Percakapan saya dengan Darmini, wanita resepsionis hotel
tempat menginap, sebenarnya berlangsung tanpa disengaja. Saya yang punya
kebiasaan untuk duduk setiap pagi di ruang depan demi membaca koran-koran lokal
agaknya diam-diam diperhatikannya dari meja jaga, hingga suatu kali dia menyapa
dan menanyakan hal-hal apa saja yang akan saya lakukan selama di Nunukan, Kalimantan Utara ini.
Sudah pasti saya menjawab pertanyaan dari wanita
separuh baya itu dengan kalimat sama bilamana saya bertemu orang-orang lain di
daerah ini, “Oh, saya mendapat tugas untuk menulis tentang kawasan perbatasan.
Tentang budayanya, kehidupan masyarakatnya.”
Saya tahu, Darmini sebenarnya sudah mengerti maksud
kedatangan saya ke kota ini, namun kiranya pertanyaan itu dilontarkan guna
lebih mendapatkan penguatan, yang saya yakin akan menimbulkan kesan-kesan
tertentu dalam dirinya. Seorang kawan yang acap melakukan penelitian pernah
menyampaikan, bahwa orang-orang mengajukan tanya yang normatif hanya demi
melihat reaksi yang bersangkutan saja, apakah si orang asing itu sikapnya cukup
ramah ataukah justru malah meremehkan. Sebab, sekarang baru saya akui, menjawab
pertanyaan yang sama secara berulang-ulang—walau di lain kesempatan—akan membuat
siapapun merasa jemu bosan, sehingga sering di luar dugaan akhirnya menyiratkan
kesan, “Wah, saya sudah beberapa hari di sini, bolak-balik di depan Anda,
kenapa hal yang sama masih ditanyakan?”
Hal itulah yang segera teringat dalam pikiran saya,
sehingga sedapat mungkin selalu berhati-hati ketika bercakap dengan siapa saja.
Kemampuan untuk menahan diri ternyata amatlah dibutuhkan.
Dan betul saja, setelah saya menjelaskan secara santun—mohon
maaf sekali, sungguh kalimat ini tidak punya maksud untuk meninggikan diri
sendiri—Darmini, yang kemudian saya panggil Mbak Min, berbalas bercerita
mengenai pengalamannya saat pertama kali datang ke Nunukan. Agaknya Mbak Min
memahami, bahwa kehadiran saya, si pengelana asing ini, mirip sekali dengan
dirinya dulu: sama sekali tidak tahu apa-apa perihal Nunukan. Saya baru
memahami bahwa Mbak Min berasal dari Jember, sangat dekat dengan Bali, dan
rela meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja ratusan kilometer jaraknya,
nun di perbatasan ini.
Wah, ini bahan tulisan yang menarik, demikian batin
saya sewaktu Mbak Min mulai bercerita, tentu masih sepotong-sepotong saja, yang
mesti dipancing dengan pertanyaan lanjutan dari saya. Maka, koran yang sedari
tadi saya baca lantas saya turunkan, diletakkan rapi di pangkuan. Pandangan
sepenuhnya saya arahkan kepadanya, yang masih duduk di bangku meja jaga di
sebelah saya. Untuk kali pertama, saya merasakan bahwa Mbak Min ramah sekali
raut mukanya—dan saya pun menyadari, sudah sejak dulu dia ingin membagikan
cerita ini kepada orang lain, yang tecermin dari tatap matanya yang antusias
ketika berbicara itu.
“Nunukan memang sedikit hiburan, Mbak,” begitu wanita
tersebut berujar, mungkin dikiranya saya kesepian sebab sering seorang diri
berjalan-jalan sekitar alun-alun. Saya pun cuma tertawa kecil, sama sekali
tidak berkomentar apapun. Rasanya, itu tipe ujaran yang tidak membutuhkan
penegasan, sebab siapapun tentu tahu bahwa orang-orang dari daerah lain,
apalagi yang sudah tinggal di daerah pusat kota besar, akan lekas merasa bosan jika kemudian pindah ke kota kecil seperti ini.
“Saya pun begitu dulu, Mbak,” lanjutnya.
“Satu-satunya hiburan yang saya dapat dulu adalah
ketika kapal-kapal laut dari Surabaya datang. Kapal Tidar dan Dobonsolo.”
Saya masih tidak menanggapi, hanya bisa tersenyum
dengan pandangan penuh tanya.
“Ya, kapal-kapal itu tidak ada lagi sekarang. Tidak
sampai Nunukan.”
“Ohh?” apa daya, hanya itu yang bisa saya ungkapkan.
“Mbak pernah lihat supermarket, kan?”
Lagi-lagi saya menyunggingkan senyum.
“Kalau Kapal Tidar dan Dobonsolo singgah, mereka itu
supermarket di atas laut…”
Saya tertawa, tanpa disengaja. Betapalah, bagaimana
mungkin ada supermarket di atas laut? Dalam batin saya, itu kapal penumpang,
bukan?
“Soalnya kapal-kapal itu sering bawa barang-barang
kebutuhan sehari-hari, termasuk perlengkapan makan, Mbak. Ada piring, gelas,
sendok…juga panci…”
“Oh, lalu kenapa itu bisa jadi hiburan?” saya bertanya
juga.
Kini giliran Mbak Min yang tertawa. Wajahnya kelihatan
sumringah sekali, dan dengan ceria melanjutkan, “Ya, zaman itu hubungan ke
Jawa susah sekali, termasuk mendapatkan barang-barang dari sana. Saya kangen
rumah, Mbak, jadi melihat atau membeli sendok yang dikirim dari Surabaya
pun sudah cukup senang….”
Segera saja saya tercenung. Sama sekali tak menduga jawabannya seperti itu.
Mbak Min tiba di Nunukan tahun 2007, sekitar empat tahun
setelah tragedi pemulangan ribuan tenaga kerja Indonesia dari Malaysia. Seorang
saudara yang sudah lebih dulu merantau di Nunukan mengajaknya ke sana demi
mengubah nasib. Ditinggalkannya rumah di kampung dan bersama suami, yang juga
bekerja di penginapan ini, Mbak Min mencari penghidupan sebagai
resepsionis hotel. Dia diberikan mess sebagai tempat tinggal, dan menurut
pengakuannya, kepulangan terakhir ke Jember adalah sekitar tahun 2010. Lama
benar, itu terjadi enam tahun lalu….
Menurut pengakuannya, ongkos pulang-pergi ke kampung
mahal sekali. Apalagi dia sudah punya dua anak, sehingga mau tidak mau mesti
ditanggung juga biaya transportasinya. Mari kita hitung berapa jumlah uang yang
harus disiapkan untuk sebuah keluarga (asumsikan bahwa keluarga ini terdiri
dari orangtua dan dua anak). Ongkos pesawat dari Nunukan ke Tarakan, katakanlah
sekitar Rp 250.000. Ditambah biaya pesawat dari Tarakan menuju Surabaya,
sebutlah berkisar Rp 1.500.000. Belum termasuk ongkos bus ke Jember, jatuhlah
di angka Rp 200.000. Sisanya Rp 50.000 kita genapkan sebagai pengeluaran makan
minum. Untuk satu orang, maka jumlahnya persis dua juta rupiah. Dikalikan
empat? Ya, sudah delapan juta, hanya untuk pulang mudik lebaran. Itu belum
termasuk oleh-oleh dan biaya kembali ke Nunukan, ya. Bisa-bisa angkanya
mencapai 17-18 juta!
“Jadi, saya mending tidak pulang lagi, Mbak,” ujar
Mbak Min kemudian.
Saya hanya bisa terdiam, terlebih dengan menyadari
bahwa saya kemari justru sepenuhnya dibiayai, dengan segala fasilitas dan
kemudahannya, yang tentu kondisinya jauh lebih baik dibandingkan apa yang sudah
diperjuangkan oleh Mbak Min selama merantau di kota ini.
“Dulu saya kemari naiknya kapal laut, Mbak,” lanjutnya
sambil tersenyum. “Pernah naik kapal laut?”
“Paling cuma ferry penyeberangan Jawa-Bali saja, Mbak,”
jawab saya tertawa, ingin mencairkan suasana.
Dia pun tertawa juga, dan melanjutkan, “Wah, itu ndak ada apa-apanya…Saya kemari naik
Kapal Tidar itu, dan sungguh mati saya tidak mau mengulanginya lagi, ha-ha-ha…”
Betapa terbuka sekali wanita ini, dia ceritakan semua
pengalamannya dengan ringan saja. Pasalnya, menurut pengakuannya, naik Kapal
Tidar amatlah tidak menyenangkan. Pertama, dia dan suaminya memesan tiket
terusan bus dan kapal laut sekaligus, dengan jurusan Jember-Nunukan. “Aduh, itu
kali pertama saya beli tiket kapal, jadi benar-benar tidak paham soal jadwal
dan semacamnya. Mbak bisa bayangkan, saya tiba di Tanjung Perak jam setengah
satu pagi. Sementara kapalnya berangkat ke Nunukan jam tiga sore….Waduh, saya
bingung benar bagaimana mesti gunakan waktu menunggu selama itu. Akhirnya,
hanya bisa kenalan ke sesama penumpang sambil menanyakan tujuannya. Pas ada
yang mau ke Tarakan, dan saya pun kemana-mana sama dia,” kisahnya, masih dengan
riang menertawakan diri sendiri.
“Memangnya tidak bisa beli lepasan gitu ya, Mbak?”
“Nah, itu dia. Harusnya bisa. Cuma saya ini kan masih
baru soal tiket-tiketan. Sementara saudara saya yang di Nunukan bilangnya beli
saja tiket langsung. Saya waktu itu pikirnya, ya, boleh juga langsung, daripada
nanti repot…”
Masalah ternyata belum selesai sampai di situ.
“Lagipula, Mbak, saya pikir, naik kapal itu tertib ya,
sesuai dengan nomor tiket yang kita punya. Kenyataannya? Wah, acakadut, Mbak….”
Begitu kapal diumumkan akan berangkat, para penumpang buru-buru
masuk, menyemut dan saling mendorong. “Saya kan tak mengerti kalau
ternyata sesudah di dalam kita mesti berebut tempat tidur. Kecolonganlah saya
beberapa kali…”
Untung kawan baru yang akan ke Tarakan itu
memanggilnya dari keriuhan rebut-merebut itu, dan menunjukkan sebuah tempat
tidur tanpa kasur, yang bisa dia gunakan.
“Pikir saya, yah daripada tidak ada sama sekali, ya
sudah terima saja. Ketika itu ongkos naik kapal sekitar Rp. 150.000 dan sewa
kasurnya tiga ribu rupiah….”
Pengalaman selama dalam perjalanan pun, dalam kesan
saya selama mendengarkan penuturannya, agaknya begitu rawan dan ‘berbahaya’.
Selama tiga malam mereka mesti berlayar ratusan kilometer, tentu dengan singgah
di beberapa pelabuhan, termasuk Pare-Pare. Saya tidak menyangka, kalau orang
dan barang benar-benar tumpah ruah di dalamnya, menyatu tanpa peduli dari mana
dan mau kemana mereka semua. Penjual makanan, tukang rokok, dan pedagang
keliling terus berjalan di antara para penumpang. Pun juga preman dan
pemeras calon tenaga kerja, tak luput menagih-nagih uang kepada siapa saja yang
ditemuinya, termasuk Mbak Min.
“Betul-betul tidak aman, sampai saya tak berani naik
ke geladak dan terus saja diam di tempat tidur. Patroli dari awak kapal sama
sekali tidak membantu. Saya sampai beberapa kali ditanyai orang, asal dari mana, mau kemana, yang intinya
mau minta duit….”
Entah bagaimana percakapan kami kemudian mengalir ke
soal pengalaman naik kapal yang dialami oleh beberapa kenalan Mbak Min. Di
antaranya perihal menu makanan yang disajikan selama pelayaran (Tengg…pukul tujuh pagi kami diberitahu untuk
sarapan, yang mengambilnya pun mesti antri, dan menunya, hanya nasi lembek
sedikit, sepotong tepung rasa telur dan kuah ikan), serta pengalaman para
tenaga kerja yang bersembunyi dari razia aparat selama pelayaran di laut.
“Mbak pernah tahu soal TKI kita yang dipulangkan? Mereka
sampai tidur rebahan begini di atas speedboat,”
Mbak Min menirukan dengan merapatkan tangannya ke tubuh seluruh-lurusnya, “Lalu
ditutupi sesuatu supaya tidak ketahuan. Berhimpit-himpitan begitu, dan baru
keluar setelah ada kapal penumpang di dekatnya. Mereka melompat naik
cepat-cepat agar tidak ketahuan….”
Seketika terbayang dalam benak saya mengenai kapal cepat di perairan Batam yang belum lama diberitakan karam. Kapal itu membawa
tenaga-tenaga kerja asal Indonesia. Dan, cuma sedikit yang selamat.
“Lalu, begitu sampai Nunukan, mereka ditempatkan di
penampungan. Awalnya saya pikir penampungan itu seperti ruangan luas yang
disekat-sekat untuk sekadar kamar, namun pada kenyataannya, semua orang,
ratusan jumlahnya mesti tidur tanpa fasilitas yang memadai,” tutur Mbak Min.
“Pernah ke sana?” saya bertanya.
“Saya pernah. Tapi saya tidak mau ke sana. Apalagi
tinggal, wah, kasihan sekali.”
“Masih adakah? Penampungan itu?”
“Masih ada, untuk tempat sementara bagi mereka yang belum
bisa pulang, Mbak.”
“Memang rawan, yang itu…,” tambahnya.
Sejurus pandangan kami bertemu. Dalam tatapan sesaat
itu, samar-samar saya memahami apa yang ada di dalam pikiran Mbak Min. Apa yang
tidak diucapkannya, tentang tempat-tempat penampungan itu.
Saya tidak melanjutkan pertanyaan ke arah tersebut,
sebab dalam batin, saya tidak ingin mengulas hal-hal yang tentu sensitif
mengenai daerah ini. Tiap-tiap perbatasan tentu memiliki masalah-masalah
yang hampir sama, apakah mengenai jalur-jalur gelap perdagangan, lintas
barang-barang ilegal maupun persoalan-persoalan semacamnya, pun tidak terkecuali
juga Nunukan. Topik-topik
ini telah menjadi semacam rahasia umum. Sudah diketahui siapa saja, kendati
masih saja kesulitan untuk menyelesaikannya secara menyeluruh.
Maka, pembicaraan kami hanya berlanjut ke seputar
kondisi ramai atau tidaknya Nunukan dari waktu ke waktu, soal penyesuaian bahasa,
maupun kesan-kesan lain selama Mbak Min tinggal di sini.
Tanpa terasa lebih dari satu jam kami bercakap. Dan
saya pikir, sebenarnya saya telah mendapat bahan cerita yang bagus sekali,
hingga kemudian saya mohon diri untuk kembali ke kamar menginap, sekarang
ini.
Saya harap, Mbak Min tidak keberatan kalau kisahnya
saya tuliskan.
Saya harap, Mbak Min tidak keberatan kalau namanya pun
saya samarkan.