Dengan pesawat penerbangan perintis, kita bisa
”melompat” dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara. Penuh tantangan, tetapi
juga penuh keindahan, dan romantika rakyat yang ingin terbang.
”Terrain… terrain… terrain…!” bunyi itu terdengar
belasan kali saat pesawat yang kami tumpangi lepas landas dari Bandar Udara
Banda Neira, Maluku. Di bawah kami terbentang lautan Kepulauan Banda, sementara
di depan berdiri kokoh perbukitan. Sesekali pesawat terasa anjlok.
Tangan penumpang berpegangan di samping tempat duduk.
Suasana menegang. Pesawat hening sehingga teriakan dari alat enhanced ground
proximity warning system (EGPWS) itu terasa makin melengking.
Bunyi dari alat EGPWS itu merupakan peringatan bahwa
pesawat terlalu dekat dengan halangan. Jika dalam 30 detik pilot gagal
bermanuver, pesawat mengalami kecelakaan. Kali itu, nyawa kami benar-benar
bergantung pada kecakapan Kapten Boby A Subagio sebagai pilot.
Selang beberapa detik kemudian, Kapten Boby bermanuver
dengan membelokkan pesawat Kalibrasi Model B200GT itu ke kiri, meninggalkan
Banda menuju Bandara KS Tubun di Langgur, Tual. Begitu pesawat melesat
meninggalkan Banda, Boby berkata, ”Sudah aman.”
Para penumpang antara lain Wakil Menteri Perhubungan
Bambang Susantono dan Direktur Bandara Kementerian Perhubungan Bambang Tjahjono
tampak lega. Ruang kabin pun menghangat dengan beragam obrolan.
Bandara terekstrem
Bandara Banda Neira di Pulau Neira itu diapit Pulau
Banda Besar dan Pulau Gunung Api. Panjang landasan hanya 900 meter, yang
dihadang laut di setiap ujung. Itu menyulitkan. Hal lain adalah turbulensi
akibat angin yang menabrak perbukitan dan kondisi pesawat penuh muatan.
Boby sudah menghitung dengan detail dan menyimpulkan,
sangat sulit lepas landas di Banda Neira. Dia telah mempersiapkan diri dengan
beristirahat sampai 12 jam sebelum penerbangan. Bahkan, kepada Bambang
Tjahjono, Boby mengatakan, ”Kalau gagal take-off, ya kita nyebur laut. Ini
kemungkinan terburuk.”
Bagi Boby, yang memiliki sekitar 9.000 jam terbang itu,
Bandara Banda Neira adalah bandara terekstrem yang pernah dia jelajahi. Dia
merasa lolos dari lubang jarum begitu sukses lepas landas dari Banda Neira.
Pilot Aviastar Kapten Amrullah Hasyim mengakui bahwa
Bandara Banda Neira adalah salah satu bandara terekstrem yang pernah ia
jelajahi. Pilot dengan sekitar 11.200 jam terbang itu menyarankan agar para
penerbang pemula sebaiknya menghindari bandara ini.
Bandara Banda Neira memang unik. Keunikannya tersebut
lebih karena kondisinya yang rawan bahaya. Bahkan, pesawat dilarang mendarat di
atas pukul 09.00 karena cuaca dan anginnya buruk. Wajar jika ada yang
memasukkan Bandara Banda Neira sebagai salah satu bandara dengan kondisi
terekstrem di dunia sejajar dengan Bandara Tenzing-Hillary di Nepal dan Bandara
Courchevel di Perancis.
Pada saat kami hendak lepas landas, Kepala Bandara
Banda Neira Baltasar Latupeirissa memastikan kondisi angin dan cuaca tidak
membahayakan penerbangan. Dia terlebih dulu berkonsultasi dengan kantor Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika setempat.
Timbang badan dulu
Penerbangan pesawat selalu memosisikan penumpang dalam
bahaya. Kedisiplinan menjadi tonggak penangkal bahaya tersebut. Di Papua,
Aviastar menimbang satu per satu berat badan penumpang dan barang bawaannya.
”Meskipun kursi yang tersedia untuk 18 orang, jika berat badan mereka melebihi
kapasitas, terpaksa harus ada yang mengalah,” kata Commercial Manager Aviastar
Mandiri Petrus Budi Prasetyo.
Pilot Kapten Amrullah Hasyim kerap harus bertindak
tegas terhadap penumpang yang memaksa membawa barang berlebih. Perlu pendekatan
khusus untuk memberi pengertian kepada penumpang. ”Ada juga penumpang yang rela
memasukkan anaknya ke dalam kardus, sementara dia menggendong babi di kursi
penumpang. Saking sayangnya mereka dengan babi,” kata Amrullah.
Cerita serupa dialami Flight Operation Officer
Aviastar Hendra Husain. Ada penumpang yang menggendong babinya di dalam kabin,
sementara muatan sudah melebihi kapasitas. Kru pesawat berupaya membujuk dia
agar bersedia meninggalkan babi itu. Namun, dia menolak. ”Begini saja, saya
bayar satu tiket lagi asal dikasih duduk bersama babi saya,” kata Hendra
menirukan penumpang itu.
Kadang kala, penumpang rute perintis di pedalaman itu
bermuslihat untuk mendapat tiket gratis, mulai dari mengaku sebagai anggota
”ABRI” sampai mengaku ada anggota keluarganya meninggal. Namun, awak pesawat
rata-rata hafal dengan cara-cara itu.
Menghadapi situasi seperti ini, pilot ataupun kru
mengajak dialog. Meski akhirnya penerbangan telat 15 menit sampai satu jam, biasanya
penumpang mengalah dan menuruti aturan pilot.
Amrullah pernah nyaris jantungan di Bandara Enarotali,
Kabupaten Paniai, Papua. Saat menyalakan mesin pesawat, tiba-tiba datang
seorang warga mendekati propeler. ”Untung ada kru yang kasih tahu dan saya segera
mematikan mesin. Rupanya dia orang gila,” ujarnya.
Bandara-bandara kecil di pedalaman Papua mudah
diterobos warga karena pagarnya dirusak. Warga biasa berdiri atau duduk-duduk
di tepi landasan saat pesawat mendarat atau lepas landas. Ini tantangan tersendiri
bagi pilot rute perintis.
Keterhubungan di timur
Selama tiga hari terbang, kami menyinggahi sembilan
bandara kecil di wilayah timur Indonesia. Kami berangkat dari Ambon ke Banda
Neira, Langgur, Saumlaki, Alor, Larantuka, Maumere, Ende, Waingapu, dan
Tambolaka.
Di beberapa bandara, terlihat mencolok perbaikan
fasilitas bandara. Di Bandara KS Tubun, Langgur, Kota Tual, warga tengah
menikmati sensasi terbang. Mereka juga beramai-ramai mengantar sanak saudara
yang akan bepergian. Maklum, bandara ini masih baru, belum genap empat bulan
beroperasi.
Bahkan di Bandara Mathilda Batlayeri, Saumlaki, Maluku
Tenggara Barat, menara air traffic control baru dibangun. Untuk sementara,
pengawasan dilakukan dari lantai atas terminal bandara. Rute-rute penerbangan
juga terus bertambah. Geliat pembangunan bandara itu memperterang cahaya
keterhubungan wilayah timur Indonesia.
Namun, di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba
Timur, Nusa Tenggara Timur, kami mendapat cerita pahit. Lampu bandara dirusak
warga sehingga mengganggu penerbangan dan pendaratan pada malam hari.
Pelaksana Tugas Kepala Bandara Umbu Mehang Kunda
Supriyono mengatakan, para vandal itu adalah pencari rumput di sekitar bandara
yang sakit hati karena ditegur petugas. Padahal, petugas bandara menegur
lantaran keselamatan pencari rumput terancam ketika ada pesawat mendarat atau
lepas landas.
Kisah-kisah di atas itu mengawali keterhubungan Nusantara
lewat pesawat perintis.
Oleh:
(Sumber: Kompas, 7 September 2014)