Sabtu, 17 Mei 2014

Teman Jalan

Kebanyakan teman selalu heran (untuk tidak menyebut 'komplain') atas kebiasaan saya yang satu ini: sering menghilang keluyuran sendiri setiap kali diajak jalan bareng. Kalau ada acara-acara pameran, pertunjukan seni, festival, atau kemana pun, saya memang suka datang bersama satu atau dua kawan. Maksudnya sih supaya tidak sendirian dan mati gaya di tempat orang. Tapi, begitu sampai di lokasi, katanya, saya suka menyelinap entah kemana, lantas baru nongol lagi begitu acara telah akan mulai, atau ketika hendak kembali pulang.

Pernah ada sahabat yang kebingungan mencari-cari saya di sebuah pameran karakter Jepang yang digelar di kawasan Gatot Subroto Jakarta. Kebetulan pula sinyal telepon saya waktu itu sedang gangguan sehingga susah sekali dihubungi. Saat kami jumpa lagi, dia bercerita mangkel betapa dia hanya menghabiskan waktu cuma buat mencari di mana gerangan saya.

"Aku telepon dan sms kamu berkali-kali. Bahkan aku sampai tidak bisa enjoy lagi lihat-lihat pamerannya. Gara-gara kamu!"

Saya tentu tidak dapat bilang apa, dan hanya mampu nyengir minta maaf. Kecemasannya dapatlah dimengerti. Ruang pamerannya luas sekali. Pengunjungnya pun ramai bukan main. Seandainya terjadi sesuatu, tentu dia merasa khawatir juga. Soalnya dialah yang membujuk-bujuk saya supaya mau menemaninya.

Pernah pula saya ikut teman kos belanja bulanan. Sejujurnya, saya agak enggan mendampinginya. Kepinginnya istirahat penuh di rumah. Namun, entah dapat pawisik darimana, saya merasa bahwa kawan ini lagi galau urusan skripsi, dan perlulah ditemani barang sebentar.

Mulanya saya santai saja jalan bersamanya. Sesekali bikin guyon jayus yang ditanggapi sekenanya. Dia sudah maklum betapa banyolan saya sebenarnya tidak sungguh-sungguh lucu. Hah!

Lama kelamaan, saya pun menyelip di rak-rak toko, asyik melihat berbagai hal yang memikat perhatian saya. Lalu telepon berdering. Kawan kos itu memanggil dari seberang:

"Kakak di mana nih? Kok ngilang?" dia panggil saya kakak, sebab saya sekitar tiga tahun lebih tua darinya.

"Lha, kamu yang di mana?" untuk menutupi rasa bersalah, saya malah belagak pilon...

"Aku sudah mau pulang."

Kalimat pendek itu cukup jadi tanda kalau dia sedang ngambek. Kemudian kami janjian di kasir. Dan saya ajak dia main ding-dong di dekat lokasi belanja buat bikin suasana gembira lagi. Terus terang, itu pertama kalinya saya main ding-dong sejak sekitar tujuh tahun lalu. Mungkin.

Lain lagi dengan satu teman yang sering saya ajak untuk ke acara-acara budaya di bilangan Pasar Minggu atau Cikini. Dia hapal dengan kebiasaan saya itu, sehingga bersikap santai aja bila saya pergi. Malah dia sering goda, "Kamu enggak perlu sembunyi-sembunyi kalau janjian sama gebetan deh. Jika kamu enggak mau diketahui teman-teman, aku bisa jaga rahasia kok."

Dia ucap begitu sambil senyum penuh arti. Saya pun cuma bisa ketawa-ketawa saja. Ketawa hambar yang kikuk.

Apakah ini hal baik atau tidak, sebenarnya sering saya merasa bahwa saya hanya perlu teman seperjalanan, yang dapat bertukar cerita bilamana kami menyusuri lintasan macet Jakarta atau lengangnya kereta malam ke Depok. Saya sering tidak tahan untuk berdiam diri sementara lingkungan sekeliling terus berubah. Saya mampu tahan diam di satu tempat cuma jika di sana ada banyak hal baru yang belum pernah saya ketahui. Museum, galeri, ruang pameran, atau festival buku adalah tempat-tempat yang saya sukai. Kedengarannya, saya pun seolah terkesan egois. Hanya memerlukan kehadiran teman di saat tertentu, lantas tak peduli seandainya telah larut asyik dengan diri sendiri.

Adakah manusia memang pula demikian adanya: jenak pada hal baru, tapi tak tahan kesepian dalam setiap keadaan? Atau, manusia memang tidak kuasa menepis sunyi batinnya (hal yang merupakan keniscayaan dari absurdnya dunia), sehingga yang dibutuhkannya adalah kawan seperjalanan, sepanjang hidupnya? Bahwa persahabatan dibutuhkan lantaran tidak tahan pada gelisah cemas sendirian, sehingga selalu ingin membagikan soal-soal perihal dirinya kepada orang lain? Yah, itu mungkin hanya segelintir motif dari hubungan pertemanan. Tentu ada hubungan-hubungan kawan lain yang lebih menarik lainnya.

Kita barangkali tidak tahan sendiri. Tapi toh pada kenyataannya kita akhirnya hidup sendiri pula. Maksudnya, pada beberapa kondisi, kita tidak dapat bergantung pada siapapun. Di situlah sikap kemandirian selalu diuji. Adalah keniscayaan kita, untuk meneruskan hidup dengan dua sifat ini: yang soliter dan solider. Yang sunyi di ruang pribadi, dan yang riuh dalam keinginan saling berbagi.

Ah, saya jadi ingat cerita satu teman kuliah. Di Jakarta, atau juga di kota-kota lainnya, teman jalan itu mutlak dan penting adanya. Kita tidak tahu kan apa yang terjadi dalam kendaraan umum, lintasan menuju rumah dan sebagainya? Tindak kejahatan bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Hal itu pula yang dialami kawan ini. Berikut kisahnya:

Karena merasa berani dan sudah cukup dewasa (hah!), teman saya ini memutuskan pulang kuliah malam sendirian. Lokasi pondokannya persis di belakang kampus. Jalan yang sepi dan remang harus dilewatinya. Saat itu sudah pukul sepuluh. Tidak ada siapapun yang lalu lalang.

Itu adalah lintasan yang menembus hutan kampus. Pemukiman penduduk terletak sekitar 300 meter dari muka jalan. Di sekelilingnya hanya pohon tinggi dan semak-semak.

Nah, ketika melangkah pulang itulah, dia dihampiri seorang pria yang menawarkan ojek.

"Neng, hendak pulang? Ayo sini Abang antarkan," katanya. Jarak antara motor dan dirinya sangat dekat. "Tidak usah bayar," tambah lelaki itu.

Ketika menceritakan pengalaman itu, teman saya ini bahkan masih bergidik ngeri. "Kamu tahu kan Pur, waktu itu pihak keamanan kampus baru saja menangkap pelaku pelecehan dan tindak kejahatan yang suka bikin ulah. Aku langsung takut. Bayangkan, jalannya sepi!"

"Lantas?" saya bertanya.

"Aku pikir, bila detik itu memilih lari, dia pasti bisa mengejar. Lha dia naik motor...Kalau aku teriak, siapa yang mau nolongin?"

"Terus, kamu ngapain?"

"Aku tenangkan diri. Memandang kosong ke depan sebentar, lalu menolehkan kepala sedikit dengan mata hampa. Aku lirik dia, dan nyinden, nyanyi tembang Jawa yang biasanya kami lantunkan sewaktu latihan menari di Solo. Percaya enggak, dia langsung tancap gas dan kabur..."

Jawabannya bikin saya ketawa tepingkal-pingkal. Dia pun begitu.

"Mungkin, dikiranya aku ini cewek jadi-jadian, ha-ha-ha...."

Yah, apa yang dialami kawan saya itu mungkin jadi satu sebab mengapa saya perlu teman jalan di Jakarta.

"Nah, kamu cobalah belajar nyinden dari sekarang, supaya bisa selamat seandainya ketemu kasus begituan," guyonnya.

Oke, itu kiat yang bisa dipertimbangkan.

Jakarta, 17 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar