Makanan, bagi mahasiswa rantauan, adalah satu hal yang amat
sangat dipertimbangkan. Selain karena soal selera, kapasitas saku dan dompet
kerap jadi perhitungan dalam memilih menu. Seringnya—dan ini mungkin kedengaran
irasional namun nyata terjadi—seorang anak kos rela memperpanjang waktu puasa
karena belum terima kiriman dana. Yah, ini terjadi di mana saja, memang. Bahkan
mungkin di kampus-kampus top sekelas Harvard atau Cambridge, atau lain-lainnya.
Cuma saya kurang tahu, apakah di sana para pelajar boleh bon di ibu kantin atau
warung makan langganan? Hehehe.
Kadangkala ada saja mahasiswa yang tetap ingin
mempertahankan gaya hidup sehat meskipun kantong duitnya pas-pasan. Saya
sendiri, jujur saja, jarang sekali untuk bisa makan sehat. Soalnya, saya harus
keluar jumlah lebih kalau mau makan buah. Begitu juga untuk sayuran dan susu. Wah,
itu semua sudah seperti menu mewah saja.
Karena saking inginnya hidup sehat—namun uang bekalnya tak
terlalu memadai—seorang kawan kosan memilih jadi vegetarian. Alasannya: bisa
ngirit karena tak perlu makan lauk. Sebut saja namanya Putri. Dan sudah hampir
setahun ia menekuni ‘aliran pangan’ ini.
Suatu kali, ketika saya sedang duduk di ruang tamu dan
berselancar di dunia maya, Putri menghampiri lalu bertanya.
“Kak, udah makan malam?”
“Ya, sudah. Kamu?”
“Belum sih. Ini mau bikin.”
“Wow, masak sendiri ya? Bagus juga tuh.”
Putri senyum-senyum. Dia pun menuju lemari es yang terletak
tak jauh dari kursi ruang tamu itu.
“Kak, boleh tanya ga? Mie instan yang sehat itu digoreng
atau direbus ya?”
Saya mengalihkan pandang dari layar komputer. Lalu ketawa
geli.
“Kalau kamu makannya keseringan atau sebaskom sekalian, ya
enggak sehatlah…”
Dia pun tertawa.
“Kakak enggak mau coba jadi vegetarian? Itu sehat lho…”
Putri, mahasiswi jurusan Komunikasi itu sudah berkali-kali
membujuk saya untuk jadi vegetarian. Katanya sih, supaya ada teman senasib.
Tapi, enggak lah ya. Saya ini sudah kurus. Kalau porsi makan dikurangi dan tak
lengkap, habislah sudah isi badan ini.
“Ya, kapan-kapan deh,” jawab saya sekenanya sambil mentengin satu situs citizen journalism yang menayangkan
artikel menarik.
“Tadi aku ke supermarket dan beli satu menu vegetarian baru.
Kakak mau coba? Kali aja suka dan minat ikutan…”
“Oya?” saya menyahut. “Apa itu?”
“Mie goreng instan yang vegetarian. Ada rasa sate, juga rasa
rendang.”
Ketawa saya mleduk
lagi. Oke. Jadi sekarang ada mi instan khusus kaum vegetarian, tapi rasa sate?
“Itu menu sehatmu sekarang?”
Putri mengangguk tersenyum. Saya tak habis ketawa. Ini yang
aneh siapa ya? Produsen, yang beli produk mie-nya, atau siapa?
Tapi setidak-tidaknya, saya cukup beruntung untuk bisa
lanjut kuliah sambil kerja paruh waktu. Selama seminggu, saya bisa mengunjungi
beberapa lokasi kerja, satunya adalah lembaga kebudayaan, lainnya kantor kedia
jurnalisme warga, sebagai event organizer
acara peluncuran buku, juga aktivitas sebagai kontributor majalah yang saya
sukai. Kerap juga saya datang ke kegiatan rapat mereka, di mana makan siang
ditanggung juga. Kadang di sana ada camilan, atau sekadar kopi gratis.
Pernah satu saat saya menemani atasan untuk rapat di sebuah
tempat. Selain mengurusi administrasi kecil-kecilan, saya juga diminta memesan
makanan. Semuanya saya lakukan sebisanya, tentu dengan arahan dari si bos.
Hingga kemudian tiba waktu menjelang rapat, dia datang bersama satu asisten
lain yang membawa sekantung jeruk mandarin.
“Jeruknya ditata yang baik. Tapi jangan dikeluarin semua. Supaya
enggak cepat habis.”
“Kenapa begitu, Pak?” saya bertanya. Untuk apa beli jeruk
kalau tidak ditujukan untuk peserta rapat?
“Soalnya harganya mahal. Satu jeruk ternyata harganya hampir
satu dollar. Sembilan ribu!”
Saya terperangah juga. Tapi saya lirik kantung plastik yang
membungkus jeruk-jeruk itu, dan seketika saya mahfum. Lha, dibelinya di toko
elite begitu sih. Hanya saja, saya geli, bisa juga bos saya menyesal mengeluarkan
uang untuk jeruk-jeruk itu. Kalau yang ini mah namanya: mau sehat dan berhemat,
tapi isi dompet malahan tak selamat, hehehe…
Tidak jarang saya bersama satu teman lain sengaja menelisik
jadwal-jadwal acara yang mungkin menyediakan makanan secara
gratisan. Kegiatan diskusi, pertunjukan seni atau agenda pemutaran film di
beberapa lembaga budaya adalah sasaran kami. Apalagi kalau ada festival yang
mengagendakan gala dinner atau acara buka puasa bersama, wah, teman saya ini
selalu serba tahu. Pernah dia sampai berkata, “Adalah tidak sopan bagi
mahasiswa seperti kita, kaum intelektual muda, untuk tidak datang menghadiri
undangan-undangan seperti itu….” Tentu saja, kalimat itu diungkapnya sembari
bercanda.
Bila saya ingin ke satu agenda budaya, saya pun
mengiming-iminginya dengan kemungkinan sajian makan malam yang didapat. Pasalnya
saya tidak mau datang sendirian ke sana, dan tentu butuh kawan yang menemani. Syukur-syukurnya
dia mau, meski tak jarang saya hanya bisa sendiri. Tapi, tidak semua kedatangan
ke acara itu berbuah manis. Sebab saat kami tiba, ternyata ada sekian anak muda
yang juga ikut mengantri ambil bagian….
Ya, begitulah mahasiswa. Deritanya bersisian dengan hal lucu
yang menimpa hidup sehari-harinya….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar