Sudah hampir sebulan Elka (bukan nama sebenarnya)
terpaksa menjalani malam minggu yang anti-mainstream. Pasalnya, dia selalu saya
ajak bepergian wawancara demi sebuah buku yang tengah kami susun. Bilamana
tidak sedang liputan, dia pastilah akan nongkrong sampai larut di toko 24 jam
dekat kosan, menjelajahi dunia maya dengan fasilitas internet gratis, sampai
kemudian saya samperin sambil membawa camilan malam hari. Tampaknya, Elka tak acuh
dengan kondisi itu, termasuk ketika keluarga besarnya menanyakan hal klasik
bagi para bujangan, ‘kapan nikah?’ tatkala tiba perayaan hari besar.
Karena
Elka seorang yang serius dan suka sekali membahas isu-isu strategis yang
kontekstual dengan kekinian (hehehe…), saya sampai menduga-duga, barangkali
dalam reuni keluarga besar itu Elka sempat membuat focus group discussion tentang
urgensi pernikahan bagi generasi muda era sekarang. Pasalnya, setiap kali saya
pun menanyakan hal serupa—ampunilah ketidakempatian saya—Elka selalu punya
jawaban yang tepat. Mulai dari gugatan atas makna rumah-tangga (jujur, kadang
dia pakai teori gender mutakhir guna mendukung opininya), sampai alasan soal
biaya nikahan yang bisa jor-joran semata demi gengsi. Ia tambahkan, keluarga
pun sudah mahfum soal bujangnya Elka, sehingga konon tak lagi bertanya-tanya
soal itu lagi.
Beberapa
kali saya sempat posting status di twitter, tentang aktivitas
malam minggu anti-mainstream yang saya lakukan tadi. Misalnya: ‘malam minggu
anti-mainstream: kirim naskah lomba ke ….’ atau ‘malam minggu anti-mainstream:
nonton pembacaan puisi di bawah sinar bulan purnama’ atau…. ‘malam minggu
anti-mainstream: lihat latihan silat Perguruan Gombel di Rawadenok, Depok’.
Semuanya seketika menuai pesan-pesan SMS dari Elka, yang mempertanyakan
alasan-alasan saya mengunggah hal demikian di jejaring sosial.
Teman
saya ini kelihatannya sedikit terganggu. Ini jelas lain dari sikap Elka
biasanya yang seolah tak peduli dengan hal-hal beginian. Dalam pesannya, dia
bahkan ungkapkan:
“Kita
harus mengubah pandangan, bahwa malam minggu adalah malam untuk pacaran. Ingat
ya, ini sudah bukan zamannya penyanyi Jamal Mirdad!”
(Saat
membaca pesan itu, entah bagaimana, saya seketika sayup mendengar lantunan
dangdut penyanyi favorit si ibu kos tersebut….)
Saya pun mencoba menenangkan, agar kiranya Elka tidak
bersikap begitu ekstrim demikian. Lagipula, apalah salahnya bila mengungkap
status seperti tadi, yang jelas tujuannya untuk lucu-lucuan. Namun, ups, jawaban
saya malah menimbulkan debat yang lebih mendebarkan.
“Dari dulu, anti-mainstream bukanlah untuk
lucu-lucuan. Coba lihat tahun 1950an, flower
generation di Amerika. Itu anti-mainstream demi gerakan kesadaran akan
nilai universal yang terbukti berpengaruh sebagai sekarang. Atau perjuangan
mahasiswa di Perancis tahun 1960an, bermula dari aliran film yang juga
anti-mainstream. Terminologi itu serius, Bung. Bermakna sejarah yang sahih…”
“Oke, mungkin aku keliru dengan penggunaan istilah
itu. Tapi, Elka, sikapmu tidakkah terlalu serius? Apakah itu betul koreksi atas
terminologi, ataukah tidak terkait dengan persoalan pribadi?”
Hanya lima buah tanda “?” yang saya terima sebagai
balasan. Tanpa ada kalimat lain. Atau setidak-tidaknya, emoticon yang menggambarkan perasaannya.
Seketika malam itu saya merasa telah jadi satu anak
muda alay yang terlanjur buat status enggak
penting: hal yang beberapa kali sempat kami kritik sebagai sikap tak acuh yang
mencemaskan sebagai akibat dari perkembangan teknologi kini. Ya, perkembangan
teknologi dan media sosial yang justru membikin anak remaja asosial dengan
lingkungan senyatanya.
Lebih dari itu, Elka bahkan seolah mencap saya sebagai
orang yang ahistoris. Abai pada sejarah dan bisa dengan mudah larut pada arus
tren yang berkembang, seakan tak punya kesadaran refleksi dari
peristiwa-peristiwa di masa silam. Maksud dari peristiwa masa silam ini, bukan
hanya soal pengertian anti-mainstream saja, melainkan betapa Elka pun sudah
beberapa kali menanggapi status saya yang notabene bernada sama itu.
Akan tetapi, seberapa pentingkah kita harus menanggapi
fenomena dan istilah anti-mainstream? Saya tahu, flower generation di Amerika telah memunculkan pengaruh signifikan,
bukan hanya dari perspektif memandang masalah di masa itu, melainkan pula
meluas menjadi arah hidup di benak anak muda di berbagai negara, yang
terimplikasi melalui musik rock, kebiasaan bersuka ria dalam kebebasan, tumbuhnya
hippies, dan lainnya. Ide-ide kemerdekaan pun meluncur menjadi gerakan demi
gerakan, yang semuanya dimotori oleh anak-anak muda era 1960 dan 1970an.
Yang setidaknya saya sadari, anti-mainstream kala itu
bukanlah semata-mata laku personal, namun sekaligus sebentuk kesadaran sosial. Pengertiannya
jelas berbeda dengan gaung anti-mainstream yang dicuitkan di jejaring sosial
oleh generasi kini. Akibatnya yang mengemuka sekarang: anti-mainstream lebih ke
dalam lingkup fashion, gaya hidup.
Bahkan ada yang menambahkan, bahwa anti-mainstream adalah menjadi ‘sekadar beda’
dengan lingkungan sekitarnya, persis bagai ‘mengakuariumkan’ hidupnya di tengah
komunitas sosial, di mana sisi-sisi lain dari pribadi manusia sengaja ditonjolkan
hanya demi mendapat perhatian orang banyak.
Saya pun tahu, setiap manusia itu unik. Mereka punya
cara pandang dan cara hidup yang berlainan, serta merupakan hal tak bijak bila
kita berkehendak menyamakannya. Tetapi, seberapa perlunya kita menghadirkan
seluruh hal unik itu di tengah masyarakat, tempat hidup kita? Dalam konteks
lain, hal unik ini dapat hadir pada satu kelompok, mewujud menjadi identitas
bersama dan jika tak hati-hati disikapi, mampu mengarah pada chauvinisme yang
fundamentalis.
Ada banyak contohnya. Seperti kekerasan atas nama
agama, suku bangsa, maupun kesamaan ideologi. Semua itu barangkali berangkat
dari pemikiran normatif, dan sayangnya, lantaran tanpa didasari paradigma
keterbukaan, malahan menimbulkan fanatisme sempit yang justru ‘anti-mainstream’
dengan nilai keharmonian yang diperjuangkan manusia selama berabad-abad.
Artinya, seteguh apapun anti-mainstream yang dianut,
atau sekuat apapun keyakinan yang dipercayai, mereka tetap membutuhkan
negoisasi terus menerus guna menyesuaikannya dengan lingkungan yang lebih luas,
dalam hal ini, masyarakat. Negoisasinya bukan hanya untuk kompromi atas sejauh
mana kita bisa menerapkan sikap-sikap tersebut, tetapi sekaligus demi menjaga
dinamika sosial yang terkendali.
Oke. Mungkin tulisan saya jadi terasa terlalu serius
dan melebar kemana-mana. Mulanya hanya soal cuitan di twitter, hingga instrospeksi yang jauh mengalir begini.
Bagaimanapun, terpujilah Elka, yang karena pesan
singkatnya (dan lima tanda ‘?’ yang mengundang segudang pertanyaan tadi), mampu
mendorong saya berpikir seperti ini. Mungkinkah dia telah berhasil mengubah paradigma
bahwa SMS yang serba pendek ternyata sanggup mendorong refleksi renung-ulang
yang panjang?
Aduh, saya pasti sudah berlebihan sekarang, sengaja mencari-cari
ciri anti-mainstream lainnya sebagai bahasan, hehehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar