Maka bayangkan, sekarang aku bertemu
dengan seorang perempuan, sudah tidak lagi muda dan telah akrab dengan sekian
trauma, yang menanggalkan satu per satu kenangannya hingga tidak ada lagi ingatan
yang tersisa untuk dibagikan kepada siapa saja yang ingin mengetahuinya.
Maka bayangkan, wanita itu berdiam seperti jam dinding yang rusak, tidak berdetak, tidak tahu pukul berapa sekarang, atau hal-hal yang terjadi di detik yang baru saja lewat. Dan ia tak peduli semua itu. Kesunyian dan diam abadinya bagaikan sudah menjadi suatu yang mekanis atas dirinya. Ia telah berdamai serta menerima kelupaan akut yang tidak tersembuhkan itu sebagai cara lain untuk bertahan hidup.... Seperti apa pikiran dan perasaan wanita itu di saat-saat awal menuju demensia? Ingatan mana yang ia tinggalkan pertama kali? Atau, ingatan mana yang bandel nekat berdiam di kepalanya?
Maka bayangkan, wanita itu berdiam seperti jam dinding yang rusak, tidak berdetak, tidak tahu pukul berapa sekarang, atau hal-hal yang terjadi di detik yang baru saja lewat. Dan ia tak peduli semua itu. Kesunyian dan diam abadinya bagaikan sudah menjadi suatu yang mekanis atas dirinya. Ia telah berdamai serta menerima kelupaan akut yang tidak tersembuhkan itu sebagai cara lain untuk bertahan hidup.... Seperti apa pikiran dan perasaan wanita itu di saat-saat awal menuju demensia? Ingatan mana yang ia tinggalkan pertama kali? Atau, ingatan mana yang bandel nekat berdiam di kepalanya?
Akan hadir September 2016, novel pertama saya yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.
Silakan simak sekilas pengantar dari Efix Mulyadi, Wartawan Senior Harian Kompas dan Kurator Bentara Budaya, yang mengantar pembacaan atas novel ini.
Perburuan Mencari Diri
Tragedi 1965 tidak berhenti hanya
pada angka. Para korban bukan hanya mengisi kolom statistik, tapi mereka juga
punya kehidupan masing-masing, yang dipangkas paksa. Banyak darah tertumpah,
namun lebih banyak lagi kesedihan dan kepahitan berganda yang terus
menggerogoti warga bangsa ini. Bali adalah salah satu daerah di luar pulau Jawa
yang menjadi saksi kebrutalan antar manusia tersebut. Dampak masa kelam itu
antara lain tergambar dari luluh lantaknya kehidupan seorang dalang perempuan,
yang menjadi semangat utama penceritaan novel ini.
Pengarangnya Ni Made Purnama Sari
mengajak pembaca secara perlahan mengikuti kisah sang dalang yang bernama Ni
Rumyig. Itu tiap kali tersirat dan tersurat lewat gerak fisik dan batin tokoh
aku—perempuan muda 25 tahun—yang sekaligus adalah pencerita.
Seperti menghadapi sebuah kisah
misteri, pembaca dituntun oleh gaya penceritaan novel ini yang membuka dirinya
selapis demi selapis. Pada awalnya hanya sekilas muncul nama dengan dibubuhi
keterangan “wanita tua yang kutemui beberapa tahun yang lalu di Bali, tanah
kelahiranku”. Itu langsung disambung dengan kalimat berikutnya, “Seketika saja,
sececap asam menyela rasa di antara manisnya buah tomat yang tengah kulumat
dalam mulut”. Perhatikan bahwa hanya sekelebat kenangan terhadap sang dalang
sudah cukup untuk memberinya “sececap asam”, menyiratkan apa yang bakal ditemui
pembaca pada halaman-halaman berikutnya.
Dalam kesempatan lain, informasi
yang juga hanya secuwil diselipkan dalam kisah tokoh aku yang mengalami semacam
“gegar budaya” di Belanda semasa menjalani tugas penelitian di Universitas
Tilburg. Kemudian sekilas uraian sangat singkat yang lain terbaca di tengah
rasa takjub tokoh aku yang mendapati diri sendiri berada di Belanda. Tertulis
di situ, “….ia justru harus menjalani hidupnya dalam demensia. Ia tak mengingat
apapun tentang dirinya, termasuk masa lalunya, kenangan terindahnya, hingga
siapapun di sekitarnya….”
Novel ini mengenalkan satu sisi
kehidupan berdasar adat di Bali yang jarang terlihat di permukaan. Perkara itu
diceritakan lewat sosok seorang perempuan yang menjadi dalang wayang—sebuah
posisi sosial sekaligus profesi yang unik, karena sampai pada masa yang disebut
di dalam novel, perempuan tidak diharapkan hadir di dalam pagelaran wayang
sampai larut malam, apalagi menjadi dalangnya. Masyarakat menganggap perempuan
seperti itu “anak luh dadi seluk” – boleh dijamah lelaki mana saja.
Pada dasarnya, pengenalan pembaca
terhadap Ni Rumyig berjalan seiring dengan pengenalan terhadap sang tokoh aku.
Digambarkan bagaimana tokoh aku bingung dan tidak percaya diri mendapat tugas
yang dianggapnya sangat berat, bahkan musjkil: menulis biografi seseorang yang
mengidap demensia, padahal harus dijalani dengan serangkaian wawancara.
Bagaimana ia mengatasi persoalan ini menjadi semacam janji pemenuhan yang
disebar dari halaman ke halaman berikutnya, dan menjadi pelumas dari
perkembangan cerita itu sendiri.
Ni Rumyig dan demensia. Seorang
dalang perempuan dan penyakit degeneratif yang disandangnya. Apa itu demensia?
Sebagai awam kita lebih sering mendengar tentang “alzheimer”, mungkin juga karena media massa belakangan
ini sering mengulasnya sehubungan dengan kampanye gencar “Menolak Pikun” di
berbagai kota. Demensia adalah nama umum gangguan yang merupakan sindrom
neuro-degeneratif, di mana alzheimer yang paling banyak diidap penderitanya .
Sindrom itu dampak dari kelainan yang kronis dan progresif dengan gangguan
fungsi luhur yang jamak dan serempak…. dan seterusnya: anda bisa mencarinya
sendiri di internet. Bukan tugas sebuah novel atau tulisan fiksi apapun untuk
menjelaskan ikhwal sesuatu penyakit sesuai dengan yang diperoleh di bangku
kuliah. Yang penting adalah, ketika menyebut sesuatu gejala entah penyakit atau
pencapaian teknologi (yang pada umumnya jauh dari keseharian para penulis
fiksi) mampu meyakinkan pembacanya.
Mengapa Ni Rumyig yang begitu kuat,
bahkan ber-taksu bisa runtuh menjadi pribadi yang tak berdaya di dalam
sekejap mata? Mengapa perubahan yang drastis terjadi pada seorang seniman yang
hebat dan mumpuni menjadi luluh lantak? Mengapa di puncak karirnya yang
mencorong –ia diundang berpentas di berbagai desa bahkan terpilih untuk tampil
di dalam arena festival bergengsi—seperti mendadak saja ia menghilang dari
peredaran begitu saja?
Berbagai pertanyaan yang turut
membingkai perjalanan cerita ini bermuara pada peristiwa kerusuhan berdarah
tahun 1965. Sejumlah nama besar di dalam peta kesenian Indonesia yang terdampak
badai sosial politik pada masa kelam itu masuk ke bui atau Pulau Buru. Dalang
perempuan hebat dari desa Kemenuh ini menghadapi berbagai tudingan dan sanksi
sosial yang juga tidak alang kepalang beratnya. Hal itu ditambah dengan faktor
budaya setempat yang memandang rendah kepada perempuan yang terlibat pementasan
wayang. Tapi benarkah paduan berbagai faktor itu yang menceburkannya ke dalam
jurang demensia?
Dengan ketrampilan mengolah kata,
Made Purnama Sari menggiring pembaca untuk tekun mengikuti gerak kisahnya. Ikut
membuka selubung misteri, selembar demi selembar. Beberapa ungkapannya terasa
khas. Coba perhatikan, novel ini diawali dengan kalimat yang menarik: “Musim
panas kota Tilburg seperti tomat cherry yang lumat di mulut”.
Apakah pengarang mengambil model
dirinya sendiri untuk ditaruh sebagai pencerita, sang tokoh aku? Dalam
kehidupan nyata ia juga seorang penyair, penulis cerpen dan essay. Antologi
puisinya “Bali-Borneo” mendapat penghargaan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2014.
Ia juga memenangi Sayembara Manuskrip Buku Puisi tahun 2015 Dewan Kesenian
Jakarta.
Pengarang adalah juga seorang
mahasiswi S-2 yang beberapa bulan menjalani tugas penelitian di Universitas
Tilburg, serupa dengan tokoh aku yang menjadi sumber penceritaan novel ini.
Apakah kesejajaran ini menjadi
penting?
Tentu, terserah kepada pembaca, yang
boleh meneliti setiap kata yang mungkin berdampak pada perjalanan ulang alik
antara dunia karangan dan dunia kenyataan, antara fiksi yang dihasilkan dan
fakta yang memproduksinya.
Apakah perburuan mencari pribadi Ni
Rumyig yang hilang sebenarnya juga perburuan mencari diri pribadi tokoh aku,
juga menjadi perkara menarik. Apalagi kalau kemudian pembaca menemukan
pararelitas di antara ketiga tokoh nyata dan karangan ini: Ni Rumyig, tokoh
aku, dan Made Purnama Sari.
Bagaimanapun juga, ini adalah buku
novel pertama yang dihasilkannya. Seperti kata para bijak, dalam pencapaian
apapun selalu ada yang pertama. Mengingat hal itu, dengan suka cita kita boleh
mengucapkan selamat datang kepada Made Purnama Sari di dunia penulisan novel.
Jakarta, Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar