Minggu, 31 Desember 2017

Kata Kesukaan

Saya hampir saja tersandung di emperan pertokoan sekitar Tugu Tani ketika Sthela, kawan yang setahun tidak dijumpa, melontarkan pertanyaan mengejutkan: “Bisakah kamu sebut satu kata favorit?”

Sekian lama merasa diri sebagai penulis, saya terus terang tidak pernah memikirkan hal sederhana seperti itu. Tiap kata penting adanya, sebagaimana saya percaya bahwa masing-masing di antaranya memang punya memori dengan diri kita pribadi—satu kata bisa membangkitkan jutaan kenangan akan segala pengalaman sepanjang hidup.

“Mengapa hanya satu?” saya balik bertanya sambil menghindari sulur tanaman yang menggantung di lorong jalanan. “Banyak kata yang muncul dalam pikiranku sekarang….”

“Ya, hanya satu,” ujar Sthela tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan langkahnya, gesit sekali melintasi simpangan Jakarta yang riuh. Saya maklum sebab dia suka benar berpetualang—dan beberapa menit lalu kami bahkan berbincang soal rencana menumpang kapal Pelni ke Belawan, Medan, selama tiga hari dua malam. Sumatera Utara adalah kampung halamannya. Oh, saya ingin mengembara sepertinya: naik gunung, menyeberang laut, berkenalan dengan orang-orang baru, sama seperti momen saat saya bersua pertama dengannya di sebuah ruang kebudayaan di Jakarta. “Tidak harus dijawab sekarang. Kamu pikir saja dulu. Jika sudah ketemu, kabari aku,” lanjutnya dengan seulas senyum.

Entah mengapa, adegan jalan kaki di kawasan Tugu Tani itu terngiang lagi dalam pikiran saya sekarang, tepat di saat pergantian tahun kian menjelang. Saya duduk di sebuah kedai kopi langganan yang tidak jauh dari pondokan, tanpa ditemani siapapun. Belakangan begitu enggan untuk jumpa sekadar ngobrol dengan kawan, dan dalam hati saya seperti menyadari bahwa ini akan jadi akhir tahun yang sunyi, terutama bagi saya sendiri.

Pelan-pelan terbayang pula dalam angan, oh, apa sajakah yang telah dilakukan selama satu tahun ini? Waktu seperti berlintasan kembali, tiap detik, tiap bulan yang telah lewat. Saya pandangi pelanggan lain yang duduk tidak jauh dari kursi saya, apakah dia juga sedang merenung ulang kaleidoskop tahun ini?

Saya kian dirundung suatu rasa haru, yang tidak dapat dijelaskan darimana datangnya. Saya telah lalui tahun-tahun rantauan yang penuh warna di Ibukota. Hidup saya baik-baik saja, dengan sekian suka dan dukanya—namun entah mengapa itu membuat saya merasa hampa saat ini. Saya tamatkan program magister di satu kampus terbaik dengan sangat cemerlang; bisa saja lulus cum-laude andai tidak kelebihan masa belajar. Saya bertemu banyak akademisi yang peduli dan membukakan jalan untuk mengenal dunia-dunia luar, bahkan ditawari lanjut studi di lain negeri—yang tidak saya teruskan karena beberapa pertimbangan.

Diam-diam saya berpikir kembali. Apakah ini jalan nasib: rasa-rasanya saya sama sekali tidak pernah kesulitan dengan biaya hidup. Tanggungan kuliah dipenuhi oleh sebuah lembaga donor yang menyediakan anggaran berkecukupan yang bahkan mencakup ongkos pondokan, uang makan bulanan dan pembelian buku. Selalu juga ada tawaran pekerjaan yang membantu isi saku—jadi kontributor majalah gaya hidup, relawan serabutan di acara-acara budaya, jadi tim sekretariat sebuah organisasi permuseuman, atau sesekali dilibatkan penulisan biografi dan penerjemahan. Pun, dalam setahun ada saja kesempatan bepergian serta undangan acara-acara kesenian, entah di dalam maupun luar negeri. Semuanya seperti mudah sekali seakan-akan apa yang saya lakukan bukanlah rantauan melainkan hanya tinggal di sebuah tempat baru yang segala rupa fasilitasnya telah disediakan.

Karya-karya mengalir dan diterbitkan. Beberapa juga mendapatkan apresiasi. Dikelilingi banyak kawan yang tak pernah membuat saya merasa sendiri. Kini, saya memperoleh pekerjaan yang sungguh saya sukai.

Betapa sempurnanya hidup saya ini.

Dan barangkali, satu-satunya tragedi yang saya alami adalah ketika menyadari bahwa keseharian saya ternyata jauh dari tragedi. Saya penuhi lima tahun di Jakarta dengan ketabahan menghadapi kesunyian, terasing, berikut aneka petualangan (rumah pondokan saya pernah dirampok orang, tak jarang digoda laki-laki iseng, sampai menjajal keberanian dengan menempuh rute-rute transportasi umum yang tak saya kenali) tapi semua itu bukankah memang takdirnya seorang anak rantauan? Siapapun yang mencari hidup di kota ini pasti pula mengalaminya? Tidak ada yang istimewa dari kedukaan saya sebab banyak orang menghadapinya, bahkan mungkin ada yang lebih buruk dari itu.

Ketika saya kehilangan—entah seseorang, kesempatan baik, atau apa saja—maka hal itu amatlah terasa di batin. Seperti seorang yang tidak pernah merasa bersyukur, saya dibayangi melodrama yang berlarut-larut. Oh, ya. Sungguh. Tidak bohong. Kesedihan yang saya alami ternyata sebagian besar berpusat pada diri sendiri. Betapa menyedihkan.

Di kedai kopi ini, menjelang perayaan akhir tahun, saya tuliskan catatan-catatan kecil untuk nanti bisa dibaca sebagai pengingat hari-hari mendatang—sampai satu kata terlintas dalam benak saya dan membikin tercenung selama sekian waktu.

“Sthela,” demikian bunyi pesan singkat saya kepada kawan yang baik itu. “Aku tahu apa satu kata favoritku.”

Ikhlas. Dia mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Tapi, jika sekalinya bisa, maka batin kita akan ringan sekali. Kupikir, itu kata ajaib….

Tidak berapa lama, teman saya membalas dengan kalimat: Oke. Tunggu beberapa saat. Kalau seharian ini aku ketemu momen yang mengingatkan aku soal kata itu, akan kukabari kamu. Kemarin kita di Perpusnas, seseorang mengucap kata ‘langit’ dan aku langsung sms kawan yang ucap ‘langit’ sebagai kata favoritnya.

Jawabannya sederhana saja, namun entah mengapa membuat batin saya begitu hangat. Dia akan mengingat saya.

“Apa kata favorit kamu?” saya bertanya.

“Entahlah. Belakangan aku suka dengan kata keanekaragamanhayati, he-he-he….”

Saya tersenyum. Bukankah itu terdiri dari dua kata yang dipersatukan dengan imbuhan? Hanya saja ini tidak saya ungkapkan. Takut merusak kebahagiaannya menemukan satu kata favorit.

Yang jelas, setelah memikirkan semua itu, termasuk berkirim pesan kepada Sthela, saya sedikit lebih tenang. Akhir tahun, saya tentu masih sendirian dan tidak melaluinya bersama keluarga, teman atau kerabat lainnya. Mudah-mudahan, dengan ini, saya jadi punya cukup kesempatan untuk menghayati rasa syukur seraya merenungkan banyak hal dengan sepenuh kasih yang sebelumnya tidak pernah saya resapi.

Selamat Tahun Baru.

5 komentar:

  1. Kalau mau pergi pergi dengan rute2 yang aneh.. saya mau ikut bertualang kalau boleh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mas. Senangnya punya kawan mengembara, haha...

      Hapus
  2. DOR!
    KETAHUAN.... ih, nulis nulis ada gw nya..bahahahaakkk

    gw boleh protes gak?
    nama gw: STELLA, geg.. tolong itu dianulir *lipat tangan di dada, muka angkuh tak senang* whahahaha

    Kata favorit gw: KONSERVASI
    tapi suka juga keanekaragaman hayati.. weeekkk

    Matur suksma, geg.
    kita harus berjalan lebih jauh, tenggelam lebih dalam, jelajah semua warna (banda neira banget dah ah :D)

    BalasHapus
  3. Siapa saja boleh....lalalaaaaalalalallalaa

    BalasHapus