Selasa, 28 Oktober 2014

Gandrung Musik

Musik punya caranya sendiri untuk mewarnai suasana batin dan hidup semua orang. Oh, bayangkan, setiap waktu dunia kita nyaris tak pernah sepi dari musik, dengan berbagai bentuk dan nadanya. Dering telepon, radio di kendaraan umum, dangdut di rumah-rumah penduduk, sampai gumam calon penumpang yang tengah menunggu angkutan. Oh, bayangkan juga, bagaimana bisa musik menyusup ke lapis kenangan kita—hingga kadangkala membangkitkan memori tertentu bilamana kita mendengarnya lagi, bertahun-tahun kemudian, di suatu tempat yang jauh sekali….
 
Yah, begitu juga ingatan saya tentang musik, bagaikan melintas ruang dan waktu. Tatkala mendengar lantunan dangdut Meggy Z yang dibawakan penyanyi zaman sekarang, pikiran saya seketika terbayang pada ibu di rumah, yang selalu menyetel dangdut setiap pukul dua siang sampai sore—itu acara dangdut di sebuah radio setempat—untuk menemaninya kerja menjahit baju. Usia saya kala itu mungkin sekitar sepuluh tahun, dan sering berada di rumah serta membantunya memasang kancing baju atau semacamnya. Saat-saat itulah, dangdut amat terngiang dalam pikiran saya—sungguh, sampai-sampai saya hapal lirik lagu Bang Jamal Mirdad, Rama Aipama, atau mungkin penyanyi kondang seperti Elvy Sukaesih, hehehe….
 
Lama-lama selera musik saya toh tumbuh juga. Lantaran makin jarang berada di rumah karena aktivitas seni, saya kian jarang dengarkan dangdut lagi. Awal belasan tahun saya mulai dengarkan Enya dan sebangsanya—yang dengan semangat diputarkan oleh kakak kelas di ekskul teater SMP guna mendampingi kami latihan meditasi sebelum memulai olah peran. Sementara satu kawan saya sangat suka irama mendayu Enya sampai sekarang, well, tidak demikian dengan saya. Itu lagu bikin gampang jemu dan mellow—meskipun pada kenyataannya hidup saya sendiri banyak mellow dan romantik heroiknya, hahaha…
 
Entah gimana, saya kepincut sama jazz dalam waktu yang cukup lama. Mungkin sejak SMA hingga beberapa waktu belakangan ini. Suara elok Norah Jones dan Diana Krall begitu saya gandrungi, kerasa dalem-dalem puitik begitu, hehehe….Beberapa album Norah berhasil saya dapatkan, meskipun seringkali dengan cara minta koleksi teman. Kalau Diana Krall, memang saya cari sendiri, karena tanpa sengaja dengar suaranya saat melantunkan Besame Mucho dan Fly Me to the Moon. Memang itu lagu cover sih, bukan bikinan otentiknya—beda dengan Norah yang juga mencipta beberapa single. Tapi, saya tetap suka dengan suaranya.
 
Teman-teman sering bilang, suara saya jazzy banget.  Mungkin karena itu yah, saya suka dengan genre ini. Belakangan saya telusuri edisi lain dari jazz, khususnya Nina Simone. Well yeah! Saya demen kali simak suara kerennya saat nyanyikan ‘I’m Feeling Good.’ Punya jiwa dan rasa!
 
Saya suka pasang headset  bila kemanapun pergi. Bukan kebiasaan baik memang, terutama bila berkendara di jalan-jalan. Akan tetapi, semenjak kuliah di luar kota, saya suka naik angkutan umum alih-alih mengendarai motor di lintasan yang macet. Dan sejak itulah, kebiasaan saya mendengarkan musik di jalan mencapai puncaknya.
 
Musik juga yang mempertemukan saya dengan orang-orang tak dikenal. Pernah suatu kali saya pulang dari kunjungan luar kota, menumpangi kereta jarak jauh ke Jakarta. Lazimnya bepergian sendiri, musik pun saya pasangkan. Waktu itu saya sedang memulai mendengarkan oldies ala Beatles, Carpenters, Beach Boys, dan Pink Floyd (alamak, jadulnya yah….) Tanpa dinyana, bapak-bapak di sebelah saya tiba-tiba ngajak ngobrol: bertanya musik apakah yang saya dengarkan.
 
Tak lama berselang, bapak itu—bernama Alex, di sebuah perusahaan perbankan di Jakarta—menunjukan satu bundel kertas. “Adik mungkin sekarang suka oldies. Saya dulu juga begitu. Bahkan setiap sore saya pasti mampir ke Blok M, di salah satu kios musik lama yang menjual banyak koleksi Beatles dengan harga miring. Saya punya semua album Beatles, berupa vynil, CD, kaset dan lain-lain,” ia bercerita.
 
“Dan, kalau adik punya teman laki, yang ngaku-ngaku penggemar Beatles, coba uji dia, apakah tahu Blackbird Song?” tambahnya sambil membuka-buka bundel kertas itu. “Kalau tidak tahu, jangan jadikan dia pacar….hahaha….”
 
Saya ketawa juga. Soalnya gaya bapak-bapak itu agak unik. Cara ngomongnya blak-blakan. Dia juga cerita soal penemuan ilmu medik yang dia terapkan pada keluarga. “Kalau adik demam, sakit kepala atau keluhan flu, jangan minum paracetamol. Tapi teteskan obat iritasi mata. Ke kedua matamu. Dijamin sembuh…”
 
Soal ini saya enggak mau komentar banyak. Jadi pembicaraan seputar penemuan obat penyembuh demam itu saya hindari. Diam-diam saya berpikir, jangan-jangan selain perihal musik, Pak Alex gandrung juga dengan pengobatan alternatif, hehehe….
 
Setelah mencari-cari halaman yang diinginkan, Pak Alex menunjukannya kepada saya. “Adik, cobalah dengar musik hard-core. Atau progressive-rock. Atau semacamnyalah. Mulai dari The Who, nanti boleh pilih nama-nama band berikut ini…”
 
Ternyata, dia menyimpan sederetan band hard-core yang diketik rapi sekali. Saya baca sekilas, ada nama Deftones, Rammstein, dan sebagainya. Jujur, saya sama sekali tidak tahu nama-nama itu. Saya sama sekali tidak tahu, di mana letak eloknya musik yang memekakkan telinga macam itu.
 
“Jangan kira itu musik aneh. Dengarkan rhythm-nya, atau gebukan drumnya yang seolah enggak tentu arah. Melambangkan kebebasan dan kemerdekaan….”
 
Itulah pertama kalinya saya berkenalan dengan musik rock dan turunannya. Saya tidak tahu seperti apa rinciannya. Saya lebih suka irama dan lantunannya, dan terlalu malas mencari-cari sejarah atau penjelasan genrenya.
 
Rupa-rupanya, ada teman sekelas saya yang juga suka musik begituan (wah, saya baru tahu!) Dia beri kompilasi post-rock dan dream pop, seperti Slowdive, And So I Watch You From Afar, God is Astronaut, hingga Young Marble Giants dan band cadas Rammstein, dengan Das Modell-nya yang menghentak. Dia juga kenalkan saya pada Radiohead (haduh, masa baru sekarang tahunya…), Sigur Ros, juga The Pains Being Pure of Heart. Sayang dia enggak suka Beatles. Padahal bila iya, ada peluanglah dia jadi pacar saya, hehehe…
 
Jadi, mohon maaf Norah Jones, Diana Krall, Nina Simone, dan para seniman bossanova. Sementara kalian saya simpan rapi di arsip laptop. Kini saatnya saya gandrung sebentar dengan aliran musik yang lain.
 
Maka, sambil terkagum-kagum oleh betapa banyaknya musik yang diciptakan, saya sering mahfum mengapa ada banyak orang yang doyan mendengarkannya dalam perjalanan. Alih-alih menggantikan percakapan sosial di angkutan umum, musik bagaikan teman sejati semua orang. Dengan mendengarkannya, manusia mungkin serasa bercakap dengan dirinya sendiri, juga berdialog dengan memori masa lalunya. Barangkali begitu ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar