Musik punya caranya sendiri untuk
mewarnai suasana batin dan hidup semua orang. Oh, bayangkan, setiap waktu dunia
kita nyaris tak pernah sepi dari musik, dengan berbagai bentuk dan nadanya.
Dering telepon, radio di kendaraan umum, dangdut di rumah-rumah penduduk,
sampai gumam calon penumpang yang tengah menunggu angkutan. Oh, bayangkan juga,
bagaimana bisa musik menyusup ke lapis kenangan kita—hingga kadangkala
membangkitkan memori tertentu bilamana kita mendengarnya lagi, bertahun-tahun
kemudian, di suatu tempat yang jauh sekali….
Yah, begitu juga ingatan saya
tentang musik, bagaikan melintas ruang dan waktu. Tatkala mendengar lantunan
dangdut Meggy Z yang dibawakan penyanyi zaman sekarang, pikiran saya seketika
terbayang pada ibu di rumah, yang selalu menyetel dangdut setiap pukul dua
siang sampai sore—itu acara dangdut di sebuah radio setempat—untuk menemaninya
kerja menjahit baju. Usia saya kala itu mungkin sekitar sepuluh tahun, dan
sering berada di rumah serta membantunya memasang kancing baju atau semacamnya.
Saat-saat itulah, dangdut amat terngiang dalam pikiran saya—sungguh,
sampai-sampai saya hapal lirik lagu Bang Jamal Mirdad, Rama Aipama, atau
mungkin penyanyi kondang seperti Elvy Sukaesih, hehehe….
Lama-lama selera musik saya toh
tumbuh juga. Lantaran makin jarang berada di rumah karena aktivitas seni, saya
kian jarang dengarkan dangdut lagi. Awal belasan tahun saya mulai dengarkan
Enya dan sebangsanya—yang dengan semangat diputarkan oleh kakak kelas di ekskul
teater SMP guna mendampingi kami latihan meditasi sebelum memulai olah peran.
Sementara satu kawan saya sangat suka irama mendayu Enya sampai sekarang, well, tidak demikian dengan saya. Itu
lagu bikin gampang jemu dan mellow—meskipun pada kenyataannya hidup saya
sendiri banyak mellow dan romantik heroiknya, hahaha…
Entah gimana, saya kepincut sama jazz dalam waktu yang cukup lama.
Mungkin sejak SMA hingga beberapa waktu belakangan ini. Suara elok Norah Jones
dan Diana Krall begitu saya gandrungi, kerasa dalem-dalem puitik begitu, hehehe….Beberapa
album Norah berhasil saya dapatkan, meskipun seringkali dengan cara minta
koleksi teman. Kalau Diana Krall, memang saya cari sendiri, karena tanpa
sengaja dengar suaranya saat melantunkan Besame
Mucho dan Fly Me to the Moon.
Memang itu lagu cover sih, bukan
bikinan otentiknya—beda dengan Norah yang juga mencipta beberapa single. Tapi, saya tetap suka dengan
suaranya.
Teman-teman sering bilang, suara
saya jazzy banget. Mungkin karena itu
yah, saya suka dengan genre ini. Belakangan saya telusuri edisi lain dari jazz,
khususnya Nina Simone. Well yeah! Saya demen kali simak suara kerennya saat
nyanyikan ‘I’m Feeling Good.’ Punya jiwa dan rasa!
Saya suka pasang headset
bila kemanapun pergi. Bukan kebiasaan baik memang, terutama bila
berkendara di jalan-jalan. Akan tetapi, semenjak kuliah di luar kota, saya suka
naik angkutan umum alih-alih mengendarai motor di lintasan yang macet. Dan
sejak itulah, kebiasaan saya mendengarkan musik di jalan mencapai puncaknya.
Musik juga yang mempertemukan saya
dengan orang-orang tak dikenal. Pernah suatu kali saya pulang dari kunjungan
luar kota, menumpangi kereta jarak jauh ke Jakarta. Lazimnya bepergian sendiri,
musik pun saya pasangkan. Waktu itu saya sedang memulai mendengarkan oldies ala
Beatles, Carpenters, Beach Boys, dan Pink Floyd (alamak, jadulnya yah….) Tanpa
dinyana, bapak-bapak di sebelah saya tiba-tiba ngajak ngobrol: bertanya musik
apakah yang saya dengarkan.
Tak lama berselang, bapak itu—bernama
Alex, di sebuah perusahaan perbankan di Jakarta—menunjukan satu bundel kertas. “Adik
mungkin sekarang suka oldies. Saya dulu juga begitu. Bahkan setiap sore saya
pasti mampir ke Blok M, di salah satu kios musik lama yang menjual banyak
koleksi Beatles dengan harga miring. Saya punya semua album Beatles, berupa
vynil, CD, kaset dan lain-lain,” ia bercerita.
“Dan, kalau adik punya teman laki,
yang ngaku-ngaku penggemar Beatles, coba uji dia, apakah tahu Blackbird Song?” tambahnya sambil
membuka-buka bundel kertas itu. “Kalau tidak tahu, jangan jadikan dia pacar….hahaha….”
Saya ketawa juga. Soalnya gaya
bapak-bapak itu agak unik. Cara ngomongnya blak-blakan. Dia juga cerita soal
penemuan ilmu medik yang dia terapkan pada keluarga. “Kalau adik demam, sakit
kepala atau keluhan flu, jangan minum paracetamol. Tapi teteskan obat iritasi
mata. Ke kedua matamu. Dijamin sembuh…”
Soal ini saya enggak mau komentar
banyak. Jadi pembicaraan seputar penemuan obat penyembuh demam itu saya
hindari. Diam-diam saya berpikir, jangan-jangan selain perihal musik, Pak Alex
gandrung juga dengan pengobatan alternatif, hehehe….
Setelah mencari-cari halaman yang
diinginkan, Pak Alex menunjukannya kepada saya. “Adik, cobalah dengar musik
hard-core. Atau progressive-rock. Atau semacamnyalah. Mulai dari The Who, nanti
boleh pilih nama-nama band berikut ini…”
Ternyata, dia menyimpan sederetan
band hard-core yang diketik rapi sekali. Saya baca sekilas, ada nama Deftones,
Rammstein, dan sebagainya. Jujur, saya sama sekali tidak tahu nama-nama itu.
Saya sama sekali tidak tahu, di mana letak eloknya musik yang memekakkan
telinga macam itu.
“Jangan kira itu musik aneh.
Dengarkan rhythm-nya, atau gebukan drumnya yang seolah enggak tentu arah.
Melambangkan kebebasan dan kemerdekaan….”
Itulah pertama kalinya saya
berkenalan dengan musik rock dan turunannya. Saya tidak tahu seperti apa
rinciannya. Saya lebih suka irama dan lantunannya, dan terlalu malas
mencari-cari sejarah atau penjelasan genrenya.
Rupa-rupanya, ada teman sekelas saya
yang juga suka musik begituan (wah, saya baru tahu!) Dia beri kompilasi
post-rock dan dream pop, seperti Slowdive, And So I Watch You From Afar, God is
Astronaut, hingga Young Marble Giants dan band cadas Rammstein, dengan Das Modell-nya yang menghentak. Dia juga
kenalkan saya pada Radiohead (haduh, masa baru sekarang tahunya…), Sigur Ros,
juga The Pains Being Pure of Heart. Sayang dia enggak suka Beatles. Padahal
bila iya, ada peluanglah dia jadi pacar saya, hehehe…
Jadi, mohon maaf Norah Jones, Diana
Krall, Nina Simone, dan para seniman bossanova. Sementara kalian saya simpan
rapi di arsip laptop. Kini saatnya saya gandrung sebentar dengan aliran musik
yang lain.
Maka, sambil terkagum-kagum oleh
betapa banyaknya musik yang diciptakan, saya sering mahfum mengapa ada banyak
orang yang doyan mendengarkannya dalam perjalanan. Alih-alih menggantikan
percakapan sosial di angkutan umum, musik bagaikan teman sejati semua orang.
Dengan mendengarkannya, manusia mungkin serasa bercakap dengan dirinya sendiri,
juga berdialog dengan memori masa lalunya. Barangkali begitu ya.