Sabtu, 31 Desember 2016

Batasan Dua Dunia

Tulisan berikut adalah sedikit pembukaan dari naskah novel yang sedang dituntaskan.

Sebelum orang-orang itu datang, satu per satu atau berdua, beberapa jumlahnya lalu bertambah jadi kerumunan, kukira diriku sedang terbaring di atas selapis permukaan danau es yang baru saja retak. Serpihannya melekat di kulitku, di lengan baju pemuda sebelahku, di kain penutup wajah seorang wanita yang kini terlepas dan menampilkan sebagian parasnya, yang sama sekali tidak kukenali. Juga menerpa bulu mataku, membuat kelopaknya sedemikian berat digerakkan, sehingga seakan lama benar aku terselimut gelap, tanpa mengetahui di mana adanya aku sekarang. Cuma dinginnya sesuatu yang mengalas tubuhku amatlah menusuk, pun terasa keras kaku, dan perlu beberapa lama aku menyadari bahwa tangan kiriku bergeming menanggapi kehendak pikiranku.

Tak ada satu pun di antara kami yang beranjak. Aku tetap diam. Mungkin selama beberapa menit, atau berjam-jam, atau selama separuh usiaku yang sudah lewat. Tidak bisa kuingat lagi tiap kejadian secara rinci. Semua kesadaran akan kenangan itu seketika lindap; diriku kini mengapung di permukaan yang mudah goyah, terancam kedalaman air di bawahnya yang siap menenggelamkan diriku pada keheningannya yang abadi. Betapa rapuhnya hidup kami ini, tanpa daya menghadapi nasib buruk, dan walau bersama-sama seperti ini, kami tahu, bahwa pengalaman mati akhirnya datang menemui secara pribadi. Setelah itu, mungkin kami akan bertemu kembali sebagai ikan-ikan nun di bawah atau hanya makhluk kecil tak bermata yang mencoba menjangkau secercah cahaya, sampai datang orang-orang lain yang terjerembab jauh ke dasar sana. Maka kami akan membentuk suatu kota baru, kehidupan baru, dengan cerita-cerita baru yang tumbuh dari kenangan kami perihal dunia di atas sini, barangkali. Dunia pun dimulai, dengan sebuah keyakinan bahwa apa yang mempertemukan tiap manusia, kiranya itu jua yang memisahkan. Bukan maut, bukan waktu.

Tapi, lapisan es ini sudah retak. Celah menganga di sana-sini dan membuka pintu masuk yang menghubungkan dua alam itu, entah dalam jalinan yang seperti apa, aku tak tahu. Aku ingat pernah memancing ikan-ikan di danau kampung halaman, mendayung sampan sampai jauh dari tepian, ditemani suara-suara angin yang menghembus permukaan air, begitu lembut. Tidak ada siapapun ketika itu kecuali aku dan bayanganku, kenyataan pengalaman dan keteduhan pikiran, juga sentuhan benda terjangkau tangan dan kilasan pohonan nun di garis daratan. Aku yakinkan diri bahwa ketenangan itulah yang akan mewarnai dua alam ini jika lapisan retak es akhirnya memudar—menjadikan peristiwa perpindahan antara dua dunia sebagai pengalaman sureal yang tidak bisa ditemukan di belahan bumi manapun.

Kelopak mata wanita yang terlepas cadarnya itu bergetar sekejap. Sehelai kain masih menutupi belahan pipi kirinya, penuh dengan serpihan es putih, bagai salju, atau mungkin cuma segugusan debu. Sewaktu terpejam, dia seperti tengah larut dalam mimpi. Kalem benar air mukanya, tiada tampak kecemasan maupun kebencian apapun yang acap ikut terserap pada saat kita tidur dan memaksa kita terbangun tiba-tiba seraya berkeringat dingin. Aku pernah mengalami yang seperti itu, dan rasanya sungguh mengerikan. Mengapa bisa kenyataan pahit sampai menyusup dalam khayalan, hingga mengganggu kesempatan istirahat—satu dari sedikit peluang untuk menepis aneka hal buruk yang telah ditemui? Tapi wanita ini, dia seperti malaikat, dengan roman kelembutan yang membayang, walau kutahu dia pun menahan sakit di sekujur tubuhnya. Sebagaimana halnya diriku.

Dan dia membuka matanya, segaris tipis yang menatap lemah, pertanda masih adanya kehidupan. Lewat pandangannya, kurasakan dia tengah mengeluh, perlahan nian, dan andaikan kami tidak dalam keadaan diam seperti ini, di tengah ratusan manusia lain yang juga sama bergeming, hanya disertai desisan uap yang menghembus udara, aku tidak akan menyadari gerakan sederhana namun menyiratkan suara batinnya yang terpendam itu. Boleh jadi karena dia pun mengetahui kalau dirinya tidak sendirian, wanita itu kemudian beralih menatapku. Sayu dalam senyuman tipis. Ya, sungguh dia malaikat, bagaimana mungkin dia bisa menyiratkan sapaan hangat melalui gerakan bibirnya yang getir itu?

Lakunya itu mengingatkanku pada seorang di masa silam, dalam kesempatan singkat menyelinap dari kerumunan demi mencuri sebuah ciuman. Bagiku waktu seakan terhenti seketika, dan ingin kuulangi terus pengalaman saat menatap matanya yang terpejam menantikan kecupan. Namun, ternyata tidak bisa juga. Selalu ada hal-hal yang bergerak di luar kuasa kita.

Karenanya, ketika senyum getir dari wanita di sebelahku ini terbayang dalam pandangku, aku sedikit terperanjat juga—aku seolah mundur jauh ke masa lalu, tatkala ciuman itu lekat pada bibirku.

Aku balas tatap kebaikan wanita itu dengan pandangan yang meyakinkan bahwa kita akan baik-baik saja. Jika pun kami terjerembab ke kedalaman nun di bawah sana, sudah ada sebuah kota, kehidupan lain, yang tengah menanti. Aku tidak yakin itu surga atau nirwana. Aku hanya percaya, apapun rupa dunia itu, yang jelas kami akan hidup kembali.

Tepat seusai aku lontarkan pikiran ini kepadanya, yang tentu dia pun memahaminya—dalam keadaan seperti ini kami satu sama lain bagai terhubung oleh suatu komunikasi transedental yang tidak terjelaskan—aku mendengar suara-suara yang mendekat. Kerumuman di luar sana, satu atau dua orang, merangsek masuk.

Lantas makin banyak saja gumaman. Beberapa terkejut dan menyebut nama tuhan. Lainnya berjibaku mengeluarkan kami. Desis mesin yang hangus makin jelas di telingaku. Bau anyir mengambang di sekitarku. Wanita di sebelahku, pemuda yang terbujur di dekatku, dan orang-orang lainnya dipindahkan oleh sekumpulan tangan yang tak kukenali punya siapa.

“Bantu yang di sini!” ada yang berteriak minta pertolongan.

“Api akan menyebar!” balas yang lainnya.

“Tandu, mana tandunya?!”

Juga banyak kalimat-kalimat lainnya; baru kali ini aku sadari bahwa kupingku berdenging, kesulitan menangkap bunyi-bunyian. Namun, mataku masih tetap menatap, sehingga dapat kusaksikan apa-apa saja yang mereka lakukan.

Seseorang menunduk meyakinkan kesadaranku baik-baik saja. Sedetik, atau dua detik, dia memegang kedua pipiku, kemudian sigap membopong tubuhku. Aku lihat dia memindahkanku ke sebuah tandu, disambut lebih banyak tangan yang membawa tubuhku keluar dari kereta cepat yang celaka. Tubuhku sekarang terpisah dari kesadaranku. Di sini, aku terbaring sendirian. Orang-orang yang datang segera menyelamatkan para korban. Barang-barang bawaan berceceran di lantai, termasuk berlembar-lembar kertas penuh bercak—sebuah naskah yang baru saja aku baca, sebelum sebuah ledakan bom bunuh diri menyerang kereta yang melaju ini.

Sungguhkah itu diriku? Mengapa rambut yang panjang itu tampak memutih?

Kuingat tadi, usai mencuci tangan dan membasuh muka di kamar kecil di stasiun, di sela pengumuman keberangkatan kereta serta lalu lalang para penumpang, aku menatap wajah yang terbayang pada cermin di hadapanku. Nanar tidak percaya, kulihat di sana diriku. Rambut hitam pekat, persis keadaanku saat dua puluh tahun yang lalu.

Cepat-cepat aku memalingkan muka. Cermin itu bagai selapis jendela bening menuju dinginnya pengalaman masa silam.