Tapi yang ingin saya kisahkan
bukanlah kebiasaannya menggambar bunga. Melainkan keseringannya untuk menunda. Rincinya
sebagai berikut.
Kira-kira sebulan lalu saya
mengantar Bunga ke perpustakaan kampus untuk meminjam buku. Katanya dia ingin
mengerjakan tugas satu mata kuliah dan membutuhkan berjibun literatur. Selain itu,
memang ada syarat menyenangkan bagi mahasiswa S2, yakni diperkenankan meminjam
sampai 5 judul sekaligus. Ini berbeda dengan S1 yang hanya maksimal 3 buku
saja. Terus terang, kadangkala saya pun jadi ‘kalap’ karena aturan ini. Setiap
minggu pasti saya datang ke perpus, menyelusup di antara rak, naik turun lantai
(bagi anak udik seperti saya, perpustakaan itu cukup luas), lalu meminjam
beberapa novel asing, termasuk karya Kawabata yang fenomenal, Rumah Perawan. Tapi, saat itu saya tidak
meminjam apapun. Pasalnya, batas peminjaman saya sudah penuh. Alhasil, saya
hanya melihat-lihat koleksi susastra di sana sementara Bunga asyik masyuk di
bagian Sospol.
Begitu kami bertemu, jujur, saya agak
kaget. Bunga telah memilih lima judul buku tentang sosiologi pembangunan yang
tebal-tebal halamannya. “Kamu serius mau pinjam ini?” saya bertanya
terheran-heran. “Kenapa tidak difotokopi bagian yang diperlukan?” lanjut saya
sambil menunjuk jasa fotocopy tak jauh dari loket peminjaman.
Tapi Bunga menggeleng. Alasannya,
dia ingin melihat detail demi detail bahasannya. Bila memfotocopy, nanti dia
tidak dapat menangkap isi buku secara utuh. Ya, oke, batin saya. Itu pilihannya.
Saya ingatkan padanya bahwa batas
waktu pinjam cuma dua minggu. Dan dia pun mengangguk paham.
Tiga minggu kemudian, Bunga
menelepon saya untuk mengembalikan dua buku yang dipinjam. “Bagaimana dengan
tiga lainnya?” Saya bertanya.
“Aku belum baca.”
“Pasti kamu belum juga
memperpanjangnya?” saya menduga. Dan ternyata benar. Dia terlalu sibuk untuk
tugas luar kota sehingga tak sempat memperpanjang pinjaman. Bunga bekerja di
sebuah lembaga riset yang harus turun lapangan secara berkala. Well, rata-rata teman kampus saya memang
beken, suka betul keliling kota demi
kota karena tugas kerjaan. Bila kami kumpul di kelas, masing-masing pun cerita
tentang pengalamannya. Boleh dibilang, saya termasuk golongan paling cetek karena tidak punya aktivitas keren
seperti itu.
“Ya, sudah, nanti aku perpanjang…”
ujar saya sambil minta waktu janjian. Bunga tak punya banyak kesempatan. Malam
nanti dia harus ke Kupang, lagi-lagi karena urusan kerjaan.
Yang saya herankan—dan sekaligus
yang juga sudah saya duga—bahwa Bunga memang tidak dapat menyelesaikan
bacaannya. Lebih celaka lagi, dia pun menunda untuk mengembalikan bukunya.
Suatu kali, jauh sebelum peristiwa lima buku tebal itu, saya ingatkan dia soal
pinjaman perpustakaan. Tapi jawabannya ringan saja, bahwa toh masih belum
terlambat. Kenyataannya, seminggu kemudian dia toh minta saya datang ke perpustakaan guna membayarkan denda
keterlambatan.
Di status facebook-nya, Bunga pernah meng-update
kalimat: “Membayar denda terlambat untuk buku yang tidak dibaca, rasanya sangat….menjengkelkan!”
Oke, pikir saya. Kalau dia tahu
rasanya demikian, kenapa Bunga masih mengulang-ulang kesalahannya? Bukankah keledai
pun tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?
Kasus yang dialami Bunga barangkali
adalah cerminan dari jutaan kebiasaan manusia di dunia. Suka menunda. Menggampangkan
segala sesuatu. Kemudian marah oleh sebab-sebab yang sebenarnya bermula dari
kesalahan diri sendiri. Telat dan lupa mengembalikan buku ke perpustakaan memang
hal sepele. Tapi bagaimana bila kasus ini terjadi tatkala kita terlambat
membawa salah satu keluarga yang sakit ke RS? Atau terlambat menyadari bahwa
jalan hidup yang kita tempuh adalah keliru?
Menjadi disiplin atau pelupa adalah
pilihan pribadi. Personal choice,
kata dosen saya. Tapi bila kenyataan ini menjadi pola-pola di masyarakat, maka
mungkin diperlukan penelitian lebih lanjut secara sosiologis. Apakah itu
mencerminkan kebiasaan mempribadi ataukah cerminan laku masyarakat kita secara
umum? Sayangnya saya tidak punya data akurat, misalnya seberapa tingkat
keterlambatan mengembalikan buku, membayar pajak atau kebiasaan lainnya antara
satu negara atau negara lainnya, untuk membuktikan bahwa kondisi ini dapat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, desakan aturan, pendidikan, pembudayaan dan
sebagainya.
Yang jelas, ketika saya membayarkan
denda buku teman saya itu, pada daftar isiannya berderet-deret nama mahasiswa
yang juga telat mengembalikan pinjaman. Setiap hari selalu saja ada. Dan jumlah
dendanya, menurut saya, sangat amazing
besarnya. Cukup untuk biaya makan di warteg selama seminggu!
Beberapa hari lalu saya bertemu lagi
dengannya dan sampaikan berapa hutang denda yang dia punya terhadap saya.
Mendengar jumlahnya, dia kaget lalu menggugat bahwa saya tidak sungguh-sungguh
serius. Angka seratus ribu baginya tidak masuk akal. “Tidak semua buku itu aku
baca, lho!”
“Ya, akupun tak percaya. Tapi, mau
bagaimana lagi…” ujar saya sambil tersenyum. Mudah-mudahan dia kapok dan tidak
mengulangi kesalahan yang sama lagi.
Jakarta, 6 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar