Dari aneka kota yang pernah saya
datangi, Solo tetap memesona dalam segala rupa yang dapat diresapi:
keteduhannya begitu langka dijumpai terutama bagi mereka yang mukim di ibu kota
yang gegas berubah, hawa udara yang mengalun perlahan ibarat lantunan bunyi
gamelan tari tradisi turun temurun, dan yang utama, walau orang-orang datang
dan pergi dengan aneka ingin dan pengharapan, Solo seakan bersitahan diam dalam
kenangan demi kenangan.
Di pendopo wisma Taman Budaya Surakarta, saya menyaksikan semua
itu sedemikian nyata. Khusus berkunjung untuk bertemu Suprapto Suryodarmo (72),
akrab dikenal Mbah Prapto, yang tengah mengajarkan dasar filosofi tari, saya
mendapati Solo yang lain, setidak-tidaknya bagi saya yang baru ketika itu
bermalam lebih panjang di kota ini dibandingkan kesempatan-kesempatan
sebelumnya.
“Apa yang Anda lihat sekarang,” ujar Mbah Prapto seraya memandangi murid-muridnya berlatih di pendopo, beberapa meter dari tempat lesehan kami, “adalah suatu proses sekaligus pertunjukan kesenian.”
Amat lekat saya menatapnya, bagai menginginkan penjelasan lebih lanjut. Namun,
seperti halnya percakapan yang berlangsung sebelumnya, beberapa menit yang
lalu, saya selalu dikejutkan oleh kelebat pikiran yang muncul seiring dengan
tanya permohonan pengertian tambahan—yang kemudian tidak sempat saya lontarkan. Saya
pikir, yang dimaksudnya ialah bahwa menari bukan semata soal penampilan di atas
panggung sebagai wujud tontonan.
Seketika terbayang dalam ingatan saya, seperti apa penampilan para
penari Bali di masa silam, yang dengan lincah meliukan tubuhnya merespon ruang
di halaman pura dalam konsep panggung kalangan, seakan dirinya menyatu secara
alami dengan sekitarnya, memadu irama bersama gamelan dan tembang, wangi bunga
sesaji serta harum dupa, semuanya menautkan penari maupun pemirsanya dalam
suasana penuh pukau tiada terucapkan. Mereka mengada tanpa sekat. Tanpa batasan.
“Coba lihat Suzie,” tambahnya untuk mengarahkan pandangan saya
kepada salah satu murid asal Amerika Serikat, “Dia tidak punya kesadaran akan
tubuh belakang. Dan saya akan bilang itu kepadanya.”
Begitulah, Mbah Prapto lantas memberikan peringatan
sederhana: Coba sadari sekelilingmu. Kiri, kanan, atas, bawah, depan
dan belakang. Sang murid mendengarkan. Dia mencoba bergerak lebih luwes,
bukan hanya terpaku pada suatu sisi semata-mata. Ruang adalah tangan
terbuka berkesenian yang dapat direspon sebebasnya. Dia ibarat keluasan tiada
terbilang dan memungkinkan penari untuk bergerak sesuai dengan ekspresinya yang
terdalam. Sempit dan lapangnya suatu ruang bukanlah karena ukurannya, melainkan
disebabkan cara pandang seorang penari itu sendiri.
Ketika bergerak, walau kecil dan sederhana, dia sebenarnya sedang
berusaha melepas batas-batas yang melekat dalam pribadinya: memori, pengertian,
ilusi atas persepsi keindahan, kepatutan, sekaligus ketakutan, sampai tiada
yang tersisa kecuali kehendak gerak yang alami tanpa terkungkung aspek fisikal
apapun, seturut kebeningan kontemplasi batin yang mesti diasah berkali-kali.
“Sadarilah saat di mana Anda bisa berhenti,” lanjutnya.
Saat di mana kita bisa berhenti. Disadari. Saya
kembali berpikir dalam hati, ingin memahami ucapan yang terdengar biasa saja
itu. Kesadaran merupakan kunci dari setiap upaya meditatif dan
filsafati, yang selama berabad-abad coba direngkuh manusia dengan aneka
penjelajahan rasional dan empirik, termasuk kultur kontemplatif sebagaimana
yang diajarkan di Timur. Tidak jarang juga, mesti diakui, pencarian itu membawa
manusia pada labirin pikiran nan sulit ditelusuri, sehingga kehendak melalui
jalan pintas menjadi godaan tak terhindarkan. Sejarah menunjukan betapa kita
sering terjebak dalam konsep kesadaran luhur yang sedemikian abstrak dan
diterjemahkan ke wujud laku yang justru bertentangan dengan nilai kemanusiaan
yang paling hakiki sekalipun. Kesadaran dan kebijaksanaan merupakan perangkat
penting dalam menguji kebenaran, demikian pesan Sang Buddha.
“Dan janganlah percaya kepada apa yang Aku katakan, sebelum kamu
mengkajinya dengan kebijaksanaanmu secara cermat dan teliti,” demikian ujaran
Sang Buddha dalam Kalama Sutta. Saya tidak yakin bisa menyentuh esensi
ini. Yang dapat saya pastikan, dibutuhkan pengalaman amat panjang untuk sampai
ke hal tersebut. Permintaan Mbah Prapto selanjutnya bagi saya tidak kalah
menarik: bisa berhenti. Digunakannya frasa ini alih-alih: harus
berhenti. Dua kata itu, bisa dan harus jelas
bermakna beda: satunya menerangkan kemampuan, sementara lainnya menunjukan
kemestian yang pasti. Lebih lanjut, bisa berkonotasi pada
kesediaan melakukan, narimo, tahu apa yang dimau, bukan sebentuk
perintah kepatutan yang tak boleh ditolak.
Bagaimana tubuh bisa berhenti? Tentulah itu berdasar
dari kemauan tubuh itu sendiri, yang untuk memahaminya dia mesti didengarkan,
dirasakan, dan dihayati sebagai kesatuan antara pikiran, jiwa, dan raga. "Pahami
waktumu," tambah sosok yang duduk di sebelah saya itu secara santai,
ditujukan kepada saya sekaligus para muridnya. Segalanya mengalir seiring
waktu, tidak ada siapapun yang dapat melawannya. Karenanya, turutlah bergerak
bersamanya. Melangkah lekas, lalu terhenti. Berbalik segera, kemudian menahan
napas. Semuanya dilakukan semestinya secara natural, dan untuk meraih kealamian
yang tiada dipaksakan itu dibutuhkan latihan terus menerus. Tujuannya tidak
lain untuk memahami diri sendiri, kehendak natural yang meresap dalam diri
manusia, seraya melepaskan lapis demi lapis kungkungan dalam apapun wujudnya.
Tersenyumlah saya saat mendengarkan penjelasan Mbah Prapto atas
hal ini. Prinsip tari, yang menggunakan gerak dan tubuh sebagai mediumnya,
seketika hadir di hadapan saya sebagai suatu pencapaian seni yang lebih dari
sekadar tontonan: dia juga sebentuk proses untuk melatih kepribadian, pencarian
atas makna keindahan yang sejati, dan menggiring kita pada misteri penciptaan
yang sampai kini masih terselubung tirai, seberapapun peliknya kita hendak
menarik ingin terhadapnya.