Selasa, 23 Desember 2014

Sesuatu tentang Gump dan Kembang Tahu

Nonton Forrest Gump sambil makan kembang tahu mungkin rasanya ‘sesuatu’.

Karena tidak ada yang saya niat kerjakan sore tadi, saya sekadar mengutak-atik isi laptop. Pindahkan foto. Edit beberapa potret. Hapus koleksi musik, dan rapikan folder rekaman wawancara yang sampai sekarang malas saya turunkan. Hingga ketemulah saya dengan film Forrest Gump yang sudah beberapa lama saya simpan.

Ada rasa yang lain kalau kita saksikan sebuah tayangan film untuk ke sekian kalinya. Lebih-lebih Forrest Gump yang saya punya tidak ada transkrip alih-bahasanya. Murni English. Dan menyaksikan film itu saat kali yang kedua, saya mulai terheran-heran, betapa banyaknya kosakata yang dulu saya lewat pahami, dan kini tiba-tiba saya sadari.

Saya jeda sejenak di tengah pemutaran. Leher pegal juga duduk di kursi yang kaku dalam kamar kos seraya menatap layar komputer 11 inchi ini. Maka saya kenakan jaket, mengambil ransel, dan keluar untuk sekadar mencari udara segar.

Niatannya sih hanya istirahat sebentar dan merenggangkan sekujur tubuh dengan berjalan-jalan di sekitar rumah pondokan. Tapi cari angin itu keterusan oleh pikiran hendak menyeberang ke ruas besar Margonda dan mampir sebentar ke satu kios kembang tahu.

Belum pernah sebelumnya saya coba makan kembang tahu. Dalam benak mulanya, kembang tahu itu kira-kira seperti tofu goreng yang biasanya ada pada sapo tahu masakan China. Rupa-rupanya ini berbeda. Kembang tahu ternyata penganan tahu dengan air jahe panas, butiran gula merah, dicampur remahan kacang tanah yang disangrai.

Kembang tahu itu saya bungkus untuk dinikmati di pondokan. Namun, bukannya langsung pulang, saya malahan berjalan ke rute memutar. Keinginan buat merenggangkan tubuh rupanya masih lekat di badan. Bahkan saya masih sempat mampir ke toko 24 jam guna membeli penganan lain serta beberapa minuman manis.

Hal yang celaka adalah, tatkala saya bersiap melanjutkan nonton Forrest Gump (kalau tidak salah di adegan orasi Gump di hadapan demonstran perdamaian di Monumen Washington), kembang tahu itu saya buka dan cicipi, ah, ia kedapatan sudah tak panas lagi. Hambar dingin. Persis wajah Lieutenant Dan pada perayaan tahun baru di sebuah kafe malam.

Yah, mau bagaimana lagi. Pelan-pelan saya habiskan kembang tahu itu. Rasanya memang ‘sesuatu’, menelan penganan yang lumer di mulut sambil mengira-ngira rasa manis, pedas jahe dan hambar kedelai. Juga sambil menonton dengan sabar untuk menunggu adegan-adegan yang dilatari musik-musik oldies Amerika. Lucu betul. Ini kegiatan lucu yang kemudian saya tahu hanya sia-sia saja dilakoni. Tak ada manfaatnya. Kira-kira begitu.

Agaknya motivasi saya menonton kembali Forrest Gump lebih dikarenakan keinginan untuk mendengarkan potongan-potongan musik era 1960an itu. Saya sangat menunggu-nunggu Free Bird-nya Lynyrd Skynyrd ketika Jenny menimbang ragu hendak meloncat dari gedung tinggi. Atau Turn! Turn! Turn! dari The Byrds, yang liriknya begitu saya sukai. Juga The Doors lewat People Are Strange-nya. Cuma saya merasa geli juga, sewaktu menyadari kalau Sloop John B dari grup favorit saya, Beach Boys, hanya disertakan sebentar sebagai siaran radio sebelum Lieutenant Dan menunaikan ‘panggilan alam’-nya di Vietnam. Duh.

Nonton Forrest Gump di kali yang kedua itu membuat saya nostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalu. Yang muncul dalam pikiran saya bukan lagi makna-makna cerita atau arti mendalam dari kutipan-kutipan dialognya, melainkan selintas angan perihal lagu-lagu soundtrack-nya.

Sempat terpikir sesaat, betapa orang-orang penyaksi Forrest Gump tentu teringat-ingat pula pada single yang diputar itu, dan seketika merujuk pada pengalaman mereka di waktu silam. Saya yang lahir di era 1980an—dan notabene belum punya rujuk kenangan apapun tentang masa itu—masih begitu terngiang pada musik-musik tersebut. Dan minimal, musik-musik itu membuat saya berandai-andai akan hal apa saja yang dilakukan anak-anak muda di era tersebut.

Sementara soal kembang tahu, saya belum tahu ia akan jadi kenangan seperti apa. Hanya dulu saya sempat simak cerita kawan masa kecil yang mengenangkan pengalamannya ke Pontianak. Apakah dia pernah makan kembang tahu di sana, yang membuat saya pergi mencarinya ke kios seberang itu? Kelihatannya demikian. Hanya saya kecele untuk kedua kalinya. Sebab setelah saya kontak, kawan tadi ternyata kelupaan adakah pernah cicip kembang tahu atau tidak.

Ah, biarlah. Saya tuntaskan saja kembang tahu dan film Forrest Gump itu. Sambil saya kirim pesan pada teman tersebut: “Nanti aku kabarkan gimana rasanya yah!”

Jakarta, 23 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar