Sebelum
pindah rumah pondokan, saya sempatkan jalan-jalan sebentar di kota Depok.
Meskipun tidak sampai menjelajah seluruh pelosoknya, setidak-tidaknya itu
adalah hari yang terbilang bermakna dan akan penting untuk dikenangkan.
Sekitar
pukul tiga siang, kawan kamar sebelah mengirim pesan singkat, “Kak, jadi ya,
kita cari sop duren?” Saya yang saat itu masih terkantuk-kantuk karena
perjalanan commuter di siang nan terik, hanya bisa membalas mengiyakan dalam
kalimat-kalimat pendek.
“Tapi
nanti kita makan sopnya satu berdua ya,” ujar kawan saya, sebut saja Nina, saat
kami menyusuri gang depan rumah pondokan untuk menuju Margonda Raya. “Soalnya
kemarin aku baru tes kolesterol, dan hasilnya mencengangkan…”
Saya
kira dia hanya bercanda. Apakah yang mencengangkan dari hasil tes kolesterol
seorang gadis muda 22 tahun yang badannya kurus kering macam dia? Karenanya saya
hanya tertawa-tawa kecil dan sambil lalu bertanya, “Memangnya hasilnya kayak gimana?”
Nina
yang adalah mahasiswi sarjana keperawatan menjelaskan, “Tau enggak Kak, hasil yang aku dapat 201…”
“Oke,
lalu batas normalnya?”
“200…”
Tanpa
sadar saya nyaris teriak di jalan, “Jadi, karena kelebihan 1 poin, kamu bilang
itu hasilnya mencengangkan?!” Ketawa saya tak habis-habis, berderai bersama
kalimat-kalimat sanggahan dari kawan yang juga adik kelas saya semasa SMP di
Bali itu.
“Jangan
ketawa dulu. Biasanya angka normal tertingginya 180 atau malah 170. Nah, aku udah dapat 201, yang artinya, aku ini
berpotensi kena serangan jantung atau masalah-masalah komplikasi kesehatan
lainnya…”
Namun,
saya masih juga tertawa-tawa. “Kan angka kolesterol bisa naik turun, tergantung
pola makan dan gaya hidup.”
“Betul
sih. Lagian ya, tampaknya sebelum tes
itu pola hidup aku enggak teratur. Habis
makan, tidur. Terus bangun, eh, makan lagi. Lanjut tidur panjang sampai sore…”
Memang
Nina sedang liburan selama tiga hari ini. Libur langka di tengah padatnya
kewajiban program profesi keperawatan pasca wisuda sarjana, yang
mengharuskannya magang di beberapa rumah sakit di Jakarta.
“Tuh
bener kan. Hidup kamu persis kucit…” saya jawab jahil, yang dibalas ketawa
olehnya. Kucit adalah sebutan anak babi dalam bahasa Bali, panggilan yang
sering digunakan bilamana kawan-kawan sudah berkarib erat. Lain dari itu,
memang sih, ada juga
boneka anak babi yang dipajang khusus di meja belajarnya.
Kami
naik angkot menuju daerah sekitar terminal Depok. “Di sini, sop durennya enak,
dan pas untuk harga mahasiswa, hehehe….”
Memang
Nina selalu tahu tempat-tempat jajanan yang ‘bersahabat’ dengan uang saku anak
kuliahan.
Dan
harus diakui, sop duren di situ sangat lezat bukan main. Saking enaknya, alih-alih
menjaga pola makan, rasanya Nina malahan tandaskan hampir separuh dari segelas
sop duren yang kami pesan untuk berdua. Saya senyum-senyum saja dan minta
tambah pancake duren yang, ajegile, mantapnya tak terkira hingga
menggoda teman saya untuk ikutan mencoba juga.
“Kucit,
hati-hati lho, kolesterol…” saya mengingatkan. Eh, bukannya mengiyakan, ini
anak malahan comot bagian terakhir
dari pancake duren yang saya pesan.
Sore
itu adalah sore yang menyenangkan bagi saya. Dan barangkali juga untuknya.
Sepanjang jalan pulang, kami bahkan masih ketawa-tawa, dengan guyonan demi
guyonan yang mengalir terus bersama larutnya waktu. Berkali-kali dia bilang, “Kakak,
aku mabok duren…”
Tadi
petang, saat saya berkemas untuk terakhir kali, saya teringat lagi
pengalaman-pengalaman sewaktu di rumah pondokan itu. Bersama penghuni lain,
kami sering makan bareng, duduk ngerumpi
di ruang tamu sembari sama-sama cari sinyal telepon seluler, atau saling tukar
film-film hasil download. Kadang
kalau ada teman lain yang sakit—dan biasanya itu pasti anak yang mondok tepat
di depan kamar Nina—kami beri perhatian juga. Nah, kalau soal beginian, Nina
yang paling gesit. Maklumlah, dia baru sarjana perawat, jadi begitu antusias
dan bersemangat menerapkan ilmunya, hehehe….
Kendati
dia pernah coba cek tensi darah saya, dan entah kenapa dia selalu minta
diulangi prosesnya. Konon hasilnya tidak jelas jadi perlu dipastikan kembali;
hal mana membuat saya menyangsikan pengetahuan keperawatan yang dia punya….
Lebih-lebih,
Nina pernah cerita, betapa waktu di RSCM dia pernah diminta pasang infus untuk
seorang pasien lansia. “Susah banget,
Kak. Kulitnya kan udah nggelayut, jadi jarumnya enggak kena
pembuluh darahnya…”
Mendengar
itu, saya langsung ilfil. Membayangkannya
saja saya merasa…uuh…
Ketika
saya telah pergi dari rumah pondokan, adik kelas ini mengirim pesan yang cukup
mengharukan. Mungkin benar, atau saya saja yang ge-er, dia begitu sedih
karena saya berhenti mondok. “Waktu begitu cepat. Padahal baru saja rasanya
kos ramai, ada tanda-tanda kehidupan…” tulisnya.
Terus
terang, saya terharu juga. Sepanjang jalan dengan commuter ke arah Jakarta,
sembari menyaksikan hari yang lindap menuju gelap, saya seperti bisa melihat
lagi peristiwa kebersamaan kami di rumah sederhana yang letaknya bersebelahan
dengan rel kereta menuju Bogor itu. Juga soal pengalaman saya sewaktu pertama
kali tiba di sana, hanya dengan sebuah ransel yang memuat baju serta handuk
kecil. Bahkan ketika itu, teman saya inilah yang meminjamkan seprai berikut
sarung bantalnya buat saya pakai. Dia pula yang merawat saya kalau kedapatan
sakit. Atau memberikan saya oleh-oleh bilamana dia berkesempatan pulang ke
Bali.
Sungguh,
sungguh. Saya bakal kangen sekali dengan tempat itu. Termasuk kepada
teman-teman yang berasal dari beragam latar itu.
Saya
akan kangen pada wangi masakan ibu kos—yang keras pedasnya sangat tidak disukai
Nina, dan membuat dia menutup pintu kamar rapat-rapat.
Saya
akan kangen pada percakapan bahasa Mandarin yang dilakukan Evelyn, anak kos
yang lain, bersama kawannya (hal yang membuat saya bertanya-tanya, kiranya apa
arti ucapan yang mereka ungkapkan?)
Saya
pun akan kangen pada Ira, mahasiswi Fasilkom yang pernah marah-marah supaya saya
ikut bersihkan kamar mandi bersama…yang kemudian saya lakukan dalam sukacita
(ha-ha-ha…)
Saya
akan kangen pada Ega, mahasiswi lain yang selalu mengurung diri di kamar, dan
entah apa yang dilakukannya di sana. Oya, di dalam pondokannya ada poster Muse
ukuran besar. Mungkin, dia bersitahan buat tatap wajah para personil
grup-band itu, he-he-he…
Satu
lagi, saya akan kangen pada para penjaga warteg, di mana setiap malam,
khususnya bila hujan tiba, saya doyan
nongkrong di sana untuk memesan teh
atau jeruk panas, seraya dengan seenaknya minta ganti-ganti channel teve, seakan sayalah yang punya
itu warteg (ha-ha-ha…) Ibu-ibu penjaganya yang berasal dari Brebes kelihatannya
senang saja. Malah kami sering ngobrol, dan dari situ saya belajar sedikit bahasa Jawa. Bahkan, jangan salah, alih-alih nonton sinetron, kami kerap pula ngeriung saksikan debat capres-cawapres di televisi....
Teberkatilah
mereka semua, bahagia dalam segala suka dukanya.
Maka,
petang tadi, setelah terima pesan singkat mengharukan dari Nina, saya membalas:
“Hoit, kucit, kapan nanti kita cari sop duren lagi ya. Habis itu main basket,
sampai tangan kita kapalan, ha-ha-ha…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar