“Dulu bangunannya enggak seperti ini,” ujar teman saya
menjelaskan. “Arsitekturnya masih yang lama, seperti gedung peninggalan
kolonial. Sekarang jadi enggak
karu-karuan.”
Ia membandingkan bentuk sekolah
SMA dalam kenangan dan yang kini jadi kenyataan. Gedungnya tidak dicat biru
putih tetapi hanya putih secara keseluruhan. Garis dinding bangunan yang
sekarang malahan makin terkesan kaku. Adapun halamannya kini dibenahi dengan
cetakan paving-paving baru.
“Pohon beringin itu, masih serupa
dulu,” kemudian ia menambahkan. “Di masa sekolahku, entah kenapa dia selalu
jadi tempat pilihan bagi siswa-siswi sekolah yang mula pertama nyatakan cinta.”
Kami sedang berjalan-jalan
sebentar di pusat kota, sebelum ide berkunjung sebentar ke almamater SMA teman
saya itu muncul dan menggoda kami melakukannya. Semacam incognito, mungkin. Sebabnya, teman saya tidak mau dikenali sebagai
mantan murid di sana. Katanya ia hanya mau datang dan melihat-lihat, sambil
membayangkan kembali kenangan-kenangan yang telah lewat.
Ia bercerita betapa sudah lama
sekali tidak menengok almamaternya ini. Semua berubah, tambahnya. Dalam hati
saya nyeletuk pula, ya bukankah
memang begitu galibnya sebuah kota?
Kami mencoba masuk lingkungan
sekolah lewat jalur samping. Beberapa buruh sedang istirahat, tiduran di
mushola sekolah. Halaman dan teras sebelah itu sedang diperbaiki.
Tapi, apa mau bilang, sebuah
gerbang kecil yang menghubungkan jalan ke halaman dalam ditutup dan digembok. “Kamu
kurang beruntung nih,” ia berujar. Saya tersenyum saja.
Mungkin bukan saya yang tak beruntung,
si pelancong lain kota yang hendak melihat-lihat segala suasana yang mungkin
dilihat. Melainkan teman saya, yang berharap bisa melihat kembali semua
kenangan yang pernah didapat.
Saya mengajaknya mencari sisi
masuk yang lain; kami harus melewati ruang guru di muka bangunan baru. Teman
saya menggeleng. Ia menolak.
Sisa perjalanan siang itu kami
jalan berdiam-diam saja. Sesekali saya memancing percakapan dengan menanyakan
pengalaman semasa SMA, yang dijawabnya sesekali dengan antusias, dan sesekali
secara sekenanya. Saya tersenyum lagi. Mungkin pikirnya, tidak semua ingatan
bisa dibagikan; tidak seluruh masa silam penting untuk diceritakan.
Dari almamater itu kami melintasi
jalan Kartini. Di kanan kiri berdiri beberapa bangunan sekolah lainnya, seperti
SD dan SMP. Papan-papan nama dan keterangan gugus pandu pramuka maupun PMR
mereka diteduhi pepohonan yang merindang di halaman masing-masing. Seekor
kucing hitam menyelusup di sela pagar.
“Kamu suka tinggal di
sini?” saya pernah bertanya kepadanya.
“Apakah ini wawancara ya?”
Saya tertawa kecil. Teman ini
pernah berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali baginya, pertanyaan tadi
terkesan seperti interview kepada
seorang warga pengungsi banjir yang tidak mau relokasi pindah rumah.
“Bukanlah,” tukas saya segera
kemudian. Ia diam lagi, agaknya sedang merenungkan pilihan jawaban yang
bisa diungkapkan. Dan benar saja, beberapa menit berikutnya ia memberi kalimat
singkat, bahwa dirinya suka tinggal di kota kecil ini.
Perihal alasannya, ia tidak
menguraikannya lebih jauh. Begitu pun saya tidak mencoba cari tahu lebih
mendalam.
Sekitar pukul empat sore, tepat
sebelum hujan deras mengguyur kota kecil di pesisir Jawa Tengah itu, kami
kembali ke rumah. Hujan tidak juga berhenti sampai menjelang Isya. Gang kecil
di depan rumah sudah tinggi posisi airnya, tak pelak menggenang sampai ke rumah
penduduk.
Bocah-bocah tetangga berseru
kegirangan. Seorang bahkan sudah telanjang dada dan berenang-renang di limpahan
air kotor. Tak ketinggalan adik teman saya: mulanya malu-malu, akhirnya ikut nyemplung juga. Yang lucu, teman saya
justru mendukung niatan main air itu seraya berkata, “Mendingan sekalian nyebur.
Kalau setengah-setengah, nanti malahan sakit…”
Entah darimana ia dapat logika itu.
Adapun tempat tinggal teman saya
bangunannya sengaja ditinggikan buat mencegah masuknya air banjir. Meski konsekuensinya
adalah berubahnya arsitektur rumah sebagaimana yang kemarin hari sempat ia
tunjukan lewat foto-foto lama.
Saya rekam adegan main air itu
dengan kamera. Gang kecil, genangan banjir, rumah tua penduduk, dan musholla
sebelah rumah saya ambil gambarnya.
Barangkali itu nanti bisa jadi
pengingat di masa depan tentang kondisi kampung masa kecil teman saya ini.