Minggu, 11 Mei 2014

Kampung Halaman

Saya menghabiskan masa kecil di rumah tua peninggalan kakek dan nenek, di desa pesisir Klungkung. Nama kampungnya cukup unik, Tegal Besar, yang artinya tanah garapan yang luas sekali. Dulu saya sering bingung, sebab kampung itu tidak benar-benar luas. Hanya lautan di sebelah selatan desalah yang lapang membentang, menghanyutkan saya pada imajinasi tentang pulau-pulau tak bertuan nun di seberang, atau dewa-dewa yang bersemayam pada bukit-bukit Nusa Penida yang lanskapnya dengan jelas dapat disaksikan di kala pagi datang.

Kami bukan berasal dari keluarga berada ataupun berpunya. Seingat saya—dan juga dikuatkan oleh foto-foto kenangan masa silam—kami menempati sebuah bangunan berkamar dua dengan tembok popolan (dari tanah liat yang dipadatkan) dan atap ijuk seadanya, sisa dari kejayaan rumah kuno Bali di waktu lampau. Di seberang bangunan itu ada bale dangin, artinya balai timur di mana segala upacara ritual diselenggarakan. Lantainya tak berubin. Tiang-tiang penyangganya dari kayu biasa. Tak berukir. Ah, saya jadi ingat, betapa pernah pula saya diupacarai di tempat itu. Sebuah upacara yang terbilang penting, otonan nadi, terjadi saat saya berumur sepuluh tahun. Upacara itu memperingati hari lahir saya (otonan), yang ternyata bertepatan dengan hari Purnama. Karena itulah ritual dirayakan cukup besar sebab hari tersebut jarang sekali terjadi.

Kalau dipikir-pikir, rumah tua tersebut punya kenangan cukup mendalam juga. Kakak laki-laki saya pernah diupacarai di sana. Cukup besar pula, sebab ia lahir pada minggu ‘keramat’ bagi orang Bali, yakni wuku Wayang, saat-saat di mana Batara Kala diyakini sedang mencari anak-anak kecil buat dimakan. Mereka yang lahir pada minggu itu harus diruwat, supaya tidak dimangsa Buta Kala, atau, agar sifat-sifat Buta Kala tidak menurun pada dirinya. Waktu kanak-kanak, saya suka meledek kakak karena ia nakal dan kasar persis seperti Buta Kala. Dan dia pun marah. Lantas kami bertengkar seperti dua anak anjing saja.

Adik saya juga tak luput dari upacara-upacara ritual seperti itu, meski dengan bentuk dan tujuan yang berbeda. Berkebalikan dengan saya, si adik ini lahir saat bulan mati, atau Tilem, pada sebuah minggu yang amat dipuja, wuku Wariga, waktu di mana pohon-pohon tumbuh dan berbunga. Jadi, dia mendapatkan satu upacara yang bernuansa lebih riang—begitu pendapat saya tatkala kanak-kanak. Berbeda dari upacara kakak yang penuh ruwatan, caru, pementasan wayang yang sulit dimengerti dan lain sebagainya.

Sebagaimana anak-anak umumnya, masa kecil saya habiskan dengan bersenang-senang. Ke sawah mencari belut. Ke sungai untuk mandi berenang. Ke pantai buat main bola. Atau ke tanah-tanah lapang untuk berburu burung dengan ketapel. Saya sering pergi bersama kakak-kakak sepupu. Saya senang sekali waktu itu.

Apakah dulu saya suka menangis? Saya tidak tahu persis. Memang beberapa kali saya terjatuh di jalan, pelataran bangunan ataupun pekarangan rumah orang. Itu meninggalkan bekas luka di sana sini. Bekas yang masih bisa terlihat sampai sekarang. Tapi menurut cerita Ibu, saya paling sering menangis bila bertengkar dengan kakak (jujur saja, kalau kami berselisih, kakak bisa memukul saya keras sekali, tidak peduli apakah saya anak perempuan atau tidak). Saya juga menangis bila ditinggal ayah bekerja. Saya sangat sayang sekali pada ayah.

Bila malam tiba, saya dan kakak-kakak sepupu suka main petak umpet di rumah tua itu. Ada banyak tempat sembunyi di sana, terutama pada kawasan merajan atau halaman persembahyangannya. Sebelum meninggal, kakek sempat menanam banyak sekali pohon buah yang masih tumbuh sampai kini. Pohon nangka, belimbing, kelapa, sampai cokelat. Ada juga pohon dag-dag, sejenis tanaman kayu berdaun lebar yang dahan-dahan mudanya sering dipetik sebagai campuran makanan babi. Ada juga semak-semak bunga kembang sepatu, pohon kamboja bunga merah dan jahe-jahean maupun kunyit-kunyitan. Yang belakangan ini ditanam oleh Ayah, di mana setiap enam bulan sekali dipanen sebagai bahan bumbu masakan pada hajatan upacara.

Saya senang sembunyi di bawah semak bunga kembang sepatu. Soalnya saya bertubuh pendek, tidak dapat memanjat naik ke dahan pohon buah sebagaimana yang dilakukan kakak dan para sepupu. Lain dari itu, saya juga bisa menyelusup lari kalau si penjaga petak umpet sudah mendekat. Ini curang sebenarnya. Pada permainan kami, seseorang tidak boleh berpindah dari tempat sembunyi yang telah dipilihnya. Tapi saya tidak mau jaga, bagaimanapun juga. Kakak-kakak saya selalu lebih gesit, dan menemukan lokasi sembunyinya benar-benar sulit.

Kadang kami main sampai lupa waktu. Ibu akan datang untuk mengingatkan agar kami segera selesai dan pergi tidur. Itu saat-saat yang menyenangkan, hal yang barangkali tidak dirasakan oleh adik saya di masa kini. Tidak ada saudara yang sebaya dengan adik saya. Tidak ada teman baginya untuk bermain seperti yang saya atau kakak saya alami.

Mengapa saya tiba-tiba menuliskan kenangan masa kecil di rumah tua itu?

Sebabnya lantaran kemarin malam Ibu menelepon dan menanyakan apakah akhir bulan Mei ini saya pulang ke Bali atau tidak. Ada upacara besar yang akan dilangsungkan di sana.

Tanpa terasa, sudah hampir setahun saya tidak menjenguk rumah itu lagi. Entah seperti apa bangunan kamar tempat saya tidur dulu. Atau apakah dapur kami masih bocor atapnya. Atau apakah pohon nangka masih berbuah. Saya tidak tahu. Terus terang, mendengar suara Ibu itu, saya betul-betul kepingin pulang. Tapi saya tidak bisa. Kuliah dan kerjaan di sini belum juga selesai. Pun, saya belum tahu kapan saya benar-benar bisa menengok rumah.

Mungkin apa yang saya tulis ini kedengarannya sentimental ya. Semua orang rantauan pasti juga pernah mengalami perasaan kangen begini. Bahkan, mereka telah jauh dari rumah selama belasan ataupun berpuluh tahun. Seperti tukang ojek langganan saya, yang telah dua puluh lima tahun mengadu nasib di Jakarta, dan berkesempatan mudik ke Klaten hanya pas Lebaran, itu pun kalau kebagian tiket kereta. Sedangkan saya, ah, baru setahun saja sudah melodrama begini.

Jujur saja, ada semacam rasa yang dalam bilamana saya mengingat saat-saat di waktu silam itu. Berkali saya coba untuk tuliskan jadi sajak, esai liris ataupun karya lainnya, tapi tetap itu tak bisa saya lakukan. Entah mengapa. Barangkali, karena pertalian batin yang kuat tidak memungkinkan saya untuk menuangkannya menjadi kisah cerita. Atau mungkin karena saya terlalu perasa saja. Kata sebagian teman, saya terlalu mudah terbawa emosi dan larut pada nuansa yang bikin melankolis. Akibatnya, segala yang terjadi, entah di masa lalu ataupun kini, lebih sebagai peluapan perasaan saja. Minim daya obyektifnya.

Saya hanya dengarkan saja pendapat-pendapat itu. Saya percaya, kelak akan bisa saya tuliskan cerita-cerita tentang masa kecil tersebut. Saya betul-betul ingin menuliskannya. Saya ingin menjadikan hidup orang-orang di sekitar saya abadi. Lewat karya. Lewat kisah rekaan. Lewat puisi.

Boleh jadi, catatan harian ini adalah mulanya. Ya, boleh jadi.

Jakarta, 11 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar