jajan sop duren lagi?

Lucu sih. Saya malahan merasa jadi seorang Aquarius sekarang, dengan ide aneh yang muncul spontan macam ini.

"Ada, langganan kami," jawab Vy. "Cuma kalau naik angkot nanggung. Kalau nge-grab, terlalu dekat."

Kyas tidak komentar sewaktu gagasan menuju lokasi dengan jalan kaki akhirnya sepakat kami pilih. Belum separuh jalan, kami dengar langkah sepatunya makin berat. Dalam hati saya merasa kasihan juga minta cari duren mendadak begini. Kalau tahu seperti ini, mendingan tadi pesan antar sama babang ojol saja ya....

Kami tempuh sekitar dua kilo menuju simpangan Pos Pengumben - Jalan Panjang, menelusuri trotoar penuh lubang, compang-camping seperti produk gagal kue nastar lebaran yang dibuang sayang. Hehe. Saking brengseknya itu jalanan, saya sampai bilang, "Kadang kalau pikiran nakal muncul, aku kepingin lempar ini batu-batu ke rumah orang mana saja..."

"Dih, kok gitu," kata Vy sedikit ngeri.

"Yah, namanya juga pikiran nakal," sahut saya seraya melompat seperti stuntman yang expert melalui rintangan sepanjang jalan. "Kamu juga pasti pernah punya pikiran nakal, kan?"

"Yaa, pernah," jawabnya. "Curi kotak amal di masjid, hahaha...."

Ketawanya lepas betul setelah ucapannya terlontar. Yang saya tidak bisa bayangkan, dia kan anak Betawi, cucu Haji Sabeni yang Ketua RT dan pemuka masjid, dan berani-beraninya curi kotak amal di komplek pemukimannya? Kalau sampai itu terjadi, oke, kamu Aquarius banget, Mbak....full of surprise....

Baiklah. Yang jelas, ide mabok duren sore-sore sekitar Rawa Belong itu berhasil bikin saya kram perut karena banyak-banyak tertawa. Tandas sudah jus duren, pancake duren, es krim duren, juga satu utuh buah duren yang tergoda Kyas cicipi setelah melihat Mbak-mbak meja sebelah yang melahap dua nampan buah duren laiknya sedang nyemil kacang goreng sambil nonton bola di pos ronda.

"Kamu jangan cari gara-gara dengan ajak kami lanjut makan tengkleng dekat sini," saya mengancam Vy sambil menahan pusing akibat dihajar duren aneka varian. Dia sih makannya sedikit jadi enggak kenapa-kenapa, pun masih bisa melenggang menyeberang simpangan layaknya princess Syahrini versi kerudungan, sementara di belakang dua temannya jalan begajulan gak karuan.

t e g a .

Apa ya yang akan terjadi kalau saya benar-benar mesti kembali pulang ke kota asal? Saya tidak akan punya lagi kawan-kawan yang bisa diajak keluyuran atau sekadar bincang hangat seperti yang saya jumpai di tempat ini. Percaya atau tidak, inilah hal yang sebenarnya membuat saya dirundung sedih: dulu pernah karena percaya diri kelewat batas, saya melupakan kawan-kawan lama dan pergi jauh buat mencari teman-teman baru. Rasa kehilangan persahabatan itu kemudian melinangi saya, dan kini membuat saya makin cemas tidak bisa lagi menemukan pertemanan yang tulus menyenangkan. Saya memang percaya, kalau teman yang baik bukanlah kawan yang selalu berpura-pura baik di hadapan kita; dan itu juga saya pegang selama jadi anak rantauan, lima tahun belakangan. Jadilah diri sendiri setulus, seiklasnya, dan dengan begitu kita akan menemukan karib yang tidak tergantikan--para sahabat yang, puji Tuhan, akhirnya saya dapatkan di Ibukota nun ini.

Saya tidak punya begitu banyak kawan. Sungguh. Tapi, saya cukup beruntung diberikan pertemuan-pertemuan tidak terduga yang kemudian menjadi jalinan tali perkawanan yang erat.

"Jangan lama-lama pergi jauhnya," bisik Vy sewaktu kami pulang, masih menelusuri arah yang sama. Saya tak bisa mengucap apapun. Saya hanya genggam tangannya. Saya berdoa semoga persahabatan kami, hubungan hangat ini, baik-baik saja.

Jakarta, 20 Agustus 2018