Keluarga
saya tidak punya tradisi apapun yang selalu mereka lakukan di hari-hari
menjelang pergantian tahun seperti ini.
Kami adalah penduduk pinggiran Kota Denpasar dan saya sedari kecil dibesarkan dalam kebiasaan orang-orang setempat yang lekat dengan agama dan budayanya itu; tahun baru mungkin kurang terlalu disambut antusias dibandingkan datangnya perayaan piodalan besar tertentu. Tapi, semenjak saya, satu-satunya anak yang merantau sekian lamanya ke lain pulau, beberapa kali menyempatkan pulang di akhir tahun demi menjenguk kedua orangtua yang kian sepuh, agaknya keluarga kami jadi punya satu tradisi baru yang penting untuk dilakoni: menanti kedatangan saya dengan segenap rasa kangen dari seluruh sanak famili.
Kami adalah penduduk pinggiran Kota Denpasar dan saya sedari kecil dibesarkan dalam kebiasaan orang-orang setempat yang lekat dengan agama dan budayanya itu; tahun baru mungkin kurang terlalu disambut antusias dibandingkan datangnya perayaan piodalan besar tertentu. Tapi, semenjak saya, satu-satunya anak yang merantau sekian lamanya ke lain pulau, beberapa kali menyempatkan pulang di akhir tahun demi menjenguk kedua orangtua yang kian sepuh, agaknya keluarga kami jadi punya satu tradisi baru yang penting untuk dilakoni: menanti kedatangan saya dengan segenap rasa kangen dari seluruh sanak famili.
Tentu
saja ada hujan di penghujung tahun ini. Saya sudah menginap selama dua malam di
kamar masa kecil yang wangi dan susunan benda-benda di dalamnya nyaris tidak
berubah. Memang ada haru ketika merebahkan diri di ranjang pada malam-malam
pertama, memandangi langit-langit kamar dari anyaman bambu, hiasan dinding
hadiah ulang tahun saya yang keduabelas dari kakak sulung, hingga merasakan
dingin debu serta titik rembesan air di tepian tempat tidur. Begitu pula pada
keesokan pagi saat terbangun dan mendapati Ibu saya sedang membuat sesaji kopi
yang dihaturkan di pelinggih persembahyangan, saya bagai seketika berada dalam
suatu alam dunia yang berbeda—begitu takjub seolah sebelumnya saya tidak pernah
hidup di lingkungan keluarga seperti ini.
Pelan-pelan
tumbuh juga dorongan dalam diri saya untuk kembali membaur dengan mereka. Agak
ganjil memang, saya yang bertahun-tahun merantau ini tiba-tiba menjadi seorang
nan asing: kami saling mengenal satu sama lain namun tidak sepenuhnya memahami
kabar masing-masing.
“Kamu
apakah sudah tahu kalau Bu Made, tetangga kita, sudah tak punya suami?” Ibu
berkata setelah melayani pelanggan jahitannya sore itu. Dia belum menutup usaha
jahit rumahan yang dilakukannya sejak lima belas tahun lalu; saya masih ingat
bentuk mesin jahit pertama dalam keluarga kami, merk ‘Singer’ yang mula-mula
digunakan dengan kayuhan kaki dan belakangan memakai mesin dinamo sederhana
yang bising suaranya bukan main. Kini sudah ada mesin jahit baru yang lebih
canggih dengan tombol nyala otomatis. Ibu sempat memamerkannya kepada saya
di hari pertama kepulangan saya, sekitar lima tahun lalu, dengan kebanggaan
yang mengharukan.
Melihat
reaksi saya yang kebingungan, Ibu memperjelas, “Bu Made yang dua rumah ke
utara. Gerbangnya menghadap sisi timur. Masa lupa?”
“Oh
ya. Depan rumahnya Bu Sri? Yang di muka rumahnya Komang pernah jatuh terluka?”
Ajaib sekali. Ingatan saya melayang ke peristiwa duabelas tahun yang silam
sewaktu adik saya menangis selepas didorong jatuh oleh anak-anak
tetangga. Ada sedikit darah di belakang kepalanya.
Ibu
saya mengangguk. “Kan suaminya tukang ojek.”
“Anak-anaknya
masih kecil, bukan?” saya mengingat-ingat nama mereka. Tapi, luput.
“Yang
besar sekarang sudah SMA. Sekolah tata boga. Hamil di luar nikah.”
Saya
menghela napas. Lingkungan tempat kami tinggal ini bukanlah kawasan yang
berada. Tiap rumah berhimpitan, nyaris tanpa halaman. Kalau pun ada pekarangan,
itu paling cukup sebagai tempat parkir satu atau dua sepeda motor. Gang
pemukiman pun kecil sekali dan tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Dulu
persis depan rumah saya bahkan ada pos siskamling yang bentuknya nyaris mirip
gubuk sawah dan di sanalah para pemuda sering berkumpul untuk minum miras dan magenjekan, yakni menyanyikan lagu
berbahasa daerah dengan tempo ritmis yang khas itu—hampir mirip paduan akapela.
Pernah
juga tetangga saya yang lain, remaja tanggung yang suka keluyuran malam hari—saat
itu saya sudah masuk SMP, barangkali—dijemput tiga polisi karena kasus penodaan terhadap seorang dara yang tinggal tak jauh dari sini.
“Suaminya
Bu Made kenapa?” saya bertanya kepada Ibu yang sekarang duduk di lantai sambil
menyisihkan sisa benang dari pakaian orderan.
“Sakit,
katanya. Pulang-pulang badannya lemas, dan meninggal di rumah.”
“Belum
sempat dilarikan ke rumah sakit?”
“Tidak
sempat. Keburu lampus,” Ibu membisik.
“Seluruh warga di sini sampai panik. Ini di depan rumah orang-orang berkumpul.
Ambulan tidak bisa masuk, Pak Made mesti ditandu. Tapi, kan berat badannya….”
Yang
terpikir oleh saya adalah bagaimana keadaan istri dan anak bungsunya yang kata
Ibu putus sekolah di SMP. Seingat saya, Bu Made terbilang belia benar usianya
dan kelihatannya dia menikah di umur yang muda sekali; pasangan itu beberapa
kali berselisih di dalam rumah dan suara jeritan si istri terdengar juga sampai
ke kamar saya yang menghadap muka gang. Dari ucapan sang istri, saya menangkap
kata-kata tentang baju, besoknya dia
memekikkan sesuatu tentang rambut,
dan di hari lain saya yakin dia mengucap hal-hal seputar kunci. Apakah hubungan benda-benda itu dengan adu mulut di antara
mereka, saya sungguh tidak mengerti. Betapa pikiran saya yang kanak-kanak tidak
bisa juga memahami persoalan yang diperdebatkan orang-orang dewasa.
Keesokan
petangnya saya sengaja lewat rumah Bu Made untuk singgah ke warung kelontong
yang berjarak tujuh nomor ke arah utara. Saya seperti ingin menautkan diri ke
dalam lingkungan pemukiman masa kecil saya ini walaupun saya sadari bahwa itu
akan sulit sekali bagi seorang yang telah lama berkelana, tinggal di kota
besar, dan bertemu dengan sekian rupa perilaku manusia. Pengalaman pulang ini
bisalah dianggap sebagai sebentuk nostalgia, mungkin. Tapi, tidakkah
membangkitkan kenangan-kenangan masa silam itu hanya akan menimbulkan kehampaan
dalam hati: saya rupanya telah begitu jauh berjarak dari alam hidup yang semasa
kanak seakan menjadi napas sehari-hari yang tak dapat diluputkan.
Ada
lampu yang menyala di teras belakang rumah itu. Bilamana hendak bepergian,
biasanya pulang ke kampung halaman demi suatu keperluan, kebanyakan warga di
sini seringkali menyalakan lampu teras agar bangunan tidak terkesan terlalu
gelap di malam hari. Maling acap kali menyatroni rumah kosong dan gelap—dan
dalam logika saya kini, tidakkah dengan melihat rumah yang lampunya
menyala kala siang maka maling akan mengetahui pondokan mana saja yang tidak
berpenghuni?
Tetapi,
bukankah kemarin malam Ibu bercerita bahwa rumah itu tak lagi didiami karena
pemiliknya pindah ke desa asalnya di Karangasem, di kaki Gunung Agung sana?
Saya mengingat-ingat penuturan Ibu bahwa mereka pulang kampung sekitar enam
atau tujuh bulan lalu.
Saya
berhenti sejenak di muka pintu, hati diliputi rasa ingin tahu. Halamannya yang
sempit sama sekali tidak ditumbuhi pohonan apapun; di suatu sudut hanya ada
pot-pot bunga dengan tanaman yang mengering layu. Sementara itu, jendelanya
rapat-rapat tertutup tirai dan undakan terasnya seperti bertabur debu,
betul-betul mengesankan bahwa rumah Bu Made tidak ada lagi yang merawatnya.
Konon, rumah itu sedang dijual meski sampai sekarang tidak juga ada pembeli. Pandangan
saya lurus ke lorong teras belakang rumah; dalam kenangan, entah mengapa,
terjalin lagi pengalaman semasa kanak ketika saya berlarian di atas tanah sawah
gersang sebelum berganti bangunan pemukiman dengan rumah itu adalah salah
satunya.
Kuncup
kenangan saya membuka, bagai terhampar di depan mata keberadaan satu rumah lain
yang dibangun oleh pendatang baru dan berlokasi persis di belakang sana.
Keluarga saya boleh dibilang adalah penghuni lingkungan mula pertama sehingga
tentu saya sedikit banyak tahu pula rumah mana dan siapa saja yang tiba dan
bermukim di kemudian hari—dan ada sesuatu yang saya ingat mengenai rumah yang
saya bayangkan sekarang ini.
Karena
letaknya yang lebih tinggi dibandingkan pondokan kami, ayah saya seringkali
menitipkan sepeda motornya di rumah itu jika lingkungan kami tergenang banjir.
Setiap tiba perayaan Galungan, ibu saya akan mengirimkan sajian makanan ayam
khas Bali kepada pemiliknya. Ibu selalu memasak menu itu secara terpisah dengan
perangkat berbeda dari olahan babi yang selalu dihidangkan setiap kali piodalan
besar datang. Siapa nama si empunya rumah, saya mencoba menggali dalam ingatan.
Sesuatu tentang Putu, saya yakin. Tapi, Putu yang manakah? Mengapa ada terlalu
banyak nama-nama yang serupa untuk kisah manusia yang beraneka?
Lain
dari itu, saya samar-samar seperti kembali ke suatu malam ketika ayah saya
bergegas keluar menuju pondok inapan sepeda motor tersebut. Di gang kecil
pemukiman kami sudah ramai juga. Saya kepingin ikut bergabung namun ditahan
oleh pelukan ibu. Dikecupnya kening saya secara lembut lalu dipanggilnya kakak saya, “Temani adikmu tidur.”
Belakangan,
setelah saya tumbuh lebih besar, saya mengetahui dari cerita kakak bahwa malam
itu begitu naas bagi keluarga yang tinggal di atas sana. Suaminya dituduh
mencuri di lingkungan pemukiman lain—konon dia dipukuli warga sampai tak
bernyawa. Dan istri yang ditinggalkan, yang tengah mengandung anak kedua,
menangis sejadinya. Rumah itu, yang mereka diami tak berapa lama, pun
ditinggalkan.
Kedua
kaki saya yang mengajak tubuh ini kembali pulang setelah memintas kenangan demi
kenangan itu terasa sedemikian lemas menjejak tanah. Hari sepenuhnya gelap,
hujan mulai menitik lagi. Sungguh saya bagai oleng, terhuyung. Ini pengalaman nostalgia yang tidak saya harapkan.
Seseorang
menyapa saya di tikungan gang: wanita separuh baya dengan keranjang besar
disunggi di kepala. “Lho, kamu sudah pulang?” Dia adalah seorang tetangga saya
yang lain, buruh angkut barang di Pasar Kumbasari, salah seorang kawan terdekat
ibu saya. Mereka sering saya lihat sedang tertawa-tawa di teras rumah kami.
Sapaannya saya balas dalam percakapan bahasa Bali yang kaku. Dan kami berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar