Saya menghabiskan masa kecil di rumah tua peninggalan kakek
dan nenek, di desa pesisir Klungkung. Nama kampungnya cukup unik, Tegal Besar,
yang artinya tanah garapan yang luas sekali. Dulu saya sering bingung, sebab
kampung itu tidak benar-benar luas. Hanya lautan di sebelah selatan desalah yang lapang
membentang, menghanyutkan saya pada imajinasi tentang pulau-pulau tak bertuan
nun di seberang, atau dewa-dewa yang bersemayam pada bukit-bukit Nusa Penida
yang lanskapnya dengan jelas dapat disaksikan di kala pagi datang.
Kami bukan berasal dari keluarga berada ataupun berpunya.
Seingat saya—dan juga dikuatkan oleh foto-foto kenangan masa silam—kami
menempati sebuah bangunan berkamar dua dengan tembok popolan (dari tanah liat yang dipadatkan) dan atap ijuk seadanya, sisa dari kejayaan rumah kuno Bali
di waktu lampau. Di seberang bangunan itu ada bale dangin, artinya balai timur
di mana segala upacara ritual diselenggarakan. Lantainya tak berubin. Tiang-tiang
penyangganya dari kayu biasa. Tak berukir. Ah, saya jadi ingat, betapa pernah
pula saya diupacarai di tempat itu. Sebuah upacara yang
terbilang penting, otonan nadi,
terjadi saat saya berumur sepuluh tahun. Upacara itu memperingati hari lahir
saya (otonan), yang ternyata bertepatan dengan hari Purnama. Karena itulah
ritual dirayakan cukup besar sebab hari tersebut jarang sekali terjadi.
Kalau dipikir-pikir, rumah tua tersebut punya kenangan cukup
mendalam juga. Kakak laki-laki saya pernah diupacarai di sana. Cukup besar pula,
sebab ia lahir pada minggu ‘keramat’ bagi orang Bali, yakni wuku Wayang,
saat-saat di mana Batara Kala diyakini sedang mencari anak-anak kecil buat
dimakan. Mereka yang lahir pada minggu itu harus diruwat, supaya tidak dimangsa
Buta Kala, atau, agar sifat-sifat Buta Kala tidak menurun pada dirinya. Waktu
kanak-kanak, saya suka meledek kakak karena ia nakal dan kasar persis seperti
Buta Kala. Dan dia pun marah. Lantas kami bertengkar seperti dua anak anjing
saja.
Adik saya juga tak luput dari upacara-upacara ritual seperti
itu, meski dengan bentuk dan tujuan yang berbeda. Berkebalikan dengan saya, si
adik ini lahir saat bulan mati, atau Tilem, pada sebuah minggu yang amat
dipuja, wuku Wariga, waktu di mana pohon-pohon tumbuh dan berbunga. Jadi, dia
mendapatkan satu upacara yang bernuansa lebih riang—begitu pendapat saya
tatkala kanak-kanak. Berbeda dari upacara kakak yang penuh ruwatan, caru,
pementasan wayang yang sulit dimengerti dan lain sebagainya.
Sebagaimana anak-anak umumnya, masa kecil saya habiskan
dengan bersenang-senang. Ke sawah mencari belut. Ke sungai untuk mandi
berenang. Ke pantai buat main bola. Atau ke tanah-tanah lapang untuk berburu
burung dengan ketapel. Saya sering pergi bersama kakak-kakak sepupu. Saya
senang sekali waktu itu.
Apakah dulu saya suka menangis? Saya tidak tahu persis.
Memang beberapa kali saya terjatuh di jalan, pelataran bangunan ataupun
pekarangan rumah orang. Itu meninggalkan bekas luka di sana sini. Bekas yang
masih bisa terlihat sampai sekarang. Tapi menurut cerita Ibu, saya paling
sering menangis bila bertengkar dengan kakak (jujur saja, kalau kami
berselisih, kakak bisa memukul saya keras sekali, tidak peduli apakah saya anak
perempuan atau tidak). Saya juga menangis bila ditinggal ayah bekerja. Saya
sangat sayang sekali pada ayah.
Bila malam tiba, saya dan kakak-kakak sepupu suka main petak
umpet di rumah tua itu. Ada banyak tempat sembunyi di sana, terutama pada
kawasan merajan atau halaman persembahyangannya.
Sebelum meninggal, kakek sempat menanam banyak sekali pohon buah yang masih tumbuh sampai kini.
Pohon nangka, belimbing, kelapa, sampai cokelat. Ada juga pohon dag-dag, sejenis tanaman kayu berdaun
lebar yang dahan-dahan mudanya sering dipetik sebagai campuran makanan babi.
Ada juga semak-semak bunga kembang sepatu, pohon kamboja bunga merah dan
jahe-jahean maupun kunyit-kunyitan. Yang belakangan ini ditanam oleh Ayah, di
mana setiap enam bulan sekali dipanen sebagai bahan bumbu masakan pada hajatan
upacara.
Saya senang sembunyi di bawah semak bunga kembang sepatu.
Soalnya saya bertubuh pendek, tidak dapat memanjat naik ke dahan pohon buah
sebagaimana yang dilakukan kakak dan para sepupu. Lain dari itu, saya juga bisa
menyelusup lari kalau si penjaga petak umpet sudah mendekat. Ini curang
sebenarnya. Pada permainan kami, seseorang tidak boleh berpindah dari tempat
sembunyi yang telah dipilihnya. Tapi saya tidak mau jaga, bagaimanapun juga.
Kakak-kakak saya selalu lebih gesit, dan menemukan lokasi sembunyinya
benar-benar sulit.
Kadang kami main sampai lupa waktu. Ibu akan datang
untuk mengingatkan agar kami segera selesai dan pergi tidur. Itu saat-saat yang
menyenangkan, hal yang barangkali tidak dirasakan oleh adik saya di masa kini.
Tidak ada saudara yang sebaya dengan adik saya. Tidak ada teman baginya untuk
bermain seperti yang saya atau kakak saya alami.
Mengapa saya tiba-tiba menuliskan kenangan masa kecil di
rumah tua itu?
Sebabnya lantaran kemarin malam Ibu menelepon dan menanyakan
apakah akhir bulan Mei ini saya pulang ke Bali atau tidak. Ada upacara besar
yang akan dilangsungkan di sana.
Tanpa terasa, sudah hampir setahun saya tidak menjenguk
rumah itu lagi. Entah seperti apa bangunan kamar tempat saya tidur dulu. Atau
apakah dapur kami masih bocor atapnya. Atau apakah pohon nangka masih berbuah.
Saya tidak tahu. Terus terang, mendengar suara Ibu itu, saya betul-betul
kepingin pulang. Tapi saya tidak bisa. Kuliah dan kerjaan di sini belum juga
selesai. Pun, saya belum tahu kapan saya benar-benar bisa menengok rumah.
Mungkin apa yang saya tulis ini kedengarannya sentimental ya.
Semua orang rantauan pasti juga pernah mengalami perasaan kangen begini.
Bahkan, mereka telah jauh dari rumah selama belasan ataupun berpuluh tahun.
Seperti tukang ojek langganan saya, yang telah dua puluh lima tahun mengadu
nasib di Jakarta, dan berkesempatan mudik ke Klaten hanya pas Lebaran, itu pun
kalau kebagian tiket kereta. Sedangkan saya, ah, baru setahun saja sudah
melodrama begini.
Jujur saja, ada semacam rasa yang dalam bilamana saya mengingat saat-saat di waktu silam itu. Berkali saya coba untuk tuliskan jadi sajak, esai liris ataupun karya lainnya, tapi tetap itu tak bisa saya lakukan. Entah mengapa. Barangkali, karena pertalian batin yang kuat tidak memungkinkan saya untuk menuangkannya menjadi kisah cerita. Atau mungkin karena saya terlalu perasa saja. Kata sebagian teman, saya terlalu mudah terbawa emosi dan larut pada nuansa yang bikin melankolis. Akibatnya, segala yang terjadi, entah di masa lalu ataupun kini, lebih sebagai peluapan perasaan saja. Minim daya obyektifnya.
Saya hanya dengarkan saja pendapat-pendapat itu. Saya percaya, kelak akan bisa saya tuliskan cerita-cerita tentang masa kecil tersebut. Saya betul-betul ingin menuliskannya. Saya ingin menjadikan hidup orang-orang di sekitar saya abadi. Lewat karya. Lewat kisah rekaan. Lewat puisi.
Boleh jadi, catatan harian ini adalah mulanya. Ya, boleh jadi.
Jakarta, 11 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar