Sabtu, 10 Januari 2015

Sop Duren

Sebelum pindah rumah pondokan, saya sempatkan jalan-jalan sebentar di kota Depok. Meskipun tidak sampai menjelajah seluruh pelosoknya, setidak-tidaknya itu adalah hari yang terbilang bermakna dan akan penting untuk dikenangkan.

Sekitar pukul tiga siang, kawan kamar sebelah mengirim pesan singkat, “Kak, jadi ya, kita cari sop duren?” Saya yang saat itu masih terkantuk-kantuk karena perjalanan commuter di siang nan terik, hanya bisa membalas mengiyakan dalam kalimat-kalimat pendek. 

“Tapi nanti kita makan sopnya satu berdua ya,” ujar kawan saya, sebut saja Nina, saat kami menyusuri gang depan rumah pondokan untuk menuju Margonda Raya. “Soalnya kemarin aku baru tes kolesterol, dan hasilnya mencengangkan…” 

Saya kira dia hanya bercanda. Apakah yang mencengangkan dari hasil tes kolesterol seorang gadis muda 22 tahun yang badannya kurus kering macam dia? Karenanya saya hanya tertawa-tawa kecil dan sambil lalu bertanya, “Memangnya hasilnya kayak gimana?” 

Nina yang adalah mahasiswi sarjana keperawatan menjelaskan, “Tau enggak Kak, hasil yang aku dapat 201…” 

“Oke, lalu batas normalnya?” 

“200…” 

Tanpa sadar saya nyaris teriak di jalan, “Jadi, karena kelebihan 1 poin, kamu bilang itu hasilnya mencengangkan?!” Ketawa saya tak habis-habis, berderai bersama kalimat-kalimat sanggahan dari kawan yang juga adik kelas saya semasa SMP di Bali itu. 

“Jangan ketawa dulu. Biasanya angka normal tertingginya 180 atau malah 170. Nah, aku udah dapat 201, yang artinya, aku ini berpotensi kena serangan jantung atau masalah-masalah komplikasi kesehatan lainnya…” 

Namun, saya masih juga tertawa-tawa. “Kan angka kolesterol bisa naik turun, tergantung pola makan dan gaya hidup.” 

“Betul sihLagian ya, tampaknya sebelum tes itu pola hidup aku enggak teratur. Habis makan, tidur. Terus bangun, eh, makan lagi. Lanjut tidur panjang sampai sore…” 

Memang Nina sedang liburan selama tiga hari ini. Libur langka di tengah padatnya kewajiban program profesi keperawatan pasca wisuda sarjana, yang mengharuskannya magang di beberapa rumah sakit di Jakarta. 

Tuh bener kan. Hidup kamu persis kucit…” saya jawab jahil, yang dibalas ketawa olehnya. Kucit adalah sebutan anak babi dalam bahasa Bali, panggilan yang sering digunakan bilamana kawan-kawan sudah berkarib erat. Lain dari itu, memang sih, ada juga boneka anak babi yang dipajang khusus di meja belajarnya.  

Kami naik angkot menuju daerah sekitar terminal Depok. “Di sini, sop durennya enak, dan pas untuk harga mahasiswa, hehehe….” 

Memang Nina selalu tahu tempat-tempat jajanan yang ‘bersahabat’ dengan uang saku anak kuliahan.  

Dan harus diakui, sop duren di situ sangat lezat bukan main. Saking enaknya, alih-alih menjaga pola makan, rasanya Nina malahan tandaskan hampir separuh dari segelas sop duren yang kami pesan untuk berdua. Saya senyum-senyum saja dan minta tambah pancake duren yang, ajegile, mantapnya tak terkira hingga menggoda teman saya untuk ikutan mencoba juga. 

“Kucit, hati-hati lho, kolesterol…” saya mengingatkan. Eh, bukannya mengiyakan, ini anak malahan comot bagian terakhir dari pancake duren yang saya pesan.  

Sore itu adalah sore yang menyenangkan bagi saya. Dan barangkali juga untuknya. Sepanjang jalan pulang, kami bahkan masih ketawa-tawa, dengan guyonan demi guyonan yang mengalir terus bersama larutnya waktu. Berkali-kali dia bilang, “Kakak, aku mabok duren…” 

Tadi petang, saat saya berkemas untuk terakhir kali, saya teringat lagi pengalaman-pengalaman sewaktu di rumah pondokan itu. Bersama penghuni lain, kami sering makan bareng, duduk ngerumpi di ruang tamu sembari sama-sama cari sinyal telepon seluler, atau saling tukar film-film hasil download. Kadang kalau ada teman lain yang sakit—dan biasanya itu pasti anak yang mondok tepat di depan kamar Nina—kami beri perhatian juga. Nah, kalau soal beginian, Nina yang paling gesit. Maklumlah, dia baru sarjana perawat, jadi begitu antusias dan bersemangat menerapkan ilmunya, hehehe…. 

Kendati dia pernah coba cek tensi darah saya, dan entah kenapa dia selalu minta diulangi prosesnya. Konon hasilnya tidak jelas jadi perlu dipastikan kembali; hal mana membuat saya menyangsikan pengetahuan keperawatan yang dia punya…. 

Lebih-lebih, Nina pernah cerita, betapa waktu di RSCM dia pernah diminta pasang infus untuk seorang pasien lansia. “Susah banget, Kak. Kulitnya kan udah nggelayut, jadi jarumnya enggak kena pembuluh darahnya…”  

Mendengar itu, saya langsung ilfil. Membayangkannya saja saya merasa…uuh 

Ketika saya telah pergi dari rumah pondokan, adik kelas ini mengirim pesan yang cukup mengharukan. Mungkin benar, atau saya saja yang ge-er, dia begitu sedih karena saya berhenti mondok. “Waktu begitu cepat. Padahal baru saja rasanya kos ramai, ada tanda-tanda kehidupan…” tulisnya.  

Terus terang, saya terharu juga. Sepanjang jalan dengan commuter ke arah Jakarta, sembari menyaksikan hari yang lindap menuju gelap, saya seperti bisa melihat lagi peristiwa kebersamaan kami di rumah sederhana yang letaknya bersebelahan dengan rel kereta menuju Bogor itu. Juga soal pengalaman saya sewaktu pertama kali tiba di sana, hanya dengan sebuah ransel yang memuat baju serta handuk kecil. Bahkan ketika itu, teman saya inilah yang meminjamkan seprai berikut sarung bantalnya buat saya pakai. Dia pula yang merawat saya kalau kedapatan sakit. Atau memberikan saya oleh-oleh bilamana dia berkesempatan pulang ke Bali.  

Sungguh, sungguh. Saya bakal kangen sekali dengan tempat itu. Termasuk kepada teman-teman yang berasal dari beragam latar itu.  

Saya akan kangen pada wangi masakan ibu kos—yang keras pedasnya sangat tidak disukai Nina, dan membuat dia menutup pintu kamar rapat-rapat.  

Saya akan kangen pada percakapan bahasa Mandarin yang dilakukan Evelyn, anak kos yang lain, bersama kawannya (hal yang membuat saya bertanya-tanya, kiranya apa arti ucapan yang mereka ungkapkan?)  

Saya pun akan kangen pada Ira, mahasiswi Fasilkom yang pernah marah-marah supaya saya ikut bersihkan kamar mandi bersama…yang kemudian saya lakukan dalam sukacita (ha-ha-ha…) 

Saya akan kangen pada Ega, mahasiswi lain yang selalu mengurung diri di kamar, dan entah apa yang dilakukannya di sana. Oya, di dalam pondokannya ada poster Muse ukuran besar. Mungkin, dia bersitahan buat tatap wajah para personil grup-band itu, he-he-he… 

Satu lagi, saya akan kangen pada para penjaga warteg, di mana setiap malam, khususnya bila hujan tiba, saya doyan nongkrong di sana untuk memesan teh atau jeruk panas, seraya dengan seenaknya minta ganti-ganti channel teve, seakan sayalah yang punya itu warteg (ha-ha-ha…) Ibu-ibu penjaganya yang berasal dari Brebes kelihatannya senang saja. Malah kami sering ngobrol, dan dari situ saya belajar sedikit bahasa Jawa. Bahkan, jangan salah, alih-alih nonton sinetron, kami kerap pula ngeriung saksikan debat capres-cawapres di televisi....

Teberkatilah mereka semua, bahagia dalam segala suka dukanya.  

Maka, petang tadi, setelah terima pesan singkat mengharukan dari Nina, saya membalas: “Hoit, kucit, kapan nanti kita cari sop duren lagi ya. Habis itu main basket, sampai tangan kita kapalan, ha-ha-ha…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar