Sabtu, 03 Januari 2015

Almamater

“Dulu bangunannya enggak seperti ini,” ujar teman saya menjelaskan. “Arsitekturnya masih yang lama, seperti gedung peninggalan kolonial. Sekarang jadi enggak karu-karuan.”
 
Ia membandingkan bentuk sekolah SMA dalam kenangan dan yang kini jadi kenyataan. Gedungnya tidak dicat biru putih tetapi hanya putih secara keseluruhan. Garis dinding bangunan yang sekarang malahan makin terkesan kaku. Adapun halamannya kini dibenahi dengan cetakan paving-paving baru.
 
“Pohon beringin itu, masih serupa dulu,” kemudian ia menambahkan. “Di masa sekolahku, entah kenapa dia selalu jadi tempat pilihan bagi siswa-siswi sekolah yang mula pertama nyatakan cinta.”
 
Kami sedang berjalan-jalan sebentar di pusat kota, sebelum ide berkunjung sebentar ke almamater SMA teman saya itu muncul dan menggoda kami melakukannya. Semacam incognito, mungkin. Sebabnya, teman saya tidak mau dikenali sebagai mantan murid di sana. Katanya ia hanya mau datang dan melihat-lihat, sambil membayangkan kembali kenangan-kenangan yang telah lewat.
 
Ia bercerita betapa sudah lama sekali tidak menengok almamaternya ini. Semua berubah, tambahnya. Dalam hati saya nyeletuk pula, ya bukankah memang begitu galibnya sebuah kota?
 
Kami mencoba masuk lingkungan sekolah lewat jalur samping. Beberapa buruh sedang istirahat, tiduran di mushola sekolah. Halaman dan teras sebelah itu sedang diperbaiki.
 
Tapi, apa mau bilang, sebuah gerbang kecil yang menghubungkan jalan ke halaman dalam ditutup dan digembok. “Kamu kurang beruntung nih,” ia berujar. Saya tersenyum saja.
 
Mungkin bukan saya yang tak beruntung, si pelancong lain kota yang hendak melihat-lihat segala suasana yang mungkin dilihat. Melainkan teman saya, yang berharap bisa melihat kembali semua kenangan yang pernah didapat.
 
Saya mengajaknya mencari sisi masuk yang lain; kami harus melewati ruang guru di muka bangunan baru. Teman saya menggeleng. Ia menolak.
 
Sisa perjalanan siang itu kami jalan berdiam-diam saja. Sesekali saya memancing percakapan dengan menanyakan pengalaman semasa SMA, yang dijawabnya sesekali dengan antusias, dan sesekali secara sekenanya. Saya tersenyum lagi. Mungkin pikirnya, tidak semua ingatan bisa dibagikan; tidak seluruh masa silam penting untuk diceritakan.
 
Dari almamater itu kami melintasi jalan Kartini. Di kanan kiri berdiri beberapa bangunan sekolah lainnya, seperti SD dan SMP. Papan-papan nama dan keterangan gugus pandu pramuka maupun PMR mereka diteduhi pepohonan yang merindang di halaman masing-masing. Seekor kucing hitam menyelusup di sela pagar.
 
“Kamu suka tinggal di sini?” saya pernah bertanya kepadanya.
 
“Apakah ini wawancara ya?”
 
Saya tertawa kecil. Teman ini pernah berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali baginya, pertanyaan tadi terkesan seperti interview kepada seorang warga pengungsi banjir yang tidak mau relokasi pindah rumah.
 
“Bukanlah,” tukas saya segera kemudian. Ia diam lagi, agaknya sedang merenungkan pilihan jawaban yang bisa diungkapkan. Dan benar saja, beberapa menit berikutnya ia memberi kalimat singkat, bahwa dirinya suka tinggal di kota kecil ini.
 
Perihal alasannya, ia tidak menguraikannya lebih jauh. Begitu pun saya tidak mencoba cari tahu lebih mendalam.
 
Sekitar pukul empat sore, tepat sebelum hujan deras mengguyur kota kecil di pesisir Jawa Tengah itu, kami kembali ke rumah. Hujan tidak juga berhenti sampai menjelang Isya. Gang kecil di depan rumah sudah tinggi posisi airnya, tak pelak menggenang sampai ke rumah penduduk.
 
Bocah-bocah tetangga berseru kegirangan. Seorang bahkan sudah telanjang dada dan berenang-renang di limpahan air kotor. Tak ketinggalan adik teman saya: mulanya malu-malu, akhirnya ikut nyemplung juga. Yang lucu, teman saya justru mendukung niatan main air itu seraya berkata, “Mendingan sekalian nyebur. Kalau setengah-setengah, nanti malahan sakit…”
 
Entah darimana ia dapat logika itu.
 
Adapun tempat tinggal teman saya bangunannya sengaja ditinggikan buat mencegah masuknya air banjir. Meski konsekuensinya adalah berubahnya arsitektur rumah sebagaimana yang kemarin hari sempat ia tunjukan lewat foto-foto lama.
 
Saya rekam adegan main air itu dengan kamera. Gang kecil, genangan banjir, rumah tua penduduk, dan musholla sebelah rumah saya ambil gambarnya.
 
Barangkali itu nanti bisa jadi pengingat di masa depan tentang kondisi kampung masa kecil teman saya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar