Kamis, 01 Januari 2015

Bancal!

Malam pergantian tahun 2014 saya lewatkan dengan tidur lelap tanpa mimpi. Hanya saja tidur itu saya lakukan di Tegal, beratus kilometer jauhnya dari kos di Jakarta maupun Bali, kampung saya sendiri.

Pengalaman tidur saya tidak ada bedanya dibandingkan tidur-tidur lain yang saya lakukan 365 hari sebelumnya, di manapun itu. Kata saudara dan teman, saya selalu bisa tidur lelap yang dalam dan panjang, yang bahkan kalau ada petasan meledak persis di luar kamar, saya tak bakalan terbangunkan.

Karenanya apakah di malam kemarin itu ada sorai sorai pergantian tahun dan suara bising kembang api, saya tidak tahu. Cuma teman yang saya tumpangi menginap yang mengabarkan, bahwa di petang hari sempat mati listrik dan hujan turun deras sekali.

Akan tetapi, pengalaman tatkala saya bangun tidur itulah yang boleh dikata berbeda dengan pengalaman terjaga di 365 pagi sebelumnya, di manapun itu. Yang mula-mula menyergap adalah kegelapan (rupa-rupanya lampu kamar sengaja dimatikan). Sepintas saya dengar suara gesek daun bambu di sebelah rumah, yang sempat saya kira sebagai gerimis dini hari. Mungkin sekitar 2 menit saya tercenung juga, hingga kemudian bersijingkat turun dari ranjang supaya tidak membangunkan kawan yang masih lelap di sebelah saya.

Seisi rumah begitu sunyi. Keluarga kawan saya pun masih tertidur. Tampaknya demikian juga dengan burung-burung peliharaan dalam dua sangkar di ruang tamu. Saya duduk sebentar di situ seraya mengintip jalanan depan rumah yang juga sama sunyi.

Saya putuskan mengambil sandal dan jalan-jalan keluar untuk menghirup hawa pagi pertama tahun baru. Cuaca cukup baik dan sejuk, barangkali diakibatkan hujan kemarin malam. Beruntung tidak turun gerimis sehingga saya bisa menyusuri gang kecil di kampung Pejagan, wilayah Tembok Banjaran, Adiwerna-Tegal.

Ini kampung sederhana sekali. Rumah-rumah berarsitektur kuno dengan tembok yang lusuh kumal, menunjukan keberaniannya bertahan dari badai masa silam. Tidak ada petak halaman. Rumah-rumah berdiri bagai disebar di seluruh penjuru kampung dengan jalan-jalan tikus yang menghubungkannya satu sama lain.

Kata kawan saya, kampung Pejagan dihuni oleh orang pribumi asli di atas tanah hibah kaum Tionghoa yang berdagang di jalan besar sana—sekitar 200 meter dari wilayah pemukiman ini. Sementara kampung sebelah, Pedalangan, diisi oleh warga yang memelihara kambing sebagai bahan menu sate ataupun kurban Lebaran Haji, orang-orang Pejagan tidak punya kekhususan tertentu. “Hanya kampung biasa,” katanya.

Setelah lewat beberapa rumah, ciri khas dari perkampungan segera saya jumpai: orang-orang tua yang duduk-duduk di beranda atau berjalan pulang dari pasar. Seorang nenek lain menggendong keranjang pada punggungnya dan menawarkan, “Ketan, Mbak?”, yang kemudian saya jawab dengan bahasa Jawa yang kaku, “Mboten, Bu.” Saya tidak tahu itu jajanan berupa apa. Saya pun tidak terbiasa makan sedini itu.

Jalanan menuju pasar cukup becek. Saya melewati tanaman-tanaman kembang pagi-sore yang tumbuh liar di pinggiran dan pohon buah silik (itu bahasa Bali sebenarnya, dan saya bingung apa ya bahasa Indonesianya ‘silik’?). Kulit buahnya tumpul saling menyusun, dan di dalamnya penuh daging putih yang menyelimuti biji-biji berwarna hitam. Sewaktu kecil, saya pernah mencuri buah itu saat pulang sekolah, disuruh oleh kakak laki-laki saya yang ‘ngidam’ banget sama buah itu, hehehe…

Sampailah saya di pasar depan. Ini bukan pasar pagi yang menjual buah dan sayur mayur. Kalau pasar yang begitu, jaraknya masih 100 meter ke utara, dan sebentar saya pun hendak ke sana. Pasar depan ini lebih seperti gudang-gudang tua yang digunakan untuk jual beli cemilan dan kripik produksi lokal, usaha parutan kelapa, dan warung makan sate kambing.

Toko-tokonya berpintu lebar dari kayu, persis serupa ruko orang Tionghoa di masa lalu. Ujar teman saya, “Di sepanjang jalan raya Banjaran memang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa. Tidak ada pribumi yang menempati, kecuali kalau mereka bisa bayar biaya sewa.”

Beberapa penjual memilih menggelar dagangannya di trotoar jalan, bukan di dalam toko. Saya menyusurinya pelan-pelan seraya menyaksikan apa saja yang disajikan pada lapak demi lapak. Penjaganya nyaris semua orang-orang tua, para nenek dengan kebaya yang duduk setia menunggui. Mereka mengusir lalat yang hinggap pada sayur dan buah. Ada seorang nenek penjual beras yang sebelah matanya bahkan sudah katarak. Mereka semua, bagi saya, terasa seperti manusia pinggiran yang bertahun-tahun menyambung hidup dari pasar tumpah sepanjang jalan Banjaran dan Adiwerna (kawasan yang tak jauh dari pasar depan dan jalan besar itu).

Aneka hal dijualbelikan di sini. Sembako, bunga sekaran ziarah, berbagai bumbu masakan, ikan asin, minuman dawet, pisau dapur, nanas, pisang, hingga baju anak-anak. Sempat saya kepingin coba nasi bungkus yang dijajakan di atas keranjang. Kelihatannya enak, dan mungkin akan terasa seperti nasi bungkus khas rakyat sebagaimana yang ada di pasar-pasar tradisional manapun. Saya berhenti sebentar, dan pada saat itulah sebuah becak melintas di sebelah saya, dikendalikan oleh bapak tua yang hilang keseimbangan, hingga menggilas kaki kiri saya. Kontan saya menyeru rendah, disambut pekik seorang nenek yang tak jauh dari situ, “Bancal!”

Untung bawaan becak itu tak terlalu banyak. Untung pula jalanan cukup becek sehingga kakinya bisa nyelesek di tanah, membuat gaya tekanannya tak terlalu berat. Saya ketawa-ketawa saja. Saya tidak mengerti arti kata ‘bancal’. Mungkin ada maksudnya. Atau mungkin itu ekspresi spontan saja.

Segera sesudah itu, saya memutuskan tak jadi beli nasi bungkus. Sebuah pikiran hinggap dalam kepala saya: betapa anehnya menjadi seorang asing yang sama sekali tidak mengerti bahasa setempat. Orang-orang Tegal konon jarang berbahasa Indonesia. Adapun bahasa Jawa pun ditolaknya karena merepresentasikan dominasi kaum keraton. Saya seketika merasa kehilangan cara untuk berkomunikasi. Dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan dan menentramkan.

Sepanjang pagi di tahun baru itu saya pun praktis hanya berjalan-jalan saja. Sempat saya mencoba memahami dialog antara penjual dan pembeli, namun sungguh saya gagal mengerti. Dialek dan kosakata mereka terlalu asing. Atau bukan, sayalah yang sungguh benar-benar asing. Saya seorang.

Pasar pagi itu cukup ramai. Meskipun ada bangunan pasar yang berdiri sendiri di samping rel kereta Banjaran, para pedagang tetap saja tumpah ruah hingga ke jalan. Suasananya, andaikan saya tidak risau oleh masalah kebahasaan Tegal yang tak saya pahami, mungkin akan terasa persis seperti pasar-pasar lainnya di Indonesia.

Pasar pagi itu cukup ramai. Orang-orang berbicara satu sama lain. Saling tawar menawar atau mungkin bertukar kabar. Saya tak tahu. Dan saya hanya bisa berdiri tersenyum bilamana ada yang menyodorkan dagangannya, atau berjalan pelan sebiasanya agar tidak terlalu mencuri perhatian.

Pertanda apakah ini, pengalaman yang saya alami di hari pertama tahun baru ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar