Selasa, 21 Oktober 2014

Menuju Stasiun Bogor

Tadi sore saya ketiduran di kereta menuju Depok, hingga tanpa sadar stasiun tujuan telah lewat. Padahal rasa-rasanya baru 30 menit yang lalu saya berangkat dari Duri, kemudian terlelap—untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan pulang pergi dengan commuter—lantas tersentak terjaga saat kereta melaju entah di mana. Hari belum sepenuhnya gelap. Masih bisa saya lihat lanskap di luar yang menampilkan pepohonan dan rumah-rumah sederhana semi permanen. Semuanya bagai berkejaran dengan deretan tiang lampu dan pagar-pagar dari kayu. Tanpa perlu sepenuhnya tersadar, segera saya tahu bahwa itu bukan daerah yang biasanya saya lalui bilamana hendak kuliah malam di Depok.

Benarlah. Stasiun yang saya tuju sudah kelewat. Commuter kini hampir sampai di Bogor, sekitar 5 perhentian lebih dari tempat seharusnya saya turun. Andaikan saya berada di daerah yang sungguh asing, bermil-mil jauhnya dari tanah air, tentulah, saya akan cemas khawatir. Alih-alih waspada, saya tetap duduk di kursi, memeluk tas ransel, menundukkan kepala, dan mencoba kembali tidur. Saya tak memilih berhenti di stasiun sebelum Bogor. Saya berpikir mungkin sebaiknya saya perlu jalan-jalan sebentar, meskipun bepergian sendirian.
 
Sudah beberapa hari ini saya berusaha untuk menulis puisi lagi. Satu atau dua sajak sempat terselesaikan, meskipun saya tahu itu bukanlah karya yang bisa dibanggakan. Mereka cuma tulisan biasa-biasa saja, mengenai ikan asin di sebuah pasar, dikontraskan bersama amis nasib tukang becak dan pedagang di sana. Kelihatannya sajak sosial—saya mulai mencari kecenderungan ke arah sana—namun berikutnya saya simpulkan, puisi itu tetap bernada sentimental yang menjengkelkan. Barangkali karena cukup intens mencari sajak itulah, pikiran ini tiba-tiba terlintas tatkala saya sayup tertidur di kereta untuk yang kedua kalinya sore tadi.
 
Kiranya hanya dalam puisi saja, tercipta metafora betapa seseorang sedemikian ingin berkelana jauh. Turut di perjalanan panjang dengan kereta ataupun pelayaran yang entah, serta begitu berhasrat untuk tidak berhenti di titik terakhirnya. Kiranya hanya dalam puisi saja, orang-orang tergambarkan berniat kuat bertualang. Menjelajah hutan dan rimba, memacu kuda di sabana luas, atau menyelam di kedalaman samudera bersama ikan-ikan dari prasejarah. Kiranya hanya dalam puisi saja, kebebasan kehendak itu dapat dirayakan. Dengan amat liar seolah segalanya sangat mungkin terwujud. Sangat mungkin dialami.
 
Akan tetapi, sore tadi, lantaran tidak bisa lelap lagi, saya pun memandangi wajah-wajah penumpang yang letih. Berdiri di kereta, memeluk barang bawaan, dan tangannya berpegangan pada gantungan, seakan-akan itu tumpuan satu-satunya di commuter yang terus melaju ini. Mereka tidak mau bepergian terus menerus. Saya tahu. Mereka sudah payah dengan kerutinan kerja dan hidup. Saya tahu. Dan hal yang mereka inginkan adalah istirahat, sebelum menghadapi kenyataan yang serupa setiap harinya.

Artinya, idiom dalam sajak itu—yang juga sering saya tuangkan pada puisi saya—tidak nyata menjelma pada dunia sekitar saya. Haruskah ini menjadi masalah? Mestikah kita risau perihal ketidaksamaan dengan impian kebebasan dalam sajak dengan kondisi realita ini? Barangkali bagi Anda tidak perlu. Namun, adalah hal penting bagi saya.

Selama beberapa kurun belakangan, saya begitu ingin mempertautkan kesenian—utamanya persajakan saya pribadi—dengan kenyataan sehari-hari. Bolehlah kita membuka lapis metafora baru, namun saya pikir seyogyanya tema yang dihadirkan tidak terlepas dari kesadaran dan pengalaman kita sebagai manusia. Puisi tentang ikan asin tadi, yang sampai sekarang masih coba saya lihat kemungkinannya, adalah satu bagian dari penjelajahan yang hendak saya raih. Lebih dari itu, kata-kata Ahmad Tohari, yang dikutipkan oleh satu kawan di jejaring sosial facebook, masih sangat mengena serta terngiang dalam benak saya: ‘sebagian besar rakyat Indonesia hidup miskin. Dan bila sastra tak mengungkapkannya, celakalah.’

Saya tidak mau menuliskan tentang perdebatan peran sastra di sini. Anda bisa mencarinya dari sumber-sumber yang ada.

Yang jelas, pikiran itu membuat saya terkesan selama sesore tadi, serta bahkan hingga malam ini, sewaktu saya menuliskan catatan berikut. Saya mulai mencoba melihat kenyataan yang mengharukan dari para penumpang commuter. Betapa mereka, yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, dengan bangga memperlihatkan tas merk mewah yang jelas-jelas cuma imitasi. Atau yang tak henti menatap layar telepon genggamnya, yang saya yakin hanya sekedar aktivitas mengisi waktu. Sempat saya intip, salah seorang di sebelah saya bahkan mengirim pesan sapaan yang remeh temeh—hal mana dilakukan pasti demi mengusir rasa jemu.

Ada juga sekelompok ibu membawa bayi dan dengan mudah mendapat tempat duduk di kereta yang penuh. Dugaan nakal saya muncul. Jangan-jangan bayi-bayi itu tak ubahnya para joki three in one yang ditemui di sepanjang jalan Gatot Subroto dan jalan Sudirman Jakarta: bayi-bayi tak dikenal yang bisa dibawa oleh siapa saja agar mereka mendapat tempat duduk dalam commuter. Lalu di stasiun tertentu, seseorang lainnya telah menunggu untuk mengambil bayi-bayi tersebut—sekaligus bayarannya—dari tangan para penumpang.

Bila saya ingin menjawil pipi lucu balita tadi, pikiran lain seketika hinggap. Bahwa saya tidak boleh larut pada keinginan itu, hal mana dapat melemahkan kewaspadaan saya pada lingkungan sekitar. Jangan-jangan para ibu dan bayi itu adalah sindikat copet yang beraksi ketika seorang penumpang lengah lantaran terpikat pipi gembul balita tersebut…

Kalau dirasa-rasa, menyenangkan juga bila sedikit memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk memperhatikan sekeliling. Saya bisa melihat iklan lotion murahan yang tergantung dari langit-langit kereta. Atau sekelompok banci yang duduk sekenanya sembari menggosip pengalaman ngamen dan digoda orang. Atau kondisi kereta tanpa musik latar, kecuali decit rel dan pemberitahuan yang ngadat lagi tak jelas.

Ini sungguh berkah. Meski kelewatan stasiun tujuan, namun saya sama sekali tak masalah. Pengalaman itu, bisalah menjadi sajak. Puisi yang tidak hanya bermain pada imajinasi, melainkan pula mempertautkan dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.

Teberkatilah para penumpang kereta itu. Teberkatilah sore yang lengang sepanjang jalan menuju Stasiun Bogor itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar