Jumat, 22 Desember 2017

Pemukiman di Pinggiran

Keluarga saya tidak punya tradisi apapun yang selalu mereka lakukan di hari-hari menjelang pergantian tahun seperti ini. 

Kami adalah penduduk pinggiran Kota Denpasar dan saya sedari kecil dibesarkan dalam kebiasaan orang-orang setempat yang lekat dengan agama dan budayanya itu; tahun baru mungkin kurang terlalu disambut antusias dibandingkan datangnya perayaan piodalan besar tertentu. Tapi, semenjak saya, satu-satunya anak yang merantau sekian lamanya ke lain pulau, beberapa kali menyempatkan pulang di akhir tahun demi menjenguk kedua orangtua yang kian sepuh, agaknya keluarga kami jadi punya satu tradisi baru yang penting untuk dilakoni: menanti kedatangan saya dengan segenap rasa kangen dari seluruh sanak famili.

Tentu saja ada hujan di penghujung tahun ini. Saya sudah menginap selama dua malam di kamar masa kecil yang wangi dan susunan benda-benda di dalamnya nyaris tidak berubah. Memang ada haru ketika merebahkan diri di ranjang pada malam-malam pertama, memandangi langit-langit kamar dari anyaman bambu, hiasan dinding hadiah ulang tahun saya yang keduabelas dari kakak sulung, hingga merasakan dingin debu serta titik rembesan air di tepian tempat tidur. Begitu pula pada keesokan pagi saat terbangun dan mendapati Ibu saya sedang membuat sesaji kopi yang dihaturkan di pelinggih persembahyangan, saya bagai seketika berada dalam suatu alam dunia yang berbeda—begitu takjub seolah sebelumnya saya tidak pernah hidup di lingkungan keluarga seperti ini.

Pelan-pelan tumbuh juga dorongan dalam diri saya untuk kembali membaur dengan mereka. Agak ganjil memang, saya yang bertahun-tahun merantau ini tiba-tiba menjadi seorang nan asing: kami saling mengenal satu sama lain namun tidak sepenuhnya memahami kabar masing-masing.

“Kamu apakah sudah tahu kalau Bu Made, tetangga kita, sudah tak punya suami?” Ibu berkata setelah melayani pelanggan jahitannya sore itu. Dia belum menutup usaha jahit rumahan yang dilakukannya sejak lima belas tahun lalu; saya masih ingat bentuk mesin jahit pertama dalam keluarga kami, merk ‘Singer’ yang mula-mula digunakan dengan kayuhan kaki dan belakangan memakai mesin dinamo sederhana yang bising suaranya bukan main. Kini sudah ada mesin jahit baru yang lebih canggih dengan tombol nyala otomatis. Ibu sempat memamerkannya kepada saya di hari pertama kepulangan saya, sekitar lima tahun lalu, dengan kebanggaan yang mengharukan.

Melihat reaksi saya yang kebingungan, Ibu memperjelas, “Bu Made yang dua rumah ke utara. Gerbangnya menghadap sisi timur. Masa lupa?”

“Oh ya. Depan rumahnya Bu Sri? Yang di muka rumahnya Komang pernah jatuh terluka?” Ajaib sekali. Ingatan saya melayang ke peristiwa duabelas tahun yang silam sewaktu adik saya menangis selepas didorong jatuh oleh anak-anak tetangga. Ada sedikit darah di belakang kepalanya.

Ibu saya mengangguk. “Kan suaminya tukang ojek.”

“Anak-anaknya masih kecil, bukan?” saya mengingat-ingat nama mereka. Tapi, luput.

“Yang besar sekarang sudah SMA. Sekolah tata boga. Hamil di luar nikah.”

Saya menghela napas. Lingkungan tempat kami tinggal ini bukanlah kawasan yang berada. Tiap rumah berhimpitan, nyaris tanpa halaman. Kalau pun ada pekarangan, itu paling cukup sebagai tempat parkir satu atau dua sepeda motor. Gang pemukiman pun kecil sekali dan tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Dulu persis depan rumah saya bahkan ada pos siskamling yang bentuknya nyaris mirip gubuk sawah dan di sanalah para pemuda sering berkumpul untuk minum miras dan magenjekan, yakni menyanyikan lagu berbahasa daerah dengan tempo ritmis yang khas itu—hampir mirip paduan akapela.

Pernah juga tetangga saya yang lain, remaja tanggung yang suka keluyuran malam hari—saat itu saya sudah masuk SMP, barangkali—dijemput tiga polisi karena kasus penodaan terhadap seorang dara yang tinggal tak jauh dari sini.

“Suaminya Bu Made kenapa?” saya bertanya kepada Ibu yang sekarang duduk di lantai sambil menyisihkan sisa benang dari pakaian orderan.

“Sakit, katanya. Pulang-pulang badannya lemas, dan meninggal di rumah.”

“Belum sempat dilarikan ke rumah sakit?”

“Tidak sempat. Keburu lampus,” Ibu membisik. “Seluruh warga di sini sampai panik. Ini di depan rumah orang-orang berkumpul. Ambulan tidak bisa masuk, Pak Made mesti ditandu. Tapi, kan berat badannya….”

Yang terpikir oleh saya adalah bagaimana keadaan istri dan anak bungsunya yang kata Ibu putus sekolah di SMP. Seingat saya, Bu Made terbilang belia benar usianya dan kelihatannya dia menikah di umur yang muda sekali; pasangan itu beberapa kali berselisih di dalam rumah dan suara jeritan si istri terdengar juga sampai ke kamar saya yang menghadap muka gang. Dari ucapan sang istri, saya menangkap kata-kata tentang baju, besoknya dia memekikkan sesuatu tentang rambut, dan di hari lain saya yakin dia mengucap hal-hal seputar kunci. Apakah hubungan benda-benda itu dengan adu mulut di antara mereka, saya sungguh tidak mengerti. Betapa pikiran saya yang kanak-kanak tidak bisa juga memahami persoalan yang diperdebatkan orang-orang dewasa.

Keesokan petangnya saya sengaja lewat rumah Bu Made untuk singgah ke warung kelontong yang berjarak tujuh nomor ke arah utara. Saya seperti ingin menautkan diri ke dalam lingkungan pemukiman masa kecil saya ini walaupun saya sadari bahwa itu akan sulit sekali bagi seorang yang telah lama berkelana, tinggal di kota besar, dan bertemu dengan sekian rupa perilaku manusia. Pengalaman pulang ini bisalah dianggap sebagai sebentuk nostalgia, mungkin. Tapi, tidakkah membangkitkan kenangan-kenangan masa silam itu hanya akan menimbulkan kehampaan dalam hati: saya rupanya telah begitu jauh berjarak dari alam hidup yang semasa kanak seakan menjadi napas sehari-hari yang tak dapat diluputkan.

Ada lampu yang menyala di teras belakang rumah itu. Bilamana hendak bepergian, biasanya pulang ke kampung halaman demi suatu keperluan, kebanyakan warga di sini seringkali menyalakan lampu teras agar bangunan tidak terkesan terlalu gelap di malam hari. Maling acap kali menyatroni rumah kosong dan gelap—dan dalam logika saya kini, tidakkah dengan melihat rumah yang lampunya menyala kala siang maka maling akan mengetahui pondokan mana saja yang tidak berpenghuni?

Tetapi, bukankah kemarin malam Ibu bercerita bahwa rumah itu tak lagi didiami karena pemiliknya pindah ke desa asalnya di Karangasem, di kaki Gunung Agung sana? Saya mengingat-ingat penuturan Ibu bahwa mereka pulang kampung sekitar enam atau tujuh bulan lalu.

Saya berhenti sejenak di muka pintu, hati diliputi rasa ingin tahu. Halamannya yang sempit sama sekali tidak ditumbuhi pohonan apapun; di suatu sudut hanya ada pot-pot bunga dengan tanaman yang mengering layu. Sementara itu, jendelanya rapat-rapat tertutup tirai dan undakan terasnya seperti bertabur debu, betul-betul mengesankan bahwa rumah Bu Made tidak ada lagi yang merawatnya. Konon, rumah itu sedang dijual meski sampai sekarang tidak juga ada pembeli. Pandangan saya lurus ke lorong teras belakang rumah; dalam kenangan, entah mengapa, terjalin lagi pengalaman semasa kanak ketika saya berlarian di atas tanah sawah gersang sebelum berganti bangunan pemukiman dengan rumah itu adalah salah satunya.

Kuncup kenangan saya membuka, bagai terhampar di depan mata keberadaan satu rumah lain yang dibangun oleh pendatang baru dan berlokasi persis di belakang sana. Keluarga saya boleh dibilang adalah penghuni lingkungan mula pertama sehingga tentu saya sedikit banyak tahu pula rumah mana dan siapa saja yang tiba dan bermukim di kemudian hari—dan ada sesuatu yang saya ingat mengenai rumah yang saya bayangkan sekarang ini.

Karena letaknya yang lebih tinggi dibandingkan pondokan kami, ayah saya seringkali menitipkan sepeda motornya di rumah itu jika lingkungan kami tergenang banjir. Setiap tiba perayaan Galungan, ibu saya akan mengirimkan sajian makanan ayam khas Bali kepada pemiliknya. Ibu selalu memasak menu itu secara terpisah dengan perangkat berbeda dari olahan babi yang selalu dihidangkan setiap kali piodalan besar datang. Siapa nama si empunya rumah, saya mencoba menggali dalam ingatan. Sesuatu tentang Putu, saya yakin. Tapi, Putu yang manakah? Mengapa ada terlalu banyak nama-nama yang serupa untuk kisah manusia yang beraneka?

Lain dari itu, saya samar-samar seperti kembali ke suatu malam ketika ayah saya bergegas keluar menuju pondok inapan sepeda motor tersebut. Di gang kecil pemukiman kami sudah ramai juga. Saya kepingin ikut bergabung namun ditahan oleh pelukan ibu. Dikecupnya kening saya secara lembut lalu dipanggilnya kakak saya, “Temani adikmu tidur.”

Belakangan, setelah saya tumbuh lebih besar, saya mengetahui dari cerita kakak bahwa malam itu begitu naas bagi keluarga yang tinggal di atas sana. Suaminya dituduh mencuri di lingkungan pemukiman lain—konon dia dipukuli warga sampai tak bernyawa. Dan istri yang ditinggalkan, yang tengah mengandung anak kedua, menangis sejadinya. Rumah itu, yang mereka diami tak berapa lama, pun ditinggalkan.

Kedua kaki saya yang mengajak tubuh ini kembali pulang setelah memintas kenangan demi kenangan itu terasa sedemikian lemas menjejak tanah. Hari sepenuhnya gelap, hujan mulai menitik lagi. Sungguh saya bagai oleng, terhuyung. Ini pengalaman nostalgia yang tidak saya harapkan.

Seseorang menyapa saya di tikungan gang: wanita separuh baya dengan keranjang besar disunggi di kepala. “Lho, kamu sudah pulang?” Dia adalah seorang tetangga saya yang lain, buruh angkut barang di Pasar Kumbasari, salah seorang kawan terdekat ibu saya. Mereka sering saya lihat sedang tertawa-tawa di teras rumah kami. Sapaannya saya balas dalam percakapan bahasa Bali yang kaku. Dan kami berpisah.

Ternyata tidak ada satu pun lampu yang menyala di rumah saya. Kelihatannya ayah dan ibu saya belum pulang dari ritual puja doa di salah satu pura. Jari saya menekan saklar. Teras sedikit lebih terang. Pandangan saya menghampar ke kejauhan: beranda di rumah-rumah lain juga benderang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar