Air mengepung hidup kita.
Itu danau air. Ini kopi air. Ini juga hujan air. Kita tersedu bersama air mata.
Pohon-pohon tidur dengan air dalam tubuhnya. Menyesap air dari kedalaman bumi.
Air itu menguap, lalu
kembali jadi air. Ia mengalir ke muara, lalu datang lagi sebagai embun.
Satu kisah yang saya kenang
dari cerita pewayangan: air adalah asal mula hidup. Konon ada manusia
bersahabat dengan ikan besar. Tapi saya lupa, entah apa yang dia lakukan,
sehingga namanya tercatat dalam kitab-kitab. Dia berteman dengan ikan itu dan
menyusuri samudera untuk mencari dunia baru? Dia menyelam bersama ikan itu
untuk menemukan mutiara rahasia penciptaan dunia?
Hal yang membuat saya
bertanya-tanya, dari manakah asal manusia dan ikan itu? Tercipta begitu saja? Plop! Generatio spontania?
Atau tiba ke bumi dengan
mengendarai kereta kencana, yang menurut imajinasi orang sekarang, sebenarnya
adalah pesawat luar angkasa dari galaksi nun di luar bimasakti?
Atau mereka ada, karena
manusia kehabisan imajinasi lagi dalam menduga-duga muasal dunia, dan
aneka isinya?
Orangtua saya, sejak kecil,
dikenalkan dengan air. Karena mereka tinggal di pesisir pantai. Ya, keduanya
adalah anak nelayan, yang kebetulan punya lahan sawah warisan keluarga
turun-temurun. Mereka bisa berenang. Bahkan konon, kakek saya jago sekali
berenang, sampai pernah menyelamatkan diri lantaran perahunya terdampar di
pantai dekat Kerobokan, Kuta. Kapal nelayannya pecah, dan dia harus berenang
melawan amuk laut agar sampai ke daratan.
Ibu dari kakek saya adalah
seorang penjual garam tradisional. Dulu mereka punya ladang garam di Tabanan.
Tidak seberapa besar, tapi cukup menghasilkan untuk bisa dijual.
Kenangan-kenangan
mereka—ayah-ibu saya—amat berdekatan dengan lautan. Hanya ibu yang dulu paling
suka bercerita perihal kondisi desanya di masa lalu. Termasuk bagaimana ia
berenang menyeberang sungai sambil membawa alat-alat bertani dan sekaligus
menggendong adiknya yang masih kecil.
Sedangkan kenangan saya
tentang air adalah ketika rumah kami di Denpasar yang saban tahun mengalami
banjir. Air depan rumah yang meluap sampai setinggi pinggang. Ayah-ibu pun terpaksa
membuat pintu besi yang bisa dipasang ulang, semata-mata agar air tidak
menerobos masuk. Maklumlah, rumah kami lebih rendah dibandingkan jalan di depan.
Dan karenanya air bisa saja mengalir masuk ke halaman, dan naik sampai ke
kamar-kamar.
Bila hujan deras tiba, kami
sekeluarga bersiap-siap menyelamatkan barang-barang yang ada. Kakak laki-laki
saya menaikkan motor ke teras. Ibu memindahkan mesin jahit dan bahan
pakaiannya. Dan ayah memasangkan pintu besi itu di gerbang depan. Air di jalan
memang sedikit masuk. Tapi tetap saja, rumah kami tampak seperti rumah kodok
(mungkin), yang mengapung di tengah genangan air. Lucu sekali.
Tapi, itu sama sekali bukan
kolam tempat saya dan kakak bisa belajar berenang ya. Bahkan, sampai sekarang
pun saya tidak bisa berenang. Lucu sekali.
Kadang jika teringat
peristiwa itu, kakak laki-laki saya akan berkelakar mengutip primbon yang dulu
suka kami baca saat kanak-kanak. Itu primbon yang dimuat pada kalender tradisi
Bali, di mana seseorang bisa meramalkan masa depan dengan mencocokkan hari
lahir berdasar penanggalan Bali. Saya, konon, akan kena celaka karena air. Saya
dan kakak ketawa saja membacanya. Barangkali, saya bakal tertimpa bahaya bila
rumah keluarga kami itu diguyur hujan lebat. Sangat lebat dan sampai bikin
banjir ke atap. Saya pun tenggelam, karena tak bisa berenang. Yah, itu alasan
yang paling mungkin terjadi. Saya kira.
Lalu ada lagi cerita tentang
air yang saya ingat. Suatu kali, saya bersama ayah dan kakak pergi ke sungai
dekat kampung halaman di Tabanan. Itu adalah desa tempat lahir ibu saya. Usia
saya kala itu masih kecil, sekitar sepuluh tahun, agaknya.
Lazimnya anak-anak kota yang
pulang ke desa, kami pun mengunjungi ladang kepunyaan kakek-nenek, dan menutup
liburan dengan berendam di sungai. Ya, saya cuma bisa berendam, bukan berenang.
Sementara kakak saya, yang usianya empat tahun lebih tua, sudah pandai aneka
gaya berenang. Hari itu, dia mengerjai saya habis-habisan dengan memaperkan
kepiawiannya menyelam timbul tenggelam di permukaan air.
Saya memang tidak
menggubrisnya, dan berjalan asyik sendiri di pinggir sungai. Tapi tanpa saya
sadari, ternyata saya menjejak dasar sungai yang mudah amblas. Saya pun
tenggelam. Rasanya tenggelam dalam sekali, sebab air berada jauh di atas
kepala.
Air di sekeliling saya
berwarna biru dan sedikit hijau. Entah darimana saya ingat kata-kata ayah,
supaya jangan main di sungai dengan warna begitu. Artinya, itu daerah dalam,
yang dasarnya tidak bisa diduga. Tapi saya terlanjur tenggelam. Hanya kaki saya
yang secara spontan mencari pijakan. Kira-kira itu berlangsung selama sekian
menit, hingga akhirnya kaki saya menemukan satu karang, sedikit tempat keras yang
membantu saya bangkit ke permukaan.
Saya terengah-engah. Saya
lihat ayah yang tertawa-tawa menyaksikan apa yang saya lakukan tadi. Hampir
menangis, saya bilang bahwa tadi saya tenggelam.
Ayah senyum-senyum saja.
Jujur, saat itu saya jengkel karena mengira dia sama sekali tak
mempercayai pengalaman tadi. Tapi kalau dipikir-pikir, tidak mungkin dia
begitu. Ayah selalu memperhatikan kami bermain, dan selalu membantu kalau kami
menghadapi hal-hal sulit, dengan caranya sendiri.
Saya sekarang sedang berada
di satu tempat, menunggu hujan reda. Tapi, setelah hampir tiga jam, gerimis tak
berhenti juga. Apakah di tempat Anda sekarang sedang hujan? Sekarang, di sana?