Tadi sore saya ketiduran di kereta
menuju Depok, hingga tanpa sadar stasiun tujuan telah lewat. Padahal
rasa-rasanya baru 30 menit yang lalu saya berangkat dari Duri, kemudian
terlelap—untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan pulang pergi dengan
commuter—lantas tersentak terjaga saat kereta melaju entah di mana. Hari belum
sepenuhnya gelap. Masih bisa saya lihat lanskap di luar yang menampilkan
pepohonan dan rumah-rumah sederhana semi permanen. Semuanya bagai berkejaran
dengan deretan tiang lampu dan pagar-pagar dari kayu. Tanpa perlu sepenuhnya
tersadar, segera saya tahu bahwa itu bukan daerah yang biasanya saya lalui
bilamana hendak kuliah malam di Depok.
Benarlah. Stasiun yang saya tuju
sudah kelewat. Commuter kini hampir sampai di Bogor, sekitar 5 perhentian lebih
dari tempat seharusnya saya turun. Andaikan saya berada di daerah yang sungguh
asing, bermil-mil jauhnya dari tanah air, tentulah, saya akan cemas khawatir. Alih-alih
waspada, saya tetap duduk di kursi, memeluk tas ransel, menundukkan kepala, dan
mencoba kembali tidur. Saya tak memilih berhenti di stasiun sebelum Bogor. Saya
berpikir mungkin sebaiknya saya perlu jalan-jalan sebentar, meskipun bepergian
sendirian.
Sudah beberapa hari ini saya
berusaha untuk menulis puisi lagi. Satu atau dua sajak sempat terselesaikan,
meskipun saya tahu itu bukanlah karya yang bisa dibanggakan. Mereka cuma
tulisan biasa-biasa saja, mengenai ikan asin di sebuah pasar, dikontraskan
bersama amis nasib tukang becak dan pedagang di sana. Kelihatannya sajak sosial—saya
mulai mencari kecenderungan ke arah sana—namun berikutnya saya simpulkan, puisi
itu tetap bernada sentimental yang menjengkelkan. Barangkali karena cukup
intens mencari sajak itulah, pikiran ini tiba-tiba terlintas tatkala saya sayup
tertidur di kereta untuk yang kedua kalinya sore tadi.
Kiranya hanya dalam puisi saja,
tercipta metafora betapa seseorang sedemikian ingin berkelana jauh. Turut di
perjalanan panjang dengan kereta ataupun pelayaran yang entah, serta begitu
berhasrat untuk tidak berhenti di titik terakhirnya. Kiranya hanya dalam puisi
saja, orang-orang tergambarkan berniat kuat bertualang. Menjelajah hutan dan
rimba, memacu kuda di sabana luas, atau menyelam di kedalaman samudera bersama
ikan-ikan dari prasejarah. Kiranya hanya dalam puisi saja, kebebasan kehendak
itu dapat dirayakan. Dengan amat liar seolah segalanya sangat mungkin terwujud.
Sangat mungkin dialami.
Akan tetapi, sore tadi, lantaran
tidak bisa lelap lagi, saya pun memandangi wajah-wajah penumpang yang letih.
Berdiri di kereta, memeluk barang bawaan, dan tangannya berpegangan pada gantungan,
seakan-akan itu tumpuan satu-satunya di commuter yang terus melaju ini. Mereka
tidak mau bepergian terus menerus. Saya tahu. Mereka sudah payah dengan
kerutinan kerja dan hidup. Saya tahu. Dan hal yang mereka inginkan adalah
istirahat, sebelum menghadapi kenyataan yang serupa setiap harinya.
Artinya, idiom dalam sajak itu—yang juga
sering saya tuangkan pada puisi saya—tidak nyata menjelma pada dunia sekitar
saya. Haruskah ini menjadi masalah? Mestikah kita risau perihal ketidaksamaan
dengan impian kebebasan dalam sajak dengan kondisi realita ini? Barangkali bagi
Anda tidak perlu. Namun, adalah hal penting bagi saya.
Selama beberapa kurun belakangan,
saya begitu ingin mempertautkan kesenian—utamanya persajakan saya pribadi—dengan
kenyataan sehari-hari. Bolehlah kita membuka lapis metafora baru, namun saya
pikir seyogyanya tema yang dihadirkan tidak terlepas dari kesadaran dan
pengalaman kita sebagai manusia. Puisi tentang ikan asin tadi, yang sampai
sekarang masih coba saya lihat kemungkinannya, adalah satu bagian dari
penjelajahan yang hendak saya raih. Lebih dari itu, kata-kata Ahmad Tohari,
yang dikutipkan oleh satu kawan di jejaring sosial facebook, masih sangat mengena serta terngiang dalam benak saya: ‘sebagian
besar rakyat Indonesia hidup miskin. Dan bila sastra tak mengungkapkannya,
celakalah.’
Saya tidak mau menuliskan tentang
perdebatan peran sastra di sini. Anda bisa mencarinya dari sumber-sumber yang
ada.
Yang jelas, pikiran itu membuat saya
terkesan selama sesore tadi, serta bahkan hingga malam ini, sewaktu saya
menuliskan catatan berikut. Saya mulai mencoba melihat kenyataan yang
mengharukan dari para penumpang commuter. Betapa mereka, yang berasal dari
keluarga menengah ke bawah, dengan bangga memperlihatkan tas merk mewah yang
jelas-jelas cuma imitasi. Atau yang tak henti menatap layar telepon genggamnya,
yang saya yakin hanya sekedar aktivitas mengisi waktu. Sempat saya intip, salah
seorang di sebelah saya bahkan mengirim pesan sapaan yang remeh temeh—hal mana
dilakukan pasti demi mengusir rasa jemu.
Ada juga sekelompok ibu membawa bayi
dan dengan mudah mendapat tempat duduk di kereta yang penuh. Dugaan nakal saya
muncul. Jangan-jangan bayi-bayi itu tak ubahnya para joki three in one yang ditemui di sepanjang jalan Gatot Subroto dan
jalan Sudirman Jakarta: bayi-bayi tak dikenal yang bisa dibawa oleh siapa saja
agar mereka mendapat tempat duduk dalam commuter. Lalu di stasiun tertentu,
seseorang lainnya telah menunggu untuk mengambil bayi-bayi tersebut—sekaligus bayarannya—dari
tangan para penumpang.
Bila saya ingin menjawil pipi lucu
balita tadi, pikiran lain seketika hinggap. Bahwa saya tidak boleh larut pada
keinginan itu, hal mana dapat melemahkan kewaspadaan saya pada lingkungan
sekitar. Jangan-jangan para ibu dan bayi itu adalah sindikat copet yang beraksi
ketika seorang penumpang lengah lantaran terpikat pipi gembul balita tersebut…
Kalau dirasa-rasa, menyenangkan juga
bila sedikit memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk memperhatikan
sekeliling. Saya bisa melihat iklan lotion murahan yang tergantung dari
langit-langit kereta. Atau sekelompok banci yang duduk sekenanya sembari
menggosip pengalaman ngamen dan digoda orang. Atau kondisi kereta tanpa musik
latar, kecuali decit rel dan pemberitahuan yang ngadat lagi tak jelas.
Ini sungguh berkah. Meski kelewatan
stasiun tujuan, namun saya sama sekali tak masalah. Pengalaman itu, bisalah
menjadi sajak. Puisi yang tidak hanya bermain pada imajinasi, melainkan pula
mempertautkan dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
Teberkatilah para penumpang kereta
itu. Teberkatilah sore yang lengang sepanjang jalan menuju Stasiun Bogor itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar