Senin, 20 Oktober 2014

Akuarium 'Anti-Mainstream'

Sudah hampir sebulan Elka (bukan nama sebenarnya) terpaksa menjalani malam minggu yang anti-mainstream. Pasalnya, dia selalu saya ajak bepergian wawancara demi sebuah buku yang tengah kami susun. Bilamana tidak sedang liputan, dia pastilah akan nongkrong sampai larut di toko 24 jam dekat kosan, menjelajahi dunia maya dengan fasilitas internet gratis, sampai kemudian saya samperin sambil membawa camilan malam hari. Tampaknya, Elka tak acuh dengan kondisi itu, termasuk ketika keluarga besarnya menanyakan hal klasik bagi para bujangan, ‘kapan nikah?’ tatkala tiba perayaan hari besar.

Karena Elka seorang yang serius dan suka sekali membahas isu-isu strategis yang kontekstual dengan kekinian (hehehe…), saya sampai menduga-duga, barangkali dalam reuni keluarga besar itu Elka sempat membuat focus group discussion tentang urgensi pernikahan bagi generasi muda era sekarang. Pasalnya, setiap kali saya pun menanyakan hal serupa—ampunilah ketidakempatian saya—Elka selalu punya jawaban yang tepat. Mulai dari gugatan atas makna rumah-tangga (jujur, kadang dia pakai teori gender mutakhir guna mendukung opininya), sampai alasan soal biaya nikahan yang bisa jor-joran semata demi gengsi. Ia tambahkan, keluarga pun sudah mahfum soal bujangnya Elka, sehingga konon tak lagi bertanya-tanya soal itu lagi.

Beberapa kali saya sempat posting status di twitter, tentang aktivitas malam minggu anti-mainstream yang saya lakukan tadi. Misalnya: ‘malam minggu anti-mainstream: kirim naskah lomba ke ….’ atau ‘malam minggu anti-mainstream: nonton pembacaan puisi di bawah sinar bulan purnama’ atau…. ‘malam minggu anti-mainstream: lihat latihan silat Perguruan Gombel di Rawadenok, Depok’. Semuanya seketika menuai pesan-pesan SMS dari Elka, yang mempertanyakan alasan-alasan saya mengunggah hal demikian di jejaring sosial.

Teman saya ini kelihatannya sedikit terganggu. Ini jelas lain dari sikap Elka biasanya yang seolah tak peduli dengan hal-hal beginian. Dalam pesannya, dia bahkan ungkapkan:

“Kita harus mengubah pandangan, bahwa malam minggu adalah malam untuk pacaran. Ingat ya, ini sudah bukan zamannya penyanyi Jamal Mirdad!”

(Saat membaca pesan itu, entah bagaimana, saya seketika sayup mendengar lantunan dangdut penyanyi favorit si ibu kos tersebut….)

Saya pun mencoba menenangkan, agar kiranya Elka tidak bersikap begitu ekstrim demikian. Lagipula, apalah salahnya bila mengungkap status seperti tadi, yang jelas tujuannya untuk lucu-lucuan. Namun, ups, jawaban saya malah menimbulkan debat yang lebih mendebarkan.

“Dari dulu, anti-mainstream bukanlah untuk lucu-lucuan. Coba lihat tahun 1950an, flower generation di Amerika. Itu anti-mainstream demi gerakan kesadaran akan nilai universal yang terbukti berpengaruh sebagai sekarang. Atau perjuangan mahasiswa di Perancis tahun 1960an, bermula dari aliran film yang juga anti-mainstream. Terminologi itu serius, Bung. Bermakna sejarah yang sahih…”

“Oke, mungkin aku keliru dengan penggunaan istilah itu. Tapi, Elka, sikapmu tidakkah terlalu serius? Apakah itu betul koreksi atas terminologi, ataukah tidak terkait dengan persoalan pribadi?”

Hanya lima buah tanda “?” yang saya terima sebagai balasan. Tanpa ada kalimat lain. Atau setidak-tidaknya, emoticon yang menggambarkan perasaannya.

Seketika malam itu saya merasa telah jadi satu anak muda alay yang terlanjur buat status enggak penting: hal yang beberapa kali sempat kami kritik sebagai sikap tak acuh yang mencemaskan sebagai akibat dari perkembangan teknologi kini. Ya, perkembangan teknologi dan media sosial yang justru membikin anak remaja asosial dengan lingkungan senyatanya.

Lebih dari itu, Elka bahkan seolah mencap saya sebagai orang yang ahistoris. Abai pada sejarah dan bisa dengan mudah larut pada arus tren yang berkembang, seakan tak punya kesadaran refleksi dari peristiwa-peristiwa di masa silam. Maksud dari peristiwa masa silam ini, bukan hanya soal pengertian anti-mainstream saja, melainkan betapa Elka pun sudah beberapa kali menanggapi status saya yang notabene bernada sama itu.

Akan tetapi, seberapa pentingkah kita harus menanggapi fenomena dan istilah anti-mainstream? Saya tahu, flower generation di Amerika telah memunculkan pengaruh signifikan, bukan hanya dari perspektif memandang masalah di masa itu, melainkan pula meluas menjadi arah hidup di benak anak muda di berbagai negara, yang terimplikasi melalui musik rock, kebiasaan bersuka ria dalam kebebasan, tumbuhnya hippies, dan lainnya. Ide-ide kemerdekaan pun meluncur menjadi gerakan demi gerakan, yang semuanya dimotori oleh anak-anak muda era 1960 dan 1970an.

Yang setidaknya saya sadari, anti-mainstream kala itu bukanlah semata-mata laku personal, namun sekaligus sebentuk kesadaran sosial. Pengertiannya jelas berbeda dengan gaung anti-mainstream yang dicuitkan di jejaring sosial oleh generasi kini. Akibatnya yang mengemuka sekarang: anti-mainstream lebih ke dalam lingkup fashion, gaya hidup. Bahkan ada yang menambahkan, bahwa anti-mainstream adalah menjadi ‘sekadar beda’ dengan lingkungan sekitarnya, persis bagai ‘mengakuariumkan’ hidupnya di tengah komunitas sosial, di mana sisi-sisi lain dari pribadi manusia sengaja ditonjolkan hanya demi mendapat perhatian orang banyak.

Saya pun tahu, setiap manusia itu unik. Mereka punya cara pandang dan cara hidup yang berlainan, serta merupakan hal tak bijak bila kita berkehendak menyamakannya. Tetapi, seberapa perlunya kita menghadirkan seluruh hal unik itu di tengah masyarakat, tempat hidup kita? Dalam konteks lain, hal unik ini dapat hadir pada satu kelompok, mewujud menjadi identitas bersama dan jika tak hati-hati disikapi, mampu mengarah pada chauvinisme yang fundamentalis.

Ada banyak contohnya. Seperti kekerasan atas nama agama, suku bangsa, maupun kesamaan ideologi. Semua itu barangkali berangkat dari pemikiran normatif, dan sayangnya, lantaran tanpa didasari paradigma keterbukaan, malahan menimbulkan fanatisme sempit yang justru ‘anti-mainstream’ dengan nilai keharmonian yang diperjuangkan manusia selama berabad-abad.

Artinya, seteguh apapun anti-mainstream yang dianut, atau sekuat apapun keyakinan yang dipercayai, mereka tetap membutuhkan negoisasi terus menerus guna menyesuaikannya dengan lingkungan yang lebih luas, dalam hal ini, masyarakat. Negoisasinya bukan hanya untuk kompromi atas sejauh mana kita bisa menerapkan sikap-sikap tersebut, tetapi sekaligus demi menjaga dinamika sosial yang terkendali.

Oke. Mungkin tulisan saya jadi terasa terlalu serius dan melebar kemana-mana. Mulanya hanya soal cuitan di twitter, hingga instrospeksi yang jauh mengalir begini.

Bagaimanapun, terpujilah Elka, yang karena pesan singkatnya (dan lima tanda ‘?’ yang mengundang segudang pertanyaan tadi), mampu mendorong saya berpikir seperti ini. Mungkinkah dia telah berhasil mengubah paradigma bahwa SMS yang serba pendek ternyata sanggup mendorong refleksi renung-ulang yang panjang?

Aduh, saya pasti sudah berlebihan sekarang, sengaja mencari-cari ciri anti-mainstream lainnya sebagai bahasan, hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar