Senin, 05 Mei 2014

Denda Bunga

Kali ini saya ingin cerita tentang satu kawan yang punya kebiasaan menarik. Kita bisa sebut dia dengan nama Bunga. Sebab memang kebetulan dia suka bawa diary kuliah yang selalu dicoret-coret motif bunga. Hampir semua halaman dia gambarkan kuntum-kuntum bunga yang saya sendiri tidak tahu itu jenis kembang apa tepatnya. Ternyata begitupun juga dia.

Tapi yang ingin saya kisahkan bukanlah kebiasaannya menggambar bunga. Melainkan keseringannya untuk menunda. Rincinya sebagai berikut.

Kira-kira sebulan lalu saya mengantar Bunga ke perpustakaan kampus untuk meminjam buku. Katanya dia ingin mengerjakan tugas satu mata kuliah dan membutuhkan berjibun literatur. Selain itu, memang ada syarat menyenangkan bagi mahasiswa S2, yakni diperkenankan meminjam sampai 5 judul sekaligus. Ini berbeda dengan S1 yang hanya maksimal 3 buku saja. Terus terang, kadangkala saya pun jadi ‘kalap’ karena aturan ini. Setiap minggu pasti saya datang ke perpus, menyelusup di antara rak, naik turun lantai (bagi anak udik seperti saya, perpustakaan itu cukup luas), lalu meminjam beberapa novel asing, termasuk karya Kawabata yang fenomenal, Rumah Perawan. Tapi, saat itu saya tidak meminjam apapun. Pasalnya, batas peminjaman saya sudah penuh. Alhasil, saya hanya melihat-lihat koleksi susastra di sana sementara Bunga asyik masyuk di bagian Sospol.

Begitu kami bertemu, jujur, saya agak kaget. Bunga telah memilih lima judul buku tentang sosiologi pembangunan yang tebal-tebal halamannya. “Kamu serius mau pinjam ini?” saya bertanya terheran-heran. “Kenapa tidak difotokopi bagian yang diperlukan?” lanjut saya sambil menunjuk jasa fotocopy tak jauh dari loket peminjaman.

Tapi Bunga menggeleng. Alasannya, dia ingin melihat detail demi detail bahasannya. Bila memfotocopy, nanti dia tidak dapat menangkap isi buku secara utuh. Ya, oke, batin saya. Itu pilihannya.

Saya ingatkan padanya bahwa batas waktu pinjam cuma dua minggu. Dan dia pun mengangguk paham.

Tiga minggu kemudian, Bunga menelepon saya untuk mengembalikan dua buku yang dipinjam. “Bagaimana dengan tiga lainnya?” Saya bertanya.

“Aku belum baca.”

“Pasti kamu belum juga memperpanjangnya?” saya menduga. Dan ternyata benar. Dia terlalu sibuk untuk tugas luar kota sehingga tak sempat memperpanjang pinjaman. Bunga bekerja di sebuah lembaga riset yang harus turun lapangan secara berkala. Well, rata-rata teman kampus saya memang beken, suka betul keliling kota demi kota karena tugas kerjaan. Bila kami kumpul di kelas, masing-masing pun cerita tentang pengalamannya. Boleh dibilang, saya termasuk golongan paling cetek karena tidak punya aktivitas keren seperti itu.

“Ya, sudah, nanti aku perpanjang…” ujar saya sambil minta waktu janjian. Bunga tak punya banyak kesempatan. Malam nanti dia harus ke Kupang, lagi-lagi karena urusan kerjaan.

Yang saya herankan—dan sekaligus yang juga sudah saya duga—bahwa Bunga memang tidak dapat menyelesaikan bacaannya. Lebih celaka lagi, dia pun menunda untuk mengembalikan bukunya. Suatu kali, jauh sebelum peristiwa lima buku tebal itu, saya ingatkan dia soal pinjaman perpustakaan. Tapi jawabannya ringan saja, bahwa toh masih belum terlambat. Kenyataannya, seminggu kemudian dia toh minta saya datang ke perpustakaan guna membayarkan denda keterlambatan.

Di status facebook-nya, Bunga pernah meng-update kalimat: “Membayar denda terlambat untuk buku yang tidak dibaca, rasanya sangat….menjengkelkan!”

Oke, pikir saya. Kalau dia tahu rasanya demikian, kenapa Bunga masih mengulang-ulang kesalahannya? Bukankah keledai pun tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?

Kasus yang dialami Bunga barangkali adalah cerminan dari jutaan kebiasaan manusia di dunia. Suka menunda. Menggampangkan segala sesuatu. Kemudian marah oleh sebab-sebab yang sebenarnya bermula dari kesalahan diri sendiri. Telat dan lupa mengembalikan buku ke perpustakaan memang hal sepele. Tapi bagaimana bila kasus ini terjadi tatkala kita terlambat membawa salah satu keluarga yang sakit ke RS? Atau terlambat menyadari bahwa jalan hidup yang kita tempuh adalah keliru?

Menjadi disiplin atau pelupa adalah pilihan pribadi. Personal choice, kata dosen saya. Tapi bila kenyataan ini menjadi pola-pola di masyarakat, maka mungkin diperlukan penelitian lebih lanjut secara sosiologis. Apakah itu mencerminkan kebiasaan mempribadi ataukah cerminan laku masyarakat kita secara umum? Sayangnya saya tidak punya data akurat, misalnya seberapa tingkat keterlambatan mengembalikan buku, membayar pajak atau kebiasaan lainnya antara satu negara atau negara lainnya, untuk membuktikan bahwa kondisi ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, desakan aturan, pendidikan, pembudayaan dan sebagainya.

Yang jelas, ketika saya membayarkan denda buku teman saya itu, pada daftar isiannya berderet-deret nama mahasiswa yang juga telat mengembalikan pinjaman. Setiap hari selalu saja ada. Dan jumlah dendanya, menurut saya, sangat amazing besarnya. Cukup untuk biaya makan di warteg selama seminggu!

Beberapa hari lalu saya bertemu lagi dengannya dan sampaikan berapa hutang denda yang dia punya terhadap saya. Mendengar jumlahnya, dia kaget lalu menggugat bahwa saya tidak sungguh-sungguh serius. Angka seratus ribu baginya tidak masuk akal. “Tidak semua buku itu aku baca, lho!”

“Ya, akupun tak percaya. Tapi, mau bagaimana lagi…” ujar saya sambil tersenyum. Mudah-mudahan dia kapok dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.

Jakarta, 6 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar