Senin, 06 Desember 2021

Melodi itu Mengkhianati Dia

Saya lahir dan besar di sebuah tempat yang mencintai tradisi dan kebudayaannya. Saya pula, saat ini, merantau di kota yang bangga akan kesenian warisan leluhurnya. Tetapi, sebuah perjalanan yang saya lakukan belakangan ini, bukan berhubungan dengan dua wilayah tadi, yaitu Bali dan Yogyakarta, melainkan ke satu kawasan pesisir utara Jawa, membuat saya merenungkan kembali arti tradisi, seni, dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Perenungan yang getir, sebenarnya. Dan hanya Indramayu sajalah yang sanggup menerbitkan kegetiran itu.

Jika bukan karena urusan pekerjaan, saya tidak mungkin terpikir menginjakkan kaki di sana. Misi kami sederhana: merekam sosok seniman setempat, Ki Warsad Darya sang dalang wayang golek cepak, demi tayangan video konten. Semenjak bertolak dari Lempuyangan, saya berpikir bahwa prosesnya tidak akan terlalu sulit. Semua narasumber telah dihubungi, jadwal wawancara sudah ditentukan, begitu juga kawan yang akan berkeliling menemani, yang jauh-jauh hari saya hubungi, menyatakan siap menjemput kami pukul tiga dini hari di Stasiun Jatibarang. Tiga hari kunjungan bakal lancar tentu, begitulah batin saya.

Sebagaimana dijanjikan, kami bertemu Suryana dan Roehan, punggawa Saung Sastra Indramayu, di pintu keluar stasiun. Tidak ada sesiapapun turun di Jatibarang pada waktu yang ganjil seperti itu dan mereka dengan segera mengenali kami. Sedikit bertukar sapa seraya menaikkan barang bawaan, kami lekas menumpangi mobil menuju titik pertama perjalanan kami: pasar besar Kota Indramayu.

Dengan naif, kami berpikir barangkali elok jika sempat merekam denyut warga, dan pasar selalu jadi cerminan yang paling pas. Samar-samar saya seperti bisa mendengar pekik riuh buruh angkut serupa suasana Kumbasari nun di kampung halaman, hingga aroma jeruk yang terinjak-injak di beceknya jalanan. Saya bayangkan pasar yang berdetak, sesak, dan penuh keringat mirip Palmerah yang bersebelahan dengan pondokan saya sekian tahun.

Alih-alih semua itu, pasar yang kami datangi lengang adanya. Los-los berjajar sekenanya beratapkan terpal tenda, barang bertumpuk di atas meja reyot, dan beberapa pedagang asyik saja pada layar ponselnya. Di satu lapak bumbu dapur, bersisian dengan sekeranjang bawang merah, ada sekotak penuh buah tomat: hijau muda dan merah cerah nyaris membusuk. Siapa yang akan membeli tomat-tomat seperti itu, yang bakalan tak laku, dibuang atau bahkan jadi pakan ternak?

Kami memasuki sebuah warung dalam pasar, memesan secangkir kopi, dan menyantap beberapa penganan. Di luar sana, tiga pengamen remaja tengah beristirahat, bersandar pada sebuah meja lapak yang kebetulan tutup. Alat musiknya ketipung dan gitar buntung. Sementara dari kios sebelah, dangdut kaset rekaman mulai diputar keras-keras. Ketika Jepri, teman saya, berceloteh tentang musik irama Pantura, saya hanya terdiam. Suasana muram pasar entah kenapa membangkitkan sebuah idiom lama dari buku yang dahulu pernah saya baca: “Melodi itu mengkhianati dia sepanjang hidupnya.”

Saya lupa buku apa. Kelihatannya non-fiksi tentang burung-burung penyanyi Amerika Latin sepanjang musim kawin. Entahlah. Tetapi, saya kira itu ungkapan tepat adanya.

Melodi itu, yang mendayu dari dangdut, tarling, dan organ tunggal, telah merasuk di hati orang-orang Indramayu. Mereka diperdengarkan setiap saat, beberapa terlantun lirih dan beberapa rancak seronok, amatlah populer menarik perhatian bilamana dipentaskan di panggung-panggung hajatan. Hal yang mengejutkan saya ialah tidak jarang mereka tampil sebagai jeda pertunjukan tradisi lain, katakanlah tari topeng. Kenyataan ini mencengangkan, terutama bagi saya yang sedari kanak menyaksikan topeng sebagai pertunjukan sakral penyempurna ritual nun di Bali sana.

“Sekarang pemerintah mencitrakan Indramayu sebagai Kota Mangga,” kata Suryana seraya menunjuk deretan pohon mangga di sepanjang jalan dan pekarangan rumah. Saya memerhatikan jalanan sepi pukul tujuh pagi, pemotor bersliweran tanpa helm pengaman, ilalang di tepian alih-alih trotoar bagi pedestrian, rumah-rumah tanpa pagar, lalu sebuah kawasan megah islamic centre dekat Bunderan Mangga. “Dulunya kami dikenal sebagai lumbung padi,” Suryana melanjutkan. Saya terlanjur tak minat bertanya apa alasan di sebalik perubahan nama itu.

Dan pelan-pelan saya seperti menemukan jawabannya: kultur agraris agaknya memang telah luntur bagi masyarakat Indramayu. Meskipun beberapa ritual masih dilangsungkan sehubungan masa tanam maupun musim panen, sebut saja mapag sri, ngarod, unjungan, maupun nadran, kelihatannya nilai budaya agraris tidak lagi terlalu merasuk. Di daerah-daerah lainnya, budaya agraris biasanya lekat dengan pemuliaan alam dan hubungan antarmanusia, tecermin lewat makna upacara maupun kesenian yang mengiringinya. Penanaman budaya ini setidaknya sedikit banyak juga berpengaruh pada sikap-sikap dan cara pandang penduduknya.

Bukannya pemuliaan, yang saya temui, meski hanya sekilas dalam tiga hari kunjungan, ialah banalitas kenyataan.

Dengan tak percaya, saya mendengarkan cerita tentang pembiaran rusaknya jalanan sebuah kampung akibat perbedaan pilihan politik atau bagaimana rumah-rumah warga masih digedor preman pendulang suara, hingga narasi-narasi oligarki kekuasaan—sesuatu yang tak terbayangkan terjadi di sebuah wilayah yang hanya dua jam jaraknya dari Ibukota.

Saya hanya bisa melongo mendengar pengakuan bahwa kebanyakan keluarga lebih senang memiliki anak perempuan lantaran bisa ‘dijual’ kawin kontrak daripada anak laki-laki yang katanya tak becus melakukan apapun.

Saya pun tertegun menyimak tingginya angka perceraian lantaran juragan sering kawin ketika musim panen kemudian menceraikannya mana suka—dan tidak banyak pilihan nasib selanjutnya bagi perempuan-perempuan ini selain mungkin melacur di pinggiran Pantura maupun pelosok persawahan Desa Bongas. Atau bahkan, jadi tenaga kerja wanita di luar negeri sana.

Dan saya tersentak ketika seorang kawan bercerita sebuah kasus mengegerkan: seorang ibu tega menenggelamkan anak tirinya yang balita dengan bantuan satu bocah tetangga…dan bocah ini dibayarnya sejumlah tujuhpuluh ribu saja. Betapa murahnya nyawa manusia!

Kabar-kabar permukaan ini membuat saya gelisah memikirkan makna tradisi bagi orang setempat bahkan sampai beberapa hari saya pulang dari Indramayu. Sungguh tak terbayangkan jika saya benar-benar dilahirkan di tempat ini, peruntungan macam apakah yang bisa saya jumpai? Tidak adakah jejak-jejak budaya agraris itu, penghormatan kepada ibu bumi, kasih dan rahmat semesta? Apakah betul Pantura telah menggerus kehidupan di sini dan memperlakukan seni maupun budaya hanya sebatas hiburan, bukan penghayatan, di mana semua yang esensi tergantikan oleh komoditi?

Saya tidak mengerti. Saya hanya memahami bahwa gempuran perubahan adalah niscaya, begitu pun yang terjadi di Bali lewat masifnya pariwisata sejak 1970-an. Namun, berbeda dengan tanah lahir saya, Indramayu sungguh wilayah yang jauh lebih makmur dengan sumber daya alam agraris, bahari, dan mineral yang tidak terkira. Saya pedih melihat betapa pemiskinan terus-menerus dipelihara di mana segalanya dirampok habis-habisan di sana.

Saya tentu terlalu naif jika membayangkan betapa seni sanggup memperhalus budi manusia. Tapi, saya masih mempercayainya. Meskipun seni adalah sebuah wujud sublimasi atas pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas, yang tidak semua orang sanggup meraihnya, saya masih meyakini bahwa penghayatan terhadapnya yang dilakukan terus menerus akan mampu mengajak kita menimbang segala nilai hidup. 

Bali dan Yogyakarta beruntung menjadi tempat persinggahan sekaligus pertemuan. Budaya yang mereka miliki, meskipun kadang sengaja dicitrakan, sedikit banyak sanggup membangkitkan nostalgia serta kerinduan untuk selalu ‘pulang’ kembali.

Sedangkan Indramayu, agaknya cuma bisa menerima takdir sebagai perlintasan. Dia tak akan menjadi pusat perhatian, tenggelam dalam bayang-bayang Ibukota. Orang-orang hanya akan sepintas lewat, di jalur Pantura, di pesisir Laut Jawa, dan dengan demikian Indramayu seakan selamanya bernasib ditinggalkan.

Ketika kami menelusuri jalanan kampung tengah malam sepulang menyaksikan sandiwara sekitar Indramayu Barat, Roehan dengan bersemangat memutar tarling nan rancak buat menghalau kantuk. Saya hanya bisa menerawang ke kegelapan di luar sana, kembali memikirkan kalimat dalam buku tadi: “Melodi itu mengkhianati dia sepanjang hidupnya.”

Yogyakarta, 6 Desember 2021

Senin, 08 Februari 2021

Putik Rambutan dan Penyu Hijau

Ternyata, lama sekali saya tidak menulis di laman ini.

Nyaris tiga tahun. Waktu yang cukup untuk panennya sebuah pohon rambutan dari benih cangkokan atau masa yang dibutuhkan seekor penyu hijau buat melakoni siklus bertelurnya. Dalam kurun tempo itu, bisalah kita bayangkan tumbuhnya batang, ranting, juga dedaunan, di mana pohonan bakal meninggi dan merimbun, sampai bermunculanlah putik-putik bunga yang menjanjikan ranum manisnya seikat buah. Pun, muncul juga kilasan seekor penyu yang mengelana di lautan luas sana, yang meliuk di kedalaman, yang sebatang kara memenuhi takdir nasibnya sampai bertemu penyu lain pasangannya, terjadilah percintaan berselimut arus lembut di dasar suatu palung, lantas disusul pengembaraan lain kembali ke pantai tempatnya dulu dilahirkan. Betapa indahnya semua itu. Kehidupan yang niscaya.

Dan, apakah persisnya yang sudah saya lakukan selama tiga tahun itu? Ternyata hanya sedikit, boleh dihitung dengan jari saja. Saya tidak jadi pindah ke kampung halaman melainkan pindah di Yogyakarta, tidak menulis banyak kecuali beberapa puisi dan satu prosa yang saya ragukan kualitasnya, memulai lagi hidup mondok seperti sebelum-sebelumnya, dan tidak banyak mendapati kawan-kawan baru. Apalagi kemudian terjadi pandemi, yang membuat saya sama sekali kehilangan kesempatan bepergian dan bertemu teman-teman di lain kota sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Betul-betul, agaknya ini kali pertama dalam hidup saya merasai kesendirian macam begini.

Jika ada yang sering menyebut nama saya belakangan ini, tak lain hanya penjaga kasir di warung-warung kopi. Saya punya beberapa langganan yang saya kunjungi bila hati diselimuti nuansa-nuansa batin tertentu. Misalnya, ada sebuah kedai yang hanya saya datangi saat sedang ingin membaca dan duduk berlama-lama menyaksikan lalu-lalang jalanan. Tempat lainnya untuk sekadar mendengarkan musik pilihan mereka. Lainnya, yang berlokasi agak jauh dari pondokan sekitar Wirobrajan, saya kunjungi khusus ketika hati dirundung gundah yang saya obati dengan bersepeda sekian puluh menit. Sapaan mereka, penjaga kasir ataupun para barista itu umumnya selalu serupa: mereka menanyakan kabar dan kepingin tahu kenapa saya mulai jarang mampir ke warung mereka. Cuma itu. Mereka tak pernah bertanya apakah saya datang sendirian hari itu. Mereka tahu kebiasaan saya, menu yang saya pilih, dan satu kenyataan pasti bahwa saya tak pernah datang bersama siapapun.

Percaya atau tidak, saya melalui semua itu selama setahun lamanya.

Dan entah berlangsung sampai kapan.

Terkadang saya rindu berbicara dengan seseorang, sesosok manusia yang nyata, dan kepadanya cerita-cerita dibagikan. Saya rindu menatap dan bercakap hangat seperti halnya bertahun-tahun yang lalu. Saya kangen mendengar suara-suara penuh rasa dan saya ingin menyentuhkan kedua telapak tangan ini ke jari-jemari manusia yang lain, membiarkannya diam sejenak seakan tiap kerutan dan gerakan samarnya mewakili bahasa-bahasa yang tak sanggup diucapkan—dan kami satu sama lain secara ajaib memahaminya. Dulu memang pernah ada satu nama yang pribadinya saya bayangkan menjadi sandaran jiwa, sampai kemudian saya menyadari kalau itu hanya ilusi. Dan sahabat saya yang lain? Ah, apakah memang begini nasib seorang rantauan dengan kepribadian tertutup, yang dalam jutaan manusia di sekelilingnya hanya berkawan satu dua orang, dan ternyata mereka tak selalu ada di sisimu?

Barangkali ada pula sisi baiknya: belakangan saya makin sering membaca buku. Yang menyenangkan, saya mulai menikmati membaca nonfiksi, oh, ada beberapa di antaranya yang sangat menarik, baik yang bertema sains maupun humaniora—ini pengalaman baru dan positif saya kira, sebab dalam waktu yang lama sebelumnya saya hanya memberi minat pada karya-karya fiksi semata. Sempat terpikir mungkin ada baiknya kalau satu dua unggahan di laman ini didedikasikan untuk buku-buku yang saya sukai, karena ya, Anda tahu kan kalau ingatan kita serba terbatas dan mencatat kehadiran mereka dalam sebuah ulasan yang personal tentu akan bermanfaat penting bagi proses pembacaan kita yang terus-menerus bertumbuh itu.

Semua hal itulah yang saya lakukan di kala pandemi ini. Bersepeda, membaca, bertukar sapa sesekali, dan mencoba mengakrabi kota yang kini saya diami. Saya tidak terlalu banyak berharap untuk karir yang digeluti saat ini, terus terang. Mungkin kedengarannya cukup egois, bahwa setelah sekian carut-marut urusan pekerjaan yang dihadapi, saya berpikir bahwa yang terpenting saat ini ialah merawat pikiran dan batin tetap sehat. Aneka peristiwa bergulir setiap harinya dan untuk dapat terus bertahan hidup di dalamnya seseorang mestilah lentur luwes, seperti ranting-ranting muda pohon rambutan yang menyerap cahaya matahari, bertumbuh perlahan menjangkau musim semi; atau seekor penyu yang mengasah gesitnya gerakan di  tentangan arus samudera nan asing, yang membekali dirinya dengan memori-memori penting selama hidupnya, terkhusus ingatan abadi tentang pantai tempatnya lahir yang menjadi titik penting dalam siklus nasibnya sampai bertahun-tahun selanjutnya. Ya, kejadian datang pergi silih berganti, selebihnya kita sebagai manusia mesti punya cara buat melaluinya.

Sebelum tulisan ini menjadi tausiyah, izinkan saya menutupnya. Dari sekian banyak kata yang tertulis ini, sejatinya saya hanya ingin mengucap salam buat teman-teman yang lama tidak saya jumpai. Sebuah lambaian dari sini, di sebalik jendela sebuah kedai kopi dengan pemandangan lintasan ramai jalanan di luar sana. Sabbe satta bhavantu sukhitatta.

Yogyakarta, 8 Februari 2021.